Biologi Trichoderma sp.
Menurut Rifai, (1969) klasifikasi Trichoderma
Kingdom :
sp adalah sebagai berikut : Divisi : Sub Divisi : Class : Ordo : Famili : Genus : Spesies : Trichoderma sp.
Gambar 1.Morfologi Trichoderma sp (Hoog, 2000).
Kebanyakan spesies genus ini tumbuh dengan pesat pada media buatan dan menghasilkan sejumlah besar konidia putih atau hijau muda dari sel
conidiogenous yang terletak di ujung konidiofor yang bercabang-cabang dengan luas. Karakteristik ini memudahkan identifikasi genus Trichoderma, tapi
identifikasi spesies sulit dikerjakan dan ada kebingungan yang patut dipertimbangkan atas pemberian nama spesies (Grondona dkk, 1997).
Trichoderma sp tumbuh dan bercabang dalam bentuk hifa jamur,
diameternya 5 hingga 10 μm.Sporulasi aseksual terbentuk sebagai sel tungggal, biasanya hijau, konidia biasanya dilepaskan dalam jumlah besar (biasanya berdiameter 3 sampai 5 μm).Trichoderma juga membentuk klamidiospora yang berupa sel tunggal, walaupun berasal dari 2 atau lebih klamidiospora yang melebur membentuk satu klamidiospora Kebanyakan strain Trichoderma tidak memiliki tahap seksual dan hanya menghasilkan spora aseksual. Bagaimanapun, hanya sedikit strain yang diketahui memiliki tahap seksual, tapi strain-strain yang digunakan untuk pengendalian hayati tidak memiliki tahap seksual (Harman, 2001).
Gambar 2.Mikoparasitisme Trichoderma terhadap R.solani (Howell,2003).
Faktor yang mempengaruhi Trichoderma sp.
Untuk bertahan dan menyebar, Trichoderma mengubah dirinya dari vegetatif ke perkembangan reproduktif dan telah berkembang dengan beberapa mekanisme molekuler yang rumit . Perkembangan konidia akan lebih pesat jika
ada faktor cahaya dan luka mekanis, walaupun, efek dari induktor ini dipengaruhi lagi keadaan lingkungan seperti status nutrisi dan pH (Villasenor dkk, 2012).
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan Trichoderma terlihat sebagai masalah adaptasi, karena spesies yang berasal dari iklim yang lebih hangat memiliki temeperatur optimal lebih tinggi. Spesies Trichoderma yang termasuk kelompok Longibrachtum (T. citrinoviride, T. saturnisporum) memiliki
temperatur optimum tertinggi (38–44°C). Sementara itu, T. polysporum dan
T. viride ditemukan berkembang dengan baik pada suhu yang lebih dingin (20–25°C) (Kubicek dan Harman, 2002).
Konsentrasi ion hidrogen memiliki dampak kuat bagi pertumbuhan jamur karena banyak nutrisi (seperti gula dan asam amino) yang terikat dengan H+ . Ada beberapa studi yang detil mengenai pengaruh pH terhadap pertumbuhan
Trichoderma atau Gliocladium spp. Di lingkungan alaminya, walaupun umum
diterima jika strain ini tumbuh jelek pada ph > 7. Pertumbuhan biasanya optimal pada pH antara 4 dan 6,5 dan hanya sedikit Trichoderma spp yang terlihat toleran terhadap pH < 3 (Kubicek dan Harman, 2002).
Pengaruh Herbisida terhadap Agen Hayati
Lima jenis herbisida yang biasa dipakai untuk pengendalian gulma tanaman kanola di Iran telah diuji untuk mengetahui aktivitas anti jamur herbisida tersebut terhadap 6 isolat jamur Trichoderma sp dan Sclerotinia sclerotium.Penelitian dilakukan secara in vitro dengan dosis perlakuan sesuai konsentrasi anjuran. Hasil pengujian menunjukkan bahwa herbisida Trifluralin dan Ethnofluralin memiliki aktivitas jamur tertinggi terhadap Trichoderma sp
danSclerotinia sclerotium, sedangkan tiga herbisida lain menunjukkan aktivitas anti jamur yang bervariasi. Cycloxydim memiliki aktivitas anti jamur lebih tinggi terhadap Trichoderma sp daripada Sclerotinia sclerotium , sedangkan Sethoxydim memiliki aktivitas anti jamur sangat rendah terhadap Trichoderma sp tapi sangat tinggi terhadap Sclerotinia sclerotium . Adapun Haloxy fop ehoxyl etil memiliki aktivitas anti jamur lebih tinggi terhadapSclerotinia sclerotium daripada
Trichoderma sp (Pakdamen dan Goltapeh, 2007).
Sebuah eksperimen telah dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan pada Institut Penelitian Teh Bangladesh untuk menyelidiki efek konsentrasi herbisida pada perkembangan miselium isolat dan perkecambahan spora jamur dari genus Trichoderma.Herbisida yang umum digunakan seperti Glifosat, Parakuat, Bimaster, Kem-Amin, dan Butaklor dijadikan perlakuan.Melalui pengamatan setiap 24 jam, terungkap bahwa Bimaster sepenuhnya menghambat
pertumbuhan Trichoderma.Pada media yang diberi perlakuan Parakuat, Kem-Amin dan Butaklor , jamur Trichoderma membentuk titik pada PDA yang
menyerupai sporulasi, namun tidak berlanjut membentuk miselium. Sedangkan pada media yang diberi perlakuan Glifosat, miselium jamur Trichoderma hanya tumbuh 21-30% (Islam dkk, 2008).
Kekeliruan aplikasi herbisida dan residunya dapat memberikan efek negatif terhadap diversitas biota tanah dan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa aplikasi herbisida Parakuat membuat gejala penyakit busuk pangkal batang pada lada muncul lebih cepat, meningkatkan keparahan penyakit, mengurangi pertumbuhan lada, dan mengurangi populasi
agen hayati (Trichoderma sp. danGliocladiumsp.) di dalam tanah (Bande dan Rahman , 2008).
Persistensi Herbisida
Residu pestisida penting dipahami karena memiliki pengaruh setelah aplikasi herbisida berupa racun yang dapat merusak tanaman dan membuat tanaman rentan terhadap patogen tular tanah. Tujuh faktor yang mempengaruhi persistensi herbisida di dalam tanah yaitu; (a) dekomposisi oleh mikroba,(b) dekomposisi kimia, (c) absorbsi oleh koloid tanah, (d) pencucian (e) volatilitas, (f) dekomposisi karena cahaya , (g) pengambilan oleh tumbuhan tinggi saat dipanen(Klingmane dkk ,1975).
Komposisi tanah mempengaruhi fitotoksisitas dan persistensinya melalui penyerapan, pencucian, dan penguapan.Biasanya, tanah yang kaya kandungan liat, bahan organik atau keduanya memiliki potensi lebih besar menahan herbisida karena adanya peningkatan penyerapan herbisida oleh koloid tanah, dengan hubungannya dengan penurunan tingkat pencucian dan penguapan.Perombakan kimiawi dan perombakan mikroba adalah 2 proses utama dalam degradasi
herbisida yang berjalan lebih lambat pada tanah yang berpH tinggi (Nordby dan Hager, 2007).
Variabel iklim yang terkait dengan perombakan herbisida adalah suhu, kelembaban, dan cahaya matahari. Tingkat degradasi herbisida meningkat dengan meningkatnya kelembaban dan suhu tanah, karena baik secara kimia atau oleh mikroba , tingkat penguraian keduanya meningkat seiring peningkatan suhu dan kelembaban (Curran, 1998).
Parakuat adalah herbisida yang paling beracun dan bereaksi secara akut yang pernah dipasarkan dalam jangka waktu 60 tahun.Namun, parakuat tetap menjadi herbisida yang paling luas digunakan di dunia dan di kebanyakan negara, parakuat didaftarkan sebagai herbisida yang dapat digunakan secara
bebas.Parakuat digunakan pada lebih 100 jenis tanaman pada ± 100 negara (Watts, 2011).
Gambar 3 . Struktur kimia Paraquat ( Watts, 2011).
Parakuat herbisida kontak non selektif yang bekerja cepat yang diserap lewat daun. Parakuat menghancurkan jaringan tumbuhan dengan cara
mengganggu fotosintesis dan memecahkan membran sel yang berujung pada mengeringnya daun secara cepat karena air keluar dari dalam sel (Dinis-Olivera, dkk 2006).
Glifosat
Glifosat adalah herbisida sistemik non selektif yang dapat mengendalikan kebanyakan tumbuhan musiman dan tahunan. Glifosat mengendalikan gulma dengan menghambat pembentukan asam amino aromatis tertentu yang penting untuk membentuk jaringan protein .Glifosat diserap kuat oleh partikel tanah, yang mencegah glifosat terlepas secara berlebihan atau diserap oleh tumbuhan non- target dari tanah.Degradasi glifosat terutama dilakukan oleh metabolisme
mikroba, namun ikatan kuat antara glifosat dan tanah dapat memghambat metabolism mikroba dan menyebabkan degradasi berjalan lamban (Tu dkk, 2001).
Gambar 4 .Struktur kimia Glifosat (FAO, 2001).
Glifosat mengendalikan gulma dengan menghambat fungsi enzim 5- enolpyruvylsikimate-3-phosphate synthase (EPSPsynthase) yang berbentuk protein dan menyebabkan EPSP synthase yang bertanggung jawab dalam pembentukan enzim EPSP tidak berfungsi.Enzim EPSP dibutuhkan untuk sintesis asam amino esensial tryptophan, phenylalanine dan tyrosine. Tanpa ketiga asam amino ini, tumbuhan tidak dapat membentuk protein yang dibutuhkannya dan akan mati. EPSP synthase hanya ditemukan pada tumbuhan, jamur, dan bakteri (Pfeiffer, 2009).
Fenoksaprop-etil
Fenoksaprop-etil adalah herbisida selektif dengan tipe kontak dan sistemik sekaligus. Zat ini pada prinsipnya diserap oleh daun, dengan translokasi baik secara basipetal dan acropetal menuju akar atau rizoma
(Health Canada Pest Management Regulatory Agency, 2011).
Fenoksparop-etil bersifat selektif terhadap gulma musiman dan tahunan pada banyak tanaman pertanian.Fenoksparop-p-etil termasuk kedalam herbisida kelas aryloxy phenoxy-propionate, dimana mekanisme pengendalian gulma nya
adalah dengan menghambat biosintesis asam lemak; secara spesifik menghambat
asetil-CoA-karboksilase.Enzim ini ditemukan pada kloroplas tumbuhan dan hati mamalia (Gammon, 2000).
Gambar 5 . Struktur kimiaFenoksaprop-etil
(Health Canada Pest Management Regulatory Agency, 2011)
Triklopir
Triklopir adalah herbisida sistemik yang digunakan untuk mengendalikan tumbuhan berkayu dan herba berdaun lebar di sepanjang jalan, di hutan, di padang rumput atau di lapangan parkir. Triklopir tidak atau hanya memiliki sedikit dampak pada gulma berdaun sempit. Triklopir mengendalikan gulma target dengan menyerupai hormon auksin tumbuhan, menyebabkan pertumbuhan gulma yang tak terkendali. Ada dua formulasi dasar triklopir; garam triethyamine dan butoksietil-ester (Tu dkk, 2001).
Di tanah, kedua formulasi terurai oleh fotolisis, metabolisme mikroba, dan hidrolisis ke senyawa asalnya, asam triklopir. Asam triklopir memiliki potensi medium untuk terabsorbsi, membatasi pergerakannya di lingkungan.Dalam 30 hari, setengah dari asam triklopir baru terurai.Dalam tanaman, baik formulasi ester maupun garam terhidrolisis ke dalam bentuk asam, dan berpindah dalam tanaman.Residu dapat bertahan dalam jaringan tanaman hingga bagian tanaman sepenuhnya terurai oleh alam (Tu dkk, 2001).
2,4 D
Herbisida 2,4 Asam Diklorofenoksiasetik (2,4-D) adalah satu diantara banyaknya agrokimia buatan manusia yang digunakan hari ini. Herbisida ini memiliki efek hormon yang mengganggu peningkatan DNA, RNA, dan sintesis protein di tumbuhan, terutama dalam jaringan meristematis gulma berdaun lebar, dimana biasanya menjadi titik pertumbuhan organisme target.Senyawa ini juga dapat digunakan pada penampungan air untuk mengendalikan alga dan bisa menjadi racun bagi beberapa tingkat kehidupan (Chinalia dkk, 2007).
2,4 D tidak terakumulasi atau persisten pada lingkungan. Mekanisme penguraian utama 2,4 D adalah metabolisme mikroba tapi mineralisasi dan kemungkinan fotolisis juga memainkan peran. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk terurai hingga setengahnya adalah 1-10 hari tapi kecepatan penguraian dapat bervariasi dari beberapa jam hingga beberapa bulan atau lebih
(WTO ,1984 dalam Tu dkk, 2001).
Fluroksipir
Fluroksipir adalah herbisida sistemik post-emergent yang spesifik.Zat ini terdaftar untuk mengendalikan gulma berdaun lebar di lahan luas, areal tanpa pertanaman budidaya, dan areal penggembalaan serta semak berkayu.Fluroksipir secara struktur menyerupai beberapa herbisida lain, yaitu aminopiralid, siklopiralid, pikloram, dan triklopir dan seperti herbisida lain, fluroksipir meniru
indoleacetic acid (IAA), hormon pengendali pertumbuhan gulma (Durkin, 2009).
Gambar 8 . Struktur kimia Fluroksipir (Durkin, 2009)
Waktu yang dibutuhkan fluroksipir untuk terurai setengahnya adalah 36 hari. Mikroba dan cahaya matahari dapat mengurai fluroksipir di permukaan. Potensi tercuci ke air tanah moderat, potensi aliran permukaan tinggi, dan potensi hilang karena erosi rendah. Fluroksipir memiliki tingkat volatilitas moderat, dan
potensi hilang menguap ke atmosfer juga moderat. Flurosipir tidak mengalami penumpukkan pada rantai makanan. Fluroksipir masuk melalui daun dan akar lalu ditranslokasikan ke bagian lain tanaman (WSTOD, 2006).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Herbisida dapat diartikan sebagai bahan kimia yang melindungi tanaman pertanian dengan cara mematikan atau mengganggu pertumbuhan normal gulma. Herbisida menyediakan solusi pengendalian gulma secara tepat, ekonomis, dan efektif. Herbisida membuat lahan dapat ditanami dengan pengolahan tanah
sesedikit mungkin, mempercepat waktu penanaman, dan menyediakan waktu tambahan untuk mengerjakan hal lain untuk pertanian. Oleh karena berkurangnya pengolahan tanah, erosi tanah telah berkurang dari 3,5 milyar ton
pada 1983 menjadi 1 milyar ton pada tahun 1997, juga mengurangi kemungkinan
tanah masuk ke perairan dan menurunkan kualitas air permukaan. (Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Penjualan pestisida terus meningkat dari tahun ke tahun.Peningkatan paling besar terjadi pada herbisida. Pada tabel 1 dapat dilihat perubahan penggunaan pestisida dari tahun ke tahun dalam skala dunia . Proporsi herbisida yang digunakan meningkat pesat, dari 34,8% pada 1960 menjaddi 47,5% pada 2000 (Zhang dkk, 2011).
Tabel 1.Perubahan pemakaian pestisida dunia (penjualan dalam juta dolar) (Zhang dkk, 2011).
Kategori 1970 1980 1990 2000
Penjualan % Penjualan % Penjualan % Penjualan %
Insektisida 1002 37,1 4025 34,7 7655 29 7559 27,9
Fungisida &Bakterisida
599 22,2 2181 18,8 5545 21 5306 19,6
Lainnya 159 5,9 638 5,5 1575 6 1354 5
Total 2700 100 11600 100 26400 100 27104 100
Masalah yang timbul akibat peningkatan pemakaian herbisida dapat ditinjau dari berbagai segi. Pemakaian yang tidak tepat dan penggunaan herbisida yang sama secara terus menerus dapat memberikan pengaruh negarif terhadap kesehatan manusia, tumbuhan, dan hewan. Berdasarkan studi yang dilakukan, diketahui jika populasi bakteri pengikat nitrogen Azotobacter menurun drastis setelah 7-14 hari
aplikasi herbisida (Milosevic dan Godaverica, 2002).
Kebanyakan herbisida tidak diaplikasikan ke dalam tanah secara sengaja, namun herbisida dapat masuk ke dalam lingkungan tanah melalui 1) kontak langsung saat aplikasi di awal musim atau aplikasi paska tanam, 2) pencucian herbisida dari vegetasi dan 3) material tanaman mati yang terurai. Sebagai komponen yang aktif secara biologis, herbisida dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan dari aplikasinya berupa perubahan populasi mikroorganisme secara signifikan.Selain itu, aktivitas bahan aktif herbisida dapat mempengaruhi keseimbangan ekologi tanah dan mempengaruhi produktivitas tanah (Zabaloy dkk, 2011).
Spesies yang masuk dalam genus Trichoderma adalah jamur umum yang hidup bebas di tanah dan daerah ekosistem perakaran, dan memiliki kegunaan beragam di industri dan bioteknologi pertanian.Beberapa spesies genus ini digunakan secara luas sebagai agen hayati, karena sifatnya sebagai mikoparasit dan dapat mendatangkan respon pertahanan tumbuhan dan menstimulasi pertumbuhan tumbuhan (Villasenor dkk, 2012).
Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh herbisida dan konsentrasinya terhadap mikroorganisme masih terbatas, terutama jamur bermanfaat seperti
Trichoderma sp sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti pengaruh herbisida terhadap Trichoderma sp.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis herbisida dengan berbagai konsentrasi terhadap Trichodermasp.secara in vitro.
Hipotesa Penelitian
Interaksi antara konsentrasi dan bahan aktif herbisida memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan Trichoderma sp. secara in vitro.
Kegunaan Penelitian
Mempelajari respon Trichoderma sp. terhadap pemberian berbagai bahan aktif herbisida dengan dosis yang berbeda.
ABSTRACT
Muhammad Majid: In Vitro Test on the Effect of Trichoderma sp Through Application of some Herbicides. Under Supervision ofHasanuddin and Mukhtar Iskandar Pinem.
Herbicide is most commonly used pesticide, yet contained multiple negative effect on environment, especially towards soil microorganisms. This research’s objective is to study effect of herbicide with different concentration towards Trichoderma sp. Trichoderma sp has been inoculated in PDA which have been induced with six different herbicides included paraquat, glyphosate, fenoxaprop-etil, triclopyr, 2,4D, and fluroxypyr at three dose i.e 100%, 75%, and 50% of recommended dose. This research was conducted from May until October 2013 at Phytopathology Laboratory, Agriculture Faculty, University of Sumatera Utara, by using factorial completely randomized design method with three replication. Parameters which analyzed were extensive of fungal colony, colony’s spore density, and macroscopic observation.
The result showed that herbicide interaction with concentration of herbicide is very significantly affected extensive of fungal colony and colony’s spore density. Highest extensive of fungal colony observed at fluroxypyr 50% dose, meanwhile the lowest extensive of fungal colony observed at glyphosate 50% dose. Highest spore density observed at fluroxypyr 50% , meanwhile the lowest spore density observed paraquat 100% dose.
ABSTRAK
Muhammad Majid: Uji Pengaruh Beberapa Herbisida TerhadapTrichoderma sp secara In Vitro.
Herbisida adalah pestisida yang paling banyak dipakai, namun memiliki berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, terutama mikroorganisme tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh herbisida dengan konsentrasi berbeda terhadap Trichoderma sp. Trichoderma sp diinokulasi pada media PDA yang mengandung enam jenis herbisida yaitu parakuat, glifosat, fenoksaprop-etil, triklopir, 2,4D, dan fluroksipir dengan tiga dosis yaitu 100%, 75%, dan 50% dari dosis rekomendasi Penelitian ini dilaksanakan pada Mei – Oktober 2013 di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, USU, menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati adalah luas koloni jamur, kepadatan spora koloni jamur, dan kondisi makroskopis jamur.
Dibimbing oleh Hasanuddin dan Mukhtar Iskandar Pinem.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi jenis herbisida dan dosis herbisida berpengaruh sangat nyata terhadap luas koloni jamur dan kepadatan spora koloni jamur.Luas koloni jamur tertinggi di temukan pada perlakuan fluroksipir dosis 50% sedangkan luas koloni jamur terendah ditemukan pada perlakuan glifosat dosis 75%. Kepadatan spora teringgi ditemukan pada perlakuan fluroksipir dosis 50% sedangkan kepadatan spora terendah ditemukan pada perlakuan parakuat dosis 100%.