Tanaman Sukun (Artocarpus communis)
Tanaman sukun merupakan salah satu jenis yang sangat dikenal di
Indonesia dan banyak negara lainnya. Jenis ini memiliki banyak namalokal
tergantung daerah persebarannya. Tanaman sukun termasuk famili Moraceae,
genus Artocarpus, dan spesies Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. Para ahli ada yang memberi nama Artocarpus incisa Linndan, Artocarpus communis Forst. Beberapa sebutan lokal antara lain, di Siam dikenal dengan nama sake, di
Malaysia dikenal sebagai Bandarase, serta dalam bahasa Inggris disebut dengan
Breadfruit (Pitojo, 1992).
Tanaman sukun merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 m.
Kulit kayunya berserat kasar, dan semua bagian tanaman bergetah encer. Daunnya
lebar, bercagap menjari dan berbulu kasar. Bunganya keluar dari ketiak daun pada
ujung cabang dan ranting, tetapi masih dalam satu pohon (berumah satu). Bunga
jantan berbentuk tongkat panjang yang biasa disebut ontel. Bunga betina berbentuk bulat bertangkai pendek yang biasa disebut babal seperti pada nangka. Bunga betina ini merupakan bunga majemuk sinkarpik. Kulit buah bertonjolan
rata sehingga tidak jelas yang merupakan bekas putik dari bunga sinkarpik
tersebut (Sunarjono, 1999).
Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada berbagai jenis
tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian ±600 m dari
permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun
curah hujan yang tinggi antara 80-100 inchi per tahun dengan kelembaban
penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab, panas,
dengan temperatur antara 15-38°C. Tanaman sukun ditanam di tanah yang subur,
dalam dan drainase yang baik, tetapi beberapa varietas tanpa biji dapat tumbuh
baik di tanah berpasir (Tridjaja, 2003).
Tanaman sukun memiliki banyak kegunaan, antara lain buah sukun yang
merupakan hasil utama dimanfaatkan sebagai bahan makanan, diolah menjadi
berbagai macam makanan, misalnya getuk sukun, klepon sukun, stik sukun,
keripik sukun dan sebagainya. Batang pohon (kayu) sukun dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bangunan maupun dibuat papan kayu yang kemudian dikilapkan
(Dephut, 1998).
Mulsa Sabut Kelapa
Salah satu teknik budidaya yang dapat mengurangi terjadinya evaporasi
adalah penggunaan mulsa. Mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma, mereduksi
penguapan, dan kecepatan alir permukaan, sehingga kelembaban tanah dan
persediaan air dapat terjaga. Penggunaan mulsa ditujukan unutk mencegah
terjadinya pemadatan tanah, terutama pada lapisan tanah bagian atas, mengurangi
fluktuasi suhu tanah, dan mencegah terjadinya kontak langsung antara buah
dengan tanah yang dapat menyebabkan buah-buahan menjadi busuk
(Jusmin, 2005).
Mulsa adalah suatu bahan yang digunakan sebagai penutup tanah yang
bertujuan untuk menghalangi pertumbuhan gulma, menjaga suhu tanah agar tetap
stabil, mencegah jatuhnya percikan air langsung mengenai permukaan dari tanah
Penggunaan mulsa mengakibatkan penurunan suhu tanah siang hari yang
mampu menekan evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan tanah sehingga menekan kehilangan air dari permukaan tanah. Selain itu, tanah-tanah yang tidak diberi mulsa ada kecenderungan menurunnya bahan organik tanah sebaliknya pada tanah yang diberi mulsa kandungan bahan organik cukup stabil dan cenderung meningkat (Umboh, 2002).
Mulsa yang telah umum digunakan dalam budidaya pertanian, dapat
berupa mulsa organik maupun mulsa sintetik. Mulsa organik berupa jerami,
sekam, alang-alang dan sebagainya, sedangkan mulsa sintetik yang digunakan
berupa mulsa plastik. Ketebalan mulsa organik yang dianjurkan adalah antara
5-10 cm. Mulsa yang terlalu tipis akan kurang efektif dalam mengendalikan gulma.
Mulsa organik lebih disukai terutama pada system pertanian yang organik.
Pemberian mulsa organik seperti jerami akan memberikan suatu lingkungan
pertumbuhan yang baik bagi tanaman karena dapat mengurangi evaporasi,
mencegah penyinaran langsung sinar matahari yang berlebihan terhadap tanah
serta kelembaban tanah dapat terjaga, sehingga tanaman dapat menyerap air dan
unsur hara dengan baik (Ainun et a ., 2011).
Pemberian mulsa organik pada tanah akan pengaruh yang baik bagi
perbaikan sifat fisik tanah, meningkatkan penyerapan air tanah, mengurangi
kisaran suhu dan dapat mengurangi kisaran suhu tanah dan dapat mengendalikan
pertumbuhan gulma, mempertinggi kadar humus tanah dan memperbaiki aerasi
dan drainase tanah sehingga akar dapat berkembang dengan baik dan
pertumbuhan tanaman akan lebih subur (Rukmana, 2005).
Perlakuan tanpa mulsa menyebabkan perubahan kandungan air tanah
tanaman. Cekaman air akan menyebabkan suhu daun meningkat, stomata
menutup, dan fotosintesis menurun, sebagai akibatnya respirasi meningkat yang
dapat mengurangi hasil asimilasi netto (Syaifuddin dan Pranowo, 2007).
Pengolahan sabut kelapa menghasilkan serat sabut dan serbuk kelapa.
Pemanfaatan keduanya sangat banyak, seperti seratnya dapat dimanfaatkan untuk
aneka kerajinan rumah tangga seperti sapu, keset, dan untuk bahan jok mobil,
untuk reklamasi seperti cocomesh, untuk membantu kesuburan tanah seperti
cocopot dan lain-lain. Penggunaan dan permintaan sabut kelapa mengalami peningkatan pasar yang digunakan sebagai media tanam. Cocopot adalah tempat untuk tanaman yang dibuat dari serabut kelapa sama halnya dengan pot-pot
tanaman lainnya tetapi kalau pot tanaman lainnya ada yang terbuat dari plastik,
semen, tanah liat dan sebagainya(Mashuri, 2009).
Sabut kelapa segar mengandung tanin 3,12%. Senyawa tanin dapat
mengikat enzim yang dihasilkan oleh mikroba sehingga mikroba menjadi tidak
aktif. Serbuk sabut kelapa ini juga telah dikembangkan untuk pembuatan briket
serbuk sabut kelapa yang digunakan sebagai bahan penyimpan air pada lahan
pertanian. Karakteristik sifat daya serap airnya sangat berbeda dengan sifat daya
serap air papan partikel yang terbuat dari kayu, yaitu sifat daya serap airnya antara
3,5 sampai 5,5 kali dari beratnya, sedangkan untuk sifat daya serap air nilainya
berkisar antara 2,5 sampai 4 kali dari beratnya. Berdasarkan sifat penyerapan air
dan oli yang tinggi ini memungkinkan pemanfaatan produk papan partikel yang
terbuat dari serbuk sabut kelapa ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap air
sebagai bahan pembungkus anti pecah yang ramah lingkungan karena bahan ini
kemungkinan besar dapat terdekomposisi secara alami (Subiyanto et al., 2003).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi yang kompleks antara
faktor internal (dalam) dan eksternal (luar). Faktor internal meliputi intrasel (sifat
genetic/hereditas) dan intersel (hormonal dan enzim). Faktor eksternal meliputi air
tanah dan mineral, kelembaban udara, suhu udara, cahaya dan sebagainya.
Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman:
1. Sifat Menurun atau Hereditas. Ukuran dan bentuk tumbuhan banyak
dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor genetik dapat digunakan sebagai dasar
seleksi bibit unggul.
2. Hormon Pada Tumbuhan. Hormon merupakan hasil sekresi dalam tubuh yang
dapat memacu pertumbuhan, tetapi adapula yang dapat menghambat
pertumbuhan. Hormon-hormon pada tumuhan yaitu auksin, giberilin, gas
etilen, sitokinin, asam abisat dan kalin.
Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman:
1. Cahaya Matahari. Cahaya jelas pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman.
Cahaya merupakan sumber energy fotosintesis. Daun dan batang tumbuhan
yang tumbuh ditempat gelap akan kelihatan kuning pucat. Tumbuhan yang
kekurangan cahaya menyebabkan batang tumbuh lebih panjang, lembek dan
kurus, serta daun timbul tidak normal. Panjang penyinaran mempunyai
pengaruh khusus bagi pertumbuhan dan reproduksi tumbuhan.
2. Temperatur. Temperatur mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi
kemampuan fotosintesis, translokasi, respirasi dan transpirasi. Jika temperatur
terlalu dingin atau terlalu tinggi pertumbuhan akan menjadi lambat atau
terhenti sama sekali pada beberapa tumbuhan apabila lingkungan, air,
temperatur, dan cahaya tidak memungkinkan untuk tumbuh.
3. Kelembaban atau Kadar Air. Tanah dan udara yang kurang lembah umumnya
berepengaruh baik terhadap pertumbuhan karena meningkatkan penyerapan air
dan menurunkan penguapan atau transpirasi.
4. Air dan Unsur Hara. Air merupakan senyawa yang sangat penting bagi
tumbuhan. Fungsi air antara lain sebagai media reaksi enzimatis, berperan
dalam fotosintesis, menjaga turgiditas sel dan kelembapan. Kandungan air
dalam tanah mempengaruhi kelarutan unsur hara dan menjaga suhu tanah.
Hasil tanaman yang meningkat merupakan refleksi kemampuan kompetisinya
yang tinggi, sehingga tanaman mengalami pertumbuhan yang lebih baik dengan
memanfaatkan faktor tumbuh yang ada secara maksimal sehingga distribusi
fotosintat ke bagian biji juga meningkat. (Wicks et al., 2004 dalam Budi dan Hajoeningtias, 2009).
Peranan Air Dalam Pertumbuhan Tanaman
Air sangat berfungsi bagi pertumbuhan tanaman, khususnya air tanah yang
digunakan oleh tumbuhan sebagai bahan melalui proses fotosintesis. Air diserap
tanaman melalui akar bersama dengan unsur hara yang larut di dalamnya,
kemudian diangkut melalui pembuluh Xylem (Lakitan, 1993).
Kebutuhan air suatu tanaman dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang
diperlukan untuk memenuhi kehilangan air melalui evotranspirasi (ET-tanaman)
yang tidak mempunyai kendala (kendala lengas tanah dan kesuburan tanah) dan
mencapai potensi produksi penuh pada kondisi lingkungan tumbuh tertentu. Air
tanah sangat berperan dalam hal mekanisme pergerakan hara ke akar tanaman.
Perkembangan akar tanaman sangat dirangsang oleh kondisi tanah yang lembab,
sehingga kesempatan dari akar untuk lebih dekat dengan unsur hara yang berasal
dari pupuk akan lebih besar. Demikian juga dengan aliran massa untuk keperluan
transpirasi diperlukan air tanah dan pada waktu bersamaan juga akan mengangkut
unsur-unsur hara ke akar dari daerah yang jauh dari jangkauan akar
(Damanik et al., 2010).
Air seringkali membatasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
budidaya. Respon tumbuhan terhadap kekurangan air dapat dilihat pada aktifitas
metabolosmenya, morfologinya, tingkat pertumbuhannya, atau produktivitasnya.
Pertumbuhan sel merupakan fungsi tanaman yang paling sensitif terhadap
kekurangan air. Kekurangan air akan mempengaruhi turgor sel sehingga akan
mengurangi pengembangan sel, sintesis protein, dan serta sistesis dinding sel
(Gardner et al., 1991).
Dwijoseputro (2009) menyatakan bahwa kalau sepanjang hari penguapan
terus menerus lebih hebat daripada peresapan air oleh akar, maka tanaman
tersebut ada di dalam keadaan layu sepanjang hari. Jika pada malam hari
pemasukan air lebih banyak dari pengeluaran, maka pulihlah turgor dan tanaman
tampak segar lagi.
Penyiraman dengan interval 9 hari sekali menurunkan kadar lengas tanah
sekitar 51,2% dibandingkan penyiraman setiap hari dan penyebabkan tanaman
pada pertumbuhan tanaman, tetapi dari data yang disajikan bibit sukun tidak ada
yang mengalami kematian, hanya penghambat pertumbuhan yang ditunjukkan
dengan keadaan layu untuk penyiraman 1x7 hari (Setiawan, 2013).
Menurut Santoso (2010) ada beberapa parameter yang dapat dilihat apabila
tanaman membutuhkan air yaitu :
1.Tinggi tanaman
Tanaman yang mengalami kekurangan kebutuhan air pertumbuhan tingginya
terhambat sehingga tanaman menjadi kerdil. Namun tanaman yang mengalami
kebutuhan air yang tercukupi maka pertumbuhan tinggi akan meningkat.
2. Jumlah daun
Tanaman yang memiliki jumlah daun banyak dapat diperoleh pada tanaman yang
kebutuhan airnya tercukupi sedangkan tanaman yang kebutuhan airnya tidak
terpenuhi maka jumlah daun sedikit.
3. Diameter
Tanaman dengan diameter terlebar dimiliki oleh tanaman dengan kebutuhan air
yang tercukupi sedangkan diameter terkecil akan dimiliki oleh tanaman dengan
kebutuhan air tidak tercukupi.
4. Panjang akar
Panjang akar yang tinggi meningkatkan kebutuhan air pada tanaman yang
kebutuhan airnya tercukupi sedangkan tanaman yang kebutuhan airnya kurang
makan akarnya memiliki panjang yang rendah.
5. Berat kering tajuk dan akar
Berat kering pada tajuk dan akar suatu tanaman akan besar pertumbuhan tanaman
Respon tanaman yang mengalami kekurangan air dapat merupakan
perubahan di tingkat seluler dan molekuler yang ditunjukkan dengan laju
penurunan pertumbuhan, berkurangnya luas daun dan peningkatan rasio akar :
tajuk. Tingkat kerugian tanaman akibat kekurangan air dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain intensitas kekeringan yang dialami, lamanya kekeringan dan
tahap pertumbuhan saat tanaman mengalami kekeringan. Dua macam respon
tanaman yang dapat memperbaiki status jika mengalami kekeringan adalah
Pengubahan distribusi asimilat baru akan mendukung pertumbuhan akar daripada
tajuk, sehingga dapat meningkatkan kapasitas akar menyerap air serta
menghambat pertumbuhan tajuk untuk mengurangi transpirasi. Pengaturan derajat
pembukaan stomata akan menghambat hilangnya air melalui transpirasi
(Mansfield dan Atkinson, 1990).
Rumah Kaca
Rumah kaca merupakan sebuah bangunan tempat budidaya tanaman
dengan pengaturan beberapa variabel di dalamnya agar sesuai dengan kebutuhan
tumbuh kembang tanaman yang sedang dibudidayakan saat itu. Variabel-variabel
pokok yang perlu diatur dalam rumah kaca yaitu temperatur, kelembaban udara,
dan intensitas cahaya. Penanganan lain yang diberikan kepada obyek tanam dalam
rumah kaca antara lain penyiraman, pemupukan, dan pemberantasan hama dan
penyakit. Rumah kaca merupakan sebuah bangunan tempat budidaya tanaman
dengan pengaturan beberapa variabel di dalamnya agar sesuai dengan kebutuhan
tumbuh kembang tanaman yang sedang dibudidayakan saat itu. Variabel-variabel
pokok yang perlu diatur dalam rumah kaca yaitu temperatur, kelembaban udara,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim (climate changes) merupakan salah satu fenomena alam
dimana terjadi perubahan nilai unsur-unsur iklim baik secara alamiah maupun
yang dipercepat akibat aktifitas manusia di muka bumi ini. Sejak revolusi industri
dimulai hingga sekarang telah menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara
global. Selain meningkatkan itu, perubahan iklim juga menyebabkan anomali
iklim seperti penurunan atau peningkatan suhu udara secara ekstrem, curah hujan
dan musim bergeser dari pola biasanya dan tidak menentu serta permukaan air
laut meningkat (Nurdin, 2012).
Beberapa dampak perubahan iklim yang dirasakan antara lain adalah
pergantian musim yang tidak teratur dan bencana ekologis seperti banjir dan
kekeringan yang datang silih berganti menimbulkan dampak kerugian yang nyata.
Dari segi sumberdaya lahan, adanya kekeringan yang berlebihan menyebabkan
tanaman pertanian menjadi kering dan berdampak pada ancaman ketahanan
pangan bagi masyarakat. Musim kemarau yang semakin panjang dan musim hujan
yang lebih pendek menyebabkan berkurangnya beberapa sumber air yang berasal
dari mata air di kawasan hutan (Ryke dan Budi, 2011).
Air merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan suatu
tanaman. Selain dalam proses transpirasi dan fotosintesis, air juga berperan dalam
penyerapan unsur hara yang diperlukan tanaman. Kebutuhan air oleh suatu
tanaman umumnya selalu berbeda-beda, oleh karena itu banyak sedikitnya air
yang diberikan dalam penyiraman sangat mempengaruhi kondisi dari
fisiologis maupun morfologis, sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan.
Defisiensi air yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan irreversibel
(tidak dapat balik) dan pada gilirannya tanaman akan mati (Daniel et al., 1987). Berbagai upaya tindak lanjut penanganan dampak penyimpangan iklim yang
dapat dilakukan antara lain, mempelajari sifat iklim dan memanfaatkan hasilnya
untuk menyesuaikan pola tanam, memilih tanaman yang sesuai dengan pola
hujan, melakukan pertanian konservasi, seperti terasering, menanam tanaman
penutup tanah, mendorong budidaya ramah lingkungan (pestisida nabati, mulsa
organik, pupuk organik), melakukan pergiliran tanaman dan penghijauan DAS
(Jasis dan Karama, 1999).
Penggunaan mulsa bertujuan untuk mencegah kehilangan air dari tanah
sehingga kehilangan air dapat dikurangi dengan memelihara temperatur dan
kelembaban tanah. Aplikasi mulsa merupakan salah satu upaya menekan
pertumbuhan gulma, memodifikasi keseimbangan air, suhu dan kelembaban tanah
serta menciptakan kondisi yang sesuai bagi tanaman, sehingga tanaman dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik (Mulyatri, 2003).
Tanaman sukun dapat ditanam di segala jenis tanah dan tanaman sukun juga
memiliki toleransi tinggi terhadap keadaan tanah, sehingga memiliki daerah
penyebaran yang luas. Sebaran tanaman sukun di Indonesia cukup luas baik di
Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur maupun di luar Pulau
Jawa seperti Aceh, Sumatera Utara, Pulau Nias, Lampung, Bali, NTB, NTT, dan
Papua/Irian. Sukun relatif kuat terhadap keadaan iklim. Iklim mikro yang sangat
ideal bagi pertumbuhan sukun adalah di tempat terbuka dan banyak menerima
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai
ketebalan mulsa sabut kelapa dan intensitas penyiraman terhadap pertumbuhan
bibit sukun di rumah kaca.
Hipotesis Penelitian
1. Pemberian berbagai ketebalan mulsa sabut kelapa berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman sukun (Artocarpus communis).
2. Interval penyiraman yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
sukun (Artocarpus communis).
3. Interaksi antara pemberian mulsa sabut kelapa dan interval penyiraman
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun (Artocarpus communis).
Manfaat Penelitian
Sebagai informasi untuk penggunaan berbagai ketebalan mulsa sabut
kelapa dan intensitas penyiraman yang berbeda sebagai media untuk membantu
tanaman memperoleh air yang cukup di rumah kaca dengan suhu yang lebih tinggi
ABSTRAK
RAPOLO LUMBAN GAOL : Pengaruh Berbagai Ketebalan Mulsa Sabut Kelapa dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Tanaman Sukun (Artocarpus communis) di Rumah Kaca. Di bawah bimbingan AFIFUDDIN DALIMUNTHE dan BUDI UTOMO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai ketebalan mulsa sabut kelapa dan interval penyiraman terhadap pertumbuhan bibit sukun di rumah kaca. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara selama 20 minggu, dimulai bulan Desember 2015 sampai April 2016. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial untuk 2 faktor yaitu faktor ketebalan mulsa sabut kelapa dengan 6 taraf yaitu 0 cm, 2 cm, 4 cm, 6 cm, 8 cm, 10 cm dan faktor interval penyiraman yang terdiri dari 4 taraf yaitu 1 kali dalam sehari, 1 kali dalam 3 hari, 1 kali dalam 5 hari, dan 1 kali dalam 7 hari. Parameter yang diamati adalah pertambahan tinggi (cm), diameter batang (cm), jumlah daun (helai), luas tajuk (cm2), kadar air daun (%), panjang akar, bobot kering tajuk dan akar, dan luas daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai ketebalan mulsa sabut kelapa dan interval penyiraman berpengaruh nyata pada parameter pengamatan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, pertambahan jumlah daun, luas daun, luas tajuk, kadar air daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering daun dan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter panjang akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kontrol memberikan pertumbuhan terendah.
ABSTRACT
RAPOLO LUMBAN GAOL: Effect of Different Mulch thickness and Interval Watering Coconut Fiber Plant Growth Against Breadfruit (Artocarpus communis) in Greenhouse. Under the guidance of Afifuddin Dalimunthe and BUDI UTOMO.
This study aimed to determine the effect of various thicknesses coco mulch and watering intervals on the growth of breadfruit seedlings in the greenhouse. The research was conducted at Greenhouse Faculty of Agriculture, University of North Sumatra for 20 weeks, starting in December 2015 to April 2016. The study was conducted using a completely randomized design (CRD) factorial to two factors: the coco mulch thickness factor with six levels ie 0 cm, 2 cm, 4 cm, 6 cm, 8 cm, 10 cm and factors interval watering consisting of four levels ie 1 times a day, 1 time in 3 days, 1 time in 5 days, and 1 times in 7 days. Parameters measured were as height (cm), stem diameter (cm), number of leaves (leaf), wide canopy (cm2), leaf water content (%), root length, shoot dry weight and root and leaf area. The results showed that the administration of various thicknesses of mulch coco and interval watering real effect on the parameters of observation as height, the increase in diameter, increase the number of leaves, leaf area, wide canopy, the water content of leaves, dry weight of the canopy, and the dry weight of leaf and had no significant effect the root length parameter. The results showed that the treatment controls provide the lowest growth.
i