• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jati (Tectona grandis Linn.f.)

Dalam taksonomi dan tatanama ilmiah, tanaman jati termasuk ke dalam famili Verbenaceae. Areal penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar, Thailan dan bagian barat Laos. Batas utara pada garis 25° LU di Myanmar, batas selatan pada garis 9° LU di India. Jati tersebar pada garis 70°-100° BT. Penyebarannya ternyata terputus-putus. Hutan jati terpisah oleh pegunungan, tanah-tanah datar, tanah-tanah pertanian dan tipe hutan lainnya. Di Indonesia, jati bukan tanaman asli, tetapi sudah tumbuh sejak beberapa abad lalu di P. Kangean, Muna, Sumbawa dan Jawa (Departemen Kehutanan 2002).

Dalam sistem taksonomi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Klas : Angiospermeae

Sub klas : Dicotyledoneae

Ordo : Verbenales

Family : Verbenaceae

Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis L.f.

Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet (mampu bertahan hingga 500 tahun).

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah T. grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi (Sumarna 2003).

Jati tumbuh baik pada tanah yang sarang, mengandung Ca dan P cukup serta pH tanah antara 6-8. Untuk tanah yang sangat kurus, dapat dilakukan penambahan unsur P (phosphor). Pada tanah yang berbatu-batu, kekurangan air, sangat kering dan jelek aerasinya, termasuk juga tanah yang dangkal, petumbuhan

jati dapat menjadi sangat bengkok dan bercabang rendah (Departemen Kehutanan 2003).

Jati termasuk calcicolous tree species, yaitu jenis tanaman yang memerlukan unsur Kalsium dalam jumlah relatif besar untuk tumbuh dan berkembang. Hasil analisis abu yang telah dilakukan diketahui bahwa jati mengandung (CaO) 30,3%, phosphorus (P) 29,7 %, dan silika (SiO2) sebanyak 25% (Departemen Kehutanan 2003).

Jati mulai berbunga pada umur 6-8 tahun setelah ditanam. Berbunga pada musim hujan. Awal pembungaan terjadi kira-kira satu bulan setelah hujan pertama turun. Jati selalu berbunga setiap tahun, tetapi terjadi variasi besar dalam intensitas pembungaan setiap tahunnya. Penyerbukan dilakukan oleh serangga. Rangkaian bunga dan buah kadang-kadang rontok oleh serangga yang juga pemakan kuncup bunga. Buah mencapai ukuran maksimal setelah 50 hari, namun untuk mencapai kemasakan diperlukan waktu 120-150 hari setelah pembuahan. Kematangan buah dapat ditandai dengan jatuhnya buah ke tanah karena digoyang atau jatuh sendirinya (Departemen Kehutanan 2002).

Kondisi lingkungan yang baik untuk jati adalah daerah dengan musim kering yang nyata ( meski bukan syarat mutlak ), memiliki curah hujan antara 1200-3000 mm/th. Intensitas cahaya cukup tinggi, 75-100 % dan suhu berkisar antara 22-31°C. Ketinggian tempat yang optimal untuk pertumbuhan jati antara 0-900 mdpl (Webb et al. 1984). Di Indonesia memang masih banyak dijumpai jati tumbuh pada ketinggian 1300 mdpl, tetapi pertumbuhannya menjadi kurang optimal. Meskipun membutuhkan musim kemarau yang nyata, tetapi musim kemarau yang terlalu kering dan lama akan menjadi faktor pembatas penyebaran jati (Departemen Kehutanan 2003).

Pohon jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m. Tinggi bebas cabang jati dapat mencapai 15-20 m jika dilakukan pemangkasan cabang dan diameter batang dapat mencapai 220 cm, namun pada umumnya 50 cm (Departemen Kehutanan 1981). Kulit kayu berwarna kecokelatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan bercabang sekitar 4 buah, daun berbentuk opposite (bentuk jantung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang 20-50 cm dan lebar 15-40 cm, permukaan

berbulu. Daun muda (petiola) berwarna hijau kecokelatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan (Sumarna 2003).

Buah jati berkeping 2 dengan kotiledon berukuran panjang 3-6 mm, epikotil akan tumbuh tegak menghasilkan organ batang dan pada ujung batang akan menghasilkan daun muda dengan bentuk membulat dan berwarna hijau atau kemerahan. Tahapan pertumbuhan anakan jati ditunjukan oleh warna akar primer yang putih-kuning, akar sekunder tumbuh relatif sedikit, kemudian, dilanjutkan dengan tumbuhnya tunas/ daun berwarna hijau muda dengan ukuran antara 7,5-15,5 cm (panjang). Setelah menghasilkan daun 6-9 helai, anakan akan tumbuh memanjang hingga mencapai 1,5-3,5 cm.

Tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun pada saat musim kemarau, antara bulan November hingga Januari. Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari atau Maret. Tumbuhnya daun ini juga secara umum ditentukan oleh kondisi musim.

Menurut Sumarna (2003), masa pembungaan antara bulan Juni-Agustus atau September. Buah yang terbentuk akan masak sekitar bulan November dan akan jatuh sekitar bulan Februari atau April. Buah jati termasuk ringan, 1,1-2,8 g.

Buah yang jatuh akan menghasilkan sistem regenerasi alami. Secara fisiologis, tingkat keberhasilan tumbuh anakan alam pada berbagai wilayah ditentukan oleh iklim, ketinggian tempat tumbuh, kematangan benih, dan kondisi lantai hutan (tanah).

Secara umum, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/th, optimum 1000-1500 mm/th, dan maksimum 2500 mm/th (walaupun demikian, jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 3750 mm/th). Suhu udara yang dibutuhkan tanaman jati minimum 13-17 °C dan maksimum 39-43°C. Pada suhu optimal, 32-42°C, tanaman jati akan menghasilkan kualitas kayu yang baik. Adapun kondisi kelembaban lingkungan tanaman jati yang optimal sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70 % untuk fase generatif.

Curah hujan secara fisik dan fisiologis berpengaruh terhadap sifat gugurnya daun deciduous dan kualitas produk kayu. Di daerah dengan musim kemarau panjang, jati akan menggugurkan daunnya dan lingkaran tahun yang

terbentuk tampak artistik. Lingkaran tumbuh nampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial dan sering kali menimbulkan gambar yang indah sehingga kayu jati dikelompokan dalam jenis kayu mewah (fancy wood) atau kelas I. Jati seperti ini banyak ditemukan di daerah Jawa Tengah (Cepu, Jepara) dan Jawa Timur (Bondowoso, Situbondo). Pada daerah yang sering turun hujan atau curah hujannya tinggi (>1500 mm/th), jati tidak menggugurkan daun dan lingkaran tahun kurang menarik sehingga produk kayunya tergolong kelas II-III, misalnya jati yang ditanam di Sukabumi-Jawa Barat (curah hujan > 2500 mm/th). Tanaman jati memiliki berat jenis kayu (BJ) sebesar 0.67 dengan tekstur agak kasar dan tidak merata. Selain itu, tanaman jati memiliki kelas kuat II (Departemen Kehutanan 1981) dan kelas awet I-II (Pandit et al. 2002).

Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi limestone, granite, gneiss, mica schist, sandstone, quartzite, conglomerate, shale, dan clay. Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai sifat fisiologis untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasaman tanah (pH) optimum sekitar 6,0. Namun, ada kasus pada beberapa kawasan pertanaman jati dengan tingkat pH rendah (4-5), dijumpai tanaman jati dengan petumbuhan yang baik. Tanaman jati sensitive terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah sehingga pada lahan yang berporositas tinggi dan memiliki drainase baik akan menghasilkan pertumbuhan baik. Kondisi kesuburan tanah lahan juga akan berpengaruh terhadap perilaku fisiologis tanaman yang ditunjukkan oleh perkembangan riap tumbuh (T-tinggi dan D-diameter) (Sumarna 2003).

Pengertian pupuk dan pemupukan

Pupuk merupakan setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Pengertian lain dari pupuk adalah suatu bahan yang diberikan sehingga dapat mengubah keadaan fisik, kimiawi, dan hayati dari tanah sehingga sesuai dengan tuntutan tanaman (Departemen Kehutanan 2003).

Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan menambah persediaan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk peningkatan produksi dan mutu hasil tanaman. Secara umum manfaat pupuk adalah menyediakan unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Adapun manfaat utama dari pupuk yang berkaitan dengan sifat fisik tanah adalah memperbaiki struktur tanah dari padat menjadi gembur dengan menyediakan ruang pada tanah untuk udara dan air. Ruangan dalam yang berisi udara akan mendukung pertumbuhan bakteri aerob yang berada di sekitar akar. Sementara air yang tersimpan di dalam ruangan tanah menjadi persediaan yang sangat berharga bagi tanaman (Departemen Kehutanan 2003)

Manfaat lain pemberian pupuk organik adalah mengurangi erosi pada permukaan tanah. Dalam hal ini pupuk organik berfungsi sebagai penutup tanah dan memperkuat struktur tanah di bagian permukaan sehingga tanah tidak mudah tergerus oleh aliran air tetapi masih cukup gembur untuk dapat ditembus perakaran dan masih mudah diolah.

Manfaat pupuk dalam memperbaiki sifat kimia tanah yaitu menyediakan unsur hara yang diperlukan bagi tanaman, juga membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang, seperti N,P dan K yang mudah hilang oleh penguapan atau oleh air perkolasi. Selain itu, pemupukan juga dapat menambah mikroorganisme tanah (Departemen Kehutanan 2003).

Pemupukan menjadi hal yang mendasar dalam penanaman suatu jenis tanaman. Ada beberapa anggapan bahwa pemupukan hanya diaplikasikan untuk jenis tanaman pertanian saja, tetapi pada perkembangannya pemupukan untuk jenis tanaman kehutanan juga sangat dibutuhkan untuk menambah hara tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman di awal perkembangannya (Departemen Kehutanan 2003).

Pemupukan juga harus menimbang faktor lingkungan agar pemberian pupuk dapat diserap tanaman dengan baik, seperti ketersediaan air (curah hujan), adanya run off, kemiringan tanah, ketebalan solum tanah dan karakteristik akar tanaman itu sendiri.

Dosis pemupukan

Dosis adalah jumlah pupuk yang harus diberikan atau yang dianjurkan untuk per satuan tanaman atau per satuan lahan. Penggunaan dosis yang berlebihan dapat mematikan tanaman, sedang dosis yang kurang tidak akan memberikan efek pertumbuhan tanaman seperti yang diharapkan (Departemen Kehutanan 2003).

Departemen Kehutanan (2003) menyatakan bahwa dasar penentuan dosis pemupukan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu analisis tanah, analisis jaringan tanaman, percobaan pemupukan dan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman.

Jenis pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk NPK dengan dosis yang disesuaikan dengan keadaan tanah. Umumnya pupuk yang digunakan berkisar antara 20-50 gr pertanaman atau kurang lebih 2-5 sendok teh (Departemen Kehutanan 2003).

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Koloid tanah adalah bagian tanah yang sangat berperan dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman. Koloid tanah bermuatan negatif, sehingga dapat menarik dan memegang ion-ion bermuatan positif (kation), seperti Ca2+, H+, Mg2+, K+, Na+,Al3+, dan NH4+. Daya tarik menarik ini dapat dianalogikan seperti kutub negatif magnet menarik dan memegang kutub positif magnet lainnya. Kation yang telah melekat pada koloid tanah tidak mudah tercuci oleh aliran air. Namun, kation atau anion yang berada pada larutan tanah sangat mudah hanyut terbawa air.

Dalam pertukaran kation, satu ion kalium (K+) di dalam larutan tanah diserap oleh akar tanaman, dan satu ion K+ tercuci oleh aliran air. Akibatnya, dua ion K+ yang semula melekat pada koloid tanah akan berpindah ke dalam larutan tanah . Dengan demikian akan terdapat dua kutub negatif kosong pada koloid tanah yang akhirnya akan diisi oleh satu ion Ca2+ yang berasal dari larutan tanah. Pertukaran ini akan terjadi secara terus menerus.

Pada prakteknya, proses pertukaran kation tidak saja berguna jika ditinjau dari segi penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, tetapi juga berguna

sebagai tempat penyimpanan sementara unsur hara tambahan melalui pupuk. Dengan demikian, pernyataan bahwa proses pertukaran kation adalah kejadian alam terpenting dalam kehidupan tanaman setelah fotosintesis tidaklah terlalu berlebihan.

Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan atau kapasitas koloid tanah untuk memegang kation. Kapasitas ini secara langsung tergantung pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah dan sangat ditentukan oleh tipe koloid yang terdapat di dalam tanah.

Kapasitas tukar kation diukur dengan satuan miliequivalen per 100gram tanah (meq/100g tanah). Satu miliequivalen kation adalah jumlah kation yang dibutuhkan untuk menggantikan satu miligram hidrogen. Satu miliequivalen setara dengan 1/1000 equivalen. Jika bobot atom H adalah satu dan valensinya (muatan positif) adalah satu, bobot satu miliequivalen H sama dengan satu miligram. Bobot equivalen sama dengan bobot atom dibagi dengan valensinya. Jadi untuk menggantikan satu miligram hidrogen didalam koloid tanah dibutuhkan 20 miligram kalsium (bobot atom 40 dan valensi 2).

Jumlah relatif dari tiap kation yang diserap atau diikat oleh koloid tanah sangat berhubungan dengan kesuburan tanah. Tanah dengan tingkat keasaman tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar kation pada koloidnya berupa hidrogen dan aluminium. Tanah dengan pH 6-8 mengandung ion Ca2+ yang lebih besar dibandingkan dengan ion lainnya. Tanah dengan koloid yang banyak mengandung ion Na+ akan bersifat lengket dan menyulitkan resapan air. Tanah dengan persentase Ca2+ lebih dominan akan bersifat gembur dan mudah diresapi air.

Kapasitas tukar kation (KTK) setiap jenis koloid tanah berbeda-beda. Humus yang berasal dari bahan organik mempunyai KTK jauh lebih tinggi (100-300 meq/ 100g). Koloid yang berasal dari batuan memiliki KTK lebih rendah (3-150 meq/ 100g). Secara kualitatif KTK tanah dapat diketahui dari teksturnya. Tanah dengan kandungan pasir tinggi memiliki KTK yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah dengan kandungan liat atau debu. Namun, secara pasti, nilai KTK tanah hanya dapat diketahui setelah contoh tanah dikirim ke laboratorium untuk dianalisis tingkat kesuburannya. Kapasitas tukar kation tanah yang rendah dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan organik, seperti

kompos atau pupuk kandang. Penambahan hancuran batuan zeolit, secara signifikan juga dapat meningkatkan KTK tanah (Novizan 2002).

Kehutanan Sosial (Social Forestry)

Adapun pengertian dari social forestry adalah sesuatu ketika hutan, lahan hutan, dan produksi (yang berasal dari hutan) dikelola oleh masyarakat lokal (yaitu masyarakat yang hidup di sekitar atau masyarakat yang mempunyai concern/ perhatian penuh pada hutan) dimana dalam partisipasinya tersebut mereka memperoleh keuntungan. Berdasarkan definisi tersebut maka ada dua masalah pokok, yaitu target dan partner dari kehutanan sosial adalah masyarakat setempat (Nguyen 2001). Noronha dan Spears (1988) menyatakan bahwa tujuan kehutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa (dan komersial) dalam 3 (tiga) hal, yaitu

(1) Kehutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (accountable);

(2) Menyangkut partisipasi langsung pemanfaat;

(3) Termasuk sikap dan ketrampilan yang berbeda dari segi ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon-pohon.

Di dalam seminar internasional yang bertema “Social Forestry and Sustainable Development” di Yogyakarta tahun 1994, ada beberapa pengertian yang disepakati tentang kehutanan sosial (Awang 2000 dalam Nguyen 2001)

(1) Kehutanan sosial adalah nama kolektif untuk strategi-strategi pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus kepada pemerataan distribusi produksi hasil hutan dalam kaitannya dengan kebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat dan partisipatif aktif dari organisasi dan penduduk lokal di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan biomasa kayu;

(2) Kehutanan sosial dapat diartikan sebagai suatu strategi pembangunan atau intervensi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan lainnya dengan

tujuan untuk menstimulasi keterlibatan aktif penduduk lokal dalam berbagai macam kegiatan pengelolaan hutan skala kecil, sebagai suatu tujuan antara untuk meningkatkan keadaan kehidupan masyarakat tersebut;

(3) Kehutanan sosial adalah suatu strategi yang difokuskan pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping mengelola lingkungan wilayah. Oleh karena itu hasil utama dari kehutanan sosial tidak hanya kayu, namun hutan dapat diarahkan untuk memproduksi beragam komoditas sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut, termasuk kayu bakar, bahan makanan, pakan ternak, buah-buahan, air, hewan, alam, keindahan, perburuan dan sebagainya;

(4) Kehutanan sosial secara mendasar ditujukan kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif masyarakat. Paradigma kehutanan sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehutanan, yaitu memposisikan rakyat/ masyarakat yang utama dalam pengelolaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemerataan sosial dan pentingnya peranan sistem asli masyarakat serta mempertahankan biodiversitas.

Kegiatan kehutanan sosial mempunyai beberapa bentuk yang dapat dikategorikan ke dalam 4 (empat) kelompok besar (Anonim 2002) , yaitu:

(1) Farm forestry; (2) Community forestry; (3) Extension forestry; dan (4) Agro-forestry.

Salah satu contoh dari social forestry adalah hutan rakyat. Hutan rakyat sebagai penyuplai bahan kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan industri. Dengan adanya hutan rakyat diharapkan laju deforestasi hutan alam dapat ditekan seminimal mungkin.

Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik, yang tumbuh di lahan milik di luar kawasan hutan. Hutan rakyat sudah dikenal sejak zaman dahulu berupa budidaya tanaman kayu sebagai batas luar atau pagar pemilikan lahan yang membatasi satu pemilik dengan pemilik lainnya, sehingga lebih lazim disebut pagar hidup. Hasil kayu lebih ditekankan sebagai hasil sampingan di luar tanaman pangan yang ditanam di dalam areal lahan. Hal ini dilakukan memang untuk tanaman pangan yang memerlukan perlindungan dari gangguan hama dan ternak.

Pada awalnya hutan rakyat diarahkan sebagai upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, dan ternyata hasilnya yang berupa kayu telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahan perhasilan. Hutan rakyat secara tradisional telah lama berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat dimulai dengan proyek bantuan INPRES Penghijauan pada lahan-lahan milik yang kritis dan terlantar. Baru setelah itu program pembinaan pembangunan hutan rakyat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.

Ada beberapa bentuk hutan rakyat (Nguyen 2003), antara lain:

1. Hutan tanaman murni, yaitu hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan, yang seluruhnya ditanami satu jenis kayu-kayuan, dengan menerapkan silvikultur intensif.

2. Hutan tanaman campuran, yaitu hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan, yang seluruhnya ditanami berbagai jenis kayu-kayuan, dengan menerapkan silvikultur intensif.

3. Agroforestry yaitu manajemen pemanfaatan hutan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasi kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan yang sama, dengan memperhatiakan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat berperan serta. Beberapa bentuk agroforestry telah dikenal di Indonesia antara lain adalah:

a. Taungya system (tumpangsari), yaitu bercocok tanam tanaman semusim selama jangka waktu tertentu di antara tanaman pokok (tanaman hutan) sebagai upaya pemanfaatan lahan hutan.

b. Silvopasture (wana ternak), yaitu model agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan dan peternakan.

c. Silvofishery (wana mina), yaitu model agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan di daerah pantai dengan usaha perikanan. Hutan rakyat berkembang melalui beberapa pola berikut:

a) Pola swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri.

b) Pola subsidi, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya.

c) Pola kemitraan, yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta/ koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan.

Pengembangan hutan rakyat dapat dilaksanakan dalam kerangka rehabilitasi lahan untuk tujuan konservasi dan untuk tujuan produksi. Dengan demikian, pengembangan tersebut mengacu pada Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta berpedoman pada rencana kehutanan kabupaten/ kota.

Pengembangan dalam rangka rehabilitasi lahan untuk tujuan konservasi dilaksanakan pada daerah yang perlu dikonservasi (kategori sangat kritis dan kritis) (Nguyen 2003) dengan cara:

a) Subsidi pada kelompok tani.

b) Swadaya oleh kelompok tani yang dilaksanakan pada areal dampak dengan pemberian insentif berupa bibit dan teknologi.

c) Untuk mendukung ekonomi rakyat, produksi hutan rakyat lebih diutamakan pada hasil hutan non kayu.

Rehabilitasi lahan untuk tujuan produksi dilaksanakan pada daerah yang tidak terlalu kritis (kategori agak kritis dan potensial kritis) dan layak untuk usaha produksi kayu (Departemen Kehutanan 2003), dengan cara:

a) Subsidi melalui kelompok tani melaui model usaha hutan rakyat dengan areal dampaknya.

b) Pola kemitraan yang merupakan usaha antara kelompok tani dengan badan usaha dengan sistem bagi hasil.

c) Swadaya oleh kelompok tani.

Untuk meningkatkan kemampuan semua pihak yang terkait dengan pengembangan usaha hutan rakyat perlu dilakukan pengamatan kelembagaan sebagai berikut:

a. Pemantapan kelembagaan dinas kabupaten atau kota yang menangani kehutanan untuk pengembangan hutan rakyat.

b. Mengembangkan organisasi kelembagaan kelompok tani hutan rakyat yang sudah ada (yang berorientasi produksi) menjadi kelompok tani hutan rakyat yang berorientasi usaha.

Dalam kegiatan hutan rakyat, lantai tegakan hutan rakyat masih dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman bawah yang toleran terhadap naungan seperti tanaman obat-obatan dan lain-lain (Departemen Kehutanan 2003).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia diperkirakan terdapat kurang lebih 6000 desa yang berada di sekitar hutan, dengan jumlah penduduk sekitar 30 juta jiwa. Sekitar 12,25 persen dari jumlah penduduk tersebut masih menggantungkan hidupnya dari hutan (Pusat Studi Pembangunan IPB, 1991).

Sebagian besar pengelolaan hutan alam yang dilakukan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) selama ini telah menimbulkan penurunan kuantitas dan kualitas hutan baik dari luasan maupun volume tegakan. Disisi lain illegal logging dan kebakaran hutan juga telah menyebabkan kerusakan hutan. Tekanan pada hutan alam harus dikurangi, untuk itu Departemen Kehutanan telah menetapkan orientasi kebijakan pembangunan kehutanan ke depan sebagai era rehabilitasi dan konservasi hutan.

Dalam jangka panjang Departemen Kehutanan telah menetapkan lima kebijakan prioritas yang meliputi pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi

Dokumen terkait