• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuda

Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem reproduksi poliestrus (Draper 2003). Nenek moyang kuda pertama kali dikenal dengn nama Hyracoterium dan diperkirakan telah ada sekitar 70-60 juta tahun yang lalu (Kidd 1995). Kuda pada awalnya memiliki konformasi tubuh ramping dan panjang dengan ukuran tubuh sebesar serigala sehingga dapat bergerak lincah. Pada bagian ekstremitas terdapat 3 jari pada bagian kaki depan dan 4 jari pada kaki belakang. Seiring dengan perubahan geografis dunia, maka kuda mengalami proses evolusi menjadi sebesar domba yang dikenal dengan nama Mesohippus dan diperkirakan hidup sekitar 35 juta-25 juta tahun yang lalu. Perubahan morfologis yang terjadi yakni hanya terdapat 3 jari pada kaki depan. Merychippus merupakan perkembangan lebih lanjut dari proses evolusi kuda. Spesies ini memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan kuda Shetland poni. Mulai saat itu tidak terjadi perubahan berarti dalam evolusi kuda karena proses adaptasi sudah berlangsung dengan lebih baik. Perkembangan selanjutnya dikenal dengan nama Pliohippus yang diperkirakan hidup sekitar 7-2 juta tahun yang lalu.

Pliohippus menjadi kuda berteracak tunggal pertama yang selanjutnya berkembang menjadi Equus caballus yang dikenal saat ini. Kuda Prezwalski yang terdapat di Rusia dan Mongolia dianggap sebagai salah satu nenek moyangnya kuda yang ada saat ini, karena morfologi tubuhnya yang masih mirip dengan ancestor kuda sebelumnya (Kidd 1995).

Kuda merupakan salah satu hewan yang memiliki kemampuan istimewa seperti jinak, dapat berenang, mudah dilatih dan dapat merasakan lingkungan sekitarnya. Perkembangan kuda di Indonesia dimulai sejak berdirinya kerajaan Hindu Budha pada abad ke -7 Masehi. Kuda di Indonesia digunakan untuk bahan makanan (terutama masyarakat Indonesia Bagian Timur), sarana perang (saat Kerajaan Hindu-Budha abad VII Masehi, Kerajaan Islam abad XIII-XV dan penjajahan Belanda abad XVIII) dan juga sebagai sarana transportasi untuk mengangkut semua hasil bumi (Soehardjono 1990).

Salah satu jenis kuda yang menjadi cikal bakal perkembangan kuda di Indonesia adalah kuda (Equus caballus) yang berasal dari Pulau Jawa, seperti kuda Tengger, kuda Priangan dan kuda Dieng. Menurut para ahli, ketiga jenis kuda tersebut merupakan nenek moyang kuda di Pulau Jawa yang populasinya terancam punah. Kuda ini tergolong ke dalam kuda poni dengan ukuran tubuh lebih besar jika dibandingkan dengan spesies kuda poni dari wilayah lain di Indonesia, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan tropis sepanjang hari, sehingga biasa digunakan oleh para penduduk di Jawa sebagai sarana transportasi (Mackay 1995).

Darah

Darah adalah jaringan yang berbentuk cair dan mengalir melalui saluran vaskuler (Jain 1993). Menurut Kay (1998) beberapa substansi yang ditransportasikan oleh darah di antaranya adalah gas O2 dan CO2, nutrisi, sisa produk metabolisme, sel darah khusus, hormon, dan panas.

Kuda memiliki volume darah sekitar 7-8% bobot badannya. Volume darah di dalam tubuh kuda bervariasi jumlahnya bergantung pada umur, jenis kelamin, status reproduksi, status emosional, dan aktivitas fisik (Douglas et al. 2010).

Leukosit

Leukosit berfungsi mempertahankan tubuh dari serangan agen-agen patogen, zat beracun, dan menyingkirkan sel-sel rusak serta abnormal (Kelly 1984). Pembentukan leukosit dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 leukositopoiesis (Guyton dan Hall 2006)

Pembentukan sel darah putih diawali dari differensiasi stem sel menjadi myeloblast dan prolimfosit, kemudian myeloblast menjadi 2 bagian, yaitu premyelosit dan monosit myelosit. Premyelosit berdifferensiasi menjadi 3 bagian yang kemudian membentuk sel-sel granulosit yang terdiri atas eosinofil, neutrofil, dan basofil. Monosit myelosit membentuk monosit. Sedangkan prolimfosit akan berdiferensiasi membentuk limfosit (Bacha dan Bacha 1990).

NILAI LEUKOSIT Neutrofil

Neutrofil berdiameter 10-12 µm, bergranul dan memiliki inti bergelambir. Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama yang berfungsi memfagositosis infestasi kuman patogen dengan masa hidup kira-kira 5 hari (Tizard 1982).

Gambar 3 Neutrofil (Douglas et al. 2010) Eosinofil

Eosinofil memiliki nukleus bergelambir dua, butir-butir asidofil cukup besar, berdiameter 10-15 µm dan hidup selama 3-5 hari (Dellman dan Brown 1987). Eosinofil berperan sebagai sel fagosit terhadap komponen asing yang telah bereaksi dengan antibodi (Martini et al. 1992).

Gambar 4 Eosinofil (Douglas et al. 2010) Basofil

Basofil memiliki diameter 10-15 µm, dengan inti dua bergelambir atau bentuk inti tidak teratur, granulanya berukuran 0.5-1.5 µm, berwarna biru tua/ungu (Dellman dan Brown 1987). Sel basofil sangat sulit ditemukan (Jain 1993). Basofil berperan dalam respon alergi (Guyton dan Hall 2006).

Limfosit

Limfosit memiliki dua bentuk, yaitu limfosit besar berdiameter 12-15 µm dan limfosit kecil berdiameter 6-9 µm (Dellman and Brown 1987). Limfosit berperan dalam proses kekebalan dalam pembentukan antibodi khusus (Wresdiyati 2002). Ada dua jenis sel limfosit, yaitu sel limfosit-T dan sel limfosit- B. Sel limfosit-T (Sel-T) erat hubungannya dengan pertahanan seluler, sedangkan sel limfosit-B (Sel-B) berperan dalam pertahanan humoral (Martini et al. 1992).

Gambar 6 Limfosit (Douglas et al. 2010) Monosit

Monosit merupakan leukosit terbesar dengan diameter 15-20 µm dan berbentuk tapal kuda (Dellman and Brown 1987). Monosit memiliki kemampuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil karena dapat memfagosit 100 sel bakteri (Guyton dan Hall 2006).

Parasit Darah 1. Anaplasma sp.

Anaplasma sp. merupakan parasit darah yang memiliki mortalitas pada hewan agak tinggi (Merchant dan Barner 1971), terdiri atas massa globular padat berukuran 0.3 sampai 1.0 µm (Jensen1974).

Gambar 8 Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. (Noaman et al. 2009)

2. Theileria sp.

Theileria sp., menurut Soulsby (1982) berbentuk batang berukuran kira- kira 1.5-2.0 µm x 0.5-1.0 µm memiliki siklus hidup yang terjadi dalam tubuh caplak dan di tubuh induk semang.

Gambar 9 Gambaran mikroskopis Theileria sp. (Mahmood et al. 2011)

3. Babesia sp.

Menurut Levine (1995), Babesia sp. termasuk dalam subfilum Apicomplexa, kelas Piroplasma, dan family Babesiidae. Babesia sp. dapat

menyebabkan babesiosis. Babesia sp. memiliki diameter 2.5-5.0 µm. Perkembangan parasit ini di dalam tubuh caplak dimulai dari larva caplak yang menetas dari telur dan memasuki kelenjar ludah dan melanjutkan perkembangannya. Proses perkembangbiakkan ini memakan waktu 2-3 hari (Levine 1995).

Gambar 10 Gambaran mikroskopis Babesia sp. (Cleveland et al. 2002)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012. Selama bulan April-Juni dilakukan pengambilan dan pengamatan sampel darah setiap 2 minggu sekali selama 2 bulan. Pengambilan sampel darah kuda dilakukan di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan sampel darah di Laboratorium Protozoologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap sampel darah kuda-kuda yang akan diteliti dan didapatkan hasil dari 6 sampel darah yang berasal dari 6 ekor kuda, positif terdapat infestasi parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.). Pengamatan sampel darah yang terdapat infestasi parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.) dilakukan selama 9 minggu didasari pengamatan selama 9 minggu sudah cukup untuk melihat perkembangan infestasi Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp. berdasarkan siklus hidupnya.

Hewan Percobaan

Penelitian menggunakan 6 kuda crossbred yang sudah diidentifikasi positif terinfeksi parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.) di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, terdiri atas 3 ekor kuda jantan dan 3 ekor kuda betina berumur 2-10 tahun. Kuda- kuda dipelihara pada kandang yang berukuran 3 x 2.5 m2. Pemberian pakan pada kuda berupa rumput dan konsentrat dengan waktu pemberian jam 5 pagi untuk konsentrat, jam 12 siang untuk pemberian rumput, jam 3 sore untuk pemberian konsentrat dan jam 6 sore untuk pemberian rumput lagi. Pemberian minum dilakukan ad libitum.

Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan disposable syringe 10 ml dan jarum ukuran 18G sebanyak ± 3 ml darah dari vena jugularis, kemudian disimpan di dalam tabung darah bervolume 3 ml yang mengandung EDTA (Hanie 2006). Pengambilan sampel darah dilakukan 2 minggu sekali selama 2 bulan. Perhitungan Nilai Total BDP (Butir Darah Putih/Leukosit)

Perhitungan nilai butir darah putih menurut Curnin dan Bassert (2006) menggunakan pipet pengencer, kamar hitung, mikroskop, kertas saring, alat penghitung, dan cairan pengencer (Larutan Turk). Perhitungan nilai total butir darah putih dilakukan dengan menghisap darah menggunakan pipet leukosit dan aspiratornya sampai garis 0.5, dilanjutkan dengan menambah larutan turk sampai garis 11. Campuran dihomogenkan dengan memutar membentuk angka 8. Campuran yang tidak homogen dibuang terlebih dahulu. Campuran yang homogen diteteskan ke dalam kamar hitung. Penghitungan butir-butir darah putih dilakukan pada kelima kotak diagonal pada 4 bujur sangkar besar di sudut kamar hitung kemudian hasilnya x 50 butir/mm3 darah.

Pewarnaan Preparat Ulas Darah

Pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah menurut Mahmood et al. (2011) menggunakan sampel darah yang akan diperiksa, alkohol 70%, metil alkohol, larutan pewarna Giemsa, aquades, kaca preparat, dan timer. Pembuatan preparat ulas darah diawali dengan kaca preparat dibersihkan kemudian sampel darah diteteskan pada satu sisi kaca preparat. Satu kaca preparat lain ditempatkan di sisi ujung dengan membentuk sudut 45o. Ulasan darah dibuat sampai terbentuk lapisan tipis dan merata. Preparat dikeringkan di udara untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam metil alkohol (5 menit) dan diwarnai dengan Giemsa (30 menit), selanjutnya preparat ulas darah yang sudah terwarnai dicuci dan dikeringkan di udara.

Pemeriksaan Parasit Darah dan Perhitungan Leukosit

Preparat ulas darah yang telah diberi pewarnaan kemudian diamati ada tidaknya parasit darah dan dihitung nilai leukosit dalam sampel darah tersebut di

bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 100x dan okuler 10x. Tingkat parasitemia dihitung dengan membagi jumlah sel yang terdapat infestasi parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.) untuk setiap 500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Nilai leukosit didapat dengan cara sel leukosit dalam sampel darah tersebut dihitung hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Setelah didapat presentase nilai relatif leukosit, nilai absolut dari masing-masing jenis leukosit ditentukan (Curnin dan Bassert 2006).

Pengolahan Data

Tingkat parasitemia dan nilai leukosit yang didapat dianalisis dengan ANOVA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi dan Persentase Parasit Darah

Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 1 Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda (Equus caballus)

Kuda Parasit Darah

A. centrale A. marginale Theileria sp. Babesia sp.

1 + Gambar : + Gambar : + Gambar : + Gambar : 2 + Gambar : + Gambar : + Gambar : + Gambar :

Kuda Parasit Darah

3 + Gambar : + Gambar : + Gambar: + Gambar : 4 + Gambar : + Gambar: + Gambar : + Gambar : 5 + Gambar : + Gambar : + Gambar : + Gambar : 6 + Gambar : + Gambar : + Gambar : + Gambar : Anaplasma sp.

Parasit darah yang paling banyak ditemukan adalah Anaplasma sp.. Anaplasma sp. ditemukan di dalam preparat ulas darah memiliki gambaran morfologi berbentuk bulat yang terletak di tengah (Anaplasma centrale) dan di tepi (Anaplasma marginal) sel darah merah. Anaplasma sp. yang diwarnai dengan pewarnaan Giemsa terdiri atas massa globular yang padat dengan ukuran diameter 0.3 sampai 1.0 µm. Terlihat di bawah mikroskop elektron setiap Anaplasma sp. terdiri atas suatu koloni yang berisi sampai 8 sub unit atau “initial bodies”, setiap sub unit berukuran 0.16-0.27 µm x 0.24-0.52 µm. Anaplasma sp. di dalam eritrosit 65% terdapat di tepi dan sisanya pada lokasi sentral. Anaplasmosis merupakan suatu infestasi subakut dan tidak dapat menular lewat kontak langsung, ditandai dengan demam, anemia, lemah, dan ikhterus (Jensen 1974).

Gambar 11 Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. berdasarkan hasil pengamatan

Theileria sp.

Morfologi Theileria sp. yang ditemukan berbentuk koma atau batang. Theileria sp. sesuai dengan gambaran morfologinya menurut Soulsby (1982) yaitu berbentuk batang yang memiliki ukuran kira-kira 1.5-2.0 µm x 0.5-1.0 µm. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infestasi Theileria sp. di antaranya lakrimasi, gangguan saluran pencernaan, dispnea, serta pembengkakan limfoglandula.

Gambar 12 Gambaran mikroskopis Theileria sp. berdasarkan hasil pengamatan

Babesia sp.

Morfologi Babesia sp. yang ditemukan berbentuk seperti buah pear, sepasang maupun tunggal. Babesia sp. sesuai dengan gambaran Babesia sp. menurut referensi, bentuknya menyerupai buah pear dan memiliki diameter 2.5- 5.0 µm, meruncing pada salah satu ujungnya dan pada ujung lain tumpul dan berpasangan (Hunfeld et al. 2008). Babesia caballi merupakan spesies dari Babesia sp. yang menyerang kuda bertransisi melalui caplak genus Dermacentor, Hyalomma, dan Rhipicephalus (Uilenberg 2006) dan memiliki gejala klinis yaitu demam tinggi serta anemia.

Gambar 13 Gambaran mikroskopis Babesia sp. berdasarkan hasil pengamatan

Parasitemia, Status Present, Nilai Total Leukosit, serta Nilai Leukosit Selama Sembilan Minggu

Tabel 2 Persentase parasitemia (Anaplasma centrale, Anaplasma marginale, Theileria sp., dan Babesia sp.) pada kuda (Equus caballus)

Jenis Parasit Minggu Ke-

1 3 5 7 9

A. centrale 1.23 ± 0.30bc 1.22 ± 0.40bcd 0.83 ± 0.10cdef 0.75 ± 0.20efg 0.70 ± 0.40efg A. marginale 2.03 ± 0.70a 1.22 ± 0.50bcd 0.95 ± 0.20cde 0.77 ± 0.10defg 0.88 ± 0.20cdef Theileria sp. 0.43 ± 0.20fg 1.45 ± 0.60b 1.28 ± 0.50bc 0.97 ± 0.40cde 0.92 ± 0.40cde Babesia sp. 0.37 ± 0.40g 0.87 ± 0.30cdef 0.77 ± 0.40defg 0.75 ± 0.20efg 0.68 ± 0.30efg

Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata.

Masing-masing parasit darah memiliki jumlah dan tingkat keparahan yang berbeda. Tingkat keparahan atau tingkat tingkat parasitemia dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan penemuannya dalam satu lapang pandang, yaitu rendah (<1%), sedang (<3%), dan berat (5-9%) (Birkenheuer et al. 2003).

Pengamatan infestasi Anaplasma sp. selama sembilan minggu (Tabel 2) menunjukkan adanya penurunan persentase parasitemia Anaplasma sp. yang tidak begitu nyata dari minggu ke minggu. Rata-rata persentase parasitemia Anaplasma sp. adalah 1.05% dan berada dalam tingkatan rendah (<1%)-sedang (<3%). Rendahnya infestasi Anaplasma sp. ini kemungkinan disebabkan Anaplasma sp. masuk dalam masa inkubasi, yaitu 2-12 minggu (Quinn et al. 2008). Pada stadium ini hewan terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Namun demikian, selama sembilan minggu persentase Anaplasma sp. tidak menunjukkan peningkatan persentase parasitemia yang nyata dan kuda tidak menunjukkan gejala klinis akibat terdapat infestasi Anaplasma sp..

Berdasarkan Tabel 2, terlihat adanya peningkatan persentase parasitemia Theileria sp. yang tidak begitu nyata dari minggu ke-1 sebesar 0.43 ± 0.20fg menjadi 0.92 ± 0.40cde pada minggu ke-9. Rata-rata persentase parasitemia Theileria sp. adalah 1.01%. Tingkat rata-rata persentase parasitemia Theileria sp. ini berada dalam tingkatan rendah (<1%)-sedang (<3%). Infestasi Theileria sp. yang masih tergolong rendah kemungkinan disebabkan Theileria sp. masuk dalam

masa inkubasi, yaitu 1-3 minggu (Soulsby 1982). Pada stadium ini hewan terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Namun demikian, selama sembilan minggu persentase parasitemia Theileria sp. tidak menunjukkan peningkatan yang nyata dan kuda tidak menunjukkan gejala klinis akibat terdapat infestasi Theileria sp.. Tingkat infestasi Theileria sp. yang rendah juga kemungkinan disebabkan oleh sifat penyakit ini yaitu tidak menular melalui kontak langsung. Penularan antara hewan hanya terjadi melalui vektor secara “stage to stage” dimana partikel parasit yang infektif terdapat pada kelenjar ludah caplak. Sehingga bila populasi caplak berkurang maka infestasi juga akan menurun (Taylor et al. 2007).

Persentase parasitemia Babesia sp. berada dalam tingkatan rendah (<1%) dengan rata-rata persentase parasitemia Babesia sp. yaitu 0.68%. Terlihat pada data statistik selama sembilan minggu infestasi Babesia sp. mengalami peningkatan yang tidak begitu nyata dari minggu ke-1 sebesar 0.37 ± 0.40g menjadi 0.68 ± 0.30efg pada minggu ke-9 (Tabel 2). Kemungkinan infestasi Babesia sp. yang masih tergolong rendah ini disebabkan Babesia sp. masuk dalam masa inkubasi, yaitu 1-2 minggu (Soulsby 1982). Pada stadium ini hewan akan terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Namun demikian, selama sembilan minggu Babesia sp. tidak menunjukkan peningkatan persentase parasitemia yang nyata dan kuda tidak menunjukkan gejala klinis akibat terdapat infestasi Babesia sp.. Infestasi Babesia sp. bersifat “self limiting disease”, yang berarti infestasi parasit ini bersifat tidak fatal dan dapat terjadi persembuhan sendiri dengan jangka waktu yang panjang (Taylor et al. 2007).

Persentase parasitemia yang masih rendah dapat disebabkan oleh ketidakrentanan hewan percobaan, infestasi telah berjalan kronis (Altay et al. 2008), atau telah mencapai stadium persembuhan (Bakken et al. 2006). Infestasi yang rendah juga bisa mengindikasikan bahwa kuda bertindak sebagai hewan pembawa. Hewan pembawa merupakan hewan yang pembawa penyakit dan hewan tersebut tidak menunjukkan gejala klinis. Jika hewan peka tertular hewan pembawa ini maka akan timbul gejala klinis yang akan berakibat kematian (Uilenberg 2006).

Kuda Minggu 3 Minggu 5 Minggu 7 Minggu 9 S N J S N J S N J S N J A 37,8 10 48 37,9 9 48 37,8 9 44 37,8 10 48 B 37,7 8 40 37,6 7 40 37,5 8 36 37,6 8 40 C 37,3 7 36 37,1 7 40 37,4 8 36 37.1 7 40 D 37,9 10 48 37,8 9 52 37,8 10 48 37,8 10 48 E 37,4 9 40 37,2 8 40 37,4 8 36 37,4 9 40 F 37,4 9 36 37,4 10 32 37,5 9 36 37,5 9 40 Keterangan : S = Suhu (oC) ; N = Nafas / menit ; J = Denyut Jantung / menit

Terlihat pada Tabel 3 tidak terjadi perubahan status present yang nyata. Status present diteliti sebagai parameter melihat gejala klinis. Menurut Simoes et al. (2011) dan Birkenheuer et al. (2003), gejala klinis dapat terjadi jika tingkatan tingkat parasitemia tinggi, kecuali jika infestasi parasit terjadi secara bersamaan dan saling mempengaruhi parasit dalam darah, tingkat parasitemia yang rendah dapat menimbulkan gejala klinis. Melihat dari tingkat parasitemia (Tabel 1) infestasi Anaplasma sp. memiliki persentase yang paling tinggi dibanding infestasi Theileria sp., dan Babesia sp.. Namun, hal ini bukan merupakan infestasi parasit darah yang terjadi bersamaan dan saling mempengaruhi, karena hewan tidak sampai menimbulkan gejala klinis. Vektor penyebar infestasi Anaplasma sp. yang lebih bervariasi dibandingkan vektor penyebar infestasi Theileria sp., dan Babesia sp. dapat menjadi alasan Anaplasma sp. memiliki persentase yang tinggi. Vektor utama Anaplasmosis adalah caplak famili Ixodidae (caplak keras) (Foley dan Biberstein 2004). Vektor dari Theileriosis dan Babesiosis adalah Rhipicephalus sp., dan Boophilus sp. (Levine 1995;Soulsby 1982).

Tabel 4 Nilai Total Leukosit (per mm3) pada kuda (Equus caballus) Kuda Total Leukosit (per mm3) Minggu Ke-

1 3 5 7 9

A 6450 8150 7300 8000 8850

B 7500 9000 7450 8400 10450

D 11300 7250 11600 9250 7050

E 8950 8600 8500 9000 9350

F 9100 8250 8500 8150 8000

Rata-Rata 9084 8192 8517 8342 8708

Tabel 5 Persentase nilai relatif leukosit pada kuda (Equus caballus) Minggu

Ke-

Jenis Leukosit (% Relatif)

Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit 1 11.17 ± 4.70c 7.50 ± 3.10a 47.83 ± 6.40a 21.33 ± 5.40ab 12.17 ± 1.70a 3 14.17 ± 5.70bc 7.50 ± 2.20a 39.00 ± 3.60b 24.67 ± 4.70a 11.67 ± 3.30a 5 17.83 ± 6.30ab 8.00 ± 0.90a 39.00 ± 6.00b 20.67 ± 3.20ab 14.50 ± 3.70a 7 20.00 ± 3.20a 9.17 ± 1.00a 39.00 ± 3.30b 16.50 ± 1.90b 15.33 ± 1.20a 9 19.83 ± 2.80a 8.50 ± 0.80a 40.50 ± 3.80b 16.17 ± 2.70b 15.00 ± 2.10a Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

berbeda nyata.

Leukopoisis atau proses pembentukan sel darah putih (leukosit) pada mammalia terjadi dari sistem “stem cell” di dalam sumsum tulang (Martini et al. 1992). Menurut Baldy (1984), terjadinya peningkatan leukosit merupakan respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Berdasarkan Tabel 4, terlihat adanya fluktuasi nilai leukosit. Normal keberadaan leukosit di dalam darah kuda sekitar 5000-9000 butir darah leukosit per mm3 (Pinsent 1990). Menurut Baldy (1984), peningkatan leukosit merupakan salah satu respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme termasuk parasit darah.

Pada Tabel 2 dan Tabel 5, dapat terlihat adanya korelasi positif antara persentase parsitemia Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp. dengan persentase nilai leukosit pada kuda (Equus caballus). Setiap kuda mempunyai respons terhadap parasit darah yang berbeda, hal ini terlihat dari persentase nilai leukosit yang memiliki nilai standar deviasi cukup besar. Hasil dari persentase nilai relatif leukosit menunjukkan adanya peningkatan persentase eosinofil dan basofil serta penurunan persentase limfosit dari normal.

Eosinofil mengalami peningkatan persentase (Tabel 5) dari persentase normalnya dalam darah yaitu 0-14% (Douglas et al. 2010). Berdasarkan hasil statistik persentase eosinofil pada minggu ke-1 sebesar 11.17 ± 4.70c dan terus mengalami peningkatan pada minggu-minggu selanjutnya. Eosinofil sangat berperan penting sebagai kontrol terhadap infestasi parasit (Mayer et al. 1992), ini berdasarkan nilai eosinofil (Tabel 5) yang mengalami peningkatan disertai dengan penurunan infestasi parasit darah (Tabel 2).

Persentase basofil (Tabel 5) selama sembilan minggu pengamatan mengalami peningkatan dari persentase normalnya dalam darah yaitu 0-4% (Douglas et al. 2010). Selama sembilan minggu masa pengamatan, persentase basofil berada di atas selang normal dan berdasarkan data statistik tidak terdapat adanya perbedaan nyata pada setiap minggunya. Pada infestasi parasit darah Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp. biasanya diikuti peningkatan persentase basofil dalam darah (Stockham dan Scott 2002). Basofil berperan penting dalam respon alergi yang ditimbulkan oleh antigen (Guyton dan Hall 2006).

Neutrofil berada dalam selang normal 35-75% (Douglas et al. 2010). Sel neutrofil, sebagai garis pertama berperan penting dalam melakukan fagositosis dan mampu untuk membunuh mikroorganisme termasuk parasit darah. Apabila terjadi penurunan jumlah neutrofil dalam darah bisa menunjukkan bahwa suatu infeksi termasuk infestasi parasit darah mulai mereda (Baldy 1984).

Berdasarkan Tabel 5 nilai limfosit terlihat sedikit mengalami penurunan dari persentase normalnya dalam darah yaitu 17-68% (Douglas et al. 2010), hal ini berarti produksi antibodi humoral dan pembentukan pertahanan selular oleh limfosit sedikit menurun (Jain 1993). Penurunan nilai persentase limfosit dari minggu ke-1 sebesar 21.33 ± 5.40ab menjadi 16.17 ± 2.70b pada minggu ke-9, disertai dengan peningkatan nilai persentase parasitemia Theileria sp. dari 0.43 ± 0.20fg pada minggu ke-1 menjadi 0.92 ± 0.40cde pada minggu ke-9. Hal ini terjadi karena pada infestasi Theileria sp. terjadi deplesi limfosit akibat kerusakan pada organ limfoid yang menyebabkan hilangnya sel-sel limfosit muda (Losos 1986).

Monosit merupakan jenis sel darah putih yang berperan aktif terhadap adanya infestasi parasit darah di hewan. Monosit bertugas memfagosit eritrosit

yang rusak akibat terdapatnya infestasi parasit darah (Jain 1993). Terlihat pada Tabel 5 rata-rata nilai monosit berada dalam selang normal 0-14% (Douglas et al. 2010) ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah eritrosit yang rusak akibat infestasi parasit darah hanya sedikit sehingga jumlah monosit dalam keadaan normal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Persentase rata-rata infestasi Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp. ialah 1.05%, 1.01% dan 0.68%. Kuda dengan tingkat parasitemia yang rendah tidak menunjukkan gejala klinis. Infestasi parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.) yang rendah tidak mempengaruhi nilai leukosit.

Saran

Pencegahan penularan penyakit akibat terdapatnya infestasi parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.) dapat dilakukan dengan pengendalian vektor, penanganan, serta penyembuhan kuda yang berperan sebagai hewan pembawa.

PENGARUH INFESTASI PARASIT DARAH (Anaplasma sp.,

Dokumen terkait