• Tidak ada hasil yang ditemukan

Padi dan Karakteristik Pertumbuhannya

Tanaman padi (Oryza Sativa L.) termasuk golongan Gramineae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas dan tumbuh merumpun (Siregar, 1981). Padi dapat ditanam pada tanah tergenang sebagai padi sawah, di tanah darat sebagai padi gogo, dan padi gogo rancah (ditanam sebagai padi gogo kemudian digenangi seperti padi sawah). Bercocok tanam padi sawah secara umum meliputi pembibitan, pengolahan tanah, pemindahan bibit, pemupukan, pemeliharaan dan panen (Taslim et al., 1993).

Padi tumbuh pada lahan basah dan sangat peka terhadap kekurangan air dibandingkan tanaman lain. Faktor kritis dalam produksi padi adalah suplai air dalam tanah baik melalui hujan, sungai, dan kemampuan tanah dalam menjaga air (Greenland, 1997). Secara umum padi memerlukan bulan basah minimal 4 bulan. Bulan basah merupakan bulan yang mempunyai curah hujan >200 mm dan tersebar secara normal atau setiap minggu ada hujan turun sehingga tidak menyebabkan tanaman stres kekeringan. Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman padi berkisar antara 24-29˚C (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008).

Fase pertumbuhan padi dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif ditandai oleh pembentukan anakan aktif, bertambahnya tinggi tanaman, dan daun tumbuh secara teratur. Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya ruas batang, berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Inisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan. Pembungaan (heading) adalah stadia keluarnya malai sedangkan antesis mulai bila benangsari bunga paling ujung dari setiap cabang malai telah keluar. Setelah antesis, gabah mengalami fase pemasakan yang terdiri dari masak susu, masak tepung, menguning dan masak panen. Fase pemasakan juga ditandai dengan menuanya daun dan pertumbuhan biji atau gabah, yaitu bertambahnya ukuran biji, bobot, dan perubahan warna (Taslim et al., 1993).

Pertanian Organik

Pertanian organik merupakan suatu metode produksi yang menggunakan masukan-masukan non sintetik serta lebih menekankan proses biologi dan ekologi untuk memperbaiki kualitas tanah, menjaga kesuburan tanah, dan mengoptimalkan pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) (Treadwell, 2009). Pertanian organik berusaha menghasilkan produksi tanaman secara berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian (Sutanto, 2002).

Pupuk Organik

Pupuk organik didefinisikan sebagai pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah mengalami proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan, 2011). Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).

Karakteristik umum pupuk organik ialah kandungan unsur hara rendah dan bervariasi, penyediaan hara lambat, dan hanya menyediakan hara dalam jumlah terbatas (Sutanto, 2007). Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa, dll) limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).

Pupuk Kandang

Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kadar bahan organik tanah, menyediakan hara mikro, dan memperbaiki struktur tanah (IRRI, 2006). Pupuk

kandang dapat berupa pupuk kandang padat maupun pupuk kandang cair. Pupuk kandang padat merupakan kotoran ternak yang berupa padatan baik sudah dikomposkan atau belum. Sedangkan pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urin hewan (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pupuk kandang ayam relatif lebih cepat terdekomposisi serta mempunyai kadar hara yang cukup jika dibandingkan unit yang sama dengan pupuk kandang lainnya (Widowati et al., 2005). Pupuk kandang sapi merupakan pupuk kandang yang mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa. Kandungan C yang tinggi pada pukan sapi menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian. Penggunaan pupuk kandang sapi agar maksimal harus dilakukan pengomposan terlebih dahulu sampai rasio C/N di bawah 20 (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pupuk Hijau

Tujuan pemberian pupuk hijau adalah untuk meningkatkan kandungan bahan organik dan unsur hara dalam tanah, sehingga terjadi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, yang akhirnya berdampak pada peningkatan produktivitas tanah dan ketahanan tanah terhadap erosi. Sumber pupuk hijau dapat berupa sisa-sisa tanaman (sisa panen) atau tanaman yang ditanam secara khusus sebagai penghasil pupuk hijau atau yang berasal dari tanaman liar (misalnya dari areal di pinggir lahan, jalan atau saluran irigasi). Jenis tanaman yang dijadikan sumber pupuk hijau diutamakan dari jenis legum, karena tanaman ini mempunyai kandungan hara (utamanya nitrogen) yang relatif tinggi dibanding jenis tanaman lainnya. Tanaman non legum sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu (Rachman

et al., 2006)

Jenis pupuk hijau yang pernah digunakan dalam peningkatan padi sawah antara lain Crotalaria usaramuensis dan Crotalaria juncea, Eupatorium pallescems dan Tithonia diversifolia. Pupuk hijau tersebut mempunyai khasiat yang sama terhadap peningkatan produksi padi sawah, yaitu sekitar 1.5-1.8 ton ha-1 gabah lebih tinggi dibanding tanpa pupuk yang hanya memberi hasil 2.5 ton ha-1 (Taslim et al.,1993).

Tithonia diversifolia

Tithonia diversifolia (bunga matahari Meksiko atau paitan) merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi tanah kurang subur. Tanaman ini menyebar hampir di seluruh dunia dan sudah dimanfaatkan sebagai sumber hara N, P, dan K oleh petani di Kenya tetapi pemanfaatannya di Indonesia belum banyak dilakukan. Tithonia diversifolia dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan sumber bahan organik tanah melalui teknik pertanaman lorong atau tanaman pembatas kebun. Tanaman ini berkembang biak secara generatif dan vegetatif, yaitu dari akar dan setek batang atau tunas, sehingga dapat tumbuh cepat setelah dipangkas (Hartatik, 2007).

Penelitian yang dilakukan Kurniansyah (2010) menunjukkan bahwa kombinasi Tithonia diversifolia dengan pupuk kandang memiliki tingkat dekomposisi yang lebih cepat dibandingkan Centrosema pubescens. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan 3.5 ton Tithonia diversifolia

per ha dan 10 ton pupuk kandang ayam per ha mampu meningkatkan tinggi tanaman kedelai rata-rata 11.79 dan 7.99% lebih tinggi dibanding perlakuan pupuk kandang ayam dan Centrosema pubescens. Selain itu, penelitian yang dilakukan Jumro (2011) menunjukkan bahwa residu pupuk organik (Tithonia diversifolia, pupuk kandang ayam, dan Centrosema pubescens) memberikan pengaruh nyata pada bobot basah daun, bobot kering dan jumlah polong isi.

Jerami Padi

Jerami padi terdiri atas daun, pelepah daun, dan ruas atau buku. Ketiga unsur ini relatif kuat karena mengandung silika, dan selulosa tinggi dan pelapukannya memerlukan waktu yang lama. Namun, apabila jerami padi diberi perlakuan tertentu akan mempercepat terjadinya perubahan struktur. Jerami padi menjadi rapuh apabila diberi bakteri perombak bahan organik (Makarim et al., 2007).

Jerami padi merupakan limbah pertanian yang mudah didapatkan petani dan dapat dijadikan kompos sebagai bahan substitusi pupuk pabrik dan lambat terdekomposisi. Di Indonesia, jerami umumnya dibakar atau diangkut keluar lahan untuk menghilangkan kesulitan pengolahan tanah. Menurut Sudaryono

dalam Taslim, et. al. (1993), kehilangan karena panen cukup besar terjadi apabila jerami turut terangkut keluar.

Jerami mengandung banyak hara, termasuk Si dan K. Sebagian besar K yang terserap tanaman padi, yaitu sekitar 80%, tersimpan dalam jerami. Sedangkan menurut Tangendjaja (1991) jerami padi mempunyai kadar abu yang tinggi, dengan silika sebagai bagian terbesar. Penelitian yang dilakukan Sugiyanta, et al. (2008) menunjukkan bahwa penambahan 0.5 dosis pupuk anorganik dan aplikasi jerami menghasilkan serapan unsur hara dan hasil gabah yang sama dengan perlakuan pupuk anorganik dosis rekomendasi.

Dekomposer

Organisme perombak bahan organik atau dekomposer merupakan Organisme perombak nitrogen dan karbon dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati antara lain bakteri, fungi, dan aktinomiset. Adanya aktivitas fauna tanah seperti Colembolla, Acarina dan cacing tanah memudahkan mikroorganisme untuk memanfaatkan bahan organik, sehingga proses mineralisasi berjalan lebih cepat dan penyediaan hara bagi tanaman lebih baik (Saraswati et al., 2006).

Penambahan bahan organik pupuk kandang ayam sebagai dekomposer memberikan pengaruh terbaik terhadap komponen pertumbuhan dan produksi pada tanaman kedelai dibandingkan jerami padi dan Tithonia diversifolia. Akan tetapi tanaman kedelai memberikan respon yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produksinya dengan penambahan dekomposer pupuk hayati dibandingkan pupuk kandang ayam dan cairan pupuk kandang ayam dengan Tithonia diversifolia (Lestari, 2011).

Proses Dekomposisi

Kompos merupakan bahan organik, seperti sisa tanaman maupun kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai (dekomposer) sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Sebelum mengalami proses dekomposisi, sisa hewan atau tumbuhan tidak berguna

bagi tanaman karena unsur hara masih dalam bentuk terikat yang tidak dapat diserap oleh tanaman (Setyorini et al., 2006).

Proses dekomposisi bahan organik berdasarkan produk yang dihasilkan digolongkan menjadi: (1) mineralisasi senyawa-senyawa tidak resisten seperti selulosa, pati, gula dan protein, yang menghasilkan ion-ion hara tersedia, dan (2) humifikasi senyawa-senyawa resisten seperti lignin, resin, minyak dan lemak yang menghasilkan humus. Seiring berjalannya waktu, humus juga akan mengalami mineralisasi (Hanafiah, 2005).

Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan rasio C/N dalam bahan tersebut belum sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (Setyorini et al., 2006).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim tanam kedelai organik, jagung manis, ubi jalar dan diberakan selama beberapa bulan sebelum digunakan untuk percobaan ini. Percobaan dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Maret 2012. Analisis tanah dan analisis jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih padi varietas Ciherang (deskripsi varietas disajikan pada Lampiran 1), pupuk kandang ayam, abu sekam, jerami, hijauan Tithonia diversifolia dan dekomposer (Lampiran 2). Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, bagan warna daun (BWD), kantong kertas, alat budidaya, dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)-Faktorial dengan perlakuan 2 faktor yaitu kombinasi pemupukan dengan penggunaan dekomposer. Faktor pertama adalah jenis pupuk yaitu:

A : 15 ton pupuk kandang ayam per ha dengan penambahan 5 ton Tithonia diversifolia per ha

B : 10 ton pupuk kandang ayam per ha dengan penambahan 5 ton Tithonia diversifolia per ha

C : 10 ton pupuk kandang ayam per ha dengan penambahan 5 ton jerami per ha Faktor kedua adalah penggunaan dekomposer yaitu:

1 : Tanpa aplikasi dekomposer 2 : Dengan aplikasi dekomposer

Kombinasi perlakuan ada 6 dengan 4 kali ulangan, sehingga terdapat 24 unit percobaan dengan ukuran petakan 3 m x 3 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 30 cm x 30 cm dengan 3 bibit padi per lubang. Setiap unit percobaan diambil 10 tanaman contoh.

Model linear:

Yijk = µ + i + j + ( )ij + k + ijk

Yijk : Respon tanaman terhadap jenis pupuk ke-i, penggunaan dekomposer ke-j dan ulangan ke-k

µ : Rataan umum

i : Pengaruh perlakuan jenis pupuk ke-i (i: 1,2,3) j : Pengaruh penggunaan dekomposer ke-j (j: 1,2)

( )ij : Pengaruh interaksi jenis pupuk ke-i dengan penggunaan dekomposer ke-j

k : Pengaruh ulangan ke-k (k: 1,2,3,4)

ijk : Pengaruh galat percobaan terhadap jenis pupuk ke-i, penggunaan dekomposer ke-j, dan ulangan ke k

Data dianalisis dengan sidik ragam, dan apabila perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf kesalahan 5%.

Sebagai perbandingan dilakukan juga penanaman padi dengan perlakuan jerami dengan dosis 15 ton ha-1 dengan pemberian dekomposer, tanpa pemberian dekomposer, dan dengan pupuk kandang 0.4 ton ha-1 yang dicairkan sebagai dekomposer. Perlakuan pembanding bertujuan untuk mengurangi dosis pupuk kandang yang digunakan dengan menambahkan dosis jerami. Ukuran petakan tambahan ini adalah 5 m x 5 m untuk setiap perlakuan pembanding. Khusus untuk membandingkan perlakuan dengan ketiga pembanding, dilakukan uji t-student.

Pelaksanaan

Analisis Tanah Awal

Analisis tanah awal dilakukan terhadap C-organik, pH, N total, P tersedia, dan K tersedia yang contohnya diambil secara komposit.

Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan membersihkan lahan dari gulma empat minggu sebelum tanam bersamaan dengan aplikasi pupuk sesuai perlakuan. Setelah dua minggu dari aplikasi pupuk dilakukan aplikasi dekomposer sesuai perlakuan. Sistem yang digunakan yaitu sistem olah tanah sempurna, tanah dibajak, digaru dan dilumpurkan sampai siap tanam.

Persiapan dan Aplikasi Pupuk Organik

Aplikasi Tithonia diversifolia, jerami dan pupuk kandang dilakukan empat minggu sebelum tanam. Aplikasi pupuk organik dilakukan secara bertahap, yaitu aplikasi pertama pada 5 minggu sebelum pindah tanam dan aplikasi kedua pada saat tanaman berumur 6 MST. Aplikasi kedua dilakukan dengan menambahkan pupuk kandang dilakukan pada semua petak percobaan dengan dosis 5 ton ha-1 dengan cara ditebar. Penambahan pupuk kandang tersebut dilakukan saat terlihat gejala defisiensi hara pada saat tanaman berumur 6 MST.

Bagian tanaman Tithonia diversifolia yang dipilih adalah bagian pucuk tanaman sepanjang ± 30 cm dengan ciri-ciri batang yang masih berwarna hijau. Jerami dan Tithonia diversifolia yang sudah terkumpul dicacah hingga berukuran 5-10 cm kemudian ditabur di petakan bersama dengan pupuk kandang sesuai perlakuan masing-masing.

Aplikasi Dekomposer

Aplikasi dekomposer dilakukan dua minggu setelah aplikasi pupuk organik. Dekomposer dengan dosis 0.05% per bahan baku dilarutkan dalam 5 liter air kemudian disiramkan secara merata pada lahan yang telah diberi aplikasi pupuk organik.

Penanaman

Tiga minggu sebelum penanaman dilakukan penyemaian benih padi dengan cara memasukkan benih ke dalam karung goni dan merendam selama semalam dengan air agar benih dapat berkecambah dengan serentak. Penyemaian benih dilakukan pada bedengan semai. Bibit yang sudah siap tanam (21 HST) dipindahkan ke masing-masing petakan. Bibit ditanam sebanyak 3 tanaman per lubang dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm.

Penyulaman

Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang mati atau pertumbuhannya kurang baik di lahan sawah. Penyulaman dilakukan 1 minggu setelah tanam (MST) dengan umur bibit yang sama.

Pemeliharaan

Selama masa pertumbuhan tanaman, pengaturan air menjadi perhatian utama dan penyiangan dilakukan sesuai keperluan. Irigasi menggunakan air sungai yang terlebih dahulu melalui petak kecil berisi eceng gondok (Gambar 2). Penyemprotan pestisida nabati dan agen hayati dilakukan secara terbatas disesuaikan dengan serangan OPT yang muncul.

Gambar 1. Air yang dialirkan melalui petakan kecil berisi eceng gondok.

Pengamatan

Kondisi tanah dan karakter agronomi tanaman yang diamati tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 1. Komponen-komponen pengamatan

No Peubah Satuan Waktu Cara

1 Analisis Tanah awal (C-

organik, pH, N total, P tersedia, dan K tersedia)

% Sebelum

aplikasi pupuk

Analisis satu sampel tanah secara komposit

2 Analisis Pupuk Kandang % Sebelum

aplikasi pupuk

menganalisis hara makro dan mikro pupuk kandang di laboratorium

3 Kondisi umum tanaman Setiap

minggu

Mengamati kondisi tanaman, lingkungan, dan serangan hama dan penyakit

A. Fase Vegetatif

4 Tinggi tanaman cm Setiap

minggu (3-8 MST)

Mengukur tinggi pada 10 tanaman contoh dari pangkal sampai pucuk daun.

5 Jumlah anakan per rumpun Setiap

minggu (3-8 MST)

Menghitung jumlah anakan dalam satu rumpun

6 Warna Daun Setiap

minggu (3-8 MST)

Membandingkan warna daun dengan BWD

7 Panjang akar cm 8 MST Mengukur panjang akar dari

ujung hingga batas batas tajuk

8 Pengamatan bobot kering

biomassa akar dan tajuk

g 8 MST Menimbang

9 Analisis kadar hara dalam

tanaman

% 8 MST Menganalisis tanaman saat

vegetatif maksimum

B. Pengamatan Komponen Hasil

10 Jumlah anakan produktif 14 MST Menghitung jumlah anakan

yang menghasilkan malai pada tiap rumpun

11 Panjang malai cm 14 MST Mengukur malai dari ujung

hingga ke pangkal malai

12 Jumlah malai 14 MST Menghitung jumlah malai

dalam satu rumpun

13 Bobot basah dan bobot

kering gabah per tanaman

g 14 MST Menimbang bobot gabah dari

masing-masing tanaman contoh

14 Persentase gabah isi dan

gabah hampa

% 14 MST Dihitung dari persentase

gabah sebanyak 100 g yang diambil dari setiap tanaman contoh

Lanjutan... (Tabel 2)

No Karakter agronomi Satuan Waktu Cara

15 Bobot 1000 butir g 14 MST Dihitung dari jumlah 1000

butir gabah isi

16 Bobot basah dan kering

gabah petakan bersih

g 14 MST Dihitung dari hasil tanaman

tengah dengan luasan 7.29m-2

17 Produktivitas (GKG) ton

ha-1

14 MST Hasil konversi bobot kering

gabah per petak bersih (g 7.29m-2) ke dalam luasan hektar ( ton ha-1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Cikarawang, Dramaga, Bogor dimulai bulan November 2011 hingga Maret 2012. Curah hujan tiap bulannya berkisar antara 136-548.9 mm adalah dan mencapai puncaknya saat tanaman berumur 11 MST (Gambar 1). Suhu rata-rata selama penelitian berlangsung yaitu 25.8°C dengan intensitas penyinaran rata-rata 330.92 Cal cm-2 (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan suhu yang optimum untuk pertumbuhan tanman padi berkisar antara 24-29°C (Pusat Penyuluhan Pertanian, 2011).

Gambar 2. Curah hujan selama penelitian berlangsung

Tabel 2. Data suhu, kelembaban udara, lama penyinaran dan intensitas penyinaran matahari di wilayah dramaga bulan November 2011-Maret 2012

Bulan Suhu Kelembaban Udara Penyinaran Matahari Lama Intensitas (°C) (%) (%) (Cal cm-2) November 2011 26.2 80 56 457.7 Desember 2011 26.1 84 44 344.6 Januari 2012 25.1 86 28 224.0 Februari 2012 25.6 87 57 318.3 Maret 2012 26.2 80 55 310.0

Bibit tanaman padi dipindah tanam pada saat bibit berumur 21 hari setelah semai dengan tiga bibit per lubang tanam. Penyulaman dilakukan saat tanaman berumur 1-3 Minggu Setelah Tanam (MST) karena serangan hama keong mas (Pomacea canaliculata L.) (Gambar 3.a). Upaya pengendalian yang dilakukan antara lain secara fisik dengan memasang kawat saring berukuran 1 cm2 pada saluran masuk air, secara mekanis dengan memungut keong dan membuang telur- telurnya, dan secara kultur teknis dengan mengeringkan dan menggenangi sawah secara berkesinambungan.

Saat fase vegetatif, muncul hama putih Nymphula depunctalis (Guenée) yang ditandai dengan bentuk daun seperti tergunting. Hama belalang menyerang tanaman selama masa pertumbuhan hingga masa pengisian gabah. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan insektisida nabati larutan daun gamal secara berkala dua kali dalam seminggu.

(a) (b)

Gambar 3. Hama yang menyerang tanaman padi selama penelitian berlangsung

(a) Pomacea canaliculataL dan (b) Leptocorisa oratorius

Saat tanaman berumur 6 MST, tampak gejala defisiensi hara pada semua perlakuan tanaman padi di lahan percobaan sehingga dilakukan penambahan pupuk kandang dengan dosis 5 ton ha-1 yang diaplikasikan pada semua petak percobaan. Dua minggu setelah aplikasi, tampak perbedaan warna daun dari warna semula. Saat tanaman berumur 7 MST, seluruh tanaman padi pada lahan penelitian terkena serangan hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) atau penyakit kresek yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. oryzae. Pengendalian dilakukan segera setelah diketahui terkena serangan dengan

menyemprotkan agen hayati Corrynebacterium dengan konsentrasi 5 cc L-1 air sebanyak dua kali penyemprotan yaitu pada 8 MST dan 9 MST.

Saat pertumbuhan vegetatif maksimum hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) mulai menyerang seluruh tanaman (Gambar 3.b). Hama ini menghisap cairan saat masa pengisian sehingga proses pengisian terhambat bahkan beberapa menjadi hampa. Gabah yang telah dihisap walang sangit akan berubah menjadi cokelat kehitaman dan semakin tampak ketika gabah semakin mendekati umur panen. Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan insektisida nabati larutan jengkol dua kali dalam seminggu.

Burung menyerang tanaman padi pada fase matang susu sampai pemasakan gabah (sebelum panen). Serangan ini mengakibatkan biji hampa, dan banyak gabah yang hilang (Pusat Penyuluhan Pertanian, 2011). Pengendalian serangan burung dilakukan dengan memasang jaring pada lokasi penelitian untuk menekan kehilangan hasil.

Hama lain yang cukup berpengaruh terhadap hasil adalah dan penggerek batang yang gejalanya disebut beluk karena terjadi pada fase generatif. Penanaman dilakukan pada rentang bulan Desember-Januari dimana suhu, kelembaban dan curah hujan pada bulan tersebut sangat cocok bagi perkembangan penggerek batang (Pusat Penyuluhan Pertanian, 2011). Rata-rata suhu, kelembaban dan curah hujan pada kedua bulan tersebut berturut-turut adalah 25.6°C, 85% dan 308.3 mm.

Hasil Analisis Tanah Awal

Hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian menunjukkan pH tanah netral (6.60). Tingkat kemasaman (pH) tanah penting karena organisme tanah dan tanaman sangat responsif terhadap sifat kimia di lingkungannya (Handayanto dan Hairiah, 2007). Komposisi kandungan liat 54.48%, kandungan debu 35.58%, dan kandungan pasir 9.94%. Kandungan C-organik dan N-Totalnya rendah, yaitu sebesar 1.76% dan 0.18% sehingga C/N rasionya juga terbilang rendah (9.77). Nilai kejenuhan basa sebesar 88.49% tergolong sangat tinggi dan nilai KTK tanah sebesar 19.38 me 100g-1 masih tergolong sedang.

Tabel 3. Sifat kimia tanah awal di lokasi penelitian KP Cikarawang

Karakter Metode Satuan Nilai Kriteria*)

pH 1:1 H 2O 6.60 Netral

C-organik Walkley & Black % 1.76 Rendah

N-total Kjeldhal % 0.18 Rendah

P Bray I ppm 6.7 Rendah Ca N NH 4Oac pH 7.0 me 100g-1 12.52 Tinggi Mg me 100g-1 3.08 Tinggi K me 100g-1 0.89 Tinggi Na me 100g-1 0.66 Sedang KTK me 100g-1 19.38 Sedang

Kejenuhan Basa % 88.49 Sangat Tinggi

Al N KCl me 100g-1 Tr -

Pasir % 9.94 Berliat (halus) **)

Debu % 35.58 Liat % 54.48 Fe 0.05 N HCl ppm 0.20 Defisiensi Cu ppm 0.44 Cukup Zn ppm 6.04 Cukup Mn ppm 61.60 Sangat tinggi

Keterangan: Tr: tidak terukur, *)Balittan (2005), **) berdasarkan segitiga tekstur (Hardjowigeno, 2007)

Analisis Kandungan Hara Pupuk Organik

Hasil analisis sumber pupuk organik yang digunakan menunjukkan adanya perbedaan keunggulan kandungan hara pada masing-masing sumber pupuk, terutama pada kandungan hara N, P, dan K. Pupuk kandang ayam unggul dalam kandungan hara P, sedangkan pupuk dari hijauan Tithonia diversifolia unggul dalam kandungan hara K dan N (Tabel 4). Jerami memiliki kandungan hara K lebih tinggi dari pada pupuk kandang meskipun kandungannya tidak setinggi

Tithonia diversifolia.

Masing-masing pupuk memiliki masa dekomposisi yang berbeda. Dekomposisi Tithonia diversifolia lebih cepat dibandingkan pupuk kandang ayam

Dokumen terkait