• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Sagu

Sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu jenis tanam pangan non biji yang telah cukup banyak dikenal oleh penduduk Indonesia terutama di kawasan yang memiliki sedikit sawah. Beberapa daerah di Maluku telah mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang potensial di Indonesia. Tanaman sagu dapat digunakan untuk penganeka-ragaman pangan sesuai dengan INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu merupakan sumber karbohidrat penting di Indonesia dan menempati urutan ke 4 setelah ubikayu, jagung dan ubi jalar (Lestari et al., 2010)

Sagu termasuk dalam jenis tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae. Tanaman sagu termasuk dalam genus Metroxylon yang secara garis besar di-golongkan menjadi dua yaitu: tanaman sagu yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic) yang memiliki nilai ekonomis penting, karena kandungan patinya lebih banyak (Bintoro et al., 2010)

Pada tanaman sagu, pati terdapat pada bagian batang, dibagian dalam batang terdapat empulur yang kemudian pada bagian tersebut diperoleh pati sagu. Tanaman sagu memiliki kandungan jumlah pati yang cukup banyak. Jika dihitung jumlah pati yang dapat sagu hasilkan, maka akan terlihat perbandingan yang cukup besar antara jumlah pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu satu hektar dengan tanaman jagung atau padi satu hektar. Pati yang terdapat dalam satu batang sagu berkisar 200-400 kg (umur panen sagu 12-15 tahun). Beberapa peneliti Jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati hingga 800-900 kg/batang sagu. Schuilling (2009) menyebutkan pati sagu terdiri atas 27% amilosa dan 73% amilopeptin. Pati kering sagu dari beberapa jenis sagu di Indonesia mengandung 10-17% air, 0.31% protein, 0.11-0.25% lemak, 81-88% karbohidrat, 1.35% serat, 0.15-0.28% abu (Schuilling, 2009).

Pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu sangat bergantung pada teknik pengolahan pasca panennya. Penelitian yang dilakukan oleh Yamamoto et al. (2008) mengestimasi hasil pati tanaman sagu per hektare per tahun yang diolah

dengan teknik tradisional antara 2.8 hingga 6.6 ton/ha/tahun, sedang dengan analisis kimia antara 5.9 hingga 13.7 ton/ha/tahun (populasi 100 tanaman/ha).

Pertumbuhan Tanaman Sagu

Tanaman sagu merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan meng-gunakan anakan. Dalam satu pohon sagu mampu menghasilkan anakan yang cu-kup banyak. Pada umur 4-5 tahun anakan sagu mulai membentuk batang, kemu-dian pada sekitar batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang berkembang menjadi anakan (sucker) (Bintoro, 2008). Flach (1983) menyebutkan, pada kon-disi tanaman yang baik setiap 3-4 tahun dua anakan akan berkembang menjadi pohon.

Seperti tumbuhan pada umumnya, tanaman sagu melalui periode per-tumbuhan vegetatif dan generatif. Schuilling (2009) menuliskan fase pertumbuh-an tpertumbuh-anampertumbuh-an sagu dari biji hingga fase dewasa yaitu dimulai dari fase embrio (embryonic phase), perkecambahan (seedling phase), pembentukan batang (establishment phase), fase vegetatif dewasa (adult vegetative phase), dan fase generatif (generativephase). Fase pertumbuhan tanaman sagu tidak berbeda jauh dengan fase pertumbuhan pada tanaman di keluarga Palmae pada umumnya. Secara rinci fase pertumbuhan tanaman sagu dimulai dari periode vegetatif yang diawali dengan fase pertumbuhan anakan atau semaian, selanjutnya memasuki fase sapihan yaitu telah muncul sistem perakaran pada anakannya. Fase selanjut-nya adalah fase pertumbuhan yang biasa disebut dengan fase tiang yaitu anakan telah tumbuh mandiri dan telah membentuk pelepah daun yang keras. Setelah melewati fase tiang, tanaman sagu mulai membentuk batang, fase tersebut di-namakan fase pohon. Pada fase pohon, tanaman sagu telah memiliki tinggi ≥5 m.

Fase pohon menjadi batas antara periode vegetatif dengan periode genera-tif. Pada awal periode generatif dimulai dengan fase masak tebang, selanjutnya tanaman sagu akan melalui fase putus duri, yang pada saat tersebut sebagian duri pada pelepah daun telah lenyap. Fase berikutnya adalah fase daun pendek “maputi”. Pada fase tersebut tanaman sagu sudah siap untuk dipanen batangnya. Beberapa fase berikutnya adalah fase jantung “maputi masa”, sirih buah, dan ter

-akhir fase lewat masak tebang, yang pada saat tersebut tanaman sagu melewati masa pembentukan bunga hingga berbuah dan mati.

Penanaman Sagu

Sebelum dilakukan penanaman sagu di lapangan, bibit sagu disemai terlebih dahulu. Persemaian dilakukan selama 3 bulan dan dilakukan di kanal dengan menggunakan rakit yang terbuat dari pelepah sagu atau rangka bambu. Sebelum dilakukan persemaian, bibit sagu dipangkas daunnya terlebih dahulu hingga menyisakan setengah dari panjang daun. Pemangkasan berfungsi untuk menekan laju evaporasi dan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya akan menjadi daun. Selain itu bibit perlu dicelupkan ke dalam larutan fungisida untuk mencegah timbulnya cendawan selama persemaian.

Setelah 3 bulan di persemaian bibit diangkut dan dipindahkan ke lapangan tempat dilakukannya penanaman. Sebelum penanaman di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pengajiran. Pengajiran tersebut dimaksud untuk menandai tem-pat dibuatnya lubang tanam beserta penentuan jarak tanam. Jarak tanam antar ajir 10 m x 10 m bila pada kebun diusahakan sistem tanam monokultur, tetapi bila di-usahakan dengan sistem tanam tumpang sari jarak tanam yang digunakan antar ajir 10 m x 15 m (Bintoro, 2008).

Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm, tetapi kedalaman lubang tanam yang ideal adalah ketika lubang tanam telah menncapai permukaan air tanah. Kedalaman maksimum dari lubang tanam kurang lebih 60 cm.

Bibit sagu segera ditanam setelah selesai pembuatan lubang, pada bagian rhizome yang dipotong harus ditutup dengan tanah agar tidak terkena serangan hama dan penyakit. Daun yang baru tumbuh juga pucuk daun dipotong agar tidak terjadi kerusakan atau patah. Abut yang telah ditanam diberikan dua potong kayu yang berfungsi sebagai penguat abut agar tidak hanyut bila terjadi penggenangan.

Daun dan Fungsinya

Daun merupakan salah satu organ yang dimiliki tanaman yang bermanfaat untuk melakukan sebagian besar kegiatan pengubahan ikatan-ikatan kimia

sehing-ga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Daun memiliki stomata dan klorofil yang berfungsi saat daun akan melakukan fotosintesis. Klorofil atau biasa disebut dengan zat hijau daun, menjadi bagian dari daun yang menyerap radiasi matahari. Penyerapan radiasi matahari sebagian besar diinvestasikan pada awal pertumbuh-an tpertumbuh-anampertumbuh-an dalam bentuk penambahpertumbuh-an luas daun, ypertumbuh-ang mengakibatkpertumbuh-an tpertumbuh-anampertumbuh-an dapat lebih efisien menyerap radiasi matahari (Gardner etal., 2008).

Perkembangan luas daun pada tanaman budidaya menyebabkan peningkat-an penyerappeningkat-an cahaya oleh daun (Gardner etal., 2008). Penyerapan radiasi terse-but dipengaruhi oleh indeks luas daun pada tanaman (leafareaindex). Indeks luas daun menunjukkan rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang ditempati oleh tanaman budidaya. Daun menyerap cahaya matahari secara langsung maupun tidak langsung. Daun-daun sebelah atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi, sedangkan daun-daun yang lebih bawah dalam tajuk menerima sebagian kecil radiasi langsung. Radiasi tidak langsung diterima oleh daun dari radiasi yang dipancarkan melalui daun-daun dan direfleksikan dari tanaman serta permukaan tanah.

Daun juga menjadi salah satu pintu keluarnya air dari dalam tanaman, yaitu melalui proses transpirasi. Transpirasi merupakan proses penguapan air yang terjadi pada tumbuhan disiang hari. Transpirasi melalui daun terjadi apabila air berdifusi melalui stomata. Perbedaan potensial air di dalam dan di luar lubang stomata akan meningkat dan difusi air bersih dari daun juga akan meningkat. Proses tersebut terjadi apabila aliran udara menghembuskan udara lembab di permukaan daun. Daun menjadi faktor terbesar terjadinya transpirasi, beberapa pengaruh daun terhadap laju transpirasi yaitu: penutupan stomata, jumlah dan ukuran stomata, jumlah daun, dan penggulungan atau pelipatan daun, kedalaman dan proliferasi akar (Gardner etal., 2008).

Dokumen terkait