• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Debu

2.2.1. Pengertian Debu

Debu yaitu partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya (Suma’mur, 1996).

Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara

(suspended particulate metter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996).

Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan (Pudjiastuti, 2002).

2.2.2. Konsentrasi Debu di Lingkungan (Udara Ambient)

Konsentrasi debu pada udara ambient di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan Surat Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10 mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi total suspended solid (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA sebesar 230 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3

2.2.3. Pencemaran Udara oleh Partikulat (Debu)

untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004 dalam Putranto, 2007).

Partikel menurut WHO seperti yang dikutip oleh Purwana (1992) adalah sejumlah benda padat atau cair dalam bermacam-macam ukuran, jenis dan bentuk

yang tersebar dari sumber-sumber antropogenik dan sumber alam.Partikel di atmosfer dalam bentuk suspense, yang terdiri atas partikel-partikel padat dan cair. Ukuran partikel dari 100 mikron hingga kurang daari 0,01 mikron. Terdapat hubungan antara partikel polutan dengan sumbernya (Fardiaz 1992).

Dampak kesehatan utama dari pemajanan debu adalah penyakit Asma dan penyakit Saluran Pernapasan lainnya, batuk dan naiknya mortalitas tergantung kepada konsentrasi dari sifat fisik debu itu sendiri. Polutan debu masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernapasan,oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terutama terjadi pada system saluran pernapasan. Faktor yang paling berpengaruh adalah ukuran partikel, karena ukuran ini menentukan seberapa jauh penetrasi ke dalam system pernapasan (Fardiaz, 1992).

Partikel-partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting yaitu: partikel tersebut mungkin beracun karena sifat kimia dan fisiknya, partikel tersebut mungkin inert tetapi mengganggu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya dan partikel tersebut mungkin dapat membawa gas-gas berbahaya.

Mekanisme yang mungkin dapat menerangkan mengapa debu dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan adalah dengan makin banyaknya pemajanan debu maka cilia akan terus-menerus mengeluarkan debu tersebut sehingga lama-kelamaan cilia teriritasi dan tidak peka lagi, sehingga debu akan lebih mudah masuk. Selain itu yang terpenting orang tersebut akan rentan terhadap infeksi saluran

pernapasan lainnya. Kasus penyakit yang banyak dilaporkan dan berhubungan dengan debu adalah bronchitis kronis dan emphysema.

Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan. Menurut Pudjiastuti (2002), selain dapat membahayakan terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran.

2.2.4. Efek Debu terhadap Kesehatan

Bahaya debu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel apabila masuk ke dalam organ pernafasan manusia maka dapat menimbulkan penyakit khususnya berupa gangguan sistem pernafasan yang ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan umum.

Pekerja yang terpapar debu secara kontinu pada usia 15 sampai dengan 25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun timbul batuk produktif, usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak hipoksemia, usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernafasan dan kematian (Triatmo, 2006).

Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat dijelaskan sebagai berikut: debu diinhalasi dalam partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap, debu yang berukuran antara 5-10 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian atas, debu yang berukuran 3-5 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian tengah, debu yang berukuran

1-3 μ disebut respirabel, merupakan ukuran yang paling bahaya, karena akan tertahan dan tertimbun mulai dari bronchiolus terminalis sampai hinggap di permukaan

alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru. Sedangkan debu yang berukuran 0,1-1 μ melayang di permukaan alveoli (Pudjiastuti, 2002).

Menurut Pope (2003), mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan berbagai cara:

1. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran nafas karena gaya gravitasi.

2. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan yang kecil.

3. Brown difusionyang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik.

4. Elektrostatic terjadi karena saluran nafas dilapisi mukus, yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik.

5. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan.

Tidak semua partikel yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di paru. Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan karakterisrik debu sendiri yang meliputi jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.

2.2.5. Jenis Debu

Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. Suma’mur(1996) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik

dan anorganik.

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru. Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel dengan diameter 0,5-0,1 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai

alveoli. Partikel berdiameter 0,5-0,1 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumokoniosis (Malaka, 1996).Partikel debu yang berdiameter > 10 μ

yang disebut coarse particle merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara (pope, 2003).

2.2.6. Konsentrasi Partikel Debu dan Lama Paparan

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya

2.2.7. Mekanisme Timbulnya Debu dalam Paru-Paru

a. Mekanisme timbulnya debu dalam paru, menurut Putranto (2007): 1) Kelembaban dari debu yang bergerak (inertia)

Pada waktu udara membelok ketika jalan pernafasan yang tidak lurus, partikel-partikel debu yang bermasa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk selaput lendir dan hinggap di paru-paru.

2) Pengendapan (Sedimentasi)

Pada bronchioli kecepatan udara pernafasan sangat kurang, kira-kira 1 cm per detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu dan mengendapnya.

3) Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 μ, partikel-partikel tersebut membentuk permukaan alveoli dan tertimbun di paru-paru.

b. Jalan masuk dalam tubuh, menurut Putranto (2007):

1) Inhalation adalah jalan masuk(rute) yang paling signifikan di mana substansi yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan dapat menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis.

2) Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi kulit dimana ada yang tidak menyebabkan perubahan berat pada kulit, tetapi menyebabkan kerusakan serius pada kulit.

2.2.8. Jarak Industri dengan Pemukiman

Berkembangnya suatu Kawasan Industri tidak terlepas dari pemilihan lokasi kawasan industri yang dikembangkan, karena sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel diwilayah lokasi kawasan. Selain itu dikembangkannya suatu Kawasan Industri juga akan memberikan dampak terhadap beberapa fungsi di sekitar lokasi kawasan. Oleh sebab itu, beberapa kriteria menjadi pertimbangan di dalam pemilihan lokasi Kawasan Industri, salah satu diantaranya adalah jarak terhadap Pemukiman.

Pertimbangan jarak terhadap pemukiman bagi pemilihan lokasi kegiatan industri, pada prinsipnya memiliki dua tujuan pokok, yaitu:

1. Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan aspek pemasaran produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkannya adanya kebutuhan tambahan akan perumahan sebagai akibat dari pembangunan kawasan industri. Dalam kaitannya dengan jarak terhadap pemukiman disini harus mempertimbangkan masalah pertumbuhan perumahan, dimana sering terjadi areal tanah disekitar lokasi industry menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak antara perumahan dengan kegiatan industri.

2. Berdampak negatif karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan limbah yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.

3. Jarak terhadap pemukiman yang ideal minimal 2 (dua) Km dari lokasi kegiatan industri (Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No: 35/M- IND/PER/3/2010).

Dokumen terkait