• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Hutan Mangrove

Hutan mangrove mempunyai karakteristik yang unik dengan berbagai sistem perakaran maupun fungsi ekologis yang dikandungnya. Menurut Bengen (1999), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi mayor umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai - pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.

Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yaitu substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove (Kordi, 2012).

Luas dan Penyebaran Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di daerah pantai dan merupakan jalur hijau. Menurut Arief (2003) hutan mangrove terdapat pada teluk, delta, muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman

dari garis pantai. Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh pulau di Indonesia, dengan luas sangat bervariasi tergantung pada kondisi fisik maupun iklim yang terdapat pada pulau. Namun hutan mangrove lebih berkembang di 5 pulau, yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Irian Jaya. Di pulau-pulau lain hutan mangrove kurang berkembang dan kalaupun ditemukan daerahnya tidak begitu luas.

Saat ini hutan mangrove di dunia hanya tersisa sekitar 17 juta hektar, dan 22% dari luas tersebut terdapat di kawasan Indonesia. Namun luas hutan mangrove mengalami penurunan, bahkan sebagian besar telah berubah status peruntukannya (fungsi) oleh masyarakat setempat maupun pihak lain yang berada di sekitar kawasan pantai. Bila dilihat kondisi sekarang, luas hutan mangrove saat ini sekitar 3,6 juta hektar, hutan ini merupakan kawasan yang memiliki flora dan fauna yang spesifik dengan biodiversitas (keanekaragaman jenis) yang tinggi, serta lebih didominasi oleh semak belukar dan tanaman bakau yang lebih spesifik (Arief, 2003).

Berdasarkan hasil analisis BPHM-II Tahun 2011 bahwa kawasan potensi mangrove di wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara adalah seluas 158.637,20 Ha, dengan kondisi tidak rusak seluas 27.916,52 Ha (17,60%), kondisi rusak seluas 76.345,76 Ha (48,13%) dan kondisi rusak berat seluas 54.372,92 Ha (34,28%). Kondisi kerusakan pada kawasan potensi mangrove yang terjadi dilapangan diakibatkan oleh pemanfaatan kawasan potensi mangrove untuk pemanfaatan atau peruntukkan lain seperti pemukiman, perkebunan, pertanian, sawah, tambak, semak belukar dan lainnya. Luasan hutan mangrove di Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Luasan hutan mangrove wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara No Kabupaten/Kota Kondisi (Ha) Total (Ha)

Rusak Rusak Berat Tidak Rusak

1 Kab. Asahan 7,506.74 940.17 2,624.64 11,071.55 2 Kab. Batubara 12,561.10 6,553.64 517.29 19,632.04 3 Kab. Deli Serdang 8,170.84 6,300.91 3,326.83 17,798.58 4. Kab. Labuhan Batu 8,383.39 7,181.19 4,099.15 19,663.73

5 Kab. Labuhan Batu Utara

10,129.05 11,834.45 2,817.40 24,780.90 6 Kab. Langkat 23,564.93 13,526.90 13,559.11 50,650.93 7 Kab. Serdang Bedagai 4,524.05 7,962.99 508.22 12,995.25 8 Kota Medan 1,503.43 - 463.89 1,967.32 9 Kota Tanjung Balai 2.22 74.69 - 76.91

Jumlah Keseluruhan 76,345.76 54,374.92 27,916.52 158,637.20 Sumber : Hasil analisis BPHM-II Tahun 2011

Dari data yang diperoleh, dapat dipastikan bahwa keadaan hutan mangrove di wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara sangat memprihatinkan. Hal ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa telah terjadi suatu tekanan atau kerusakan pada hutan mangrove. Adapun bentuk tekanan terhadap kawasan mangrove yang paling besar adalah pengalih-fungsian (konversi) lahan mangrove menjadi tambak udang dan ikan, sekaligus pemanfaatan kayunya untuk diperdagangkan. Selain itu juga tumbuh berbagai konflik akibat berbagai kepentingan antar lintas instansi sektoral maupun antar lintas wilayah administratif yang mempengaruhi kondisi maupun luas kawasan mangrove itu sendiri (Sumber: Hasil analisis BPHM-II Tahun 2011).

Selain adanya pengalihfungsian kawasan mangrove, masalah yang paling disorot pada sektor kehutanan adalah program konservasi (pengelolaan kawasan

lindung). Program konservasi kawasan hutan kurang mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah sendiri. Akibat eksploitasi hutan yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir ini membuat kondisi hutan mangrove menjadi rusak. Dalam situasi ini, konservasi merupakan jalan keluar yang paling rasional untuk menyelamatkan eksistensi hutan di masa depan. Namun implementasi konservasi tidaklah segampang merumuskan konsepnya. Indikasi dari kesulitan pelaksanaan konservasi adalah banyaknya konflik yang muncul antara masyarakat lokal dengan pengelola kawasan konservasi (Yustika, 2005).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Hutan mangrove dengan vegetasi hutan bakau memiliki peranan yang tidak dapat tergantikan dengan ekosistem lain, yaitu kedudukan sebagai mata rantai yang mengaitkan ekosistem laut dan ekosistem darat (Saraswati, 2004).

Tambak merupakan salah satu wujud manipulasi dari ekosistem laut yang ditempatkan pada ekosistem darat. Dengan membiarkan keberadaan pohon bakau dalam tambak, maka keseimbangan antara kedua ekosistem tersebut dapat dipertahankan. Selain itu, secara umum menurut Proctor (1983) diacu oleh Purnamawati (2007) mengatakan bahwa pohon bakau memiliki fungsi yang sangat penting dalam daur ulang nutrient bagi ekosistem yang ada di sekitarnya. Serasah atau litterfall (guguran daun, ranting, kulit batang, bunga, buah, dan biji) pohon bakau dapat menjadi substrat dan pakan bagi biota maupun bakteria di sekitarnya. Sedangkan sistem perakarannya berfungsi sebagai substrat bagi partikel-partikel tersuspensi dan terkoloid di sekitarnya.

Penanaman pohon bakau pada tambak akan sangat berguna dalam proses dekomposisi dan suplai oksigen pada tambak. Serasah bakau yang telah diuraikan

oleh jamur dan bakteri akan berubah menjadi komponen-komponen bahan organik (zat hara) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh plankton maupun pohon bakau itu sendiri dalam proses fotosintesis Naamin (1990) diacu oleh Purnamawati (2007).

Dari segi ekosistem perairan, hutan mangrove mempunyai arti yang penting karena memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Dengan bantuan mikroorganisme, mangrove yang gugur diuraikan menjadi partikel-partikel detritus yang selanjutnya menjadi makanan bagi biota sekitarnya. Selain itu bahan organik yang terlarut yang dihasilkan dari proses dekomposisi dapat menjadi makanan bagi organisme penyaring (filter feeder) dan pemakan hewan dasar (bottom feeder) yang ada dilaut maupun esturia. Dengan sistem perakaran yang ada, luasnya naungan dan banyaknya bahan organik, menyebabkan hutan mangrove menjadi tempat pemijahan (spawning ground), daerah berkembang biak (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) dari berbagai jenis ikan, udang, dan berbagai jenis kerang. Selanjutnya dinyatakan, sistem perakaran yang kekal seperti ini menyebabkan mangrove mampu mereda pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindung pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan (Purnamawanti, 2007).

Tambak Silvofishery

Dalam upaya pemanfaatan hutan mangrove untuk kesejahteraan masyarakat yang sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove. Departemen Kehutanan telah memperkenalkan suatu pola pemanfaatan yang disebut “silvofishery” dengan bentuk tumpangsari. Pola ini merupakan kombinasi antara tambak dengan tanaman mangrove. Pola ini dianggap paling cocok untuk

pemanfaatan hutan mangrove saat ini, dengan harapan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian hutan mangrove (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Menurut Sualia dkk (2010) Silvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri atas dua kata yaitu “silvo” yang berarti hutan atau pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Pada dasarnya prinsip tambak silvofishery atau tambak tumpang sari adalah perlindungan tanaman hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan dan kehutanan. Sistem tambak silvofisheryatau tambak tumpang sari merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, dimana petani dapat memanfaatkan lahan hutan dengan tambak pada sistem silvofishery yang seiring dengan perkembangan dan pengelolaan dalam upaya menjaga kualitas dan kegunaan tanaman mangrove serta meningkatkan kelestarian dan meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir, maka muncul tambak-tambak silvofishery yang bervariasi yang mengikuti pola vegetasi hutan mangrove sehingga memiliki kelebihan tersendiri didalam pola berbudidaya dari setiap masing-masing tipe. Menurut Kordi (2012) tipe-tipe tambak silvofishery tersebut adalah sebagai berikut:

a) Tambak parit atau empang parit, merupakan model tambak umum dan paling awal dikembangkan, sehingga dikenal juga tambak parit tradisional. Pada model ini, tanaman mangrove berada di dalam tambak, sedangkan petak budidaya (ikan, udang, dan lain-lain) berupa parit yang mengelilingi tanaman mangrove. Bentuk tambak silvofishery parit atau empang parit dapat dilihat pada Gambar 2.

b) Tamba dengan budida tambak Gam Keteranga pemasuka b = pemat Gambar 2. ak komplan n tambak, d aya, atau 8 k silvofishe mbar 3. Sket an : a1 = pin an air ke pe tang antara/p Sketsa tam ngan. Pada dengan perb 80% tanama ery komplan tsa tambak a ntu pemasuk etak tanama pembatas, c mbak akua-fo a tambak bandingan 6 an mangrov ngan dapat d akua-forestr kan air ke p an mangrove c = tumbuha orestri mode ini tanama 60% tanama ve dan 20% dilihat pada ri model kom petak pemeli e. an mangrov el parit (Ko an mangrov an mangrove % petak bu a Gambar 3. mplangan ( iharaan, a2 ve, d = petak ordi, 2012) ve bersebe e dan 40% udidaya. B . (Kordi, 2012 = pintu k pemelihar elahan petak entuk 2) raan.

c) Tamba berbar tanama pada G Keteranga antara/pem d) Tamba pinggi dalam Gamba Ga ak Kao-kao ris di dalam an mangrov Gambar 4. Gambar 4. an : a1 = pin mbatas, c = ak parit terb ir bagian d pematang. ar 5. ambar 5. Ta o. Pada tam m petak tam ve tersebut. Tambak ak ntu pemasuk tumbuhan m buka. Pada dalam tamb Bentuk tam ambak akua-b  a 1  mbak ini, tu mbak, sedan Bentuk tam kua-forestri kan air ke p mangrove. a tambak in bak. Jadi ta mbak silvof -forestri mo umbuhan m ngkan petak mbak silvofi model kao-petak pemeli ni, tanaman anaman ma fishery parit odel parit te c mangrove d k budidaya ishery kao-k -kao (Kordi, iharaan, b = mangrove angrove dit t terbuka da rbuka (Kord ditanam ber berada di a kao dapat d , 2012) = pematang hanya bera tanam di b apat dilihat di, 2012) a 1  rjejer-antara dilihat ada di bagian pada

Keterangan : a1 = pintu pemasukan air ke petak pemeliharaan, b = pematang antara/pembatas, c = tumbuhan mangrove.

Kerapatan bakau yang ditanam atau yang tumbuh secara alami di tengah tambak bervariasi antara 1 pohon sampai 3 pohon per meter persegi. Kerapatan pohon yang sedemikian ini merupakan kerapatan yang sesuai untuk kapasitas produksi tambak yang bersangkutan. Kerapatan pohon mempengaruhi banyaknya sampah organik yang masuk ke dalam tambak bersama-sama dengan faktor budidaya lainnya. Kerapatan yang lebih kecil sesuai untuk budidaya udang atau kepiting bakau. Penanaman langsung, yaitu menanam buah atau anakan mangrove secara langsung tanpa melalui proses persemaian/pembibitan terlebih dahulu. Anak mangrove ditanam dengan jarak tanam sekitar 1 meter dan dilakukan penjarangan saat usia tanam 4 atau 5 tahun. Apabila mangrove yang ditanam di tanggul terlalu rapat dan terlalu tinggi tidak baik untuk perkembangan udang, karena mangrove yang terdapat di sekeliling tambak dapat menyebabkan penetrasi sinar matahari terhalang sehingga fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis dengan sempurna (Harahab, 2010).

Sistem pemeliharaan organisme perairan di tambak akua-forestri atau

silvofishery pada hutan mangrove dapat dilakukan secara monokultur (satu jenis) atau polikultur (lebih dari 1 jenis). Ikan bandeng dapat dipolikultur dengan udang windu, udang putih, kepiting, dan beronang. Penerapan sistem polikultur yang perlu diperhatikan adalah jenis organisme yang dipolikultur. Ikan-ikan karnivora (pemakan daging) tidak boleh dicampur dengan ikan karnivora lain maupun ikan herbivora (pemakan tumbuhan) dan omnivora (pemakan tumbuhan dan hewan), misalnya antara kerapu dan bandeng, karena bandeng akan dimangsa oleh kerapu.

Sedangkan kepiting yang bersifat karnivora-scavanger (pemakan hewan dan bangkai) dan udang windu yang bersifat omnivora dapat dipelihara dengan bandeng, beronang dan nila, karena udang dan kepiting sangat sulit menangkap ikan-ikan tersebut, sebaliknya ikan-ikan tersebut juga tidak memangsa udang dan kepiting (Kordi, 2012).

Input produksi tambak silvofishery yang utama adalah benih ikan atau udang, kebanyakan dikombinasi udang dan bandeng. Sebelum benih tersebut ditebar di tambak, terlebih dahulu tambak telah disiapkan dengan baik, oleh karena itu perlu tambahan beberapa input, yaitu: pengolahan lahan dasar tambak diperlukan pupuk, agar mampu mendukung proses kehidupan plankton di perairan. Memasukan air laut yang berasal dari kawasan hutan mangrove, air laut dari kawasan hutan mangrove lebih banyak mengandung unsur hara, plankton dan benih udang, di samping kualitasnya juga lebih baik karena tanaman mangrove mampu mengabsorpsi beberapa polutan. Output yang dihasilkan dari tambak silvofishery adalah udang dan bandeng. Selain udang yang ditebar biasanya dihasilkan juga udang putih dan udang werus. Produksi udang putih dan udang werus tersebut merupakan salah satu keunggulan dari perpaduan antara tambak dengan hutan mangrove. Keunggulan lain adalah input air tambak yang sangat baik untuk menunjang kehidupan biota air (Harahab, 2010).

Pengelolaan Tambak Silvofishery

Menurut Harahab (2010) budidaya yang diterapkan adalah sistem budidaya ekstensif atau tradisional plus, dimana “plus” itu adalah pemberian pakan buatan karena kepadatannya yang bertambah didalam setiap meter di

tambak silvofishery dengan pola tanam polikultur udang windu dan bandeng. Pengelolaan tambak yang dilakukan adalah:

1. Konstruksi tambak

Bentuk dan kontruksi tambak pada dasarnya harus dirancang sesuai dengan luas lahan tambak yang ada. Pematang tambak dibedakan menjadi dua, yaitu pematang utama dan pematang sekunder. Lebar pematang utama adalah 6 meter dengan lebar atas pematang 4 meter. Pelataran tambak merupakan bagian yang dangkal, dengan ketinggian berkisar antara 30-40 cm. kegunaan pelataran dimaksudkan sebagai tempat pertumbuhan makanan alami atau klekap. Caren merupakan bagian yang dalam, dengan kedalaman air antara 60-70 cm, sedangkan lebarnya sekitar 4 meter. Caren dibuat sekeliling petakan, di sepanjang pematang. Caren ini berguna sebagai tempat berlindung bagi ikan, baik untuk menghindari dari panas terik matahari, maupun untuk memudahkan saat pemanenan. Pintu air dilengkapi dengan 2 saringan yaitu saringan dalam dan saringan luar. Fungsi dari saringan ini adalah untuk mencegah agar sampah, ikan liar, ular atau predator tidak mudah masuk ke dalam tambak.

2. Persiapan lahan

Persiapan lahan dilakukan setelah pemanenan sampai menjelang penebaran benih kembali dilakukan, dengan tujuan agar kondisi lahan tambak benar-benar siap untuk mendukung kehidupan ikan bandeng dan udang yang akan dipelihara. Pengolahan lahan ini berguna untuk menguraikan bahan-bahan organik yang tertimbun di lahan dasar tambak, sehingga bahan organik yang telah terurai menjadi mineral dan sangat berguna sebagai penyubur tanah dan mendorong pertumbuhan plankton. Pengelolaan tanah dilakukan setelah panen dan sebelum

penebaran benih (dimulainya siklus baru), meliputi perbaikan pematang, pengeringan dasar tambak, pembalikan tanah, dan pemberantasan hama. Pada saat air mulai pasang, air payau tersebut dimasukkan ke dalam lahan, sedangkan air yang ada di dalam tambak dikurangi sebelumnya saat air sedang surut, sehingga air yang ada di dalam tambak berganti dengan air yang baru. Kemudian pintu air ditutup dan dipastikan tidak terjadi kebocoran. Kedalaman air rata-rata 60-70 cm. 3. Penebaran benih

Benur yang ditebar memiliki ukuran post larva 15 hari, sedangkan ukuran nener yang akan ditebar 8-10 cm yang terlebih dahulu telah melewati proses aklimatisasi. Benih yang akan ditebar terlebih dahulu dilakukan penyesuaian dengan menancapkan jaring kasa dengan lebar 1,5 meter dan lebar atas 5 meter di letakkan sekitar lingkungan tambak yang paling dekat dengan pintu air selama 2 minggu, dan secara bertahap diletakkan sekitar tambak yang akan dipakai untuk proses pembesaran. Aklimatisasi dilakukan untuk mengurangi resiko kematian benih. Penebaran benih di petak pendederan dilakukan pada pagi hari. Penebaran benih ikan bandeng (nener) dilakukan selang waktu dua minggu setelah benur udang windu di tebar duluan. Pada saat penebaran dihitung manual berapa jumlah benih yang masuk kedalam masing-masing petakan tambak.

4. Produksi dan panen

Produksi yang dihasilkan dari tambak silvofishery (tambak kombinasi dengan penanaman mangrove) adalah ikan bandeng dan udang windu yang memang sengaja di tebar benih. Selain itu tambak silvofishery memiliki hasil produksi yang lain yaitu udang putih, udang werus, serta ikan-ikan liar seperti ikan kerapu lumpur, ikan rucah, ikan nila dan kepiting karena ekosistem

mangrove. Semua jenis tersebut tidak sengaja dipelihara, melainkan hasil ikutan akibat suburnya perairan pantai karena adanya ekosistem hutan mangrove. Ini merupakan salah satu nilai keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi tambak silvofishery atau lebih dikenal dengan tambak alam.

Pemanenan dilakukan umumnya 4-5 bulan setelah penebaran benih. Keberhasilan hidup udang windu mencapai 30-40%, sedangkan ikan bandeng dapat mencapai 60-70%. Pemanenan dilakukan secara bertahap dan total. Pemanenan bertahap atau sebagian adalah pemanenan yang hanya memilih hasil budidaya yang berukuran besar saja, sedangkan yang masih kecil dikembalikan lagi ke tambak agar dapat tumbuh lebih besar. Pemanenan sebagian dilakukan karena ikan bandeng dan udang windu memiliki umur yang berbeda, mengingat di dalam tambak selain benur yang ditebar juga terdapat benur yang berasal dari alam, selain itu pemanenan sebagian dilakukan untuk memanen udang putih dan udang werus yang berasal dari alam yang ikut masuk ke dalam tambak melalui saluran air. Pemanenan sebagian dilakukan dengan menggunakan prayang. Prayang dipasang di tepi tambak pada malam hari, dan pada pagi hari baru diangkat. Pemanenan secara total dilakukan setelah melewati masa pemeliharaan selama 5 bulan. Pemanenan dilakukan dengan cara membuka pintu pengeluaran sehingga air di dalam tambak secara pelan dan bertahap keluar. Pemanenan secara total dilakukan menggunakan jaring dan seser. Disetiap proses pemanenan dilakukan perhitungan jumlah ekor untuk dapat mengetahui hasil produksi ikan bandeng dan udang windu di dalam tambak.

Plankton

Plankton dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisma plankton yang bersifat tumbuhan dan zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan. Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisma air lainnya yang berperan sebagai konsumen, dimulai dengan zooplankton dan diikuti oleh kelompok organisma air lainnya yang membentuk rantai makanan. Dalam ekosistem air hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai produktivitas primer. Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik, baik berupa fitoplankton maupun detritus (Barus, 2004).

Warna air hijau kecoklatan disebabkan oleh Diatom dari kelas

Bacillariophyta dan beberapa fitoplankton lain. Warna air hijau kecoklatan paling cocok untuk pembesaran udang windu dan ikan bandeng pada tambak silvofishery karena banyak mengandung fitoplankton yang dapat dimanfaatkan zooplankton karena zooplankton merupakan sumber pakan bagi benur udang dan ikan bandeng. Berarti, warna ini menjadi indikasi adanya pakan alami dalam tambak. Jenis fitoplankton yang dapat dimakan udang windu dan ikan bandeng adalah

Kualitas Air Suhu

Suhu suatu bahan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atau dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Selain itu, peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2–3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003).

Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20–30oC. Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas perairan

memiliki suhu yang lebih tinggi (lebih panas) dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya stratifikasi panas (thermal stratification) (Effendi, 2003). Kisaran suhu terbaik pada pertumbuhan dan kehidupan ikan bandeng antara 27 0C -31 0C.

Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (‰). Kandungan utama dari air laut dibentuk oleh ion Na dan Cl, ditambah berbagai jenis unsur lain yang jumlahnya lebih sedikit. Berdasarkan venice system to classification of water according to salinity, air diklasifikasikan berdasarkan nilai salinitasnya sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi air berdasarkan nilai salinitas

Jenis Air Salinitas (‰) Limnis (Air tawar) < 0,5 ‰ Mixohalin (Payau) 0,5 – 30 ‰

Euhalin (Air laut) 30 – 40 ‰

Hyperhalin > 40 ‰

Sumber : Barus (2004)

Dari klasifikasi diatas terdapat perbedaan yang signifikan antara kandungan garam terlarut pada ekosistem perairan tawar dengan kandungan garam terlarut pada ekosistem perairan laut. Umumnya garam terlarut pada ekosistem laut terutama terdiri dari natrium clorida (NaCl), sedangkan pada perairan tawar terutama terdiri dari kalsium karbonat (CaCo3). Secara alami

Dokumen terkait