• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang hubungan stres kerja dan konflik terhadap kepuasan kerja dapat dilihat pada uraian dibawah ini :

Peneliti Susanto dan M. Wahyuddi (2006) berjudul, “Pengaruh Stres, Konflik dan Hukuman Disiplin Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda Kalimantan Timur”. Hasil uji koefisien regresi diperoleh bahwa semua variabel independen yang terdiri dari stres, konflik, dan hukuman disiplin signifikan terhadap produktivitas kerja pegawai, bahwa kontribusi yang diberikan variabel stres terhadap produktivitas kerja pegawai yang paling besar dibandingkan variabel konflik dan hukuman disiplin. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 56 pegawai.

Nugroho (2007),menyatakan bahwa ”Pengaruh Konflik dan Stres terhadap Kepuasan Kerja Karyawan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Kebumen”. Dari pegujian hipotesis diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Konflik antar rekan sekerja, konflik antara pimpinan dan bawahan, stres karena beban kerja, stres karena waktu kerja dan stres karena lingkungan kerja mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja baik secara bersama-sama maupun secara parsial. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 85 karyawan. Dan Konflik antar rekan sekerja

merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kepuasan kerja daripada yang lain, dibuktikan dengan nilai koefisien regresi parsial yang paling besar yaitu -6,980. Semakin tinggi tingkat konflik dan stres akan menurunkan kepuasan kerja sebaliknya apabila tingkat konflik dan stres menurun maka kepuasan kerja pegawai meningkat.

Persamaan penelitian-penelitian diatas dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini. Persamaannya adalah pada variabel terikatnya, yaitu sama-sama meneliti tentang kepuasan kerja pegawai sedangkan perbedaannya adalah terletak pada variabel bebas lainnya dimana peneliti meneliti tentang faktor bagaimana hubungan stres kerja dan konflik.

2.2. Pengertian Tentang Kepuasan Kerja

Beberapa ahli memberikan definisi mengenai Kepuasan kerja. Davis dan Newstrom (1985) dalam Ndaraha 1997, mengemukakan: “Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with which employees view their work.” (Kepuasan Kerja adalah perasaan senang atau tidak senang pekerja terhadap pekerjaannya).

Brayfield (1951) adalah orang pertama yang memberikan pemahaman tentang konsep kepuasan kerja. Mereka beranggapan bahwa kepuasan kerja dapat diduga dari sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Kemudian, Moorse (1953) mengemukakan bahwa pada dasarnya, kepuasan kerja tergantung kepada apa yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya dan apa yang mereka peroleh. Orang yang paling tidak merasa puas adalah mereka yang mempunyai keinginan paling banyak (dalam Pangabean, 2004).

Definisi lain tentang Kepuasan Kerja dikemukakan oleh Wexley dan Yukl (1977), yang dikutip As’ad (2003) mengatakan: “Is the way an employee feel about his or her job, it is a generalized attitude toward the job based on evaluation of different aspect of the job. A person’s attitude toward his job reflect plesant and unpleasant experiences in the job and his expectation about future experiences.” (Kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hubungan antara Kepuasan kerja dengan disiplin kerja. Kepuasan kerja secara umum merupakan sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda bagi pekerja. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya tersebut mengambarkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan dan harapan-harapan mengenai pengalaman mendatang).

Hasibuan (2005) menyatakan bahwa, “Kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat”. Pendapat lain (Handoko, 2001) menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka.

Sedangkan Wexley dan Yulk (1977) dalam As’ad (2003) yang disebut kepuasan kerja ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaan. Kepuasan kerja berhubungan erat dengan faktor sikap. Seperti dikemukakan oleh Tiffin (1964) dikutip As'ad (2003) kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan.

Seseorang cenderung bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat diperolehnya dari pekerjaannya dan kepuasan kerja pegawai merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, dan prestasi kerja pegawai dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan (Hasibuan, 2005).

Pada bagian lain Siagian (2003) melakukan kajian dan menilai factor kepuasan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kerja pegawai. Memang pada umumnya orang berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara keduanya. Padahal berbagai penelitian membuktikan bahwa seorang karyawan yang puas tidak dengan sendirinya merupakan karyawan yang berprestasi tinggi, melainkan sering berprestasi biasa-biasa saja. Jika demikian halnya dapat pula dikatakan bahwa kepuasan kerja tidak selalu menjadi faktor motivasional kuat untuk berprestasi.

Sangat sulit untuk mengetahui ciri-ciri kepuasan dari masing-masing individu. Namun demikian, cerminan dari kepuasan kerja itu dapat diketahui. Untuk mengetahui tentang pengertian kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Artinya secara umum dapat dirumuskan bahwa seseorang yang memiliki rasa puas terhadap pekerjaannya akan mempunyai sikap positif terhadap organisasi di mana ia berkarya (Siagian, 2003).

Menurut Robbins (2006), kepuasan kerja adalah sikap umum individu dalam melaksanakan pekerjaannya. Pekerjaan membutuhkan interaksi dengan rekan kerja dan pimpinan, mematuhi peraturan-peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standart kinerja, hidup dengan suasana kerja yang ideal.

2.2.1. Indikator Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, pengertian kepuasan kerja mencakup berbagai hal seperti kondisi dan kecenderungan perilaku seseorang. Kepuasan itu tidak tampak serta nyata, tetapi dapat diwujudkan dalam suatu hasil pekerjaan. Salah satu masalah yang sangat penting dalam bidang psikologi industri adalah mendorong pegawai untuk bekerja dengan lebih produktif.

Karena perasaan terkait dengan sikap seseorang, maka kepuasan kerja dapar didefinisikan sebagai sebuah sikap karyawan yang penilaian terhadap situasi dimana mereka bekerja. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya. Karyawan yang merasa terpenuhi kebutuhannya akan mempersepsikan diri mereka sebagai karyawan yang memiliki kepuasan atas pekerjaanya. Sebaliknya, ketidak puasan muncul apabila salah satu atau sebagian dari kebutuhannya tidak dapat terpenuhi (Yuli, 2005).

Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan ini dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Hal ini akan membuat para pegawai termotivasi untuk bekerja dengan optimal yang pada akhirnya tujuan organisasi dapat terwujud dengan tingkat efisien dan efektivitas yang tinggi (Fathoni, 2006).

Secara teoritis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja. Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah: (a) isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan ; (b) supervisi ; (c) organisasi dan manajemen; (d) kesempatan untuk maju; (e) gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif; (f) rekan kerja; dan (g) kondisi pekerjaan.

2.3. Pengertian Stres Kerja

Stres sebagai suatu istilah payung yang merangkumi tekanan, beban, konflik, keletihan, ketegangan, panik, perasaan gemuruh, anxieti, kemurungan dan hilang daya. Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Orang-orang yang mengalami stress bisa menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif (Rivai, 2008).

Mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan. Lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Robbins memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan (Robbins, 2006).

Wardoyo (2008) menyatakan bahwa stres kerja ialah merupakan “tekanan” yang didapatkan secara tidak sengaja, atau “pembebanan” yang diperoleh dengan sengaja, diadakan untuk suatu tujuan. Stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus- respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan.

Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu (Robbins, 2006).

Selanjutnya Schuler di dalam Handoko (2001) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu keadaan dimana faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan saling mempengaruhi keadaan psikologis atau fisiologis individu (anggota organisasi/karyawan). Berikutnya Anoraga (1995) mendefinisikan bahwa stres adalah

suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan menggangu dan mengakibatkan dirinya terancam.

Gibson dkk (1997) mengemukakan ”definisi stimulus melihat sebagai suatu kekuatan atau perangsang yang menekan individu yang menimbulkan tanggapan (respon) terhadap ketegangan”. Definisi tersebut terdapat adanya suatu ketidakjelasan tentang kemungkinan tingkat akibat yang ditimbulkan oleh stres yang sama pada individu yang berbeda. Sedangkan definisi tanggapan memandang stres sebagai tanggapan fisiologis dan psikologis dari seseorang terhadap tekanan lingkungannya, dimana stres tersebut kebanyakan berasal dari lingkungan di luar individu. Stres sebagai definisi kerja mengemukakan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap tindakan ekstern (lingkungan), situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan atau fisik terhadap seseorang.

Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Beerhr dan Newman (Luthans, 1996) yang mendefinisikan stres kerja yaitu sebagai suatu kondisi yang timbul karena adanya interaksi antara individu dan pekerjaan yang ditandai dengan adanya perubahan dalam diri individu yang mendorong individu melakukan penyimpangan (tidak berfungsi secara normal).

Pendekatan stres sebagai respon, menitikberatkan pada reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai variabel terikat. Sebagai contoh, karyawan perusahaan akan merasa stres atau tertekan bila dituntut untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan waktu yang telah diberikan. Respon yang dialami karyawan akan mengandung dua komponen yaitu komponen psikologis yang meliputi tingkah laku, pola pikir, emosi serta perasaan tertekan, dan komponen fisiologis yang berupa rangsangan-rangsangan fisik seperti jantung berdebar-debar, mulut kering, tubuh berkeringat. Respon psikologis atau fisiologis terhadap stresor ini disebut stain atau ketegangan.

Sedangkan menurut Richard Lazarus dalam Anoraga (1995) bahwa ”stres yang bersifat psikologis adalah sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuannya dan membahayakan kesejahteraannya”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi atau unit kerja menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan.

2.3.1. Proses Terjadinya Stres Kerja

Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berpikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks,

emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.

Gejala stres (Rivai, 2008) ini timbul apabila seseorang itu merasa yang keperluan melebihi dari keupayaan atau sumber yang ada pada dirinya. Bagi kebanyakan karyawan penyebab umum stress umunya adalah supervisor (atasan), salary (gaji), security (keamanan), dan safety (keselamatan).Aturan-aturan kerja yang sempit dan tekanan-tekanan yang tiada henti untuk mencapai jumlah produksi yang lebih tinggi adalah penyebab utama stress yang dikaitkan para pekerja dengan supervisor. Gaji adalah penyebab stres bila dianggap tidak diberikan secara adil.

Para pekerja mengalami stres ketika merasa tidak pasti apakah mereka tetap mempunyai pekerjaan bulan depan, minggu depan, atau bahkan besok. Bagi banyak pekerja, rendahnya keamanan kerja bahkan lebih menimbulkan stres dan rendahnya keselamatan kerja paling tidak, dengan pekerjaan di mana tingkat keselamatan kerja rendah, mereka mengetahui risikonya, sementara dengan pekerjaan yang tidak aman, mereka akan terus berada dalam keadaan tidak pasti. Selain itu stres kerja dapat pula dipengaruhi oleh :

a) Faktor Lingkungan Fisik. Walaupun otomatisasi kantor adalah suatu cara meningkatkan produktivitas, hal itu juga mempunyai kelemahan-kelemahan yang berhubungan dengan stres. Satu aspek otomatisasi kantor yang mempunyai karakteristik berkaitan dengan stres adalah Video Display Terminal (VDT). Aspek-aspek lain lingkungan kerja yang berkaitan dengan stres adalah

tempat kerja yang sesak, kurangnya kebebasan pribadi, dan kurangnya pengawasan.

b) Faktor Organisasi. Perubahan-perubahan yang dibuat oleh perusahaan biasanya melibatkan sesuatu yang penting dan disertai ketidakpastian. Banyak perubahan dibuat tanpa pemberitahuan-pemberitahuan resmi. Walaupun kabar-kabar burung sering beredar bahwa akan ada perubahan, bentuk perubahan yang pasti hanya sebatas spekulasi. Orang-orang was-was apakah perubahan tersebut akan mempunyai dampak kepada mereka, barangkali dengan mengganti mereka, atau menyebabkan mereka dipindahkan. Akibatnya, banyak pekerja menderita gejala-gejala stres.

c) Tingkat Kecepatan Kerja individu. Tingkat kecepatan kerja dapat dikendalikan oleh mesin atau manusia. Kecepatan kerja yang ditentukan oleh mesin memberikan kendali atas kecepatan pelaksanaan dan hasil pekerjaan kepada sesuatu selain manusia. Kecepatan yang ditentukan oleh manusia memberikan kendali tersebut kepada manusia. Akibat dari kecepatan yang ditentukan oleh mesin adalah amat besar, karena pekerja tidak dapat memuaskan kebutuhan yang penting untuk mengendalikan situasi.

d) Pekerja yang Rentan Stres. Manusia memang berbeda dalam memberikan respon terhadap penyebab stress. Perbedaan klasik adalah yang disebut sebagai perilaku tipe A dan perilaku tipe B. Orang-orang dengan perilaku tipe A suka melakukan hal-hal menurut cara mereka sendiri, dan mau mengeluarkan banyak tenaga untuk memastikan bahwa tugas-tugas yang sangat sulit pun dikerjakan

dengan cara yang mereka sukai. Tetapi, orang-orang type A adalah ‘penggerak dan pendobrak’. Mereka menikmati menjadi pemimpin di lingkungan mereka, dan mengubah perilaku orang lain. Orang-orang dengan perilaku tipe B umumnya lebih toleran. Mereka tidak mudah frustrasi atau marah, dan mereka juga tidak menghabiskan banyak energi dalam memberikan respon terhadap hal-hal yang tidak sesuai. Orang-orang tipe B biasanya merupakan supervisor yang hebat. Mereka mungkin akan memberikan kebebasan yang besar kepada bawahannya tetapi juga mungkin tidak akan memberikan dukungan ke atas yang diperlukan untuk kepemimpinan yang efektif (Robins, 2006).

Di lain pihak, stres karyawan juga dapat disebabkan masalah-masalah yang terjadi di luar organisasi. Penyebab-penyebab stres ‘off the job’ misalnya:

a. Kekuatiran finansial

b. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak c. Masalah-masalah fisik

d. Masalah-masalah perkawinan (misal, perceraian) e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal

f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara (Rivai, 2008) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian pegawai dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya bcberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang pegawai.

2.3.2. Penyebab Stres Kerja

Stres kerja dapat memiliki pengaruh positif maupun negatif dan keduanya dapat terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat dari stres banyak yang bervariabel. Stres yang bersifat positif, seperti motivasi pribadi, rangsangan untuk bekerja lebih keras, dan meningkatnya inspirasi hidup yang lebih baik. Meskipun demikian, banyak efek yang mengganggu dan secara potensial berbahaya. Menurut Cox dan Gibson dkk (1996) dalam Usman, 2006 ada lima macam konsekuensi dari stres:

a) Subyektif . Meliputi: kecemasan, agresif, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup, merasa kesepian.

b) Perilaku. Perilaku yang menunjukan gejala stres adalah mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat-obatan, luapan emosional, makan atau merokok secara berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, tertawa.

c) Kognitif. Akibat stres yang bersifat kognitif dapat menyebabkan ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, daya konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitif terhadap kritik, hambatan mental.

d) Fisiologis. Stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme tubuh, kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, tubuh panas dingin.

e) Organisasi. Akibat yang bersifat organisasi meliputi angka absen tinggi, pergantian karyawan (turn over), produktivitas rendah, terasing dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.

Davis (2002) menyatakan bahwa, “Stres kerja disebabkan adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi pimpinan”. Supervisor yang kurang pandai. Scorang pimpinan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di bawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada atasan. Jika seorang pimpinan pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar.

Menurut Robins (1996) mengatakan bahwa stres adalah kondisi dinamik dalam mana seseorang individu dikronfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Peluang adalah harapan-harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan disebabkan oleh kekurang mengertian individu akan keterbatasan dirinya.

Stres kerja seperti diuraikan di atas dapat terjadi pada setiap jajaran, baik jajaran pemimpin maupun yang dipimpin, staf dan para tenaga ahli/professional di lingkungan suatu organisasi. Oleh karena itu usaha untuk menghindari stres menjadi sangat penting dalam kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi. Usaha itu harus dilakukan pada pimpinan dari jajaran bawah, menengah sampai jajaran atas, karena siapapun di antaranya yang mengalami stres pasti tidak dapat dan tidak mungkin bekerja secara efektif dan efisien.

2.4. Pengertian Konflik

Dalam kehidupan yang dinamis antar individu dan antar komunitas, baik dalam organisasi maupun di masyarakat yang majemuk, konflik selalu terjadi manakala saling berbenturan kepentingan. Konflik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi sosial dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka.

Konflik diartikan sebagai persaingan yang terjadi didalam organisasi dengan meneliti dan mengamati kelompok lain yang dapat menghalangi pencapaian tujuan kelompoknya. Ini berarti bahwa kelompok yang berselisih secara langsung berbeda paham. Konflik juga bisa dianggap persaingan namum lebih keras tingkatannya. Persaingan yang dimaksud adalah antar kelompok saling beradu dalam penentuan harga-harga, sedangkan konflik lebih mengacu pada gangguan terhadap pencapaian tujuan tersebut (Wisnu dan Nurhasanah, 2005).

Konflik kerja adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/ perusahaan) yang harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi. Konflik kerja juga dapat diartikan sebagai perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Selain itu konflik diartikan sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan (Rivai, 2008)

Sedangkan Stoner (1994) dalam Wahyudi, (2006) menyatakan bahwa, konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya yang langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi atau kepribadian. Perbedaan pendapat atau persepsi mengenai tujuan, kepentingan maupun status serta nilai individu dalam organisasi merupakan penyebab munculnya konflik. Demikian halnya persoalan alokasi sumber daya yang terbatas dalam organisasi dapat menimbulkan konflik antar individu maupun antar kelompok.

Konflik selalu diawali oleh persaingan, sehingga selama ada individu atau kelompok yang dinamis dan memiliki vitalitas besar untuk mengembangkan diri, kelompok atau organisasi, maka selama itu pula terdapat potensi konflik di lingkungan sebuah organisasi. Di dalam suatu organisasi potensi konflik kerap kali didukung pula oleh kehadiran individu atau kelompok yang ambisius dan agresif. Individu atau kelompok itu dalam melaksanakan kegiatannya kerap kali merangsang potensi konflik menjadi nyata yang tidak terkendali dapat berkembang menjadi konflik terbuka yang ganas.

Sedangkan menurut Kartono (1994) konflik adalah oposisi interaksi berupa antagonisme (pertentangan), benturan paham, perselisihan, kurang mufakat, pergeseran, perkelahian, tawuran, benturan senjata dan perang. Sedangkan Wahjosumidjo (1987) mengatakan bahwa konflik adalah segala macam bentuk hubungan antar manusia yang mengandung sifat berlawanan.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Luthans (1985) dalam Wahyudi, 2006, perilaku konflik dimaksud adalah perbedaan kepentingan/minat, perilaku kerja, perbedaan sifat individu, dan perbedaan tanggung jawab dalam aktivitas organisasi.

Robins (2006) menyatakan bahwa konflik sebagai proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi keperdulian pihak pertama. Pendapat yang hampir sama dikemukaan

Dokumen terkait