• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Umum

Saat ini banyak pembangunan konstruksi yang sedang dan akan terus berlangsung. Sehingga dampak pembangunan terhadap lingkungan perlu diperhatikan, pencemaran lingkungan karena pembangunan, perlu ditekan seminimal mungkin. Dan juga penggunaan beton pada konstruksi saat ini menimbulkan pencemaran lingkungan, karena menggunakan semen sebagai material penyusunnya. Padahal, semen menghasilkan gas CO2 yang berbahaya bagi lingkungan. Banyaknya gas CO2 yang dihasilkan diukur berdasarkan banyaknya bahan bakar yang digunakan bukan berdasarkan banyanya asap yang keluar dari cerobong asap. Dalam hal ini saat 1 ton semen diproduksi, maka secara langsung 0,55 ton gas CO2 terbentuk dan 0,40 terbentuk saat proses pembakaran. Bisa disimpulkan bahwa jika 1 ton semen diproduksi maka menghasilkan 1 ton gas CO2. (Davidovits,1994).

Pencarian bahan pengganti semen portland telah menjadi suatu tantangan bagi komunitas semen internasional. Bab ini akan menjelaskan secara umum tentang geopolimer mulai dari latar belakang beton dan perkembangan geopolimer dengan bahan dasar fly ash sehingga dipakai menjadi salah satu alternatif baru untuk mengganti semen. Perkembangan beton geopolimer juga diharapakan menjadi terobosan baru pada skala besar sehingga perlu diteliti kekuatannya dan ketahanan (resistansi) dengan berbagai variasi campuran untuk mendapatkan hasil yang baik. Penelitian ini mengacu pada lingkungan air laut sehingga dalam penerapannya beton geopolimer juga diharapakan penerapannya mampu bertahan di lingkungan agresif, untuk itu pada bab ini akan dipaparkan bagaimana beton geopolimer berbahan dasar fly ash jika ditempatkan di lingkungan air garam baik dari segi kekuatan

beton maupun korosi yang terjadi pada beton maupun baja tulangan.

Beton Geopolimer

Penelitian tentang beton geopolimer pertama kali diperkenalkan oleh Davidovits (1978) menyatakan larutan alkaline bisa dibuat dengan bahan dasar Fly Ash atau abu sekam agar menghasilkan binder. (Davidovits, 1994) menyatakan reaksi kimia yang terjadi dalam pencampuran material diatas merupakan proses polimerisasi disebut geopolimer untuk binder binder tersebut.

Beton geopolimer merupakan beton yang tidak menggunakan semen pada campurannya. Sebagai pengganti semen digunakan fly ash yang merupakan limbah hasil pembakaran batu bara, namun fly ash tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen, sehingga diperlukan alkali aktivator. Aktivator yang umumnya digunakan adalah Sodium Hidroksida 8M sampai 14M dan Sodium Silikat (Na2SiO3) dengan perbandingan antara 0,4 sampai 2,5 (Hardjito, 2005).

Geopolimer merupakan sintesis bahan-bahan produk sampingan seperti abu terbang (fly ash), abu kulit padi (rice husk ash) dan lain-lain yang banyak mengandung silika dan alumina (prekursor) membentuk sebuah senyawa silikat alumina anorganik (Lloyd dan Ranga, 2010).

Penelitian tentang geoplimer dilakukan oleh banyak peneliti di berbagai negara dan universitas termasuk yang dilakukan oleh Chalmers, dkk (2013), yang melakukan uji fly ash berdasarkan 10 sumber yang berbeda di Australia. Dalam penelitian nya mereka menggunakan suhu curing sebesar 23°C dengan umur beton 7 hari, 28 hari, 56 hari, dan 90 hari menunjukkan bahwa pada umur 7 hari beton tersebut memiliki kuat tekan sebesar 40,1 MPa, pada umur beton 28 hari memiliki kuat tekan sebesar 68,1 MPa, untuk 56 hari menghasilkan kuat tekan 81,6 MPa, dan untuk umur beton 90 hari menghasilkan kuat tekan maksimum sebesar 80,8 MPa. Hal ini membuktikan

bahwa kekuatan tekan geopolimer berbahan dasar fly ash cukup tinggi dan semakin lama kuat tekan yang dihasilkan juga tinggi Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Subekti, 2008, berjudul “Ketahanan Beton Geopolimer dengan Bahan Dasar Fly Ash terhadap Lingkungan Agresif – Air dan Sulfat.” Meneliti kuat tekan, kuat tarik belah, tes porositas dan tes hasil kandungan Chlor dengan ukuran benda uji 10 x 20 cm². Pengujian dlakukan pada umur rendaman 0, 30, 60, 90, dan 120 hari, sementara untuk campuran menggunakan variasi molaritas 8 Mol dengan rasio alkali 𝑁𝑎₂𝑆𝑖𝑂₃𝑁𝑎𝑂𝐻 = 1,5 dan molaritas 12 mol dengan rasio alkali 𝑁𝑎₂𝑆𝑖𝑂₃𝑁𝑎𝑂𝐻 = 1,5.

Dari hasil kuat tekan dan kuat tarik belah beton, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa beton geopolimer lebih tahan terhadap lingkungan agresif (air laut dan sulfat) daripada beton konvensional.

Penetrasi ion klorida pada beton geopolimer berbahan dasar fly ash lebih tinggi daripada beton OPC. Pada beton OPC di lingkungan air laut, besarnya risiko korosi klorida diinduksi tulangan baja . Hal ini disebabkan oleh tidak adanya mekanisme yang mengikat klorida, seperti dalam semen dengan C₃A, dan kurangnya hidrasi yang terus menerus dalam geopolimer fly ash untuk mengurangi porositas. Potensi korosi geopolimer fly ash dan OPC lebih rendah dari -270 mV vs Ag / AgCl di 91 hari, yang menunjukkan besarnya risiko korosi tulangan baja pada geopolimer lebih rendah dari beton laju korosi OPC (Monita Olivia dan Hamid R Nikraz, 2012). Material Geopolimer

Unsur Penyusun Geopolimer Fly Ash

Fly Ash adalah bahan yang berasal dari sisa pembakaran batu bara yang tidak terpakai. Material ini mempunyai kadar bahan semen yang tinggi dan mempunyai sifat pozzolanik,

yaitu dapat bereaksi dengan kapur bebas yang dilepaskan semen saat proses hidrasi dan membentuk senyawa yang bersifat mengikat pada temperatur normal dengan adanya air (Himawan dan Darma, 2005).

Komposisi dari fly ash sebagian besar terdiri dari silikat dioksida (SiO2), alumunium (Al2O3), besi (Fe2O3) dan kalsium (CaO), serta magnesium, potassium, sodium, titanium, sulfur, dalam jumlah yang kecil. Komposisinya tergantung dari tipe batu bara.

Menurut ASTM C618 (ASTM, 2003:304) abu terbang (fly ash) didefinisikan sebagai butiran halus hasil residu pembakaran batu bara atau bubuk batu bara. Pada beton geopolimer, fly ash berfungsi sebagai pengikat material beton. Kandungan utama fly ash terdiri atas senyawa silicate glass yang mengandung silika (Si), alumina (Al), Ferrum (Fe), dan kalsium (Ca).

Menurut ACI Committee 226 dijelaskan bahwa fly ash mempunyai sifat sebagai berikut:

1. Spesific gravity : 2.2 – 2.8

2. Ukuran : ϕ 1 mikron – ϕ 1 mm, dengan kehalusan 70% - 80% melewati saringan no. 200 (75 mikron)

3. Kehalusan : % tertahan ayakan 0.075 mm 3.5% tertahan ayakan 0.045 mm 19.3 % sampai ke dasar 77.22

Klasifikasi jenis Fly Ash (ASTM C 618) Fly Ash dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Kelas C

 Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 50% b. Kelas F

 Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 70% c. Kelas N

Pozzolan alam atau hasil pembakaran yang dapat digolongkan antara lain tanah diatomic, opaline chertz, dan shales, tuff, dan abu vulkanik, dimana biasa diproses melalui pembakaran atau tidak melalui proses pembakaran. Selain itu juga mempunyai sifat pozzolan yang baik.

Gambar 0.1 Partikel fly ash yang diamati dengan SEM (Ekaputri, 2013)

Menurut Triwulan dkk, 1997, Halaman 4 -5, pengaruh Fly Ash terhadap perilaku phisik dan mekanik beton adalah :  Menurunkan panas hidrasi beton

 Meningkatkan workability beton segar  Memperlambat setting time beton  Meningkatkan kuat tekan beton  Meningkatkan ketahanan beton

 Meningkatkan perlindungan korosi, dengan mengurangi permeabilitas, fly ash bisa mengurangi kecepatan agresi air.

 Meningkatkan resistansi sulfat dan mengurangi reaktivitas alkali silika.

Alkali Aktivator

Alkali activator yang sering dipakai dalam campuran beton geopolimer adalah Sodium Silikat dan Sodium Hidroksida. (Hardjito dan Rangan, 2005).

 Sodium Silikat

Sodium silikat mempunyai fungsi untuk mempercepat reaksi polimerisasi. Bentuknya dapat berupa padatan dan larutan, pada pengguanaan beton lebih banyak digunakan bentuk larutan. Sodium silikat dikenal sebagai water glass yang awalnya digunakan sebagai campuran dalam pembuatan sabun fly ash dan sodium silikat membentuk ikatan yang sangat kuat namun terjadi retakan antar mikrostruktur.

Sodium hiroksida

Sodium hdroksida berfungsi untuk mereaksikan unsur-unsur Al dan Si yang terkandung dalam fly ash sehingga dapat menghasilkan ikatan polimer yang kuat. Fly ash dalam sodium hiroksida membentuk ikatan kurang kuat namun ikatan lebih padat dan terjadi retakan antar mikrostruktur

Semakin besar rasio perbandingan Si/Al, maka karakter polimer semakin terbentuk kuat. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.2 Selain itu reaksi pembentukan material geopolimer dilihat dalam persamaan pada Gambar 2.3 (Wallah, 2006).

Gambar 0.3. Ikatan Polimerisasi Berdasarkan Si dan Al (Davidovits, 1994)

Dari gambar diketahui bahwa peranan unsur silikat dan alumunium sangat penting dalam proses polimerisasi. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk rasio perbandingan Si/Al, semakin besar ratio Si/Al karakter polimer semakin terbentuk kuat.

Dalam pembuatan beton geopolimer diperlukan alkali aktifator yang berfungsi mengikat agregat karena fly ash tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen. Aktivator yang umumnya digunakan adalah Sodium Hidroksida 8M sampai 14M dan Sodium Silikat (Na2SiO3) dengan perbandingan antara 0,4 sampai 2,5 (Hardjito,2005).

Molaritas larutan sodium hidroksida juga sangat berpengaruh pada kuat tekan beton geopolimer. Semakin tinggi molaritas larutan sodium hidroksida semakin tinggi pula kuat tekannya. Demikian juga rasio perbandingan antara sodium silikat : sodium hidroksida (Na2SiO3 : NaOH) yang memegang peranan penting terhadap pembentukan sifat mekanik beton geopolimer. Semakin tinggi rasio perbandingan antara Na2SiO3 : NaOH maka akan semakin tinggi pula kuat tekannya. Hal ini dapat dilihat pada hasil kuat tekan beton. Beton geopolimer 12 Mol dan perbandingan Na2SiO3 : NaOH = 1,5 dalam rendaman larutan NaCl 120 hari memiliki kuat

tekan tertinggi sebesar 58,95 Mpa. Sedangkan beton geopolimer 8 Mol dan perbandingan Na2SiO3 : NaOH = 0,5 dalam rendaman larutan NaCl 120 hari memiliki kuat tekan lebih rendah yaitu 26,49 MPa. (Subekti, 2007).

Chindaprasirt dkk (2007) mengemukakan bahwa, untuk menghasilkan kuat tekan geopolimer yang lebih tinggi, rasio natrium silikat dan natrium hidroksida yang optimum sekitar 0,67-1,00. Sementara itu, konsentrasi NaOH antara 10 dan 20 M memberikan efek kecil pada kuat tekan.

Agregat

Agregat yang dipakai dalam pembuatan beton harus bersih dari kotoran karena berpengaruh terhadap kuat tekan beton. Kandungan lumpur yang lebih dari 2,5% pada agregat halus maka harus dicuci terlebih dahulu. Pada agregat kasar kandungan lumpurnya tidak boleh lebih dari 1%. Pemilihan agregat yang digunakan dalam pencampuran beton dalam keadaan jenuh kering muka. Hal ini disebabkan karena keadaan jenuh kering muka merupakan kebasahan agregat yang hampir sama dengan agregat dalam beton, sehingga agregat tidak akan menambah maupun mengurangi air dari pastanya, selain itu kadar air di lapangan lebih banyak yang mendekati keadaan SSD daripada yang kering tungku. (Tjokrodimuljo (2007) dalam Pujianto, dkk. 2013.

Superplastisizer

Superplasticizer merupakan bahan tambah (admixture). Superpalsticizer yang digunakan pada penelitian ini berbahan Naphthalene dengan penggunaan 2% dari berat flyash.

Beton di Lingkungan Air Laut

Kandungan klorida (Cl⁻) yang yang begitu tinggi pada air laut merupakan garam yang bersifat agresif terhadap bahan lain, termasuk beton. Kerusakan dapat terjadi pada beton akibat reaksi antara air laut yang agresif yang terpenetrasi ke dalam beton dengan senyawa-senyawa di dalam beton yang

mengakibatkan beton kehilangan sebagian massa, kehilangan kekuatan dan kekakuannya serta mempercepat proses pelapukan.Garam-garam Sodium yang terkandung dalam air laut dapat menjadi unsur yang berbahaya bila berkombinasi dengan agregat alkali yang reaktif, sama seperti dengan kombinasi dengan semen alkali. Karena itu air laut tidak boleh dipakai untuk beton yang diketahui mempunyai potensi agregat alkali reaktif, bahkan bila kadar alkalinya rendah.

Garam-garam seperti Kalsium Klorida dan Magnesium klorida akan bereaksi secara kimiawi dengan semen sehingga mengurangi setting time (waktu pengikatan) beton, kekuatan dini meningkat tetapi untuk kekuatan akhirnya menurun dan konsentrasi sulfat pada air laut juga bisa menyebabkan kerusakan pada pasta. Selain reaksi kimia, kristalisasi garam dalam rongga beton dapat mengakibatkan kehancuran akibat tekanan kristalisasi tadi. Karena kristalisasi terjadi pada titik penguapan air, bentuk serangan terjadi di dalam beton di atas pemukaan air. Garam naik di dalam beton dengan aksi kapiler, jadi serangan terjadi hanya jika air dapat terserap dalam beton (Nugraha, 2007).

Pada bangunan tepi pantai, beton akan bersinggungan dengan air garam yang mengandung NaCl yang dapat meresap ke dalam beton sehingga dapat merusak dan bahkan menghancurkan beton. Kerusakan beton terjadi ketika NaCl tersebut menguap sehingga di dalam pori-pori beton timbul kristal – kristal garam yang akan mendesak pori-pori dinding beton. Akibatnya beton pecah menjadi serpihan-serpihan lepas. Maka dari itu biasanya untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan akibat pengaruh klorida dan sulfat pada beton ini, seringkali digunakan beton dengan mutu tinggi. Hal ini dimaksudkan agar penetrasi air laut ke dalam beton menjadi semakin sulit karena tingkat kepadatan beton yang tinggi. Sehingga kekuatan beton yang berada di lingkungan laut tidak mengalami perubahan.( Elia Hunggurami dkk, 2014)

Mekanisme Kerusakan

Difusi ion Cl‾ terjadi dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi rendah. Proses difusi terjadi karena pada permukaan luar beton secara langsung kontak dengan air laut yang mengandung ion Cl‾ de-ngan konsentrasi tinggi sedangkan bagian dalam dari beton mula-mula tidak mengandung ion Cl‾ sehingga menyebabkan terjadinya gradien konsentrasi antara permukaan dan bagian dalam beton.(Hartono, dkk, 2009).

Umumnya beton memiliki tingkat proteksi yang tinggi terhadap korosi. Beton yang memiliki faktor air semen yang rendah dengan perawatan yang baik memiliki permeabilitas yang rendah dimana akan mengurangi penetrasi unsur-unsur penyebab korosi seperti oksigen (O2), ion Klorida (Cl-), Karbondioksida (CO2) dan Air (H2O). Semakin baik mutu suatu beton maka permeabilitasnya semakin rendah. Ini berarti bahwa kemungkinan terekspos terhadap lingkungan yang korosif semakin kecil.(Atur, 2006).

Tulangan besi dalam beton sebenarnya tahan terhadap korosi, karena sifat alkali dari beton (pHnya sekitar 12-13), sehingga dipermukaan tulangan dalam beton terbentuk sebuah lapisan pasif yang menyebabkan besi terlindung dari pengaruh luar. Proses karbonisasi (carbonation) dan intrusi ion-ion khlorida (Cl⁻) ke dalam beton adalah dua faktor utama yang menyebabkan rusaknya lapisan pasif tersebut dan berlanjut pada terkorosinya tulangan di dalam beton.(Atur, 2006).

Korosi pada besi tulangan merupakan proses bereaksinya atom-atom Fe yang berada dalam batang tulangan menjadi ion Fe2+ atau Fe3+. Mekanisme korosi yang disebabkan baik ion Klorida maupun karbonasi adalah sebagai berikut:

Pada anoda terjadi reaksi: Fe Fe²⁺ + 2e

Hasil pada reaksi tersebut terbentuk ion hidroksil (OH)⁻ yang mana ion tersebut meningkatkan sifat alkali dari beton dan memperkuat lapis pasif dan mengurangi pengaruh karbonasi dan ion klorida pada katoda seperti yang ditunjukkan gambar 2.4 (Broomfield J. P . 1997, (dalam Atur, 2006).

Gambar 0.4. Mekanisme terjadinya korosi pada tulangan dalam beton

Proses Masuknya Ion Chlorida ke dalam Beton Masuknya chloride ke dalam beton adalah penyebab yang paling signifikan dari kondisi korosi pada beton dan baja tulangan yang tertanam di dalam beton.

Masuknya chloride pada umumnya disebabkan oleh tiga mekanisme yaitu penyerapan, perembesan dan difusi.

 Penyerapan terjadi akibat suatu cairan dapat menembus ke dalam bahan semen karena akibat dari permukaan beton yang memiliki pori-pori kapiler, sehingga membantu cairan masuk ke dalam beton.

 Perembesan adalah sebuah mekanisme dimana sebuah cairan berhasil masuk ke dalam beton akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatis

 Difusi didefenisikan sebagai transportasi ion/molekul dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, dan akan terus bergerak sampai terjadi keseimbangan ion atau moleku tersebut. (Koorp, 1995), dalam Jonathan dkk 2013 Nilson dkk (1996), mengatakan tingkat masuknya klorida ke dalam beton di lingkungan laut dan garam tergantung pada beton itu sendiri (sifat potensial) serta agresivitas klorida lingkungan. Sebenarnya difusivitas klorida beton berbeda. Masuknya klorida ke dalam beton di zona percikan air laut bisa lebih kecil dari masuknya klorida ke dalam beton di zona yang terpapar/ terendam air laut.

Parameter bahwa beton sudah mengandung chloride ada 4 yaitu:

 Chloride sudah mencapai permukaan beton

 Kandungan chloride pertama kali sebelum terpapar air laut  Koefisien difusi klorida telah tercapai

 Lama perendaman/ paparan terhadap air laut.

Masalah serangan klorida muncul ketika ion klorida masuk dari luar. Yang lebih penting, adalah bahwa ion klorida dalam air laut melakukan kontak langsung dengan beton. Chloride dapat megendap pada permukaan beton dalam bentuk yang sangat halus (Neville, 1995).

Bagaimana pun chlorida pasti menembus beton akibat reaksi dari bahan organik yang mengandung klorida. Asam klorida yang terbentuk masuk melalui permukaan beton di mana ia bereaksi dengan ion kalsium dalam air pori akhirnya membantu masuknya ion klorida ke dalam beton (Lammke A, 1990) dalam Neville, 1995

Beton geopolimer dan beton geopolimer memiliki tingkat penetrasi terhadap ion chloride yang berbeda. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan Azreen dkk (2015). Pada penelitian yang mereka lakukan beton geopolimer pada kedalaman 55-65 mm mengandung chloride sebesar 0,09

% sedangkan beton OPC pada kedalaman yang sama mengandung chloride sebesar 0,13 %. Hasil ini menunjukkan bahwa daya tahan beton geopolimer secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan OPC beton dalam hal penetrasi clhorida. Dengan kata lain beton geopolimer menunjukkan stabilitas kimia baik setelah direndam dalam larutan garam dari OPC beton.

Pengukuran Laju Korosi

Metode pengujian untuk mengetahui potensial korosi akibat penetrasi ion chloride adalah dengan menggunakan half-cell potential dan untuk mengetahui resistivity beton menggunakan four-probe resistivity meter.

Pengukuran laju korosi dilakukan untuk mencari kemungkinan terjadi karat menggunakan alat half cell potential adalah teknik yang paling sederhana yang dapat menentukan potensi korosi. Korosi tulangan baja pada beton geopolimer dan OPC diukur dengan alat half cell potential berdasarkan ASTM C876. Arus listrik bersumber dari voltmeter yang terdiri dari dua terminal. Satu terminal terhubung ke tulangan beton sedangkan terminal yang lain terhubung ke elektroda Cu/CuSO4. Pengukuran dilakukan dengan mengamati perbedaan tegangan antara elektroda dan batang baja tulangan (Shaikh, 2014). Potensi korosi kemudian dibandingkan dengan nilai ambang untuk menafsirkan resiko korosi. Nilai ambang disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 0.1.Interpretasi nilai half cell potential (mV) terhadap elektroda

SCE elektroda (ASTM C 876)

Nilai Resiko Korosi

≥ 200 Kemungkinan 90% tidak terjadi korosi

200- 350 Beresiko terjadi korosi ≥ 350 Kemungkinan 90% terjadi

korosi

Penelitian yang dilakukan Olivia dan Nikraz (2010) tentang uji korosi terhadap beton geopolimer dan OPC dengan menggunakan alat half cell potential. Beton geopolimer dan OPC menunjukkan nilai > -270 mV artinya kedua benda uji tersebut beresiko terjadi korosi. Namun, kemungkinan rusaknya passive film pada baja tulangan belum dapat dihitung karena pengukuran dilakukan hanya sampai 91 hari.

Pada tabel 2.2 menunjukkan korelasi antara berat beton dengan resiko korosi yang dihasilkannya.

Tabel 0.2 Resiko korosi berdasarkan kadar klorida

Kadar Klorida (%) Resiko Korosi Berdasarkan

berat semen berat beton (440 Berdasarkan kg/m’ berat semen) >2,0 >0,36 Pasti 1,0 - 2,0 0,18 – 0,36 Sangat Mungkin 0,4 – 1,0 0,07 - 0,18 Mungkin <0,4 <0,07 Tidak Mungkin Sumber : Brown, dkk

Millard (1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa tahanan listrik (electrical resistivity) beton meningkat dengan meningkatnya mutu beton serta semakin tebalnya selimut beton. Tahanan listrik beton berfungsi mengurangi laju korosi dengan menghambat arus listrik dalam beton akibat korosi yang terjadi secara elektro-kimia. Dengan berkurangnya arus listrik yang mengalir dalam proses korosi tersebut maka atom Fe yang akan teroksidasi akan berkurang.

Tahanan beton juga bergantung pada kelembaban (derajat kejenuhan) dalam pori-pori beton, sehingga besarnya berfluktuasi terhadap kondisi lingkungan. Tahanan beton pada beton yang kering diperoleh sebesar 1x10⁹ Ω.cm dan pada beton yang jenuh air sebesar 1x10⁴Ω .cm bahkan nilainya bisa kurang dari 1x10³Ω.cm untuk beton yang sangat basah (Lopez W, 1993), dalam Atur, 2006.

Tabel 0.3. Tingkat korosi berdasarkan Tahanan Beton Tahanan Tingkat (kΩ.cm) Kecepatan Korosi <5 sangat tinggi 5 - 10 Tinggi 10 - 20 Sedang >20 Lambat

BAB 3

Dokumen terkait