• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Jamur Tiram

Jamur tiram adalah jamur dengan bentuk tudung yang menyerupai cangkang kerang dengan diameter antara 5-15 cm. Permukaannya licin dan agak berminyak ketika berada dalam kondisi lembab. Bagian tepinya agak bergelombang. Letak tangkainya lateral atau tidak ditengah, tepatnya agak disamping tudung. Daging buahnya berwarna putih dan cukup tebal. Jika sudah terlalu tua menjadi alot dan keras. Warna tubuh buahnya berbeda beda, sangat tergantung pada jenisnya. Misalnya Pleurotus ostreatus berwarna putih kekuningan, Pleurotus plorida berwarna putih bersih, bahkan ada yang berwarna merah muda, misalnya Pleurotus plabelatus. Namun, jamur tiram yang banyak dijual di pasar dan telah dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Pleurotus ostreatus yang berwarna putih kekuningan (AgroMedia, 2002).

Menurut Alexopoulus et al. (1996) jamur tiram digolongkan ke dalam: Kelas : Basidiomycetes

Sub kelas : Homobasidiomycetes Ordo : Agaricales

Famili : Thricholomataceae Genus : Pleurotus

Spesies : Pleurotus ostreatus

Jamur tiram putih merupakan jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan petani di Indonesia karena sifatnya yang adaptif terhadap perubahan lingkungan dan memiliki produktifitas tinggi. Perbedaan karakteristik dengan jamur tiram yang lain membuat petani jarang membudidayakan jamur

tiram coklat atau abu-abu. Warna yang tidak umum bagi jamur konsumsi menimbulkan ketakutan adanya racun akibat dari ketidaktahuan (Cahyana, 2001).

Manfaat dan Kandungan Gizi Jamur Tiram

Jamur tiram terdiri dari beberapa jenis yaitu jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram abu-abu (Pleurotus cystidius), jamur tiram raja (Pleurotus umbellatus) atau dikenal juga sebagai King Oyster. Kandungan protein jamur tiram rata-rata 3,5-4% dari berat basah, dan jumlah ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan asparagus dan kubis. Bila dihitung dari berat kering jamur tiram kandungan proteinnya adalah 19-35%, sementara beras 7,3%, gandum 13,2%, kedelai 39,1% dan susu sapi 25,2%. Jamur tiram juga mengandung sembilan asam-asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin (Suriawiria, 1986). Kandungan nutrisi tiap 100 g jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi dan kandungan nutrisi jamur tiram per 100 g bahan

Zat gizi Satuan Kandungan

Protein g 13,8 Serat g 3,5 Lemak g 1,41 Abu g 3,6 Karbohidrat g 61,7 Kalori g 0,41 Kalsium g 32,9 Zat besi g 4,1 Fosfor g 0,31 Vitamin B1 g 0,12 Vitamin B2 g 0,64 Vitamin C g 5 Niacin g 7,8 Sumber: FAO (1992)

Jamur tiram banyak mengandung asam lemak tidak jenuh, yaitu 72% dari total asam lemak yang ada. Jamur tiram juga mengandung sejumlah vitamin penting terutama kelompok vitamin B, vitamin C dan provitamin D yang akan diubah menjadi vitamin D dengan bantuan sinar matahari. Kandungan vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), niasin dan provitamin D2 (ergosterol)-nya cukup tinggi. (Suriawiria, 1986).

Jamur tiram merupakan sumber mineral yang baik, Kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Namun, jamur tiram juga merupakan sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga. Konsentrasi K, P, Na, Ca, dan Mg mencapai 56-70 persen dari total abu, dengan kandungan kalium sangat tinggi mencapai 45 persen. (Suriawiria, 1986). Jamur tiram bermanfaat untuk menekan kolesterol jahat di dalam darah, menyerap kelebihan kadar gula dalam darah dan menyeimbangkan metabolisme tubuh (Suriawiria, 1986). Perbandingan antara kadar protein jamur tiram dengan beberapa bahan makanan lain dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan antara kadar protein jamur tiram dengan beberapa bahan makanan lain

Bahan makanan Protein (% berat kering)

Jamur tiram 19-35

Beras 7,3

Gandum 13,2

Kedelai 39,1

Susu sapi 25,2

Sumber: Direktorat Jendral Hortikultura Departemen Pertanian (2012)

Serat berupa lignoselulosa yang terdapat pada jamur tiram baik untuk pencernaan. USDA (United States Drugs and Administration) yang melakukan

penelitian pada tikus menunjukkan bahwa dengan pemberian menu jamur tiram selama 3 minggu akan menurunkan kadar kolesterol dalam dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi pakan yang mengandung jamur tiram, sehingga dapat diberikan pada penderita hiperkolesterol.

(http://indojamur.com, 2012).

Kriteria Panen dan Sifat Fisiologis Jamur Tiram

Jamur termasuk jenis tumbuh-tumbuhan. Pada umumnya tumbuhan memiliki hijau daun (klorofil), sehingga kebutuhan karbohidratnya melalui proses fotosintesis. Namun jamur tidak memiliki klorofil, sehingga kebutuhan karbohidrat harus dipenuhi dari luar. Karena itu, jamur hidup secara saprofitik atau secara parasitik (Suriawiria, 2002).

Panen jamur tiram biasanya dilakukan 40 hari setelah tanam atau sekitar 4-5 hari setelah pembentukan tubuh buah. Ketika dipanen bobot jamur diperkirakan mencapai 50-74 gram. Satu baglog jamur tiram dapat dipanen hingga lima kali selama tiga bulan dengan interval panen setiap 10 hari sekali. Jamur tiram dipanen secara manual, yaitu dipetik dengan tangan atau menggunakan pisau yang tajam. Waktu terbaik untuk melakukan panen jamur adalah pada pagi hari sebelum pukul 10.00 atau sore hari sekitar pukul 17.00. Pemanenan pada siang hari dapat menurunkan berat jamur akibat suhu yang tinggi (Suharyanto, 2010).

Setelah panen, jamur harus segera dijual agar kesegarannya tetap terjaga hingga ke tangan konsumen. Namun jika kesegarannya harus dipertahankan hingga beberapa hari, jamur dapat disimpan pada lemari pendingin dengan suhu 15oC. Jamur yang akan didinginkan tersebut harus melalui serangkaian perlakuan

terlebih dahulu agar tidak rusak. Caranya, setelah dipanen sisa-sisa kotoran yang melekat pada jamur harus segera dibersihkan. Setelah itu jamur dikemas dalam wadah plastik atau styrofoam dan ditutup plastik secepatnya untuk menghindari penguapan dan penyusutan jamur (Suharyanto, 2010).

Reaksi pencoklatan yang terjadi pada jamur tiram biasanya adalah akibat reaksi biokimia (pencoklatan enzimatis) dan reaksi kimia (pencoklatan non enzimatis). Reaksi pencoklatan enzimatis adalah dimana pembentukan warna coklat dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat mengkatalis reaksi oksidasi senyawa fenol (misalnya katekol) yang dapat menyebabkan perubahan warna menjadi coklat (Feri, 2010).

Dalam bahan pangan seperti apel, pisang dan kentang kelompok enzim oksidase tersebut dan senyawa fenol tersedia secara alami. Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen, ketika bahan pangan tersebut terkelupas atau terpotong, maka bagian dalam permukaan akan terpapar oleh oksigen, sehingga akan memicu reaksi oksidasi senyawa fenol dan merubah permukaan bahan pangan menjadi coklat (Feri, 2010).

Berdasarkan penelitian Maulani (2003), diperoleh bahwa jamur tiram segar yang disimpan pada suhu kamar memiliki laju produksi CO2 rata-rata sebesar 59,30 ml/kg.jam dan laju konsumsi O2 rata-rata sebesar 34,64 ml/kg.jam dengan RQ 1,71, sedangkan jamur tiram segar yang disimpan pada suhu dingin memiliki laju produksi CO2 rata-rata sebesar 20,35 dan laju konsumsi O2 rata-rata sebesar 14,03 dengan nilai RQ 1,45.

Menurut Suriawiria (2002), faktor-faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan jamur tiram

Parameter Pertumbuhan Besaran

Pertumbuhan Miselia Pada Substrat tanam

a.Temperatur inkubasi 24-290C

b.RH 90-100%

c. Waktu tumbuh 10-14 hari

d. Kandungan CO2 5000-20.000 ppm

e. Cahaya 500-1,000 lux

f. Sirkulasi Udara 1-2 jam

Pembentukan Primordia

a.Temperatur inisiasi pertumbuhan 21-270C

b.RH 90-100%

c.Waktu tumbuh 3-5 hari

d.Kandungan CO2 <1,000 ppm

e.Cahaya 500-1,000 lux

f.Sirkulasi udara 4-8 jam

Pembentukan Tubuh Buah

a.Temperatur inisiasi pertumbuhan 21-280C

b.RH 90-95%

c.Waktu tumbuh 3-5 hari

d.Kandungan CO2 <1,000 ppm

e.Cahaya 500-1,000 lux

Siklus Panen

a.Interval waktu 3-4 kali/10-14 hari

b.Jangka waktu masa panen 2-4 kali/7-10 hari

c.Nilai BER 40-85

d.Produksi rata-rata per log tanaman 350 g

Sumber: Suriawiria (2002)

Natrium Bisulfit

Natrium bisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih dan mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang, dan khamir (Chicester and Tanner, 1975).

Mekanisme menghambat pertumbuhan mikrobia oleh senyawa sulfur adalah dengan merusak sel mikrobia, mereduksi ikatan sulfida, bereaksi dengan gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk ke dalam sel mikrobia. Karena sel mikrobia pHnya netral, asam sulfit akan terdisosiasi sehingga dalam sel mikrobia banyak terdapat ion H+ yang menyebabkan pH sel menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan sel mikrobia rusak (Winarno dan Jennie, 1974).

Garam-garam sulfit dalam air akan membentuk asam sulfit, ion HSO3 -dan SO2-, yang masing-masing jumlahnya dipengaruhi oleh bahan. Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut dibawah digambarkan oleh Frazier (1976) sebagai berikut:

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3 NaHSO3 Na+ + HSO3 -HSO3- + H+ H2SO3 H2SO3 SO2 + H2O

Sodium metabisulfit mengandung sekitar 58,5 – 67,4 % SO2. Tetapi de Man (1989) mengatakan bahwa SO2 mudah menguap dan hilang ke udara. Sehingga residu SO2 pada bahan padatan jauh lebih rendah dari jumlah aplikasi semula. Selanjutnya SO2 menguap sekitar 90% selama pemasakan sayuran dan buah (Borgstorm, 1971).

Tujuan proses sulfitasi adalah untuk membunuh mikroba, mencegah reaksi browning, menonaktifkan enzim dan sebagai antioksidan yang dapat mencegah oksidasi pada vitamin C, karotenoid dan senyawa-senyawa lain bisa teroksidasi. Pengaruh SO2 terhadap pertumbuhan mikroba adalah kerena terjadinya reaksi antara SO2 dengan karbohidrat dari bahan yang dikeringkan

sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai sumber energi oleh mikroba (Winarno dan Jennie, 1983).

Disamping itu adanya SO2 akan mendenaturasi sistem protein pada enzim sehingga mikroba tidak dapat melangsungkan kegiatan hidupnya. Ikatan disulfida (-S-S-) pada protein enzim akan direduksi dengan adanya SO2. Dengan terjadinya reduksi pada ikatan disulfida ini, maka enzim tidak aktif lagi (Winarno dan Jennie, 1983).

Penyimpanan Dingin

Buah-buahan dan sayuran yang tidak didinginkan pada umumnya rusak dengan cepat dan segera menjadi kurang berharga bagi manusia. Bila buah-buahan dan sayuran yang sejenis sementara waktu disimpan dalam ruangan pendingin, proses-proses hidup dihambat, sehingga sebagai hasilnya makanan tersebut akseptabel untuk dimakan manusia untuk jangka waktu yang lebih lama (Desrosier, 1988).

Penyimpanan dingin yang biasa digunakan ialah dalam refrigerator dan kamar dingin. Cara ini sangat efektif untuk mencegah kerusakan hasil panen. Kerusakan hasil panen yang disebabkan oleh mikroorganisme dapat ditekan oleh suhu rendah. Penyimpanan dalam suhu dingin merupakan cara terbaik untuk mengawetkan sayuran. Rasa, bau, warna, bentuk, tekstur, dan nutrisi sayuran biasanya masih seperti semula bila disimpan dalam suhu dingin, tidak sebagaimana dengan cara penyimpanan lainnya. Penyimpanan dalam suhu dingin tidak dapat meningkatkan kualitas produk. Oleh karenanya, sayuran yang akan disimpan dalam suhu dingin harus dipanen pada saat kondisi prima (Ashari, 1995).

Sifat-sifat Bahan Pengemas

Salah satu tujuan pengemasan adalah untuk mengurangi kerusakan fisik. Bentuk dan ukuran alat kemas sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan itu. Hal ini karena bentuk dan ukuran alat kemas berpengaruh terhadap kapasitas. Ukuran kemasan dengan kapasitas besar dapat meningkatkan kerusakan secara fisik. Hal ini akibat banyaknya daya muat, sehingga memperbesar gesekan dan tindihan. Terutama sayuran yang diangkut jarak jauh. Untuk mengurangi kerusakan-kerusakan selama pengemasan diperlukan alat bantu. Alat tersebut dapat berupa penyekat, pengganjal, atau berupa alas. Bahannya dapat terbuat dari kertas, kertas tissue, atau busa plastik (Tim Penulis PS, 1992).

Beberapa faktor yang penting diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan pengemas. Sifat bahan pangan antara lain adalah adanya kecenderungan untuk mengeras dalam kadar air dan suhu yang berbeda-beda, daya tahan terhadap cahaya, oksigen, dan mikroorganisme (Winarno dan Jennie, 1983).

HDPE (High Density Polyethylene) dihasilkan dengan cara polimerisasi pada tekanan dan suhu yang rendah (10 atm, 50-70oC). HDPE lebih kaku dibandingkan LDPE dan MDPE, tahan terhadap suhu tinggi sehingga dapat digunakan untuk produk yang akan disterilisasi. Dalam perdagangan dikenal dengan nama alathon, alkathene, blapol, carag, fi-fax, bostalon (Syarief et al, 1989).

Bahan kemasan plastik dibuat dan disusun melalui proses yang disebut polimerisasi dengan menggunakan bahan mentah monomer yang tersusun sambung-menyambung menjadi satu dalam bentuk polimer. Plastik juga mengandung beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko

kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen nonplastik yang berupa senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul rendah. Bahan aditif dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar UV, anti lekat, dan masih banyak lagi (Winarno, 1993).

Bahan pengemas harus tahan terhadap serangan hama atau binatang pengerat dan bagian dalam kemasan yang berhubungan langsung dengan bahan pangan harus tidak berbau, tidak mempunyai rasa, serta tidak beracun. Selain itu bahan pengemas tidak boleh bereaksi dengan komoditi (Winarno dan Jennie, 1983).

Polietilen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polietilen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang thermoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Syarief et al, 1989).

Konversi etilen menjadi polietilen secara komersial semula dilakukan dengan tekanan tinggi, namun ditemukan cara tanpa tekanan tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

n(CH2=CH2) (-CH2-CH2-)n etilen polimerisasi Polietilen

Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping dari industri minyak dan batubara. Proses

polimerisasi yang dilakukan ada dua macam, pertama dengan polimerisasi dijalankan dalam bejana tekanan tinggi (1000-3000 atm) menghasilkan molekul makro dengan percabangan yakni campuran dari rantai lurus dan bercabang. Kedua, polimerisasi dalam bejana bertekanan rendah (10-40 atm) menghasilkan molekul makro berantai lurus dan tersusun paralel (Syarief et al, 1989).

Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap (Winarno dan Jenie, 1983). Monomer polipropilen diperoleh dengan pemecahan secara termal naphtha (distalasi minyak kasar) etilen, propylene dan homologues yang lebih tinggi dipisahkan dengan distilasi pada temperatur rendah. Dengan menggunakan katalis Natta-Ziegler polypropilen dapat diperoleh dari propilen (Birley, et al., 1988).

Film didefinisikan sebagai lembaran fleksibel, yang tidak berserat dan tidak mengandung bahan metalik. Film terbuat dari turunan sellulosa dan sejumlah resin termoplastik. Film terdapat dalam bentuk roll, lembaran dan tabung. Kemasan film dapat digunakan sebagai pembungkus, kantong, tas dan sampul, mengemas tembakau, biskuit, mentega, dan obat-obatan (Susanto dan Saneto, 1994).

Film kemasan yang cocok untuk buah-buahan dan sayuran, terutama untuk pembentukan atmoSFir di dalam kemasan adalah film yang lebih permeabel terhadap oksigen daripada terhadap karbondioksida. Penggunaan kemasan film dalam penyimpanan dingin yang menguntungkan melalui respirasi produk yang dikemas, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain suhu, kelembapan, waktu selama produk berada dalam kemasan, jenis dan berat produk (Syarief dan Halid, 1993).

Pemilihan film kemasan yang tepat untuk setiap produk penyimpanan disesuaikan pada permeabilitas film kemasan baik terhadap O2, CO2, H2O maupun gas-gas lainnya. Permeabilitas beberapa jenis kemasan terhadap O2 dan gas-gas lain dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Permeabilitas bahan kemasan (ml µ/cm2 hari atm) pada 10oC

Plastik tipis Permeabilitas terhadap O2

Linear low density polyethylene (LLDPE) 15,7

High density polyethylene (HDPE) 0,1

Low density polyethylene (LDPE) 6,7

Polypropylene (PP) 3,2

Oriented polypropylene (OPP) 2,1

Sumber: Yam et al. (1995)

Pengemasan dan Penyimpanan Pengemasan

Pengemasan bahan pangan adalah merupakan suatu bidang spesialisasi tersendiri. Suatu kemasan itu mempunyai banyak fungsi. Empat pertimbangan yang penting dari suatu kemasan adalah perlindungan terhadap bahan pangan, ekonomi kemasan, kemudahan kemasan, dan kenampakannya (Desrosier, 1988).

Pengemasan produk bertujuan untuk mengurangi kerusakan, memberi kemudahan dalam penanganan selanjutnya, memperpanjang masa simpan, dan memberi daya tarik bagi konsumen. Kemasan harus tetap kuat selama dalam pengangkutan dan pemasaran (Winarno dan Jennie, 1983).

Wadah mungkin dilapisi dengan alas, bantalan, nampan atau kertas pembungkus untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh sentuhan dengan permukaan kasar (Hardenberg, 1986).

Ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan bagi suatu kemasan Sifat-sifat produk, yaitu sifat dari bahan makanan yang dikemas, kondisi lingkungan yang dapat mengubah kemasan dan isinya harus diperhatikan, dan

bahan-bahan kemasan harus dapat menyesuaikan dengan peralatan pengolahan yang digunakan (Desrosier, 1988).

Sifat bahan makanan yang dikemas harus dipertimbangkan kerena adanya kecenderungan makanan untuk mengikat atau kehilangan air, kandungan minyak atau lemak bebas dalam makanan, adanya kecenderungan dari makanan untuk kehilangan cita rasa yang mudah menguap atau menyerap benda asing, kecenderungan mengeras pada suhu dan kadar air yang berbeda-beda, kepekaan makanan terhadap kerusakan karena cahaya, kepekaan makanan terhadap kerusakan karena oksigen udara, kepekaan makanan terhadap infestasi serangga, pertimbangan ukuran makanan dan pemisahannya (Desrosier, 1988).

Kondisi lingkungan penyimpanan juga berpengaruh, hal ini meliputi: kelembaban relatif ruang penyimpanan, suhu, ventilasi, tekanan, masalah-masalah pergudangan dan transportasi. Bahan-bahan kemasan harus mempunyai spesifikasi yang berkenaan dengan daya tahan tekanan, resistensi terhadap koyokan, kelunakan, kemampuan untuk membuat lipatan mati, kadar air, ketebalan, kemampuan untuk direkatkan, persyaratan perekatan, faktor transmisi uap air, dan memiliki sifat untuk pertimbangan lain (Desrosier, 1988).

Penyimpanan

Kelembaban udara didalam ruang penyimpanan dapat berhubungan langsung dengan daya tahan kualitas produk yang bersangkutan. Bila udara kering uap air akan diserap dari makanan yang sedang disimpan sehingga menyebabkan pelayuan buah-buahan dan sayuran. Bila udara terlalu lembab makanan akan menjadi rusak terutama bila suhu berubah-ubah (Desrosier, 1988).

Menurut Apandi (1984) Kebanyakan buah-buahan tahan baik pada kelembaban relatif 90%, sayuran bahkan lebih tinggi supaya tidak layu. Menurut Sitinjak, dkk (1993), laju pendinginan tiap komoditi tergantung atas 4 faktor yaitu jumlah bahan, beda suhu bahan dengan media pendingin, kecepatan aliran media pendingin, dan macam dari media pendingin.

Suhu tinggi merusak mutu simpanan buah buahan dan sayur sayuran. Namun suhu tinggi hasil panen tidak dapat dihindarkan terutama bila pemanenan dilakukan pada hari-hari panas. Pendinginan pendahuluan merupakan upaya untuk menghilangkan panas lapang. Tujuan umumnya adalah untuk memperlambat respirasi hasil, memperkecil kerentaan terhadap serangan mikroorganisme, mengurangi kehilangan air, dan meringankan beban system pendinginan (Pantastico, 1997).

Pengemasan Jamur Tiram Putih

Jamur tiram segar dapat dijual di pasar tradisional, baik dalam keadaan curah (tanpa kemasan) maupun menggunakan kemasan. Kemasan jamur tiram untuk pasar tradisional tidak harus sebaik kemasan untuk pasar swalayan. Pengemasan jamur tiram dapat dilakukan menggunakan plastik transparan dengan bobot tertentu, misalnya 0,25 kg, 0,5 kg, atau 1 kg untuk setiap kemasan (Suharyanto, 2010).

Khusus untuk pasar swalayan, bentuk dan jenis kemasan harus diperhatikan agar dapat diterima konsumen. Karena itu, jamur tiram perlu dikemas semenarik mungkin, sehingga konsumen terdorong untuk membelinya. Namun harga kemasan yang digunakan juga perlu dipertimbangkan agar harga jamur tiram yang dijual tidak terlalu mahal. Kemasan jamur tiram dapat

menggunakan wadah styrofoam yang ditutup dengan plastik wrap. Jenis kemasan lain yang bisa dipakai adalah plastik boks, yaitu kotak plastik untuk tempat kue yang banyak dijual di toko-toko (Suharyanto, 2010).

Kadang-kadang pada sayuran yang dikemas di dalam plastik yang telah mengalami perlakuan yang baik, masih juga bisa ditemui beberapa cacat atau kerusakan yang terselip. Sayuran semacam itu jika disimpan maka tidak akan tahan lama (Sumoprastowo, 2004).

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah suhu, kelembapan dan lama penyimpanan karena akan berpengaruh terhadap lingkungan dalam kemasan. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan kecepatan respirasi dan transpirasi sehingga menyebabkan terjadinya penguapan air. Sebagai akibatnya, kelembaban dalam kantong menjadi tinggi bahkan dapat mendekati atau mencapai 100% (Zuhairini, 1997).

Dokumen terkait