• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pisang Kepok

Pisang (Musa sp.) merupakan buah yang umum ditemui di daerah manapun di Indonesia. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai produsen pisang dunia. Indonesia sendiri telah memproduksi sebanyak 6,20% dari total produksi pisang dunia dan 50% dari total produksi pisang di Asia (Satuhu et al., 2008). Menurut Anonim (2009c), volume produksi pisang di Indonesia dari tahun 2007, 2008, dan 2009 berturut-turut adalah sebesar 5.454.226 ton, 5.741.351 ton, dan 6.373.533 ton.

Indonesia memiliki daerah sebaran produksi buah pisang yang luas. Hampir seluruh wilayah di Indonesia merupakan daerah penghasil pisang, baik yang ditanam di pekarangan maupun ladang, dan sebagian sudah ada dalam bentuk perkebunan. Jenis pisang yang ditanam mulai dari pisang untuk olahan (plantain) sampai jenis pisang komersial (banana) yang bernilai ekonomi tinggi. Sentra produksi pisang di Indonesia adalah Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, Serang), Jawa Tengah (Demak, Pati, Banyumas, Sidorejo, Kesugihan, Kutosari, Pringsurat, Pemalang), Jawa Timur (Banyuwangi, Malang), Sumatera Utara (Padang Sidempuan, Natal, Samosir, Tarutung), Sumatra Barat (Sunyang, Baso, Pasaman), Sumatera Selatan (Tebing Tinggi, OKI, OKU, Baturaja), Lampung (Kayu Agung, Metro), Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat (Prabawati et al., 2008).

Jenis pisang yang dijumpai di Indonesia pun ada bermacam-macam. Salah satu jenis pisang yang cukup banyak dijumpai di pasaran adalah pisang kepok

7

(Musa paradisiaca formatypica). Berikut adalah kedudukan tanaman pisang kepok dalam taksonomi tumbuhan (Satuhu dan Supriyadi, 2008).

Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberales Famili : Musaceae Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca formatypica

Pisang kepok merupakan salah satu jenis pisang yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Di Indonesia, buah pisang kepok umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan pisang goreng, keripik, dan aneka makanan tradisional lainnya. Dari industri olahan pisang kepok itu, dihasilkan limbah kulit pisang dengan volume yang cukup besar. Kulit pisang kepok itu sendiri masih jarang dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Padahal menurut Munadjim (1988), kulit pisang menyusun sekitar 1/3 bagian dari pisang yang masih utuh. Limbah kulit tersebut umumnya hanya dibuang sebagai limbah organik atau digunakan sebagai makanan ternak, seperti sapi, kambing dan kerbau (Susanti, 2006).

Salah satu kelebihan kulit pisang adalah mengandung berbagai zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh, seperti karbohidrat, serat kasar, kalsium, zat besi dan fosfor. Serat kasar berfungsi untuk mencegah terjadinya kanker usus dengan mempersingkat waktu transit feses pada saluran pencernaan sehingga bakteri patogen yang terdapat pada feses tidak mempunyai waktu yang cukup untuk

8

membentuk senyawa patogen (Manurung, 2007). Kalsium dapat digunakan oleh tubuh untuk pembentukan matriks tulang dan mencegah terjadinya pengeroposan tulang (Lane, 2001). Zat besi berperan dalam pembentukan sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh (Martin dan Ford, 2001). Fosfor bersama dengan kalsium berperan dalam proses pembentukan tulang (Meikawati et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Dewati (2008) memberikan informasi bahwa kadar gula pereduksi yang terkandung dalam kulit pisang kepok adalah sebesar 7,62%. Gula tersebut dapat menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme yang membutuhkan gula selama proses fermentasi. Kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam 100 gram kulit pisang kepok dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kulit Pisang Kepok

No. Komposisi Kulit Pisang Kepok Satuan Kadar

1 Air % 73,60 2 Protein % 2,15 3 Lemak % 1,34 4 Gula pereduksi % 7,62 5 Pati % 11,48 6 Serat kasar % 1,52 7 Abu % 1,03 8 Vitamin C mg/100 g 36 9 Mineral Ca mg/100 g 31 Fe mg/100 g 26 P mg/100 g 63 Sumber: Dewati (2008) 2.2 Kacang Hijau

Kacang-kacangan (Leguminosa) sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

9

merupakan sumber protein yang baik, dengan kandungan protein berkisar antara 20-35% (Astawan, 2009).

Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) merupakan tanaman tropis berumur pendek dan dapat tumbuh di daerah bercurah hujan rendah. Tanaman ini dapat tumbuh hampir di semua wilayah di Indonesia. Menurut Anonim (2015) jumlah produksi kacang hijau di Indonesia pada tahun 2013, 2014, dan 2015 secara berturut-turut adalah sebesar 204.670 ton, 244.589 ton, dan 271.420 ton.

Tanaman kacang hijau termasuk suku (famili) Leguminosae yang banyak varietasnya. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 1997).

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Leguminales Famili : Leguminosae Genus : Phaseolus

Spesies : Phaseolus radiatus L.

Kacang hijau merupakan sumber protein nabati. Protein kacang hijau mengandung asam amino leusin, arginin, isoleusin, valin, dan lisin (Rukmana, 1997). Selain protein, kacang hijau juga merupakan sumber kalori, vitamin, dan mineral yang cukup tinggi. Kandungan gizi yang terdapat dalam 100 gram kacang hijau disajikan pada Tabel 2.

10

Tabel 2. Kandungan Gizi Kacang Hijau per 100 gram

Zat Gizi Satuan Biji Kacang Hijau

Energi kkal 345 Protein g 22.2 Lemak g 1.2 Karbohidrat g 62.9 Kalsium mg 125 Fosfor mg 320 Besi mg 7 Vitamin A SI 157 Vitamin B1 mg 0.64 Vitamin C mg 6 Sumber: Anonim (1989)

Lemak kacang hijau tersusun atas 73% asam lemak tak jenuh dan 27% asam lemak jenuh. Kandungan asam lemak tak jenuh pada kacang hijau menjadikan kacang ini baik jika dikonsumsi bagi mereka yang menderita obesitas untuk menurunkan berat badan (Triyono et al., 2010). Vitamin A berfungsi untuk menunjang indera penglihatan (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003). Vitamin B1 yang terkandung dalam kacang hijau berfungsi untuk mencegah penyakit beri-beri, membantu proses pertumbuhan, meningkatkan nafsu makan, memperbaiki saluran pencernaan, dan memaksimalkan kerja syaraf (Firlana et al., 2010). Vitamin B1 itu sendiri merupakan bagian dari koenzim yang berperan penting dalam oksidasi karbohidrat untuk diubah menjadi energi (Triyono et al., 2010).

2.3 Susu

Susu adalah makanan cair yang diproduksi oleh kelenjar susu mamalia betina sehat yang sedang mengalami laktasi. Susu itu sendiri dapat dikatakan sebagai bahan makanan seimbang dan bernilai gizi tinggi karena mengandung hampir semua zat-zat makanan, seperti karbohidrat, protein, mineral, dan vitamin.

11

Menurut Santosa dan Budiana (2014), susu merupakan sumber kalsium, fosfor, vitamin B dan protein yang sangat baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kata susu juga digunakan untuk minuman yang dikategorikan sebagai pengganti susu hewani yang berasal dari kacang atau tumbuhan lain, seperti susu kacang hijau, susu kedelai, susu kelapa (coconut milk), dan susu beras (tajin). Susu yang menggunakan bahan dasar dari tumbuh-tumbuhan disebut dengan susu nabati (Hasim dan Martindah, 2008).

Masyarakat umumnya lebih akrab dengan susu sapi dibandingkan jenis susu yang lain. Hal ini dikarenakan susu sapi mudah ditemui di supermarket dan telah disajikan dalam berbagai bentuk kemasan yang menarik di pasaran. Namun harga susu yang mahal menyebabkan tidak semua kalangan mampu untuk membelinya. Selain itu, kandungan laktosa dalam susu sapi menyebabkan orang-orang yang memiliki lactose intolerance kesulitan untuk mengonsumsi susu sapi. Hal ini mendorong munculnya minuman alternatif pengganti susu sapi.

Hasil penelitian Kusmartono dan Wijayati (2012) menyebutkan bahwa susu yang terbuat dari kulit pisang kepok dan kacang hijau dengan perbandingan 2:1 memiliki kandungan karbohidrat sebesar 12,14%, protein sebesar 8,83%, dan lemak sebesar 0,12%. Selain itu, kulit pisang kepok dan kacang hijau itu sendiri kaya akan zat gizi, seperti fosfor, kalsium, serat, vitamin, dan antioksidan.

Kacang hijau mengandung enzim lipoksigenase yang dapat menyebabkan munculnya rasa dan bau yang langu pada susu. Enzim ini dapat diinaktifkan dengan menambahkan air panas yang bersuhu 80-100oC pada saat proses penggilingan kacang (Purwaningsih, 2007).

12

2.4 Sukrosa

Sukrosa merupakan jenis gula dalam golongan disakarida yang memiliki peranan penting dalam industri pangan. Sukrosa akan berubah menjadi dua molekul monosakarida apabila dihidrolisis, yaitu menjadi glukosa dan fruktosa (Sastrohamidjojo, 2005). Sukrosa banyak ditemukan pada tebu, bit, dan siwalan. Menurut Fennema (1985), fungsi sukrosa yang merupakan gula pada umumnya adalah untuk membantu dalam pembentukan tekstur produk, memberi flavor melalui reaksi pencoklatan, dan memberi rasa manis.

Sukrosa dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi bakteri asam laktat (BAL) pada proses pembuatan yoghurt. Menurut Misrianti (2013), perlakuan penambahan sukrosa diduga dapat memberikan nutrisi tambahan bagi BAL untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Dengan tersedianya nutrisi yang optimal, maka aktivitas BAL akan meningkat sehingga menyebabkan jumlah asam hasil metabolisme juga meningkat.

Kandungan sukrosa yang terlalu tinggi juga dapat berpengaruh negatif bagi pertumbuhan BAL. Setiap bakteri memiliki level toleransi yang berbeda terhadap sukrosa. Kandungan sukrosa yang direkomendasikan untuk pembuatan susu fermentasi yaitu di bawah 8 – 10 gram per 100 g susu. Namun, beberapa strain bakteri yoghurt mempunyai toleransi yang tinggi terhadap sukrosa (Tamime, 2006).

2.5 Yoghurt

Yoghurt merupakan salah satu minuman olahan susu fermentasi oleh jenis bakteri asam laktat (BAL), seperti Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Shima et al., 2012). Yoghurt umumnya terbuat dari susu hewani

13

seperti susu sapi, susu kuda, maupun susu kambing, dan dapat juga terbuat dari susu nabati termasuk susu kacang dari jenis kacang-kacangan.

Berdasarkan flavor yang ditambahkan, yoghurt dapat dibedakan menjadi tiga jenis, antara lain: (1) natural (plain) yoghurt, yaitu yoghurt dengan kandungan asam yang tinggi dan tidak diberi penambahan flavor, (2) fruit yoghurt, yaitu yoghurt yang ditambahkan buah dan pemanis, dan (3) flavored yoghurt, yaitu yoghurt yang diberi pewarna dan flavor sintetik (Tamime dan Robinson, 1989).

Pembuatan yoghurt sebenarnya adalah fermentasi laktosa oleh kultur bakteri untuk menghasilkan asam laktat. Kultur yoghurt mempunyai peranan penting dalam proses asidifikasi dan fermentasi susu. Berikut merupakan proses pembuatan yoghurt secara umum (Wahyudi dan Samsundari, 2008):

1. Homogenisasi

Perlakuan homogenisasi bertujuan untuk mencegah timbulnya lapisan lemak pada permukaan susu dengan cara memecah globula-globula lemak menjadi kecil dan seragam sehingga lebih stabil dan diperoleh yoghurt dengan tekstur yang halus. Bila bahan dasar dicampur dengan bahan lain untuk meningkatkan jumlah zat padatnya maka proses homogenisasi dapat meratakan campuran sehingga dapat meningkatkan viskositas yang dihasilkan.

2. Pasteurisasi

Tahap pasteurisasi bertujuan untuk menginaktifkan enzim dan membunuh mikroorganisme patogen dalam susu. Suhu pasteurisasi yang digunakan adalah 85-90oC selama 10-15 menit.

14

3. Pendinginan

Pendinginan dilakukan secara cepat sampai suhu mencapai 37 – 45oC untuk menghindari kontaminasi. Suhu tersebut merupakan suhu yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. 4. Inokulasi

Inokulasi merupakan penambahan bakteri starter pada susu setelah proses pendinginan.

5. Inkubasi

Inkubasi dilakukan sampai diperoleh flavor yang khas dan kenampakan yang semi kental padat. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 – 45oC.

Kualitas hasil akhir yoghurt dipengaruhi oleh komposisi dan preparasi kultur starter. Contoh BAL yang umum digunakan dalam pembuatan yoghurt secara tradisional adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Irkin dan Eren, 2008). Untuk memperoleh yoghurt yang mempunyai tekstur dan flavor yang baik, digunakan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus

dengan perbandingan 1:1 (Vedamuthu, 1982).

Secara umum, fungsi utama dari kultur ini adalah untuk memproduksi asam laktat dari gula yang terdapat pada susu sehingga menyebabkan terbentuknya curd. Selama fermentasi, terjadi proses hidrolisis pada protein susu, penurunan pH, peningkatan viskositas, dan metabolisme dari mikroorganisme menyebabkan terbentuknya rasa yang khas pada yoghurt. Selain itu, pH rendah yang terbentuk mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen yang tidak diinginkan (Opara et al., 2013). Aktivitas enzim proteolitik dari Lactobacillus bulgaricus

15

peptida-peptida yang akan menstimulasi pertumbuhan Streptococcus thermophilus

(Hidayat et al., 2006).

Kultur bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang ditambahkan memiliki tugas atau fungsi yang berbeda. Selama pertumbuhan,

Streptococcus thermophilus akan berkembang lebih cepat daripada Lactobacillus bulgaricus dengan mengawali pembentukan asam laktat melalui fermentasi laktosa dan pertumbuhan ini akan terus berlangsung hingga susu mencapai pH 5,0 (Sfakianakis et al., 2014), sedangkan Lactobacillus bulgaricus berperan dalam menghasilkan aroma melalui produksi asam laktat dan asetaldehid (Winarno, et al., 2003).

Ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi karakteristik yoghurt. Salah satu faktor tersebut adalah konsentrasi gula. Penggunaan gula dalam industri pangan umumnya berfungsi sebagai penambah cita rasa (Maryana, 2014). Dalam pembuatan yoghurt, fungsi gula tidak hanya dijadikan sebagai pemanis, melainkan dimanfaatkan oleh BAL sebagai sumber energi, pertumbuhan, dan menghasilkan metabolit berupa asam laktat selama proses fermentasi. Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan jumlah sel bakteri, dimana semakin banyak sel bakteri yang ada, maka sukrosa akan semakin banyak digunakan untuk metabolisme sel. Namun, konsentrasi gula yang terlalu tinggi menyebabkan kondisi lingkungan menjadi hipertonik sehingga cairan dalam sel mikroorganisme mengalir keluar yang mengakibatkan terjadinya dehidrasi dan pengkerutan sel mikroorganisme atau yang biasa disebut dengan peristiwa plasmolisis (Maryana, 2014). Oleh karena itu, diperlukan konsentrasi gula yang tepat agar BAL yang diinokulasikan ke dalam

16

susu dapat berkembangbiak secara maksimal dan menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang baik.

Kegiatan produksi suatu produk pangan memerlukan acuan agar produk yang dihasilkan dapat diterima oleh konsumen. Salah satu contoh acuan yang dapat digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI). Yoghurt yang dihasilkan sebaiknya memenuhi syarat SNI yang mencantumkan tentang kriteria karakteristik yoghurt secara umum. SNI untuk yoghurt dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. SNI No. 2981 tentang Yoghurt

No. Kriteria Uji Satuan Yogurt

Yogurt rendah lemak Yogurt tanpa lemak 1 Keadaan

1.1 Penampakan - cairan kental-padat

1.2 Bau - normal/khas

1.3 Rasa - asam/khas

1.4 Konsistensi - homogen

2 Kadar lemak (b/b) % min.

3,0 0,6-2,9 maks. 0,5 3 Total padatan susu bukan

lemak (b/b) % min. 8,2

4 Protein (Nx6,38) (b/b) % min. 2,7

5 Kadar abu (b/b) % maks. 1,0

6 Keasaman (dihitung sebagai

asam laktat) (b/b) % 0,5-2,0

7 Cemaran logam

7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,3

7.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 20,0

7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0

7.4 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03

8 Arsen mg/kg maks. 0,1

9 Cemaran mikroba

9.1 Bakteri coliform koloni/g maks. 10

9.2 Salmonella - negatif/25 g

9.3 Listeria monocytogenes - negatif/25 g 10 Jumlah bakteri starter koloni/g min. 107 Sumber: Anonim (2009a)

17

Konsumsi susu fermentasi dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Manfaat tersebut yaitu memacu pertumbuhan karena dapat meningkatkan pencernaan dan penyerapan zat-zat gizi, dapat mengurangi atau membunuh bakteri jahat dalam saluran pencernaan, dapat menormalkan kerja usus besar (mengatasi konstipasi dan diare), memiliki efek anti kanker, dapat mengatasi masalah Lactose intolerance, berperan dalam detoksifikasi dan mengatasi stress, serta mengontrol kadar kolesterol dalam darah dan tekanan darah (Robinson et al., 1999). Bakteri asam laktat yang terdapat dalam susu fermentasi juga bisa memberikan manfaat positif bagi kesehatan, khususnya menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan. Produk akhir susu fermentasi yang demikian dikenal sebagai makanan fungsional (Surono, 2004).

2.6 Bakteri Asam Laktat (BAL)

Menurut Yildiz (2010), bakteri asam laktat merupakan bakteri yang pada umumnya digunakan dalam fermentasi susu. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif berbentuk kokus atau batang, tidak membentuk spora, suhu optimum ±40oC, pada umumnya tidak motil, bersifat anaerob, katalase negatif dan oksidase positif, dengan asam laktat sebagai produk utama fermentasi karbohidrat. Sifat-sifat khusus bakteri asam laktat adalah mampu tumbuh pada kadar gula, alkohol, dan garam yang tinggi, serta mampu memfermentasikan monosakarida dan disakarida (Syahrurachman, 1994).

Berdasarkan produk yang dihasilkan selama fermentasi, BAL dibedakan menjadi homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri homofermentatif menghasilkan produk fermentasi tunggal yaitu asam laktat, sedangkan bakteri

18

heterofermentatif memproduksi asam laktat dan etanol (Bamforth, 2005). Pencampuran beberapa jenis mikroorganisme dapat menghasilkan citarasa yang unik dan sampai sekarang masih terus diteliti (Yildiz, 2010).

Bakteri homofermentatif akan menghasilkan asam laktat sebagai produk utama. Asam laktat tersebut merupakan hasil dari pemecahan glukosa menjadi piruvat yang kemudian diubah menjadi asam laktat melalui jalur glikolisis. Bila pada suatu makanan terkandung gula disakarida seperti laktosa atau sukrosa, maka mikroorganisme akan melakukan hidrolisis gula tersebut. Laktosa akan dipecah menjadi galaktosa dan glukosa oleh enzim laktase, sedangkan sukrosa akan dipecah menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim sukrase (Ray, 2004).

19

Gambar 1. Metabolisme homofermentatif bakteri asam laktat (Prescott et al., 2002) Fruktosa Glukosa Fruktosa-6-fosfat ATP ADP Glukosa-6-fosfat ATP ADP 2 Gliseraldehid-3-fosfat ATP ADP 2-piruvat 2-Laktat 4 ATP 4 ADP 2 Pi 2 NAD+ 2 NADH 4 ATP 4 ADP 2 NAD+ 2 NADH

20

Gambar 2. Metabolisme heterofermentatif bakteri asam laktat (Prescott et al., 2002) Glukosa Glukosa-6-fosfat ATP ADP Fruktosa-6-fosfat ATP ADP 6-fosfoglukonat 2 NAD+ 2 NADH Ribulosa-5-fosfat 2 NAD+ 2 NADH CO2 Xilulosa-5-fosfat

Gliseraldehid-3-fosfat Asetil fosfat Asetat

ATP ADP Piruvat Laktat NAD+ NADH 2 ADP 2 ATP 2 Pi NADH NAD+ CoA Pi Etanol NADH NAD+ Asetil CoA Asetaldehid NADH NAD+ Fruktosa

21

Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus merupakan contoh BAL yang umum digunakan sebagai starter dalam proses pembuatan yoghurt.

Streptococcus thermophilus adalah bakteri gram positif, berbentuk bulat (kokus) dan membentuk rantai, dan mempunyai nilai ekonomis penting dalam industri susu (Sumanti, 2008). Bakteri ini tergolong homofermentatif, yaitu bakteri yang dalam proses fermentasinya menghasilkan lebih dari 85% asam laktat, sedangkan suhu optimum pertumbuhannya 37-42oC, dengan pH optimum 6,5, dan tidak dapat tumbuh pada suhu 10oC (Helferich dan Westhoff., 1980). Taksonomi Streptococcus thermophilus berdasarkan Vos et al., (2009) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Procariota Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies : Streptococcus salivarus

Subspecies : Streptococcus salivarus subspecies thermophilus

Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri gram positif, berbentuk batang dan membentuk pasangan atau rantai (Sumanti, 2008). Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu optimum 30-40oC dan tumbuh optimal pada pH 5,5-6,2 (Vos et al., 2009). Taksonomi Lactobacillus bulgaricus berdasarkan Vos et al., (2009) adalah sebagai berikut.

22 Kingdom : Procariota Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Lactobacillales Famili : Lactobacillaceae Genus : Lactobacillus

Spesies : Lactobacillus delbrueckii

Subspecies : Lactobacillus delbrueckii subspecies bulgaricus

Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus memecah laktosa (gula susu) dan menghasilkan asam laktat. Asam ini sekaligus mengawetkan susu dan mendegradasi laktosa sehingga orang yang tidak toleran terhadap susu murni dapat mengonsumsi yoghurt tanpa mendapat masalah kesehatan (Saraswati, 2011).

Dokumen terkait