• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Analisis Gender

Konsep gender dan jenis kelamin itu berbeda sekali. Konsep jenis kelamin lebih berorientasi kepada struktur biologis, yaitu jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara social maupun cultural (Fakih, 2004:8). Perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara social atau cultural melalui ajaran keagamaan maupun negara dan lambat laun hal ini dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Misalnya anggapan bahwa laki-laki itu kuat, perkasa, rasional dan lain-lain sedangkan wanita dianggap emosional, lemah lembut dan lain-lain. Perbedaan gender ini pada hakikatnya tidak merupakan suatu masalah sepanjang tidak terjadi ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan itu adalah:

- Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas angota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Tidak ikutnya wanita berpartisipasi dalam dunia pendidikan, ternyata memiskinkan mereka (perempuan), karena mereka terhambat dalam mencari pekerjaan yang lebih baik.

- Subordinasi

Pandangan gender bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting

- Stereotipe

Steorotipe adalah pelabelan atau penandaan tehadap suatu kelompok tertentu. Dan pelabelan ini menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok yang disteorotipkan. Misalnya pada perempuan, steorotipe bahwa wanita yang keluar malam dilabelkan sebagai wanita yang tidak “baik-baik”.

- Kekerasan

kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu diakibatkan oleh anggapan gender dan ini disebut dengan gender-related violence.

Peran Ganda Perempuan

Pembagian kerja secara seksual yang mulai aktif diberlakukan pascarevolusi industri ketika modernisasi di Eropa mulai menyebar bibit dan menyentuh segala aspek kehidupan sosial. Jejak-jejak pembagian kerja ini antara lain dapat diselusuri lewat kajian Smelser tentang Diferensiasi Struktural yang menjadi salah satu ciri modernisasi. Setiap fungsi yang bekerja dalam suatu hierarki struktural membutuhkan pembedaan tugas yang jelas. Upaya memodernkan diri sejadi-jadinya ini ternyata menuntutdiferensiasi yang berlaku juga pada fungsi-fungsi gender .

Pembagian kerja secara seksual bermuara pada tujuan efektivitas dan efisiensi sehingga setiap tindakan sosial dapat terukur dengan parameter-parameter yang jelas. Pengukuran parameter-parameter-parameter-parameter tersebut ternyata mengerucut pada pembentukan sistem nilai baru. Modernisasi yang menempatkan kapital sebagai panglima akhirnya meletakkan sektor publik sebagai fungsi yang bernilai lebih dibanding sektor domestik, karena sektor publik memang lebih produktif menghasilkan kapital. Subordinasi atas perempuan akhirnya terjadi dan menimbulkan bias gender. Bias gender sering mengakibatkan beban kerja. Hal ini disebabkan adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa suatu pekerjaan merupakan pekerjaan suatu jenis kelamin tertentu. Misalnya pekerjaan rumah tangga atau sering disebut dengan pekerjaan domestik dianggap merupakan tanggungjawab atau beban perempuan. Peran wanita yang bekerja di sektor publik akan secara langsung mengkondisikan dirinya dalam peran ganda perempuan.

Peran ganda yang dilakoni wanita tersebut pasti akan berpengaruh terhadap fungsinya dalam keluarga, khususnya yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Easterlin dan Fredman ( dalam Wirosuhardjo 1986:108) dalam kerangka analisa fertilitas (jumlah anakyang lahir dalam keadaan hidup) mengemukakan bahwa factor-faktor social ekonomi, budaya tidak mempunyai hubungan langsung dengan fertilitas. Begitu juga menurut Davis dan Blake (dalam Singarimbun, 1996:5) terdapat beberapa variable antara melalui factor-faktor social dan budaya dalam mempengaruhi fertilitas. sehingga apabila ingin menghubungkan antara jenis

pekerjaan dengan jumlah anak maka kita harus melihat dan menjelaskan variable antaranya.

Adapun di lokasi penelitian ini, masyarakatnya pada umumnnya berlaku sistem patriarki. Pada masyarakat patriarki , peran reproduksi wanita sering tidak diakui, misalnya dalam hal jumlah anak yang diiginkan, sering wanita hanya bersifat “ nrimo”. Hal ini diakibatkan oleh sistem patrairki tersebut yang berkarakteristik :

1. Dominasi laki-laki atas perempuan

2. Dominasi laki-laki yang tua terhadap laki-laki muda

3. Penghargaan tinggi terhadap peran, aktivitas, dan hasil karya laki-laki 4. Laki-laki dipandang lebih berbudaya, perempuan dekat dengan alam 5. Laki-laki pemilik, perempuan sebagai perawat

6. Laki-laki menjadi tolak ukur dan norma universal 7. Hubungan reproduksi terikat dalam keluarga

8. Perlindungan dan Pengatasnamaan laki-laki terhadap perempuan 9. Perbedaan kesempatan untuk berpartisipasi dan akses terhadap sumber

hidup

10.Streotip social.

Karakteristik di atas memang sudah banyak mengalami pergeseran, seiring dengan waktu ditambah lagi dengan berbagai program pemerintah dalam mengikut sertakan wanita dalam pembangunan. Ketelibatan wanita tersebut dalam sector public tidak bisa dihindari lagi disamping peran domestiknya dalam keluarga.

Banyak penelitian tentang keluarga dimana perempuan mempunyai peran ganda dalam keluarga yaitu perannya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus pekerjaan domestic seperti mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak dan lain lain. Sementara di satu sisi lagi perempuan berperan dalam hal perekonomian yaitu pencari nafkah yang terkadang hanya dianggap sebagai penghasil tambahan. Wanita yang bekerja ternyata mengalami dilemma antara karir yaitu tingkat upah dan keluarga yang tetap menghadapi kehadirannya. (http/library.usu.ac.id/download/fisip/sosiologi-hadriana2.pdf)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sukanti ( Ihromi, 1990:165) alasan wanita untuk bekerja adalah:

-ingin punya penghasilan sendiri - memanfaatkan ilmu

-mewujudkan cita-cita -hanya sebagai hobby

Moore dan Sinclair mengidentifikasikan 2 macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja: segragasi vertical dan segregasi horizontal, segregasi vertical mengacu pada konsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi seperti jabatan pramuniaga, tenaga kebersihan dan lain-lain. Segregasi horizontal di pihak lain mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan perempuan sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengna jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki

Basow (1992) mengutarakan mitos wanita yang bekerja: - wanita bekerja hanya untuk “pin money”

- wanita kurang dapat dipercaya daripada laki-laki dalam hal absen

- wanita mempunyai rating pergantian pekerjaan lebih tinggi dari laki-laki - wanita mempunyai bakat yang berbeda dengan laki-laki

- wanita mengambil pekerjaan laki-laki

- mencampurkan sex dalam lingkungan pekerjaan merusak konsentrasi - wanita tidak dapat menghendaki posisi kekuatan

Penelitian tentang pekerjaan wanita mempengaruhi jumlah anak pernah dilakukan pada wanita yang bekerja di pabrikan ( Abdullah, 1997:168), dalam penelitian tersebut diketahui bahwa wanita mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan berapa jumlah anak yang diinginkannya dan suaminya tidak dapat memaksa lagi. Tidak seperti dahulu dimana apabila wanita tidak dapat melahirkan anak seperti yang diingnkan oleh suami, misalnya menghendaki anak laki-laki, wantia itu akan dicemooh sebagai wanita bodoh diakibatkan tidak dapat memenuhi keinginan suami. Wanita pun menjadi sasaran kesalahan, meskipun hal itu sudah di luar kemampuan manusia.

2.3.Nilai (Utility) Anak

Banyak penelitian tentang wanita bekerja, dan kesimpulan diantaranya adalah bahwa wanita yang bekerja cenderung mempunyai anak yang lebih sedikit, atau sebaliknya jumlah anak yang banyak dapat mendorong wanita untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Kebanyakan yang menjadi alasan utama terhadap jumlah anak adalah ekonomi. jenis pekerjaan yang digeluti wanita mampu menurunkan atau menambah kegunaan ( utility ) ekonomi

yang diharapkan dari anak akibatnya jumlah anak yang diinginkan akan berkurang atau sebaliknya bertambah.

Menurut Pelkman ( dalam Soekanto, 1983:162-164), nilai-nilai mengandung tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan aspek konatif.

1. Aspek kognitif

Yaitu aspek yang mencakup: 1, aspek deskriptif yaitu merupakan penggambaran dari hal-hal yang ideal, yang dianut secara nyata atau tidak nyata, oleh pribadi atau kelompok yang menganut niai tertentu. Hal yang ideal tersebut tidak perlu direalisasikan secara praktis. Yang penting adalah bahwa aspek deskriptif tersebut akan memberikan pengarahan bagi pribadi atau kelompok. Fungsinya adalah sebaai patokan. 2, aspek legitimasi yaitu merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengapa pribadi atau kelompok menghargai sesuatu. Jawabannya biasanya mengarah pada suatu nilai atau nilai-nilai lainnya.

2. Aspek afektif

Aspek afektif merupakan aspek yang mencakup komponen-komponen emosional. Aspek ini berhubungan dengan tingkat harapan-harapan yang tersimpul di dalam nilai-nilai yang sifatnya potensial.

3. Aspek konatif

Yaitu merupakan perilaku yang mau dilakukan oleh pribadi atau kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan, yang berasal dari nilai-nilai tertentu.Yang dalam penelitian ini juga, nilai anak tidak terlepas dari bagaimana perilaku individu tersebut untuk menetapkan jumlah anak. Walau dalam kenyataannya, sering terjadi pembatasan-pembatasan terhadap perilaku individu atau kelompok. Hal ini

terjadi karena pihak-pihak lain yang mungkin mempunyai kekuasaan yang lebih besar

Fawcett mengemukakan bahwa ada enam nilai anak bagi orang t

(1) perekat cinta kasih

Anak sebagai perekat cinta kasih diartikan sebagai bahwa anak bisa dijadikan alasan bagi orang tua untuk tetap menjaga keutuhan keluarga

(2) sumber tenaga kerja,

Anak merupakan sumber tenaga kerja yang mampu memberikan kontribusi ekonomi bagi keluarga

(3) asuransi di hari tua,

Anak adalah asuaransi di hari tua, yang berarti bahwa anak dijadikan sandaran hidup kelak orangtuanya sudah tua dan tidak mampu menukupi diri sendiri

(4) pelangsung keturunan

Anak dijadikan sebagai penerus keturunan (5) sumber rezeki,

Dokumen terkait