• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani sagu

Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu pleonanthic dan hepaxanthic. Pleonanthic adalah tanaman sagu yang ber- bunga atau berbuah dua kali dengan kandungan pati rendah. Hepaxanthic adalah tanaman sagu yang berbunga atau berbuah satu kali dan mengandung pati lebih banyak (Bintoro et al., 2010).

Batang sagu merupakan bagian yang sangat penting karena mengandung pati yang diambil untuk berbagai keperluan. Pada umur 3-11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan dapat mencapai 20 m. Sagu memiliki batang tertinggi pada umur panen yakni 11 tahun keatas (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu dapat mencapai tinggi 25 m dan 8-16 m batang dapat menghasilkan pati (Atmawidjaja, 1992). Lapisan kulit paling luar berupa lapisan sisa-sisa pelepah daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat hanya lapisan kulit tipis pembung- kus kulit dalam yang keras. Pada tanaman sagu yang masih muda, kulit dalam ter- sebut tipis dan tidak begitu keras. Serat dan empulur pada sagu muda masih muda dan banyak mengandung air, sedangkan pada sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat sudah mulai kering dan mengeras (Bintoro et al., 2010). Menurut Rumalatu (1981) kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda- beda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat sagu itu tumbuh.

Sagu mempunyai daun sirip menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Daun sagu memiliki anak daun dengan panjang 1,5 m, bertangkai dan berpelepah. Panjang daun sagu dapat mencapai 7 m. Setiap bulan sagu mem- bentuk satu tangkai daun dan diperkirakan berumur rata-rata sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah tua (Flach, 1983).

Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pun- cak batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat (Bintoro et al., 2010). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), penurunan kandungan pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga.

Ekologi dan Penyebaran Sagu

Secara alami tanaman sagu tersebar dari Melanesia di Pasifik Selatan di sebelah Timur sampai ke India sebelah Barat (90°-180° BT) dan dari Mindanau di sebelah Utara sampai di pulau Jawa di sebelah Selatan (10° LU-10° LS) (Johson dalam Djoefrie, 1999). Hutan sagu ditemukan di lahan-lahan sepanjang dataran rendah tepi pantai hingga ketinggian 1000 m dpl, sepanjang tepi sungai dan di sekitar danau ataupun rawa. Ketinggian tempat yang terbaik sampai 400 m dpl, lebih dari itu pertumbuhan sagu terhambat dan produksinya rendah (Djoefrie, 1999). Suhu udara terendah bagi pertumbuhan tanaman sagu adalah 15°C, dengan kelembaban udara sekitar 90% dan intensitas cahaya sekurang-kurangnya 900 joule/cm2/hari. Apabila suhu udara rata-rata kurang dari 20°C atau kelembaban kurang dari 70% maka pembentukan pati berkurang 25% (Bintoro et al., 2010 ; Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1993). Umumnya di Serawak sagu tumbuh di tanah gambut, tetapi pertumbuhannya lambat, jumlah daun lebih sedikit (17-19 daun dibandingkan di tanah mineral 20-24 daun) dan hasil per batang lebih rendah dibandingkan di tanah mineral (Flach dan Schuiling, 1991). Pada tanah gambut masa tebang 12.7 tahun sedangkan di tanah mineral 9.8 tahun (Kueh et al., 1991), rata-rata pati keringnya lebih sedikit yaitu 88-179 kg/tanaman dibandingkan di tanah mineral 123-189 kg/tanaman (Sim dan Ahmad, 1991) dan produksi per satuan waktu 25% lebih rendah dari sagu yang tumbuh pada tanah mineral (Kueh, 1995).

Sagu dapat tumbuh dengan baik pada tanah vulkanik, podzolik merah ku- ning, grumosol, alluvial dan hidromofik (Djoefrie, 1999). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pada tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan sagu menjadi kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar teruta- ma unsur P, K dan Mg. Akar nafas tanaman sagu yang terendam terus menerus a- kan menghambat pertumbuhan sagu sehingga pembentukan pati dalam batang ju- ga terhambat.

Menurut Djoefrie (1999), satu hal yang menarik dari tanaman sagu yaitu tanaman tersebut dapat tumbuh pada suatu kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh dan apabila tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, umbi-umbian

dan palawija hasilnya akan membusuk bila terendam ≥ 1 m, tetapi pati yang masih terdapat di batang sagu tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam ≥ 1 m sela- ma beberapa hari.

Sagu tumbuh tersebar di Kepulauan Nusantara. Lebih dari 95 % tanaman sagu terdapat di Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea, sisanya terdapat di pulau-pulau di Pasifik, Filipina dan Thailand bahkan sampai India (Flach, 1983). Lebih dari 50 % sagu Indonesia tumbuh di Papua. Provinsi lainnya yang memiliki sagu yang agak luas yaitu Maluku, Maluku Utara, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara (Bintoro, 2008).

Persemaian Bibit Sagu

Kegiatan persemaian merupakan kegiatan lanjutan dari penyeleksian abut (anakan sagu). Persemaian bertujuan memberikan kondisi yang sesuai atau akli- matisasi untuk abut-abut yang akan di tanam di lapangan. Aklimatisasi bertujuan agar abut tersebut tidak stres, sehingga selama proses persemaian kondisi abut ba- ik dan sehat untuk ditanam di lapangan. Lama bibit di persemaian yaitu selama ti- ga bulan, bibit memiliki rata-rata jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik sehingga bibit sudah siap dipindah ke lapang (Bintoro et al., 2010).

Bibit yang digunakan dapat berasal dari biji (generatif) dan dari tunas atau anakan sagu (vegetatif). Perbanyakan tanaman secara generatif belum optimal keberhasilannya, terutama dalam perkecambahan biji (Flach dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Bibit yang diambil sebagai bahan tanaman adalah bibit yang telah matang atau tua. Bibit sagu umumnya dapat ditemukan pada kebun yang pohon induknya sudah dipanen 3-4 kali. Bibit yang baik dengan bobot 2-5 kg dan bong- gol berbentuk “L” (Wibisono, 2011).

Sebelum penyemaian bibit terlebih dahulu dilakukan pemotongan pelepah dan tunas kurang lebih 20-30 cm dari banir, terutama untuk tunas-tunas yang telah mengering akibat terlalu lama di tempat persiapan bahan tanam. Tujuan pemo- tongan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya menjadi daun (Asmara, 2005).

Teknik pembibitan yang dilaksanakan pada bibit sagu adalah persemaian rakit. Persemaian rakit dilaksanakan pada parit atau kanal dengan air mengalir.

Rakit bisa terbuat dari bambu atau pelepah tua tanaman sagu. Keuntungan meng- gunakan persemaian rakit adalah kemampuan tumbuh bibit tinggi serta peme- liharaan sangat sedikit. Selain menggunakan rakit, persemaian juga bisa dilakukan dengan menggunakan teknik kolam dan polibag. Pada persemaian menggunakan polibag digunakan tanah gambut ke dalam polibag tersebut (Bintoro, 2008). Me- nurut Pinem (2008), perlakuan persemaian dengan polibag menghasilkan nilai ra- ta-rata panjang tunas yang rendah jika dibandingkan dengan sistem rakit dan ko- lam. Hal ini karena kadar air polibag cukup rendah, sedangkan bibit sagu membu- tuhkan kadar air yang tinggi untuk pertumbuhannya.

Pupuk dan Pemupukan

Pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau di- semprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan me- nambah persediaan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk me- ningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Sarief, 1985).

Menurut Hardjowigeno (2007), agar pemupukan efisien maka dalam pe- mupukan harus diketahui beberapa hal, yaitu tanaman yang akan dipupuk, jenis tanah, jenis pupuk, dosis pupuk, waktu dan cara pemupukan. Dosis pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah dan kadar unsur hara yang terdapat dalam pu- puk. Menurut Harjadi (1996), pada banyak tanaman, N diberikan beberapa kali se- lama musim tanam karena N mudah tercuci dan mudah berubah ke bentuk gas yang tidak tersedia bagi tanaman.

Pupuk terbagi menjadi pupuk alami dan buatan. Pupuk alami adalah pupuk yang telah tersedia di alam dan dapat diserap tanaman, sedangkan pupuk buatan adalah pupuk yang sengaja dibuat dengan menambahkan unsur hara tertentu. Selain itu pupuk buatan terdiri atas pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal adalah pupuk yang hanya mengandung satu unsur hara saja, sedangkan pupuk majemuk mengandung lebih dari satu unsur hara.

Urea adalah salah satu bentuk pupuk N buatan dan tergolong pupuk tung- gal. Rumus kimianya adalah CO(NH2)2. Pupuk urea mengandung 45% N dan ter-

masuk golongan pupuk yang higroskopis. Pada kelembaban nisbi 73% sudah mu- lai menarik air dari udara. Reaksi fisiologisnya agak masam dengan ekivalen ke- masaman 80 tetapi tidak terlalu mengasamkan tanah. Pupuk urea dibuat dari amo- niak dan gas asam arang, berbentuk kristal berwarna putih atau butir-butir bulat berdiameter kurang lebih 1 mm. Pupuk urea sering dilapisi suatu bahan pelapis untuk mengurangi sifat higroskopisnya. Untuk dapat diserap tanaman, nitrogen dalam urea diubah dahulu menjadi ammonium dengan bantuan enzim tanah urea- se melalui proses hidrolisis. Apabila diberikan ke tanah proses hidrolisis tersebut cepat sekali terjadi sehingga mudah menguap menjadi amonia. Amonia mudah bereaksi dengan air dan akan membentuk hidroksi amonium, sehingga untuk se- mentara tidak akan hilang dari tanah (Sarief, 1985 ; Hardjowigeno, 2007).

Nitrogen

Nitrogen merupakan unsur yang termasuk ke dalam salah satu unsur esensial bagi tanaman. Menurut Miftahudin et al., (2010) unsur esensial diartikan sebagai hara mineral yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Bila salah satu dian- taranya tidak tercukupi dalam tanah maka pertumbuhan dan perkembangan tana- man tidak dapat optimal.

Senyawa nitrogen sebagai sumber nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh tanaman dan dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu: nitrogen nitrat (NO3-), nitrogen ammonia, nitrogen organik dan nitrogen molekul lain (N2). Sum- ber utama unsur nitrogen bagi tanaman diantaranya atau yang terpenting adalah ion nitrat (NO3-) dalam larutan tanah. Ion nitrat diserap oleh bulu-bulu akar melalui proses respirasi anion dan diakumulasikan dalam vakuola. Sumber lain dari nitrogen anorganik adalah dalam bentuk ion ammonium (NH4+). Masuknya ion ammonium ke dalam sel karena adanya gradien listrik akibat pengambilan ion secara aktif (Suseno, 1974).

Kandungan nitrogen di udara sekitar 79%. Nitrogen tersebut tidak lang- sung dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebelum mengalami perombakan menjadi senyawa nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+). Sumber nitrogen udara berasal dari vulkan, pembakaran, denitrifikasi dan pelapukan sedimen. Nitrogen udara diok- sidasi oleh cahaya kilat dan bereaksi dengan air hujan membentuk nitrat. Fiksasi

biologi dapat dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri, aktinomisetes dan ganggang hijau biru. Molekul nitrogen (N2) akan bereaksi dengan oksigen (O2) membentuk ammonium (NH4+) yang tersedia bagi tanaman.

Menurut Hardjowigeno (2007), perubahan-perubahan bentuk nitrogen da- lam tanah dari bahan organik melalui beberapa macam proses, yaitu aminisasi, amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh berbagai mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukan ammonium dari senyawa-senyawa amino oleh mikroorganis- me. Nitrifikasi adalah perubahan dari ammonium (NH4+) menjadi nitrit (NO2-) oleh bakteri Nitrosomonas, kemudian menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi adalah tata udara (nitrifikasi berjalan baik jika tata udara tanah baik), pH tanah (baik pada pH sekitar 7.0) dan suhu. Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat (NO3-) menjadi bentuk N2 oleh mikroorganisme dan proses reduksi kimia (terjadi setelah terbentuk nitrit). Syarat terjadinya denitrifikasi adalah di tempat yang tergenang, drainase buruk dan tata udara tidak baik.

Nitrogen merupakan penyusun semua protein dan asam nukleat, sehingga merupakan penyusun protoplasma (Sarief, 1985). Menurut Hardjowigeno (2007) N berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Apabila tanaman keku- rangan nitrogen maka terlihat gejala seperti tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terbatas dan daun - daun kuning dan gugur. Menurut Sarief (1985), jumlah N yang terlalu banyak mengakibatkan menipisnya bahan dinding sel sehingga mu- dah diserang oleh hama dan penyakit, serta mudah terpengaruh oleh keadaan bu- ruk seperti kekeringan dan kelebihan air.

Tanah Gambut

Tanah gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun se- cara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Berdasarkan klasifikasi tanah, tanah gam- but dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos dari bahasa Yunani yang arti- nya jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan si- fat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya (Noor, 2001).

Kesuburan tanah gambut sangat beragam tergantung ketebalan lapisan gambut, tingkat dekomposisi, komposisi tanaman penyusun gambut dan tanah mi- neral yang berada di bawah lapisan tanah gambut (Barchia, 2006). Tanah gambut di PT. National Sago Prima memiliki pH berkisar antara 3.30-3.70 (sangat ma- sam), kapasitas tukar kation (KTK) tergolong tinggi (46.59-74.22 me/100 g), se- dangkan kejenuhan basanya termasuk rendah (5,75-7.69 %) (Bintoro et al., 2010). Tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. KTK tanah yang tinggi dan kejenuhan basa yang rendah menyebabkan penyedia- an hara yang baik bagi tanaman terhambat terutama K, Mg dan Ca (Noor, 2001). Bobot isi (bulk density) tanah gambut berkisar antara 0.01-0.20 g/cm3, tergantung pada tingkat kematangannya. Rendahnya bobot isi tanah gambut mencirikan ren- dahnya daya dukung tanah tersebut (Bintoro et al., 2010).

Nisbah C/N tanah gambut berkisar antara 31-49. Apabila nilai rasio C/N lebih besar dari 30, mikroorganisme tanah akan memobilisasi N untuk metabolis- menya. Jadi meskipun kadar N total tinggi, tetapi tidak tersedia bagi tanaman. Se- lain itu, N total di tanah gambut dalam bentuk N-organik yang sedikit diserap ta- naman. Agar tersedia bagi tanaman, bentuk N-organik harus diubah menjadi N- anorganik melalui proses asimilasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Seperti halnya un- sur N, unsur P di tanah gambut dalam bentuk P organik yang sulit tersedia untuk tanaman (Barchia, 2006).

Hara mikro tanah gambut tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena se- nyawa organometal mengikat unsur mikro. Keadaan tersebut menyebabkan unsur mikro tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, dalam kondisi reduksi, unsur mikro diubah ke dalam bentuk yang sulit diserap tanaman (Noor, 2001). Barchia (2006) menyatakan kandungan unsur hara mikro tanah gambut pada lapisan bawah u- mumnya lebih rendah dibandingkan pada lapisan atas.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di perkebunan sagu PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Waktu percobaan pada bulan Februari 2012 sampai bulan Juni 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pupuk Urea (46 % N), TSP, KCl, Dolomit, Dithane M-45, Furadan, media tanah gambut dan bibit sagu yang mempunyai kriteria se- hat, bebas dari hama penyakit dan mempunyai perakaran yang cukup dengan bo- bot 500-1000 g. Polibag yang digunakan berukuran 30 x 35 cm. Alat yang diguna- kan adalah paranet 75% (Gambar 1), ember, angkong, skop, cangkul, meteran, pH meter, termometer bola basah bola kering, pompa air, timbangan, parang dan la- bel.

Gambar 1. Lokasi Persemaian Dengan Naungan 75 % Metode Penelitian

Percobaan terdiri atas satu faktor yaitu dosis pupuk N. Perlakuan yang di- berikan yaitu:

P0: Perlakuan kontrol (tanpa pupuk N) P1: Perlakuan dosis 3 g N/polibag P2: Perlakuan dosis 6 g N/polibag P3: Perlakuan dosis 9 g N/polibag P4: Perlakuan dosis 12 g N/polibag P5: Perlakuan dosis 15 g N/polibag

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Leng- kap Teracak (RKLT) dengan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas enam perlaku- an yang diulang empat kali sehingga percobaan terdiri atas 24 satuan percobaan. Model aditif linier yang digunakan adalah:

Yij= µ + αi+ βj+ εij Keterangan:

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i (i:1, 2, 3, 4, 5, 6)

βj = Pengaruh ulangan ke-j (j:1, 2, 3, 4)

εij =Pengaruh acak pada perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Percobaan diasumsikan memiliki pengaruh perlakuan yang bersifat aditif, data menyebar normal, galat percobaan saling bebas dan menyebar normal serta ragam galat percobaan bersifat homogen.

Dalam percobaan, jumlah bibit yang digunakan sebanyak 50 bibit untuk setiap satuan percobaan dan 24 bibit yang digunakan atau diambil sebagai contoh dalam setiap satuan percobaan. Jadi total bibit yang digunakan semuanya adalah sebanyak 1 200 bibit, sedangkan jumlah bibit yang diambil sebagai contoh untuk pengamatan sebanyak 576 bibit.

Data yang diperoleh diuji dengan sidik ragam atau uji F dan apabila me- nunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan pengujian DMRT (duncan multiple range test) pada taraf 5 %. Untuk mengetahui dosis pemupukan nitrogen optimum dan respon pemupukan N dilakukan uji kontras orthogonal polinomial.

Pelaksanaan

Tahap awal yang dilakukan adalah pengadaan bibit (abut). Bibit berasal dari pembelian melalui kontraktor penyedia abut. Sebelum dilakukan penyemaian, dilakukan pemangkasan pada bagian pelepah dan pucuk ± 20 cm di atas banir. Pemangkasan pelepah dan pucuk dilakukan agar mempercepat pemunculan tunas dan mengurangi evaporasi. Bibit direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 g/l selama 10 menit dan dikering anginkan selama 10-15

menit (Gambar 2). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari dan mencegah cen- dawan dan jamur pada bibit. Polibag diisi dengan tanah di sekitar areal percobaan (tanah gambut) setelah dicampur dolomit dengan dosis 40 g/polibag. Sebelum bi- bit ditanam diberikan furadan dengan dosis 2-3 g/polibag. Setelah itu bibit dita- nam atau dimasukkan ke dalam polibag dan tanah dipadatkan (Gambar 3). Polibag disusun rapi dan dikelompokkan sesuai rancangan acak yang digunakan. Semua bibit diletakkan di dalam rumah paranet dengan naungan 75%.

Gambar 2. Perendaman Bibit Menggunakan Larutan Dithane M-45

Gambar 3. Penanaman Bibit ke Dalam Polibag

Selain pupuk N (urea) sebagai perlakuan, semua bibit diberikan pupuk da- sar P (TSP) dan K (KCl) dengan dosis 3 g dan 2.5 g/polibag dan diaplikasikan sa- at setelah tanam. Pemberian pupuk nitrogen diaplikasikan dua kali yaitu saat sete- lah tanam dan empat minggu setelah tanam dengan dosis masing-masing aplikasi setengah dari dosis perlakuan pupuk N. Cara aplikasi langsung ditebar di sekitar bibit (Gambar 4). Untuk mengetahui kandungan N dalam media tanam, dilakukan pengujian dan analisis pada media tanam yang digunakan.

Gambar 4. Aplikasi Pupuk Pada Bibit

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pengairan, pengendalian gulma dan pemotongan (pemangkasan) petiol yang busuk. Pengairan menggunakan air tanah gambut yang dilakukan secara manual saat pagi dan sore hari. Pengendalian gul- ma dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma-gulma yang tumbuh di polibag.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setelah dua minggu dari pengaplikasian perlakuan pupuk N awal dan dilakukan pengamatan terus setiap seminggu sekali selama 2.5 bulan. Adapun beberapa peubah yang diamati adalah:

1. Persentase bibit hidup, dibandingkan antara total bibit yang hidup dan total bibit yang ditanam.

2. Panjang daun pangkasan, diukur mulai dari pangkal pangkasan sampai ti- tik teratas daun yang terpangkas, baik ketika masih tunas maupun sudah menjadi daun.

3. Panjang daun ke-1, diukur mulai dari titik tumbuh bibit baik ketika masih berupa tunas maupun setelah berubah menjadi daun mekar sempurna. 4. Panjang anak daun pangkasan, diukur pada anak daun yang terpanjang dari

daun pangkasan yang sudah mekar.

5. Lebar anak daun pangkasan, diukur pada anak daun yang paling lebar dari daun pangkasan yang sudah mekar.

6. Persentase pemekaran daun pangkasan, dihitung antara total daun pang- kasan yang sudah mekar dengan total bibit yang diamati.

7. Panjang dan lebar anak daun ke-1, diukur pada anak daun yang tengah dari daun ke-1 yang telah membuka.

8. Jumlah anak daun ke-1, dihitung dari total anak daun pada daun ke-1 yang telah membuka sempurna.

9. Persentase pemekaran daun ke-1, dihitung dari total daun ke-1 yang sudah mekar sempurna.

10.Jumlah daun, dihitung dari total jumlah daun pada bibit di akhir pengama- tan (10 MSP), yaitu daun pangkasan dan daun baru yang muncul setelah daun pangkasan.

11.Bobot kering tajuk dan akar. Bibit dicabut kemudian dipisahkan antara akar dan tajuk, kemudian masing-masing ditimbang bobot segarnya. Sete- lah itu dikeringkan dengan suhu 80 °C selama 48 jam, dan ditimbang seba- gai bobot kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Persemaian bibit sagu sampai saat ini masih banyak terdapat kendala-ken- dala khususnya dalam mempertahankan tingkat hidup bibit selama di persemaian dan ketika pindah ke lapang. PT. National Sago Prima melakukan persemaian sa- gu di media rakit atau sistem kanal. Cara persemaian tersebut sangat baik karena persentase hidup bibit dapat mencapai 80 %, tetapi ketika dipindah ke lapang per- sentase hidupnya kecil. Hal tersebut karena bibit kurang beradaptasi di lapang karena selama di persemaian di kanal air selalu tersedia. Oleh karena itu perlu diu- ji metode persemaian bibit sagu yang diharapkan mampu meningkatkan persenta- se hidup bibit. Salah satu metodenya adalah persemaian dengan menggunakan sis- tem polibag.

Gambar 5. Kondisi Bibit Saat Setelah Tanam (a) dan Saat 10 MSP (b).

Secara umum kondisi bibit saat setelah tanam dan di akhir pengamatan (10 MSP) dapat dilihat di Gambar 5. Persentase hidup bibit yang paling rendah yaitu sebesar 45 % dan paling banyak masih mencapai 77.50 %. Faktor lingkungan se- perti suhu dan kelembaban dalam paranet mempengaruhi tingkat kematian bibit. Suhu siang yang tinggi yaitu mencapai 32.31-34.67 °C dan kelembabannya 75.38- 58.33 % (Tabel 1) banyak mengakibatkan persentase hidup menurun.

Selama percobaan hama dan penyakit juga ditemukan pada bibit. Pada bi- bit yang sudah mati, ketika banirnya dibelah ditemukan adanya serangan ulat sagu (Rynchophorus ferrugineus) yang melobangi banir serta merusak titik tumbuh bi-

b a

bit sehingga menjadi mati (Gambar 6). Flach (1997) menyatakan Rynchoporus spp. sangat berbahaya bagi tanaman sagu, hama tersebut masuk ke dalam tanaman muda dan merusak jaringan tanaman. Serangan ulat sagu tersebut pada bibit sela- ma percobaan sebesar 20 %. Selain itu banyaknya serangan cendawan pada petiol dan daun bibit terutama saat musim hujan. Serangan cendawan tersebut ditandai

Dokumen terkait