• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Protein, Fungsi dan Faktor yang Mempengaruhi

Protein adalah nutrien yang sangat penting untuk fungsi jaringan normal, untuk pemeliharaan tubuh, pergantian jaringan-jaringan tubuh yang rusak dan untuk pertumbuhan. Kebutuhan protein ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ukuran ikan, suhu air, tingkat pemberian pakan, jumlah dan kualitas pakan alami, kandungan energi non-protein dan kualitas protein (Watanabe, 1988).

Kebutuhan protein pada stadia awal lebih tinggi dibanding selama fase lanjutan dari pertumbuhan. Lovell (1989) menyatakan bahwa protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi jika kebutuhan energi dari lemak dan karbohidrat tidak mencukupi dan juga sebagai penyusun utama enzim, hormon dan antibodi. Atom-atom N dari gugus purin dan pirimidin nukleotida yang merupakan basa penting dari DNA dan RNA berasal pula dari asam-asam amino. Melihat pentingnya perana n protein dalam tubuh maka pemberian protein dalam pakan perlu diberikan terus-menerus dalam kuantitas mencukupi dan kualitas yang baik. Kebutuhan protein dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh pola asam amino esensial. New (1987) menyatakan bahwa asam amino yang terdapat dalam pakan dalam jumlah paling rendah akan bersifat sebagai limiting amino acid, sehingga untuk mengurangi limiting amino acid tersebut, disarankan agar meningkatkan kadar protein pakan dan manambah asam amino esensial sintetik. Selanjutnya NRC (1983) mengemukakan bahwa kekurangan asam amino dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan.

Setiap spesies ikan membutuhkan kadar protein yang berbeda untuk pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh umur /ukuran ikan, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 30.0-50.0 % dalam pakannya (Hepher, 1990). Macedo (1979) dalam Hernandez et al. (1995) menyatakan bahwa kebutuhan protein ikan bawal air tawar berukuran 5.0 g yang dipelihara di kolam adalah 22.0 %, sedangkan ikan yang berukuran 30.0 g membutuhkan protein sebesar 18.0 %. Selanjutnya Eckmann (1987) melakukan percobaan terhadap ikan bawal air tawar yang berukuran juvenil dan menempatkannya pada kotak-kotak yang terbuat dari kayu. Hasilnya menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan lebih baik apabila protein pakan ditingkatkan dari 25.0 % menjadi 37.0 %. Sedangkan Merola dan Cantelmo

(1987) melakukan percobaan terhadap fingerling ikan bawal air tawar yang berukuran 30.0 g dengan pakan yang mempunyai kadar protein 30.0, 35.0 dan 40.0 % serta total energi yang sama yaitu 270.0 kkal DE/100 g protein, hasilnya menunjukkan bahwa pakan yang mempunyai protein 30.0 % memberikan pertambahan bobot akhir tertinggi.

Imbangan protein dan energi sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ikan. Pakan yang mempunyai kadar protein tinggi belum tentu dapat mempercepat pertumbuhan apabila total energi pakan rendah. Karena energi pakan terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme standar, seperti respirasi, transpor ion dan pengaturan suhu tubuh serta aktivitas tubuh lainnya. Energi untuk seluruh aktivitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari bahan nutrie n non-protein, dalam hal ini karbohidrat dan lemak. Apabila sumbangan energi dari bahan non-protein ini rendah maka protein akan digunakan sebagai sumber energi untuk berbagai aktivitas tersebut sehingga pertumbuhan akan berkurang. Dengan kata lain, penambahan energi non-protein dapat meningkatkan fungsi protein dalam menunjang pertumbuhan ikan (Furuichi, 1988).

Energi non-protein dapat dipenuhi oleh karbohidrat, karena sebagian besar enzim untuk mencerna karbohidrat tersedia pada ikan (Wilson, 1994) dan karbohidrat merupakan sumber energi yang relatif murah dan diperlukan untuk biosintesis asam amino non-esensial dan asam nukleat (NRC, 1993).

Kebutuhan Lemak

Menurut NRC (1993), lemak pada pakan mempunyai peranan penting bagi ikan, karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin yang larut dalam lemak dan untuk mempertahankan daya apung tubuh. Satu unit lemak yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak dapat menyediakan energi untuk pemeliharaan metabolisme, maka sebagian besar protein yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan sebagai sumber energi.

Kebutuhan ikan akan asam-asam lemak esensial berbeda untuk setiap spesies ikan (Furuichi, 1988). Perbedaan kebutuhan ini terutama dihubungkan dengan habitatnya. Ikan yang hidup di laut lebih memerlukan asam lemak n-3, sedangkan ikan yang hidup di air tawar ada yang hanya membutuhkan asam lemak n-3 atau kombinasi asam lemak n-3 dan n-6 (Hepher, 1990).

Diantara spesies air tawar seperti ikan ayu, channel catfish, coho salmon dan rainbow trout memerlukan 18:3n-3 atau EPA dan/atau DHA. Ikan coho salmon, ikan mas dan sidat jepang memerlukan campuran yang sama dari 18:2n-6 dan 18:3n-3 sedangkan ikan nila dan Tila pia zilli hanya memerlukan 18:2n-6 untuk pertumbuhan maksimum dan efisiensi pakan (NRC, 1993). Takeuchi et al. (1987) dalam NRC (1993) mengemukakan bahwa kandungan protein pakan rainbow trout dapat diturunkan dari 48.0 % menjadi 35.0 % tanpa menurunnya pertambahan bobot badan, jika kadar lemak pakan ditingkatkan dari 15.0 % menjadi 20.0 %. Akan tetapi penambahan lemak ke dalam paka n perlu diperhatikan kuantitasnya, karena kadar lemak yang terlalu tinggi akan menyebabkan penyimpanan lemak pada tubuh ikan dan dapat mengakibatkan penurunan konsumsi pakan dan pertumbuhan, degenerasi hati dan menurunkan kualitas ikan pada waktu dipanen (NRC, 1993).

Keberadaan lemak dalam pakan telah ditunjukkan dipengaruhi oleh ukuran ikan, umur, teknik pemberian pakan dan komposisi pakan (NRC, 1983). Hasil penelitian Supriatna (1998) menunjukan bahwa ikan bawal air tawar membutuhkan asam lemak n-3 dan n-6, dimana untuk ikan yang berukuran benih (sekitar 5.5 g) membutuhkan 0.8-1. 0 % asam lemak n-3 dan 1. 2 % asam lemak n-6 pada kadar lemak pakan 8.0 %.

Kebutuhan Karbohidrat sebagai Sumber Energi

Karbohidrat merupakan sumber energi yang relatif murah dan berguna sebagai prekursor berbagai hasil metabolit intermidiet yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan, misalnya untuk biosintesis asam amino non-esensial dan asam-asam nukleat. Karbohidrat dalam pakan ikan terdapat dalam bentuk serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Nilai nutrisi serat kasar sangat rendah, namun penggunaan serat kasar dapat memper tinggi gerakan peristaltik usus (NRC, 1993)

Peran utama karbohidrat pada nutrisi hewan adalah untuk disimpan sebagai sumber energi. Kelebihan karbohidrat dalam pakan akan segera diubah dalam bentuk lemak dan disimpan di berbagai jaringan sebagai energi ca dangan dan digunakan apabila kekurangan makanan. Jika energi dalam pakan belum cukup maka organisme akan mengkatabolisme protein menjadi energi untuk dibelanjakan pada pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan (Ensminger el al. 2000).

Ikan mempunyai kemampuan lebih rendah dalam memanfaatkan karbohidrat dibanding hewan darat, namun karbohidrat harus tersedia didalam pakan ikan, sebab jika karbohidrat tidak tersedia maka nutrien lain seperti protein dan lemak akan dimetabolisme untuk dijadikan energi sehingga pertumbuhan ikan akan menjadi lambat (Wilson, 1994). Walaupun demikian pemanfaatan karbohidrat oleh ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan mikromine ral kromium (Cr+3) dalam pakan seperti yang dilakukan oleh Subandiyono (2004) pada ikan Gurami (O. gouramy). Ikan yang diberi karbohidrat tinggi 40.0 % dengan suplementasi kromium ragi menghasilkan peningkatan deposisi glikogen dan protein, efisiensi paka n dan pertumbuhan serta penurunan ekskresi total amonia dibanding dengan ikan yang diberi karbohidrat rendah 30.0 %.

Yamada(1983) menjelaskan lebih lanjut bahwa penggunaan pakan yang mengandung karbohidrat pada ikan berbeda-beda, bergantung dari kompleksitas karbohidrat. Ikan-ikan karnivora tidak mampu memanfaatkan karbohidrat komple ks dalam pakannya pada tingkat yang tinggi. Walaupun demikian ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa dan laktosa sebagai sumber energi utama. Selanjutnya Furuichi (1988) menambahkan bahwa ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat optimum pada tingkat 10.0-20.0 % dalam pakannya dan ikan omnivora kebutuhan optimumnya pada tingkat 30.0-40.0 % dalam pakannya. Hasil percobaan Senappa dan Devaraj (1995) yang menggunakan tiga tingkat karbohidrat (15. 0, 25. 0 dan 35.0%) pada ikan Indian major carps (Catla catla) menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan yang terbaik adalah pada penggunaan karbohidrat 35.0%.

Ikan-ikan air tawar dan ikan-ikan laut mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencerna karbohidrat. Kemampuan ikan laut mencerna karbohidrat adalah sekitar 20.0%, sedangkan ikan air tawar mampu mencerna diatas 20.0 % seperti

30.0-40.0 % untuk ikan Cyprinus carpio (Satoh, 1991 dalam Wilson, 1994), 25.0-30.0% untuk ikan Ictalurus punctatus (Wilson, 1991 dalam Wilson, 1994) dan sekitar 40.0 % untuk Tilapia sp (Luquet, 1991 dalam Wilson, 1994). Hernandez et a l. (1995) dalam Webster dan Lim (2002), menyatakan bahwa pemberian karbohidrat pada ikan bawal air tawar yang berukuran 0.5 g sama efektifnya dengan lipid sebagai sumber energi. Lebih lanjut Gunther (1996) dalam Webster dan Lim (2002), menyatakan bahwa ikan bawal air tawar dapat secara efisien memanfaatkan karbohidrat dan menghasilkan pertumbuhan terbaik dengan memberi pakan dengan kandungan karbohidrat sebesar 38.0 %.

Kromium

Kromium (Cr) merupakan unsur logam dengan nomor atom 24, mempunyai bobot atom 51. 9 dan bilangan oksida 2, 3, dan 6 (Anonimous, 1986). Logam tersebut dapat dite mukan di udara, air maupun tanah. Kromium trivalensi (Cr+3) merupakan status oksidasi yang paling stabil dan diperkirakan menjadi yang terpenting bagi organisme. Sebagai kromium trivalensi, mineral ini sering terikat pada ligan yang mengandung nitrogen, oksigen atau sulfur untuk membentuk senyawa kompleks (Groff dan Gropper, 2000). Pada kondisi asam sebagaimana dalam lambung, kromium trivalensi larut dan membentuk kompleks dengan beberapa ligan. Modus penyerapan kromium belum diketahui, akan tetapi diduga melalui difusi atau oleh pengangkut yang diperantarai pembawa (carrier -mediated transport). Daya serapnya bergantung pada dosis, berkisar antara 0. 4 dan 3.0 %. Daya serap dapat ditingkatkan dengan keberadaan vitamin C atau pembentuk chelate untuk menghindari pengendapan pada lingkungan basa seperti dalam usus halus (NRC, 1997; Groff dan Gropper, 2000).

Diantara logam pada golongan mikromineral, kromium merupakan logam yang bersifat paling kurang beracun (Groff dan Gropper, 2000). Daya racun kromium dalam status oksida heksavalen (Cr+6) lima kali lebih besar (NRC, 1997) atau bahkan sepuluh hingga seratus kali lebih besar (Groff dan Gropper, 2000) dari pa da kromium dalam status oksida trivalensi (Cr+3). Meskipun Cr+ 6 mempunyai daya larut, daya serap, dan af initas terhadap darah yang jauh lebih tinggi dibandingkan Cr+3 (NRC, 1997; Groff dan Gropper, 2000), keracunan yang diakibatkan kromium jarang terjadi

(Underwood dan Suttle, 1999). Hal tersebut dikarenakan : (a) terjadinya bioreduksi Cr+6 menjadi Cr+3 yang kurang beracun oleh berbagai organis me (Underwood dan Suttle, 1999); (b) tingkat toleransi hewan terhadap kromium (Cr+ 6) sangat tinggi, yaitu hingga lebih dari 1000 ppm bobot kering pakan dan bahkan mencapai 3000 ppm untuk Cr+3 (NRC, 1997; Underwood dan Suttle, 1999); (c) kompleks kromium heksavalen segera diendapkan begitu mencapai usus halus dan hampir tidak dapat diserap karena membentuk kompleks denga n bobot molekul besar (NRC, 1997; Groff dan Gropper, 2000); dan (d) akumulasi kromium dalam tubuh sangat jauh dibawah ambang bahaya karena homeostasis kromium bersifat negatif atau diatur dengan kurang baik dan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan umur (Sutardi dalam Subandiyono 2004). Pada umumnya, konsentrasi dalam jaringan lebih kecil dari 0.1 ppm bobot basah (Underwood dan Suttle, 1999). Ekskresi kromium yang telah diserap terutama melalui urin, yaitu 90.0 hingga 95. 0% (Mertz, 1979), bergantung pada tingkat kecernaan karbohidrat pakan atau penyerapan glukosa (Groff dan Gropper, 2000).

Kromium dalam bentuk trivalen (Cr+3) diketahui sebagai komponen mineral esensial GTF, yaitu suatu komponen hati yang larut dalam air, plasma darah, ragi brewer (‘brewer’s yeast’) dan beberapa ekstrak biologis serta sel (Mertz, 1979; Linder, 1992). GTF merupakan kompleks Cr+3 dengan 2 bagian asam nikotinat dan tiga asam amino, terutama glisin, glutamat dan sistein (Hepher, 1988; Linder, 1992). Akhir -akhir ini diketahui adanya aspartat selain ketiga jenis asam amino tersebut, dan perkembangan selanjutnya GTF dike nal sebagai kromodulin (Chromodulin) (Vincent, 2000). Kromodulin merupakan oligopeptida yang mengikat kromium dan mempunyai bobot molekul rendah, yaitu lebih kurang 1500 Da (Vincent, 2000). Dengan menggunakan glutation (yaitu tripeptida yang mengandung glutamat, sistein dan glisin) pada kompleks kromium sintetik diketahui bahwa jenis asam nikotinat yang berbeda mempunyai pengaruh yang besar terhadap penguatan potensi insulin, namun tidak demikian halnya dengan jenis asam amino (Hepher, 1988). Penggantian glutamat, sistein, ataupun glisin dengan tiga jenis asam amino yang lain tidak merubah bioaktivitas GTF secara nyata. Namun jika penggantian tersebut dilakukan terhadap asam nikotinat (misalnya diganti dengan asam pikolinat), bioaktivitas GTF akan meningkat secara nyata. Kromium trivalen (Cr+3) merupakan logam dari

kelompok mikromineral yang telah diakui bersifat esensial baik untuk manusia, ruminansia dan non ruminansia termasuk ikan

Peran Kromium dalam Metabolisme

Peran utama kromium secara potensial adalah dalam interaksi antara insulin dan sel reseptor yang hadir sebagai senyawa komplek yang disebut Glucose Tolerance Factor (GTF). GTF memacu aktivitas insulin, membawa banyak glukosa ke dalam sel. Sel-sel akan mengubah glukosa menjadi energi. Tambahan energi ini sebagai sumber energi untuk sintesis protein, pertumbuhan jaringan tubuh, pemeliharaan sel dan peningkatan fertilitas , disamping itu kromium juga berfungsi meningkatkan imunitas dan pemulihan pascastress, glikogenesis, lipogenesis, transpor dan pengambilan asam amino oleh sel, juga mempengaruhi sintesis asam nukleat dan memainkan peranan dalam ekspresi gen (Mason, 2001; Southern, 2003; Subandiyono, 2003; Hastuti, 2004).

Keberadaan kromium trivalen anorganik dalam darah diduga berkaitan dengan transferin dan diangkut bersama besi (Linder, 1992). Mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi tersedia secara cepat dalam sel setelah penyerapan. GTF atau Kromodulin adalah merupakan bentuk kompleks kromium organik aktif. Jika terdapat kromium anorganik yang terserap, mineral tersebut harus diangkut terlebih dahulu ke tempat spesipik di mana inkorporasi menjadi bentuk kompleks organik dimungkinkan, misalnya dalam hati (Groff dan Gropper, 2000). Organ-organ yang kaya akan kromium adalah hati, gin jal, otot, limfa, jantung, pankreas dan tulang (Linder, 1992; NRC, 1997; Groff dan Gropper, 2000).

Pengaruh GTF pada insulin adalah pada fungsi yang berkaitan dengan kapasitas pengambilan dalam sistem pengangkutan glukosa darah. GTF memperkuat afinitas insulin terhadap reseptor insulin, sehingga memfasilitasi GLUT untuk menin gkatkan laju aliran glukosa darah masuk ke dalam sel melalui membran plasma (NRC, 1997; Watanabe et al. 1997; Underwood dan Suttle, 1999; Groff dan Gropper, 2000). Mekanisme peningkatan laju aliran glukosa darah ke dalam sel oleh GTF belum diketahui dengan pasti. Tetapi GTF ikut berperan dalam memperbaiki fungsi reseptor insulin, meningkatkan kuantitas dan kualitas reseptor insulin serta GLUT, dan meningkatkan sekresi insulin dari sel ß pankreas (Vincent, 2000; Sahin et al.

2002). Jadi, kromium dan insulin berperan secara sinergis dalam meningkatkan potensi lintasan metabolik yang sensitif terhadap insulin.

Kromium trivalensi berperan sebagai kofaktor insulin pada sitoplasmic site, melalui pembentukan suatu kompleks antara reseptor insulin pada membran, insulin, dan kromium (Lloyd, et al. 1978; NRC, 1997; Vincent, 2000; Cefalu et al. 2002).

Menurut Medson (1983), kromium diduga berperan dalam deposisi protein atau biosintetis protein karena adanya hubungan dengan peran insulin dalam pengaturan pengambilan asam amino oleh jaringan. Xi et al. (2001) melaporkan bahwa suplementasi Cr-organik dalam bentuk kromium pikolinat (CrPic) dapat meningkatkan persentase jaringan rendah lemak dalam karkas babi. Selanjutnya dijelaskan bahwa peningkatan retensi protein babi yang diberi pakan mengandung CrPic karena peningkatan pengambilan asam amino oleh sel-sel otot untuk sintesis protein, dan berkaitan dengan penurunan kadar kortisol serta peningkatan kandungan Insulin-like growth factor -I (IGF-I) yang menyebabkan peningkatan retensi protein. Subandiyono (2004) juga menemukan peningkatan retensi protein dan deposisi protein pada ikan gurami yang pakannya disuplementasi dengan kromium sebesar 1. 5 ppm Cr+3.

Hertz et al. (1989) melaporkan bahwa kromium dapat meningkatkan penga ngkutan glukosa darah ke dalam sel pada ikan mas. Adanya kromium dalam darah menyebabkan glukosa dapat segera dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme sehingga sejumlah protein tertentu dapat dimanfaatkan lebih efisien untuk pertumbuhan tanpa harus mengubahnya menjadi energi melalui jalur katabolisme. Hal ini berarti bahwa kromium mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan atau meningkatkan deposisi protein tubuh untuk pertumbuhan.

Subandiyono (2004) melaporkan adanya peningkatan deposisi protein dan lemak, retensi protein dan energi serta meningkatkan efisiensi pakan pada ikan gurami yang diberi pakan dengan suplementasi kromium se besar 1.5 ppm. Sedangkan Shiau dan Liang (1995) mengamati adanya peningkatan perolehan bobot, efiseinsi pakan, perbandingan efisiensi protein, deposisi protein, dan aktivitas fosfofruktokinase pada ikan nila hibrida dengan suplementasi 0.5 hingga 2.0% Cr2O3

Dokumen terkait