• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani dan Karakteristik Morfologi

Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman monokotil dari famili Palmae. Jenis-jenis sagu menurut Bintoro et al. (2010) yaitu :

a. Metroxylon sagus Rottb. (Sagu Molat) b. Metroxylon rumphii Mart (Sagu Tuni) c. Metroxylon silvester Mart (Sagu Ihur)

d. Metroxylon longispinum Mart (Sagu Makanaru) e. Metroxylon micracanthum Marti (Sagu Rotan)

Sagu hanya memiliki satu batang dan tidak bercabang karena hanya mem-punyai satu titik tumbuh. Batang sagu yang berbentuk silinder memiliki diameter 50-90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Batang sagu berperan sebagai tempat penyimpan pati, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung didalamnya. Produktivitas pati sagu bervariasi tergantung pada jenis tanah. Menurut Jong et al. (2006), pati yang tersimpan pada batang sagu dapat mencapai sekitar 200 kg pati kering.

Sagu memiliki daun sirip menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada pe-lepah (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pohon sagu dewasa memiliki 18 pepe-lepah da-un dengan panjang 5-7 m dan setiap pelepah memiliki 50 pasang dada-un dengan panjang 60-180 cm dan lebar 5 cm (Flach, 1983).

Sagu mengeluarkan satu pelepah daun sekitar satu bulan dengan umur da-un mencapai 18 bulan (Flach, 1983). Bda-unga sagu berwarna coklat, bercabang se-perti tanduk rusa. Percabangan bunga sagu dapat mencapai cabang tersier, dan pa-da tiap cabang tersier terpa-dapat sepasang bunga jantan pa-dan betina (Haryanto pa-dan Pangloli, 1992). Bunga jantan masak dan mengeluarkan serbuk sari sebelum bu-nga betina matang sehingga pembuahan terjadi secara silang. Putik bubu-nga sagu memiliki tiga sel telur, tetapi hanya satu yang dapat berkecambah (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Buah sagu terbentuk setelah terjadi pembuahan. Buah sagu memiliki ben-tuk yang bulat dan mengandung biji fertile. Waktu bunga muncul hingga fase pembentukan buah berlangsung selama 2 tahun (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Syarat Tumbuh

Sagu umumnya tumbuh baik di daerah 10° LU - 10° LS dengan ketinggian 0-700 m dpl (Bintoro, et al., 2010). Pertumbuhan optimum sagu terjadi pada ke-tinggian 400 m dpl kebawah (Bintoro et al., 2010). Lingkungan tumbuh yang baik untuk sagu adalah yang bergambut (Bintoro, 2008).

Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan per-manen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran su-ngai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Menurut Bintoro (1999) sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial, dan hidromorfik. Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki tingkat kema-saman tinggi.

Menurut Bintoro et al. (2010) lingkungan yang paling baik untuk per-tumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik. Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya un-sur hara yang disuplai dari air tawar, terutama potasium, fosfat, kalsium, dan mag-nesium (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Pembibitan

Pembibitan pada sagu dapat dilakukan secara vegetatif dan generatif. Per-banyakan tanaman sagu umumnya dilakukan secara vegetatif, yaitu dengan anak-an yanak-ang tumbuh di sekitar induk. Bintoro et al. (2010) menyatakan bahwa pembi-bitan secara vegetatif diambil dari anakan sagu yang berasal dari pohon induk sa-gu yang produksi patinya tinggi, bibit masih segar dengan pelepah yang masih hi-jau. Bibit yang digunakan sudah cukup tua, memiliki pelepah dan pucuk yang

masih hidup dan rata-rata bobot bibit 3-4 kg (Bintoro, 2008). Bobot bibit yang besar memiliki pertumbuhan yang lebih cepat (Bintoro et al., 2010). Anakan de-ngan banir berukuran besar memiliki kemapuan untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dibanding banir yang berukuran kecil (Flach, 1983)

Pembibitan dengan anakan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibanding pembibitan secara generatif. Kasi dan Sumaryono (2006), menyatakan bahwa perbanyakan dengan anakan menghasilkan tanaman yang lebih seragam. Menurut Usman (1996), penyediaan bibit sagu secara generatif dengan biji tingkat keberhasilan perkecambahannya kecil karena masa dormansi benih yang lama.

Kueh (1977) dalam (Flach, 1984) menyatakan bahwa penggunaan abut atau potongan bagian basal anakan lebih baik untuk perbanyakan vegetatif karena abut lebih kuat/tahan dan mudah dipisahkan dari tanaman induknya. Anakan yang akan diambil harus dipotong secara hati-hati agar tidak melukai induknya. Anakan dapat diambil pada pohon sagu yang telah dipanen untuk mencegah pelukaan pa-da induk saat pengambilan anakan (Flach, 1984).

Menurut Flach (1984), ada beberapa metode yang dapat meningkatkan pertumbuhan sagu yang disemai di polibag :

1. Anakan yang digunakan harus besar karena sumber makanannya berasal dari banir.

2. Daun-daun dipangkas kecuali daun tombak (calon daun baru) dan daun termuda.

3. Tanaman diletakkan dibawah naungan untuk menyesuaikan kondisi ling-kungan anakan saat di lapang dinaungi oleh induknya.

4. Pemisahan anakan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi pelu-kaan pada induk ataupun anakan, karena dapat menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme.

Pupuk Kalium

Pemupukan merupakan salah satu cara untuk memenuhi ketersediaan un-sur hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Pemupukan harus dilaksanakan se-cara tepat agar dapat memberikan pertumbuhan yang maksimal bagi tanaman (Agromedia, 2007).

Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+ (Gardner, 2008). Serap-an tSerap-anamSerap-an akSerap-an unsur K dipengaruhi oleh unsur K ySerap-ang tersedia bagi tSerap-anamSerap-an. Semakin besar jumlah K yang tersedia bagi tanaman maka jumlah kalium yang di-serap tanaman akan semakin besar pula. Kalium yang tersedia bagi tanaman jum-lahnya 1-2 % dari total K dalam tanah, yang terdiri atas K yang dapat dipertukar-kan dan ion K+ (Hardjowigeno, 2007).

Kalium yang segera tersedia bagi tanaman hanya berkisar 1-2 % dari jum-lah total unsur ini dalam tanah (Soepardi, 1983). Peranan utama kalium dalam ta-naman adalah sebagai aktivator berbagai enzim yang esensial dalam reaksi-reaksi fotosintesis dan respirasi, serta enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis protein dan pati (Lakitan, 2001). Kalium juga berperan dalam mekanisme membuka dan menutupnya stomata, menjamin ketegaran tanaman, membuat tanaman lebih ta-han terhadap hama dan penyakit, dan merangsang pertumbuta-han akar (Soepardi, 1983).

Unsur K berfungsi sebagai media transportasi yang membawa hara-hara dari akar termasuk hara P ke daun dan mentranslokasi asimilat dari daun ke se-luruh jaringan tanaman (Taufiq, 2002). Kurangnya hara K dalam tanaman dapat menghambat proses transportasi dalam tanaman. Soepardi (1983) menyatakan sulit tersedianya sebagian besar kalium dalam tanah bagi tanaman karena terfiksa-si oleh mineral liat.

Menurut Hardjowigeno (2007), unsur K mudah bergerak (mobile) dalam tanaman sehingga gejala-gejala kekurangan K pada daun terutama terlihat pada daun tua, karena daun-daun muda yang masih tumbuh dengan aktif menyedot K dari daun-daun tua tersebut. Kekurangan kalium pada tanaman dapat menyebab-kan daun menjadi kuning, batang lemah, hasil tanaman berkurang, mengurangi re-sistensi terhadap penyakit dan penurunan kualitas buah (Leiwakabessy, 1998). Tanaman yang kekurangan kalium akumulasi karbohidratnya rendah karena foto-sintesis berjalan lambat.

Gardner et al. (2008) menyatakan tingkat kritis K dalam jaringan tumbuh-an relatif tinggi, biastumbuh-anya sekitar 1.0 % atau 4 kali lipat lebih dari tingkat kritis P. Hampir seluruh K diserap selama pertumbuhan vegetatif dan hanya sebagian kecil yang ditransfer ke buah atau biji (Gardner et al., 2008). Tanaman yang cukup K

hanya kehilangan sedikit air karena K meningkatkan potensial osmotik dan mem-punyai pengaruh positif terhadap penutupan stomata.

Persediaan K di dalam tanah dapat berkurang karena tiga hal, yaitu pe-ngambilan K oleh tanaman, pencucian K oleh air, dan erosi tanah. Hilangnya K dalam tanah juga disebabkan oleh penyerapan kalium oleh tanaman leguminosa, tomat, dan kentang (Hardjowigeno, 2007). Pupuk K hendaknya tidak diberikan sekaligus, akan tetapi diberikan beberapa kali pemupukan selama musim tanam (Novizan, 2002).

Dokumen terkait