• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Labu (Cucurbita)

Tanaman Labu termasuk dalam keluarga buah labu-labuan atau Cucurbitaceae, dan masih sekerabat dengan melon (Cucumis melo) dan mentimun (Cucumis sativus). Labu ini tergolong jenis tanaman semusim sebab setelah selesai berbuah akan mati. Oleh karena itu tanaman labu di daerah pedesaan sering dijadikan tanaman tumpangsari. Tanaman labu memerlukan suhu sekitar 25-30˚C, labu tidak memerlukan ketinggian tempat yang khusus. Keistimewaan lain dari tanaman labu adalah dapat ditanam di lahan-lahan yag kering atau tegalan yang masih tersedia luas di Negara kita. Di Indonesia penyebaran labu juga telah merata, hampir di semua kepulauan nusantara terdapat tanaman labu, karena disamping cara penanaman dan pemeliharaannya mudah labu memang dapat menjadi sumber pangan yang dapat diandalkan (Anon., 2010a).

Labu memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap seperti karbohidrat, protein dan vitamin-vitamin. Karena kandungan gizinya yang cukup lengkap ini, labu dapat menjadi sumber gizi yang sangat potensial dan harganya pun terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkannya. Labu dapat dijadikan juga bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi. Dengan adanya perkembangan teknologi pengolahan pangan yang canggih, labu dapat menjadi bahan untuk pembuatan berbagai jenis makanan seperti roti, dodol, tepung, dan lain sebagainya (Sudarto, 1993).

Labu mempunyai banyak varietas, dari lebin 40 jenis, tetapi baru beberapa jenis yang sudah dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Di sisi lain, buah

6

dari tanaman merambat ini sangat kaya akan kandungan serat, vitamin, mineral, dan air. Banyak pakar gizi dan kesehatan berkomentar kalau labu bermanfaat untuk kesehatan (Anon., 2010a).

2.2. Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Labu kuning (Cucurbita moshata, ex. Poir) termasuk jenis tanaman menjalar dari famili curcubitacea. Labu kuning tergolong tanaman semusim sebab setelah selesai berbuah akan mati. Pada daging buah inilah terkandung beberapa vitamin antara lain : vitamin C, vitamin A, dan vitamin B. Pada bagian tengah labu kuning terdapat biji yang diselimuti lendir dan serat. Biji ini berbentuk pipih dengan kedua ujungnya yang meruncing. Bentuk buah labu kuning ini bermacam-macam tergantung dari jenisnya, ada yang berbentuk bokor (bulat pipih, beralur), oval, panjang dan piala. Berat buah labu kuning rata-rata 2-5kg/buah, dan ada yang mencapai 30 kg/buah untuk labu kuning jenis tertentu. Tekstur daging buah tergantung jenisnya ada yang halus, padat, lunak, dan mumpur (Sudarto, 1993).

Adapun taksonomi tumbuhan diklasifikasi labu kuning dikutip dari Rukmana (1997) adalan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Cucurbitales Familia : Cucurbitaceae Genus : Cucubita

7

Buah jenis lokal, dapat dipanen pada umur 3-4 bulan, sedangkan jenis hibrida, seperti labu kuning Taiwan, pada umur 85-90 hari. Apabila ditanam secara monokultur, tiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sekitar 50 ton per musim. Buah labu kuning berbentuk bulat pipih, lonjong, atau panjang dengan banyak alur (15-30 alur). Ukuran pertumbuhannya cepat sekali, mencapai 350 gram per hari. Buahnya besar dan warnanya bervariasi (buah muda berwarna hijau, sedangkan yang lebih tua kuning pucat). Daging buah tebalnya sekitar tiga cm dan rasanya agak manis. Bobot buah rata-rata 3-5 kg. Untuk labu ukuran besar, beratnya ada yang dapat mencapai 20 kg per buah. Biji labu tua dapat dikonsumsi sebagai kuaci setelah digarami dan dipanggang (Anon., 2010b).

Labu kuning sering disebut tanaman semusim yang bersifat menjalar atau memanjat dengan perantaraan alat pemegang berbentuk pilin atau spiral, berambut kasar, berbatang basah dengan panjang 5-25 meter. Tanaman labu kuning mempunyai sulur dahan berbentuk spiral yang keluar di sisi tangkai daun. Berdaun tunggal, berwarna hijau, dengan letak berselang-seling, dan bertangkai panjang. Daging bagian luar kulitnya keras, bakal buah terbenam, berdaun buah tiga, tetapi hanya berongga satu serta berbiji banyak, seperti terdapat pada suku timun-timunan labu kuning merupakan satu-satunya buah yang awet atau tahan lama. Labu kuning akan awet asalkan disimpan di tempat yang bersih dan kering, serta tidak ada luka pada buah tersebut. Jika ada luka, labu kuning akan mengeluarkan semacam gas yang bisa memicu terjadinya berbagai macam perubahan di dalam buah. Labu Kuning dapat disimpan selama tiga bulan tanpa ada perubahan (Soedarya, 2006).

8

2.3. Kandungan Gizi Labu Kuning

Labu Kuning merupakan bahan pangan yang kaya vitamin A dan C, mineral, serta karbohidrat. Daging buahnya pun mengandung antiokisidan sebagai penangkal berbagai jenis kanker. Sayang, sejauh ini pemanfaatannya belum optimal. Buah labu dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan dan cita rasanya enak.

Daunnya berfungsi sebagai sayur dan bijinya bermanfaat untuk dijadikan kuaci. Air buahnya berguna sebagai penawar racun binatang berbisa, sementara bijinya menjadi obat cacing pita (Anon., 2010).

Tabel 1 Komposisi Zat Gizi labu Kuning segar per 100gram bahan

No Kandungan Gizi Satuan Kadar

1 Kalori Kal 29,00

2 Protein gram 1,10

3 Lemak gram 0,30

4 Hidrat Arang gram 6,60

5 Kalsium mg 45,00 6 Fosfor mg 64,00 7 Zat Besi mg 1,40 8 Vitamin A SI 180,00 9 Vitamin B1 mg 0,08 10 Vitamin C gram 52,00 11 Air gram 91,20 12 Bdd % 77,00

Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan Gizi Depkes RI (1972)

Labu kuning dianggap sebagai rajanya beta karoten. Keunggulan beta karoten, antara lain adalah dapat meningkatkan sistem imunitas serta mencegah penyakit jantung dan kanker. Dikatakan sebagai rajanya beta karoten sebab kandungan karotennya sangat tinggi seperti lutein, zeaxanthin, dan karoten, yang memberi warna kuning pada labu kuning yang membantu melindungi tubuh dengan menetralkan molekul oksigen jahat yang disebut juga radikal bebas (Anon., 2010).

9

2.4. Tepung Labu Kuning

Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60 mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning dengan kadar air ±13%. Protein tepung labu kuning mengandung protein jenis gluten yang cukup tinggi sehingga mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang kohesif dan elastis. Sifat ini akan sangat berfungsi pada pengembangan volume roti dan produk makanan lain yang memerlukan pengembangan volume. Tepung labu kuning mempunyai kualitas tepung yang baik karena mempunyai sifat gelatinisasi yang baik sehingga dengan demikian dapat membentuk adonan dengan konsistensi, kekenyalan, viskositas, maupun elastisitas yang baik, sehingga roti yang dihasilkan akan berkualitas baik. Karena sifatnya yang higroskopis dalam penyimpanannya, tepung labu kuning harus dilakukan sedemikian rupa, diusahakan agar udara dan sinar tidak menembus wadah. Jenis kemasan yang cocok untuk tepung labu kuning yaitu plastik yang dilapisi aluminium foil. Dengan penyimpanan ditempat yang kering, tepung labu kuning akan dapat tahan selama dua bulan (Hendrasty, 2003).

Tepung labu kuning mempunyai sifat spesifik dengan aroma khas. Secara umum, tepung tersebut berpotensi sebagai pendamping terigu dan tepung beras dalam berbagai produk olahan pangan. Produk olahan dari tepung labu kuning mempunyai warna dan rasa yang spesifik, sehingga lebih disukai oleh konsumen. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Dari segi proses, pembuatan

10

tepung hanya membutuhkan air relative sedikit dan ramah lingkungan dibandingkan dengan pembuatan pati (Hendrasty, 2003).

2.5. Tepung

Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung proses penggilingannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga dan bahan baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari jagung atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan. Syarat mutu tepung, sebagai contoh tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat mutu terigu untuk bahan makanan (SNI No. 01-3751-2000)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bentuk - serbuk

1.2 Bau - normal (bebas) dari bau asing)

1.3 Rasa - normal (bebas dari bau asing) putih, khas terigu

1.4 Warna -

2 Benda Asing - tidak boleh ada

3 Serangan dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak *)

- tidak boleh ada

4 Kehalusan, lolos ayakan 212 milimikron - min. 95%

5 Air %, b/b maks. 14,5%

6 Abu %, b/b maks. 0,6%

7 Proteian (N x 5.7) %, b/b min. 7,0%

8 Keasaman MgKOH/100 g maks. 50/100 g contoh

9 Falling number Detik min. 300

10 Besi (Fe) mg/kg min. 50

11 Seng (Zn) mg/kg min. 30

12 Vitamin B1 (thiamin) mg/kg min. 2,5

13 Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4

14 Asam folat mg/kg min. 2

15 Cemaran logam

15.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,10

15.2 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05

15.3 Tembaga (Cn) mg/kg maks. 10

16 Cemaran arsen mg/kg maks. 0,5

17 Cemaran mikroba

17.1 Angka lempeng total Koloni/g maks. 106

17.2 B. coli AMP/g maks. 10

17.3 Kapang Koloni/g maks. 104

11

2.6. Beta Karoten

Beta Karoten sama dengan Karotenoid yang lain, yaitu pigmen alami yang larut lemak yang secara umum ditemukan pada tanaman, Alga dan sintesis mikroorganisme. Beta karoten memiliki peran bagi kesehatan salah satunya mempunyai aktivitas sebagian antioksidan, meningkatkan komunikasi interselular, immunodulator dan antikarsinogenik. Kemampuan beta karoten sebagai antioksidan ditunjukkan oleh mengikat oksigen (O2), menangkal radikal peroksil dan menghambat oksidasi lipid. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa rendahnya betakaroten plasma dan konsentrasi karotenoid berhubungan dengan meningkatnya resiko kanker esophagus, lambung dan kanker kulit seperti halnya penyakit kardiovaskuler (Kritchevsky,1999).

2.7. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas (Winarno,1993). Lebih lanjut Taib et al. (1988) menyatakan pengeringan dapat mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat dan terhenti, dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama. Menurut Muctadi et al. (1979) tujuan pengeringan adalah memperpanjang daya simpan, agar ekonomis dan praktis dalam pengepakan dan pengangkutan serta untuk menampung hasil panen yang melimpah pada musim panen agar dapat dinikmati di luar musim sehingga dapat lebih meningkatkan penggunaanya.

12

Kebanyakan jenis pengeringan, kalor atau panas diberikan pada bahan pangan, dan air dalam bentuk uap air di buang. Metode pemberian kalor serta pemindahan uap air dari produk adalah dasar dari berbagai teknik pengeringan. Jika kalor diberikan pada bahan pangan maka suhu bahan akan naik dan air menguap (Harris dan Karmas,1980).

Proses pengeringan mempunyai dua periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan periode pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar air kritis. Kadar air kritis adalah kadar air terendah pada saat laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan. Pada periode pengeringan dengan laju tetap, bahan mengandung air yang cukup banyak, sehingga pada permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas. Periode ini berakhir pada saat laju difusi air dari dalam bahan telah turun, sehingga lebih lambat dari laju penguapan. Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama makin berkurang. Pada laju pengeringan menurun ini kadar air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis.

Winarno (1993) menyatakan pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering atau dengan penjemuran. Pengeringan buatan mempunyai keuntungan yaitu suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan, dan kebersihan mudah diawasi. Penjemuran memberikan keuntungan yaitu energi panas yang digunakan murah, tetapi mempunyai kerugian yaitu panas sinar matahari tidak terus menerus ada

13

sepanjang hari, kenaikan suhu tiak dapat diatur, selain itu kebersihan bahan yang dijemur sukar diawasi.

Menurut Muchtadi (1989) umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk mempercepat pengeringan. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluar permukaan bahan sehingga permukaan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas lebih luas dan mempermudah keluarnya air dari pusat bahan ke permukaan bahan.

2.8. Pengaruh Pengeringan terhadap Bahan

Winarno (1993) menyatakan pengaruh paling nyata pada bahan yang dikeringkan adalah menurunnya kandungan air pada bahan, karena air pada bahan telah mengalami penguapan, yang kemudian menyebabkan penurunan berat bahan. Dengan mengurangi kadar airnya, bahan pangan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi lebih tinggi, tetapi warna dan vitamin pada umumnya akan rusak dan berkurang.

Lebih lanjut dinyatakan proses pengeringan yang dilakukan pada suhu terlalu tinggi maka dapat terjadi case hardening, yaitu suatu keadaan bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Terjadinya case hardening dapat mengakibatkan proses pengeringan selanjutnya menjadi lambat. Mikroorganisme yang terdapat di bagian dalam bahan yang masih basah dapat berkembang biak sehingga menyebabkan kebusukan.

Buckle et al (1987) menyatakan akibat lain dari pengeringan adalah awetnya bahan pangan dari proses kerusakan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas air

14

yang terdapat pada bahan pangan mengalami penurunan sehingga mikroorganisme penyebab kerusakan bahan tidak dapat hidup.

Pengaruh pengeringan terhadap pertumbuhan mikroorganisme cukup besar, karena pengeringan akan menurunkan nilai aw bahan yang dikeringkan. Umumnya bahan pangan yang dikeringkan memiliki nilai aw berkisar 0,2-0,6 (Harris dan Karmas, 1989). Kisaran nilai ini sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak yang umumnya tumbuh optimal pada aw antara 0,8-1,0 yaitu pada daerah dimana air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai air bebas.

2.9. Uji Efektivitas

Pada suatu penelitian seringkali dibandingkan pengaruh berbagai perlakuan dan diukur variabel yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan (memilih) tentang perlakuan yang terbaik. Tentunya tidak adil apabila dari berbagai variabel tersebut (misalnya ada 5 variabel) hanya satu atau dua diantaranya yang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebelum penelitian dilaksanakan, tentunya sudah dipertimbangkan mengapa kelima variabel tersebut diukur oleh karena itu seharusnya semua variabel diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak akan sulit kalau secara kebetulan hasil pengukuran yang terbaik terkumpul semuanya pada suatu perlakuan tertentu, namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Masing-masing perlakuan bisa saja memiliki kelemahan pada variabel tertentu dan kelebihan pada variabel yang lain.

15

Metode tersebut di atas merupakan metode (De Garmo et. al., 1984). Metode tersebut kiranya dapat diadopsi untuk mengambil keputusan dalam memilih perlakuan terbaik dalam penelitian pangan. Namun demikian sebaiknya dilakukan modifikasi dalam penerapannya, yaitu pada saat mengurutkan (meranking) pentingnya peran variabel terhdap mutu produk. Pada tahapan tersebut kiranya diperlukan bantuan pendapat responden (dianggap sebagai calon konsumen) untuk meranking, agar didapatkan hasil objektif karena menggambarkan pendapat umum. Jadi bukan didasarkan pada pendapat peneliti, karena konsumen adalah penentu dapat diterima atau tidaknya suatu produk pangan. Contoh yang dikemukakan (De Garmo et. al., 1984) adalah dalam bidang keteknikan, dengan demikian langkah-langkah untuk memilih perlakuan terbaik dalam penelitian pangan dilakukan dengan memodifikasi metode (De Garmo et. al., 1984), tersebut menjadi sebagai berikut :

1) Variabel diurutkan menurut prioritas dengan menggunakan hasil kuisioner dari pakar dan kontribusi terhadap hasil.

2) Masing-masing variabel ditentukan bobotnya (BV) sesuai kontribusinya, yang dikuantifikasikan antara 0-1.

3) Ditentukan bobot normal (BN) masing-masing variabel dengan membagi bobot tiap variabel (BV) dengan jumlah semua bobot variabel.

4) Ditentukan nilai efektifitas (Ne) masing-masing variabel, dengan rumus : Ne = (Nilai perlakuan-Nilai terjelek) / (Nilai terbaik-Nilai terjelek). Untuk variabel dengan nilai rata-rata semakin besar semakin baik, maka rata-rata tertinggi sebagai nilai terbaik dan terendah sebagai nilai terjelek. Sebaliknya untuk

16

variabel dengan rata-rata semakin kecil semakin baik, maka rata-rata terendah sebagai nilai terendah sebagai nilai terbaik dan tertinggi sebagai nilai terjelek.. 5) Ditentukan nilai hasil (Nh) masing-masing variabel yang diperoleh dari

perkalian antara BN dengan Ne-nya.

6) Nh semua variabel untuk masing-masing alternatif perlakuan dijumlahkan. 7) Dipilih perlakuan terbaik, yaitu perlakuan dengan jumlah Nh tertinggi.

2.10. Analisis Finansial

Analisis finansial diperlukan agar diperoleh gambaran perhitungan biaya yang diperlukan dalam memulai suatu finansial. Selain itu dapat diperhitungkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh, berapa lama modal akan kembali dan keuntungan yang akan diraih sejak waktu tertentu (Susanto dan Saneto,1994).

2.10.1. Biaya Tetap dan Biaya Variabel

Perhitungan analisis finansial perlu dibedakan antara biaya tetap dan biaya variable, kedua biaya ini tergolong biaya produksi (Susanto dan Saneto,1994). Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak terpengaruh oleh perubahan kegiatan perusahaan di dalam interval waktu dan kapasitas tertentu. Sedangkan biaya variable (variable cost) adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai tingkat kegiatan yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan (Ahyari,1987).

Biaya produksi sangat diharapkan suatu perolehan pemasukan. Nilai yang diperoleh dari hasil penjualan produk dikurangi biaya produksi adalah laba kotor. Keuntungan kotor dikurangi pajak penghasilan adalah laba bersih (Susanto dan Saneto,1994).

17

2.10.2. Break Event Point

Menurut kadiriah (1994) analisis Break Event Point (BEP) digunakan untuk menentukan berapa jumlah produk yang harus dihasilkan agar perusahaan minimal tidak mendapatkan rugi. Analisis ini juga berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya, penghasilan dan volume penjualan atau produksi. Untuk menentukan BEP perlu ditentukan dahulu biaya-biaya tetap dan biaya variable untuk berbagai volume penjualan, dengan demikian jumlah kuantitas produk yang dihasilkan untuk mencapai BEP dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Q BEP = AVC) (P TFC  Keterangan :

P = Harga jual per unit

Q BEP = Jumlah yang dijual untuk mencapai BEP (unit pertahun) TFC = Biaya tetap total

AVC = Biaya variable per unit 2.10.3. Return On Invesment

Return on investment (ROI) adalah suatu cara menyatakan besarnya keuntungan dengan membandingkan antara besarnya laba per tahun dengan besarnya modal dan dinyatakan dalam persen per tahun. ROI dapat dihitung berdasarkan laba kotor yaitu selisih hasil penjualan dengan biaya produksi keseluruhan (belum dikurangi pajak) atau berdasarkan laba bersih yaitu laba kotor dikurangi pajak pendapatan.

ROI minimum yang dapat diterima untuk setiap macam finansial berbeda-beda tergantung dari kecilnya resiko investasi yang harus ditanggung. untuk produk tepung berdasarkan laba kotor adalah 10 persen (Susanto dan Saneto,1994).

18

2.10.4. Pay out time

Pay out time (POT) merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa persentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). POT harus lebih kecil dari umur ekonomis proyek. Untuk industri pengolahan pertanian diharapkan nilai tersebut lebih kecil dari 10 tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun (Husnan dan Suwarsono (1999); Susanto dan Saneto (1994)).

Dokumen terkait