• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bungkil Inti Sawit (BIS)

Hasil pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (Palm Oil) dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil). Hasil pengolahan ini mempunyai banyak kegunaan, baik sebagai bahan pangan atau non pangan seperti sabun. Di samping hasil utama terdapat tiga jenis hasil ikutan industri pengolahan kelapa sawit yang dapat dimaanfaatkan sebagai bahan ransum yaitu bungil inti sawit, lumpur minyak sawit, dan serat buah sawit (Agustin, 1991).

Bungkil inti sawit adalah limbah ikutan proses ekstraksi inti sawit. Bahan

ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Devendra, 1977). Zat makanan yang terkandung dalam bungkil inti sawit cukup

bervariasi, tetapi kandungan yang terbesar adalah protein berkisar antara 18-19% (Satyawibawa dan Widyastuti, 2000).

Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit atau ’palm kernel’. Proses mekanik (pemerasan) yang dilakukan dalam proses pengambilan minyak menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal masih cukup banyak (sekitar 9,6%). Hal ini menyebabkan bungkil inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih cukup tinggi tersebut. Bungkil inti sawit biasanya terkontaminasi dengan pecahan cangkang sawit dengan jumlah sekitar 9,1% hingga 22,8 % (Sinurat et al., 2009). Pecahan cangkang ini mempunyai tekstur yang sangat keras dan tajam. Hal ini menyebabkan bahan ini kurang disukai ternak (kurang palatable) dan dikhawatirkan dapat merusak dinding saluran pencernaan ternak muda. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan nilai nutrisi bungkil inti sawit

Zat Nutrisi Kandungan (%) Kandungan

Bahan kering (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) TDN (%) ME (Cal/gr) 92,6 15,4 2,4 16,9 72 2810

Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005)

Kandungan protein BIS lebih rendah dari bungkil lainnya. Namun demikian masih layak dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam amino

essensial cukup lengkap dan imbangan Ca dan P cukup baik (Lubis, 1992). Hasil analisa proksimat dapat dilihat dari nilai nutrisi BIS.

Enzim Endopower β®

Endopower β merupakan aktivitas enzimatis yang tinggi mengandung α-galaktosidase, mannose, xylanase, dan β-gluconase. Endopower β®

merupakan produk dari proses fermentasi dua jenis organisme dengan memanfaatkan mikroba trandisional yaitu Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae yang dibuat dengan menggunakan sistem seleksi.

Beberapa peran Endopower β®

dalam tubuh ternak:

1. Meningkatkan kecernaan dan menurunkan pengaruh faktor antinutrisi di dalam pakan . Enzim yang terkandung dalam endopower β®

berfungsi untuk menhidrolisis gula kompleks yang tidak dapat di cerna. Pakan biji-bijian mengandung karbohidrat komplek atau polysakarida non pati, dimana ternak juga hanya sedikit dapat menggunakannya dan kebanyakan dari NsPs mengandung faktor anti nutrisi. Anti nutrisi meningkatkan perkositas usus dan merusak villi usus yang menurunkan kecernaan karbohidrat, protein dan lemak. Endopower β®

2. Meningkatkan Produktivitas dan lebih menguntungkan Dengan Endopower β®

kecernaan bahan pakan akan meningkat dan lebih fleksibel dalam formulasi yang di dapat. Hasil ini nyata menurunkan biaya pakan, meningkatkan penampilan ternak. Ini artinya produktivitas tinggi dan keuntungan meningkat.

3. Memperbaiki performans produksi dan efisiensi konversi pakan Pengaruh Endopower β®

dalam memperbaiki performans pertumbuhan di dukung oleh banyak penelitian pada beberapa institusi, akademi dan komersial farm. Pengaruh Endopower β®

pada pertumbuhan ayam broiler umur 1-42 hari, dosis pemberian 0,02% pada ayam broiler dan 0,01 pada leyer.

Manfaat Endopower β®

sebagai berikut: - Menurunkan biaya pakan

- Memperbaiki performans ternak - Meningkatkan kecernaan nutrient - Menurunkan egas dalam usus

- Memperbaiki fungsi-fungsi/ kesehatan usus - Memaksimalkan aktivitas enzim endogenosis - Mengurangi/menurunkan kekentalan mukosa usus

(Easy Bio System, Inc.2010.Union Center B/D.,837-11 Yoksam-dong, Kangdamgu, SEOUL, 135-937 Rep. Of Korea).

Ayam Broiler

Sejak tahun 1980-an broiler suduah dikenal, meskipun galur murni dari broiler sudah diketahui sejak tahun 1960-an ketika peternak mulai memeliharanya. Akan tetapi broiler komersial seperti yang sekarang ini baru

dikenal banyak orang pada periode tahun 1980-an. Sebelum ayam potong adalah ayam petelur white leghorn jengger tunggal atau ayam petelur yang sudah afkir (Rasyaf, 1993).

Ayam broiler adalah ayam jantan dan betina muda yang berumur di bawah 8 minggu dengan bobot badan tertentu, mempunyai pertumbuhan cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik dan banyak (Rasyaf, 2004). Ayam broiler merupakan galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomi dan pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum rendah, dapat dipotong pada umur muda, dan menghasilkan kualitas daging yang berserat lunak (Bell dan Weaver, 2002).

Ayam broiler merupakan strain ayam hibrida modern yang berjenis kelamin jantan dan betina yang dikembangbiakan oleh perusaahaan pembibitan khusus (Gordon dan Charles 2002). Menurut Bell dan Weaver (2002) banyak jenis strain ayam broiler yang beredar di pasaran yang pada umumnya perbedaan tersebut terletak pada pertumbuhan ayam, konsumsi pakan, dan konversi pakan.

Kebutuhan Nutrisi Broiler

Untuk keperluan hidupnya dan untuk produksi, ayam membutuhkan sejumlah nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan berkualitas, energi yang mengandung karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997). Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa jumlah ransum yang diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan dan tujuan produksi. Di samping itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara.

Broiler membutuhkan dua macam ransum yaitu ransum starter untuk umur 0-3 minggu dan ransum finisher untuk umur di atas tiga minggu. Ransum starter

mengandung protein 21-23% dan finisher 19-21% (Yahya, 1992). Kadang-kadang poultryshop atau pabrik pakan ternak berbeda-beda untuk

membedakan batas umur kedua macam ransum starter dan finisher.

Tingkat energi dan protein adalah kedua komponen utama yang dibutuhkan ayam untuk hidup pokok dan produksi. Besarnya kandungan energy metabolism yang dibutuhkan broiler untuk pertumbuhan maksimum adalah 2.900-3.200 kkal/kg ransum dan protein sebesar 18-22% (Kamal, 1994).

Dalam ransum tingkat serat kasar yang sesuai dengan ayam adalah 7%. Pemberian 7% akan menyebabkan hambatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan makanan bertambah buruk, namun batasan yang paling tepat masih diperdebatkan (Anggorodi, 1985).

Ransum Ayam Broiler

Ransum merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk keberhasilan dalam usaha pemeliharaan ayam. Ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan itu tidak berkelebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Rasyaf,1997).

Air sangat penting untuk mengatur temperatur tubuh. Bila ayam hanya diberi air dan tidak diberi makan dapat hidup lebih lama. Kekurangan air hanya untuk satu hari saja dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan sangat menurunkan kecepatan pertumbuhan broiler (Wahyu, 1997). Fungsi makanan

diberikan ke ayam pada prinsipnya memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup, membentuk sel-sel dan jaringan tubuh, menggantikan bagian-bagian yang merupakan zat-zat yang diperlukan ayam adalah karbohidrat,

lemak dan protein akan membentuk energi sebagai hasil pembakarannya (Sudaryani dan Santoso, 1995). Kandungan nutrisi dari ransum yang akan

diberikan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan nutrisi ransum komersil sabas 8118 dan sabas 8128.

Kandungan Nurtrisi Ransum

Sabas 8118 Sabas 8128 Kadar Air (%) Protein Kasar (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Lysine(%) Methionin (%) 13-14 21-23 5-7 Max 4 0,9-1,1 0,6-0,9 Min 1,0 Min 0,5 13-14 19-21 5-7 Max 5 0,9-1,1 0,6-0,9 Min 1,0 Min 0,45

Sumber: PT. Sabas Indonesia Feed Mill (2013).

Susunan ransum starter yaitu ransum komersil Sabas 8118 ditambah bungkil inti sawit, tepung ikan dan minyak nabati dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Kandungan nutrisi ransum basal starter

No. Bahan Pakan R0 Kandungan dalam Tiap Perlakuan %

a R0

b R1 R2 R3

1 Ransum Komersil 100 73.65 73,65 73,65 73,65

2 Bungkil Inti Sawit 0 20 20 20 20

3 Tepung Ikan 0 5,35 5,35 5,35 5,35 4 Minyak Nabati 0 1 1 1 1 Total 100 100 100 100 100 Kandingan Nutrisi 1 Protein Kasar 22 22,2 22,3 22,2 22,4 2 Energi Metabolisme 3170 3160 3160 3160 3160 3 Lemak Kasar 5 5,4 5,4 5,4 5,4 4 Serat Kasar 4 5,8 5,8 5,8 5,8 5 Kalsium 1,1 1.3 1.3 1.3 1.3 6 Posfor 1 1,1 1,1 1,1 1,1

Susunan ransum finsher yaitu ransum komersil Sabas 8128 ditambah bungkil inti sawit, tepung ikan dan minyak nabati dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan nutrisi ransum basal finisher

No. Bahan Pakan R0 Kandungan dalam Tiap Perlakuan %

a R0

b R1 R2 R3

1 Ransum Komersil 100 73.65 73,65 73,65 73,65

2 Bungkil Inti Sawit 0 20 20 20 20

3 Tepung Ikan 0 5,35 5,35 5,35 5,35 4 Minyak Nabati 0 1 1 1 1 Total 100 100 100 100 100 Kandingan Nutrisi 1 Protein Kasar 20 20,20 20,20 20,20 20,20 2 Energi Metabolisme 3200 3180 3180 3180 3180 3 Lemak Kasar 5 5,5 5,5 5,5 5,5 4 Serat Kasar 5 5,8 5,8 5,8 5,8 5 Kalsium 1,1 1,2 1,2 1,2 1,2 6 Posfor 1 1,1 1,1 1,1 1,1

Sumber: PT. Sabas Indonesia Feed Mill (2013)

Karkas Ayam Broiler

Karkas ayam adalah bobot tubuh ayam setelah dipotong dikurangi kepala, kaki, darah, bulu serta organ dalam kecuali paru-paru dan ginjal. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur dan pakan serta proses setelah pemotongan, diantaranya adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, antibiotik, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan serta macam otot daging (Abubakar et al., 1991). Soeparno (2005) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi persentase bobot karkas ayam broiler adalah bobot hidup. Hasil dari komponen tubuh broiler berubah dengan meningkatnya umur dan bobot badan (Brake et al., 1993). Wahyu (1998) menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum banyak ditentukan oleh palatabilitas ransum, sistem

tempat ransum, pemberian ransum dan kepadatan kandang. Lebih lanjut menurut Widodo (2005) peningkatan nilai manfaat penggunaan ransum dapat diatur dengan mempertimbangkan konsumsi ransum.

Bobot Hidup Dan Bobot Potong

Bobot hidup merupakan bobot badan ternak yang penimbangannya dapat dilakukan setiap saat. Bobot hidup sangat erat kaitannya dengan tingkat konsumsi dan pertambahan bobot badan. Menurut Wahyu (1998) tingkat konsumsi ransum banyak ditentukan oleh palatabilitas ransum, sistem pakan dan pemberian pakan, serta kepadatan kandang. Dilain pihak, tingkat konsumsi juga dipengaruhi oleh nafsu makan dan kesehatan ternak. Ayam hidup yang bermutu baik yaitu ayam yang sehat, berbulu baik, ukurannya seragam dan berkualitas baik dengan perbandingan antara tulang dan daging seimbang (proporsional) (Priyatno, 1997).

Bobot potong adalah bobot yang didapat dengan cara menimbang bobot ayam setelah dipuasakan selama 12 jam. Bobot potong perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas dari ransum yang dikonsumsi, sehingga didapatkan pertumbuhan yang baik (Blakely dan Bade, 1991).

Persentase Karkas

Bobot karkas normal adalah 60-75 % dari berat tubuh. Sedangkan persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup dikalikan 100 % (Siregar, 1994). Menurut Soeparno (2005) bobot karkas meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup, tetapi persentase non karkas seperti kulit, darah, usus halus dan hati menurun.

Bobot karkas merupakan bobot tubuh ayam yang telah disembelih setelah dipisahkan darah, bulu, kepala sampai batas pangkal leher, kaki sampai batas lutut dan organ dalam kecuali ginjal dan paru-paru (Murtidjo, 1992).

Persentase karkas merupakan faktor terpenting untuk menilai produksi ternak, karena produksi erat hubungannya dengan bobot hidup, dimana semakin bertambah bobot hidupnya, maka produksi karkasnya akan semakin meningkat (Murtidjo, 1987).

Persentase karkas dipengaruhi oleh bangsa, umur, jenis kelamin, bobot hidup dan makanan. Persentase karkas umur muda lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang lebih tua dan persentase ayam jantan lebih besar dibandingkan persentase ayam betina lebih banyak menghasilkan kulit dan lemak abdomen dari pada jantan (Morran and Orr, 1970). Murtidjo (1987) menyatakan bahwa persentase karkas merupakan faktor yang penting untuk menilai produksi ternak, karena produksi erat hubungannya dengan bobot hidup, dimana semakin bertambah bobot hidupnya maka produksi karkasnya semakin meningkat. Ahmad dan Herman (1982), yang menyatakan bahwa ayam yang bobot tubuhnya tinggi akan menghasilkan persentase karkas yang tinggi, sebaliknya ayam yang bobot tubuhnya rendah akan menghasilkan persentase yang rendah.

Organ Dalam Ayam Broiler

Organ pencernaan ayam broiler terdiri dari mulut, kerongkongan, tembolok, proventrikulus, rempela, usus halus, usus buntu (seka), usus besar, kloaka dan anus. Pencernaan tambahan pada ayam salah satunya adalah hati (Suprijatna, 2005).

Hati

Hati ayam terdiri atas dua lobi (gelambir) yaitu kanan dan kiri, berwarna coklat tua, dan terletak diantara usus dan aliran darah. Bagian ujung hati yang normal berbentuk lancip, akan tetapi bila terjadi pembesaran dapat menjadi bulat. Menurut Ressang (1963), hati berperan dalam sekresi empedu, metabolisme lemak dan protein telur, karbohidrat, besi dan vitamin, detoksifikasi, pembentukan darah merah dan penyimpanan vitamin. Putnam (1991), menyatatakan bahwa persentase hati yaitu persentase bekisar antara 1,7-2,8% dari bobot potong. Amrullah (2004) yang menyatakan bahwa panjang rektum yang dimiliki ayam dewasa berkisar dari 8 – 10 cm dengan diameter dua kali lipat usus halus. Hal ini juga didukung oleh pernyataan North (1984) yang menyatakan bahwa ayam mempunyai usus besar yang pendek yang hanya 10 cm.

Rempela

Rempela merupakan organ pencernaan pada unggas yang biasa disebut perut otot (Bell dan Weaver, 2002), karena di dalamnya tersusun otot-otot yang kuat (Grist, 2006). Kontraksi otot rempela terjadi apabila makanan masuk ke dalam rempela. Rempela berisi bahan-bahan yang mudah terkikis seperti pasir, karang, dan kerikil. Partikel makanan yang berukuran besar akan dipecah menjadi partikel-partikel yang sangat kecil sehingga dapat masuk ke dalam saluran pencernaan (Bell dan Weaver, 2002). Putnam (1991), menyatakan bahwa bobot empedal bekisar antara 1,6-2,3% dari bobot potong.

Menurut Pond et al. (1995) rempela berfungsi menggiling atau memecah partikel makanan supaya ukurannya menjadi lebih kecil. Kerja penggilingan dalam rempela yang terjadi secara tidak sadar oleh otot rempela yang memiliki

kecenderungan untuk menghancurkan pakan seperti yang dilakukan oleh gigi (Blakely dan Bade, 1991). Prilyana (1984) yang menyatakan bahwa bobot rempela dipengaruhi oleh umur, bobot badan dan makanan. Pemberian makanan yang lebih banyak akan menyebabkan aktivitas rempela lebih besar untuk mencerna makanan sehingga urat daging rempela menjadi lebih tebal dan memperbesar ukuran rempela.

Usus Halus

Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan dan absorbsi produk pencernaan. Berbagai enzim terdapat dalam usus halus yang berfungsi mempercepat dan mengefisienkan pemecahan karbohidrat, protein, serta lemak untuk mempermudah proses absorbsi (Suprijatna, 2005).

Proses absorpsi hasil pencernaan terjadi di permukaan vili yang memiliki banyak mikrovili (Suprijatna, 2005). Luas permukaan usus dapat meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah vili usus yang berfungsi untuk penyerapan zat-zat makanan (Frandson, 1992).

Bagian duodenum bemula dari ujung distal rempela. Bagian ini berbentuk kelokan yang biasa disebut duodenal loop. Pankreas menempel pada kelokan ini yang berfungsi mensekresikan pancreatic juice yang mengandung enzim amilase, lipase dan tripsin. Jejunum dan ileum merupakan segmen yang sulit dibedakan pada saluran pencernaan ayam. Beberapa ahli menyebut kedua segmen ini sebagai usus halus bagian bawah (Suprijatna, 2005).

Panjang usus halus bervariasi tergantung pada kebiasaan makan unggas. Ayam dewasa memiliki usus halus sepanjang 1,5 m (Suprijatna, 2005). Unggas pemakan bahan asal hewan memiliki usus yang lebih pendek daripada unggas

yang memakan bahan asal tanaman karena produk hewani lebih siap diserap daripada produk tanaman (Ensminger, 1992). Peningkatan kadar serat kasar dalam ransum cenderung akan memperpanjang usus. Semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka semakin lambat laju pencernaan dan penyerapan zat makanan. Penyerapan zat makanan akan maksimal dengan perluasan daerah penyerapan (Syamsuhaidi, 1997). Widianingsih (2008) menyatakan bahwa panjang doudenium sekitar 29,45cm-33,15cm, panjang jejenium sekitar 61,15cm-82,05 cm, panjang ileum 63,95-82,85cm. Anggorodi (1994), menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan serat kasar dalam suatu bahan pakan maka semakin rendah daya cerna pakan tersebut. Akoso (1993) yang menyatakan bahwa usus halus yaitu usus tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan pakan. Selaput lendir usus halus mempunyai tempat yang lembut dan menonjol seperti jari. Fungsi usus halus selain sebagai penggerakan aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan pakan. Syamsuhaidi (1997) yang menyatakan bahwa peningkatan kadar serat kasar dalam ransum cenderung akan memperpanjang usus. Semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka semakin lambat laju pencernaan dan penyerapan zat makanan. Penyerapan zat makanan akan maksimal dengan perluasan daerah penyerapan.

Cecum

Usus besar terdiri atas sekum yang merupakan suatu kantung dan kolon yang terdiri atas bagian yang naik, mendatar, dan turun. Bagian yang turun akan berakhir di rektum dan anus. Variasi pada usus besar (terutama pada bagian kolon yang naik) dari satu spesies ke spesies lain jauh lebih menonjol dibandingkan dengan pada usus halus (Frandson, 1992). Usus besar tidak mensekresikan enzim,

namun didalamnya terjadi proses penyerapan air untuk meningkatkan kadar air di dalam sel tubuh dan menjaga keseimbangan air ayam broiler karena usus besar merupakan tempat penyerapan kembali air dari usus halus. Usus besar juga menyalurkan sisa makanan dari usus halus ke kloaka untuk dibuang (Bell dan Weaver, 2002). Nickel et al, (1977) menyatakan bahwa berat dan panjang seka akan cenderung meningkat dengan kandungan serat kasar dalam ransum. Dilaporkan bahwa panjang seka ayam broiler berkisar antara 12 – 25 cm.

Rektum

Air diserap kembali di usus besar untuk ikut mengatur kandungan air sel-sel tubuh dan keseimbangan air. Panjang usus besar yang dimiliki ayam dewasa berkisar 8-10 cm/ekor. Usus besar merupakan kelanjutan saluran pencernaan dari persimpangan usus buntu ke kloaka (Blakely dan Bade, 1991). Amrullah (2004) yang menyatakan bahwa panjang rektum yang dimiliki ayam dewasa berkisar dari 8 – 10 cm dengan diameter dua kali lipat usus halus. Halm ini juga didukung oleh pernyataan North (1990) yang menyatakan bahwa ayam mempunyai usus besar yang pendek yang hanya 10 cm.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha ternak unggas khususnya peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Kebutuhan protein hewani semakin lama semakin meningkat, seiring dengan pertambahan dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya zat gizi. Ayam broiler dapat dipilih sebagai salah satu alternatif dalam upaya pemenuhan protein asal hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan bobot badan yang sangat cepat. Dengan masa pemeliharaan yang singkat ini, kebutuhan masyarakat akan daging dapat selalu tersedia. Ayam broiler dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat karena daging ayam broiler sangat empuk dan enak selain itu harganya terjangkau oleh masyarakat karena relatif murah. Beternak ayam broiler dapat dilakukan dengan modal yang kecil atau dengan modal yang besar, sebagai usaha sambilan ataupun sebagai usaha pokok. Siklus hidup ayam broiler relatif pendek, sangat efisien dalam menggunakan ransum maka akan cepat pula mengatasi tingginya permintaan daging (Murtidjo, 1987).

Namun dalam menjalankan usaha peternakan broiler ini, banyak peternak yang mengalami kesulitan atau hambatan dalam mengembangkan usahanya. Baik

itu dari harga ransum yang semakin mahal, faktor lingkungan (cuaca, penyakit dsb) serta kurangnya pengetahuan peternak akan teknik

pemeliharaan yang tepat.

Keseluruhan permasalahan di atas, manajemen pemeliharaan merupakan satu diantaranya. Sempitnya wawasan peternak akan manajemen yang baik

memberikan dampak negatif terhadap hasil produksi yang tidak maksimal yang mana tingkat pendapatan peternak tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan peternakan broiler ditentukan oleh tiga hal yaitu : breeding, feeding dan manajemen.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar memproduksi kelapa sawit. Luas areal perkebunan dan pertumbuhan kelapa sawit di setiap provinsi di Indonesian dapat di lihat pada tabel 1.

Tabel 1. Luas perkebunan (Ha) dan pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia tahun 2010-2012.

No Provinsi Tahun Pertumbuhan

(%) 2010 2011 2012 1 Aceh 329,562 354,615 363,66 4.34 2 Sumatera Utara 1,054,849 1,175,078 1,192,466 3.89 3 Sumatera Barat 353,412 374,211 376,858 4.82 4 Riau 2,031,817 1,912,009 2,037,733 4.70 5 Kepulauan Riau 8,488 8,535 8,932 5.22 6 Jambi 488,911 625,974 687,892 4.69 7 Sumatera Selatan 777,716 820,787 821,391 4.76 8 Kepulauan Bangka Belitung 164,482 178,408 197,586 5.05 9 Bengkulu 274,728 299,886 309,723 4.72 10 Lampung 157,402 117,673 144,466 4.56 11 DKI Jakarta - - - - 12 Jawa barat 12,323 9,196 9,039 3.42 13 Banten 15,734 16,491 20,044 3.77 14 Jawa Tengah - - - - 15 DI.Yogyakarta - - - - 16 Jawa Timur - - - - 17 Bali - - -

18 Nusa Tenggara Barat - - - -

19 Nusa Tenggara Timur - - - -

20 Kalimantan Barat 750,948 683,276 885,075 4.85 21 Kalimantan Tengah 911,441 1,003,100 1,024,973 5.18 22 Kalimantan Selatan 353,724 420,158 423,208 5.07 23 Kalimantan Timur 446,094 676,395 716,662 4.88 24 Sulawesi Utara - - - - 25 Gorontalo - - - 26 Sulawesi Tengah 55,214 95,82 112,661 4.88 27 Sulawesi Selatan 19,853 23,416 41,982 4.26 28 Sulawesi Barat 95,77 100,059 94,819 4.86 29 Sulawesi Tenggara 25,465 38,66 40,041 4.96 30 Maluku - - - - 31 Maluku Utara - - - - 32 Papua 35,664 35,502 39,928 4.47 33 Papua Barat 21,798 23,575 23,575 4.88 Indonesia 8,385,394 8,992,824 9,572,715 4.69 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia

Menurut dinas perkebunan Sumatera Utara tahun 2012 luas tanaman sawit dan produksi buah segar di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Luas areal tanaman dan produksi kelapa sawit Provinsi Sumatera Utara bedasarka pengeloaan tahun 2008-2012.

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2013

Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit atau ‘palm kernel’. Proses mekanik (pemerasan) yang dilakukan dalam proses pengambilan minyak menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal masih cukup banyak (sekitar 9,6%). Hal ini menyebabkan bungkil inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih cukup tinggi tersebut. Bungkil inti sawit dapat digunakan untuk pakan ternak, sebagai sumber energi dan protein (Devendra, 1978).

Kendala yang timbul bagi peternak adalah pada ransum selama pemeliharaan dimana ransum unggas di Indonesia umumnya memakai ransum komersil yang biayanya sangat besar yaitu dapat mencapai 60 – 70% dari total biaya produksi (Murtidjo, 1987).

Untuk mengurangi biaya produksi yang cukup tinggi peternak biasanya menggunakan ransum yang dibuat sendiri menjadi susunan ransum atau bahan

Tahun Rincian Perk.

Rakyat PTPN Perk. Besar Swasta Nas. Perk. Besar Swasta Asing Total 2008 Luas (Ha) 379.853 294.943 237.462 106.948 1.019.206 Produksi (Ton) 5.070.760 4.422.338 3.064.211 1.527.575 14.084.884 2009 Luas (Ha) 392.721 299.604 244.283 109.105 1.045.713 Produksi (Ton) 5.088.579 4.668.827 3.075.401 1.529.848 14.362.655 2010 Luas (Ha) 396.564 305.435 251.489 112.323 1.054.849 Produksi (Ton) 5.221.132 4.823.524 3.107.385 1.545.758 14.697.799 2011 Luas (Ha) 405.799 306.302 248.426 115.168 1.175.078 Produksi (Ton) 5.428.535 4.972.107 3.190.120 1.592.849 15.183.610 2012 Luas (Ha) 405.921 306.394 248.500 115.203 1.192.446 Produksi (Ton) 5.568.269 5.099.890 3.191.106 1.633.785 15.493.050

pakan konvensional. Bahan pakan konvensional yaitu bahan yang biasa digunakan oleh peternak yang bisa diramu sendiri menjadi ransum. Mahalnya ransum ternak unggas disebabkan karena selama ini Indonesia masih mengimport sebagian kebutuhan bahan ransum ternak unggas seperti bungkil kedelai, tepung ikan dan sebagian jagung belum bisa seluruhnya disuplai oleh produksi dalam negeri yang mengakibatkan naik turunnya harga ransum ternak unggas lebih banyak tergantung pada bahan baku yang diimpor.

Penggunaan bungkil inti sawit sebagai ransum ternak memberikan keuntungan ganda yaitu menambah keragaman dan persediaan ransum dan mengurangi pencemaran lingkungan. Bungkil Inti Sawit mudah didapat, tersedia dalam jumlah besar, berkesinambungan dan sebagai pakan ayam harganya murah,

Dokumen terkait