• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keju adalah salah satu produk olahan susu yang mengandung vitamin A, B dan D, serta mineral penting bagi tubuh seperti fosfor dan kalsium. The Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan keju sebagai produk segar hasil pemeraman yang didapatkan dengan penirisan sesudah terjadinya koagulasi susu segar, krim dan skim atau campurannya. Keju adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam bentuk pekat, dibandingkan dengan susu yang memiliki kandungan air yang sangat tinggi (Daulay 1991).

Konsumsi keju yang dianjurkan yaitu 100 g keju setiap hari cukup untuk mendapatkan mineral penting yang dibutuhkan tubuh. Dalam 70 g keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 g daging. Keju mudah dicerna karena protein dan lemak yang terkandung di dalamnya telah dipecah oleh bakteri selama proses pembuatan (Winarno & Fernandez 2007). Berdasarkan Solheim and Lawless (1996), konsumsi keju low fat di Negara Amerika meningkat, meskipun berdasarkan segi ekonomi keju lebih mahal daripada daging. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya teknologi, konsumen lebih memilih jenis pangan dari segi kesehatan, meskipun harga beli tinggi. Keju merupakan makanan yang mengandung konsentrat zat gizi. Kandungan gizinya sangat baik untuk anak-anak yang berada dalam masa pertumbuhan. Selain itu, keju juga baik dikonsumsi untuk kaum vegetarian (lacto vegetarian), yaitu mereka yang hanya mengkonsumsi sayur-sayuran dan berpantang daging, tetapi masih bisa mengonsumsi susu. Keju dapat digunakan sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi (Winarno & Fernandez 2007).

Keju dibuat dengan cara menggumpalkan protein susu menggunakan enzim renin. Bagian dari susu cair yang terkoagulasi membentuk subtansi padat yang disebut curd (dadih), dan sejumlah besar cairan yang disebut whey. Enzim renin dapat diperoleh dalam bentuk renet. Dispersi koloidal kalsium fosfakaseinat dapat diganggu dan dirusak oleh enzim renin. Kerja enzim tersebut menyebabkan terjadinya penggumpalan yang disebut tahu susu. Penyebab penggumpalan adalah adanya ion kalsium sehingga terjadi endapan kalsium kaseinat (Winarno & Fernandez 2007). Suhu susu untuk terjadinya

penggumpalan merupakan faktor yang sangat kritis bila susu ditambah enzim renin. Bila suhu susu di bawah 150C, penggumpalan tidak dapat terjadi. Bila suhu lebih dari 600C, enzim menjadi tidak aktif. Suhu optimum untuk terjadi penggumpalan susu adalah 400C.

Jenis- jenis Keju

Variasi-variasi jenis keju didasarkan pada berat, ukuran, bentuk, tempat pembuatan, jenis susu yang digunakan, dan sebagainya. Dapat dipastikan bahwa setiap keju mempunyai karakteristik tertentu seperti ukuran, bentuk, warna, penampakan eksternal, aroma, cita rasa, dan data analitik untuk persentase lemak dan bahan kering, persentase kandungan garam, persentase air dalam subtansi bebas lemak dan sebagainya (Andarwulan & Adawiyah 1992). Keju dapat dibuat dari berbagai jenis susu, mulai dari susu utuh, krim, skim, dan whey. Sebagian besar keju dibuat dengan menggunakan renin, tetapi beberapa keju seperti cream cheese tergolong keju jenis lembut yang dibuat dari krim dan susu dan cottage cheese yaitu keju lembut dari susu skim, dibuat dengan menambahkan asam pada susu. Faktor lain yang menentukan jenis keju adalah komposisi air dan lemak, keterlibatan mikroba, dan apakah keju dilakukan proses pemeraman atau tidak (Winarno & Fernandez 2007). International Dairy Federation (IDF) mengklasifikasikan keju berdasarkan bahan baku (jenis susu), konsistensi, penampakan internal, penampakan eksternal, serta kandungan air dan lemaknya. Berdasarkan jenisnya, keju dikelompokkan berdasarkan pada perbandingan antara protein, lemak, dan air yang terkandung di dalam produknya.

Keju Cottage (cottage cheese) adalah jenis keju lunak tanpa pemeraman dan pemasakan curd atau dibuat dari susu skim dengan atau tanpa penambahan krim dan garam (Sugiyono 1992). Dijelaskan lebih lanjut oleh Daulay (1991), bahwa keju cottage adalah keju muda, yang berarti pada proses pembuatannya tidak dilakukan pemeraman. Keju peram adalah jenis keju yang melalui proses pemeraman dalam pembuatannya, baik pemeraman dalam menggunakan aktivitas bakteri, maupun pemeraman dengan menggunakan aktivitas kapang.

Klasifikasi keju berdasarkan komposisi air dan lemak dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam klasifikasi ini tidak dibedakan antara keju peram dengan keju tanpa peram dan tidak ada penjelasan mengenai karakteristik - karakteristik seperti ukuran, berat, bentuk, penampakan, dan sebagainya.

Tabel 1 Klasifikasi keju berdasarkan komposisi air dan lemak

Tipe keju Air dalam subtansi bebas lemak (%)

Lemak dalam bahan kering

(%)

Deskripsi kelas Sangat keras 51 60 Keju berlemak tinggi Keras 49 - 55 45 - 60 Keju susu berlemak Berlemak sedang 53 - 63 25 - 45 Keju berlemak sedang Semi lemak 61 - 68 10 - 25 Keju berlemak rendah

Soft 61 10 Keju susu skim

Sumber: R. Scott (1981)

Klasifikasi keju yang berdasarkan kandungan air merupakan indikator dari daya simpan dan karakteristik pemeraman keju. Pada Tabel 2 dapat dilihat klasifikasi keju berdasarkan karakteristik pemeraman dan kadar air.

Tabel 2 Klasifikasi keju berdasarkan karakteristik pemeraman dan kadar air

Tipe keju Kadar air (%) Katakteristik

pemeraman Nama contoh keju Sangat keras 26 - 34 Diperam dengan

bakteri Keju asiago, parmesan, romano, sapsago, spalen Keras 35 - 45 a)Diperam dengan bakteri; tekstur tertutup (tanpa lubang) b) Diperam dengan bakteri; tekstur tertutup (dengan lubang) Keju cheddar, caciocavallo,

granular, cheese hire Keju swiss, emmentaler, gruyere Sangat keras 41 - 52 a)Diperam dengan bakteri b) Diperam dengan kapang biru pada bagian dalam

Keju munster, brick, edam, gouna Keju roquefort, gorgonzota, stilton Semi lunak 45 - 55 Diperam dengan bakteri permukaan Keju limburger, port da salut, dan trappist

Lunak 55 - 80 a) Diperam dengan kapang permukaan b) Tanpa peram - Berlemak rendah - Berlemak tinggi Keju camembert, bric, bel paese, cooked, hand. Keju cottage, pot, bakers

Keju krim dan neufchatel amerika Sumber: Galloway,J.H. & R.J.M Grawford (1985),

Chapman, H.R. dan M.E. Sharp (1981)

Keju lunak segar adalah keju yang paling populer dikonsumsi oleh masyarakat Hispanik di Amerika Serikat dan Meksiko. Keju ini memiliki

flavour susu segar dan sedikit asin (Carellos et al. 2007). Keju rendah lemak merupakan keju yang komponen lemaknya lebih rendah dibandingkan dengan varietas keju lemak penuh (Mistry & Anderson 1993). Dalam keju cheddar rendah

lemak, kekurangan dan tidak seimbangnya flavor berhubungan dengan rendahnya asam lemak diantaranya asam butanoat dan heksanoat serta keton logam (Banks, Brechany, & Christie 1989). Beberapa jenis keju rendah lemak tanpa dilakukan pemeraman, seperti krim, cottage, mozzarella yang memiliki karakteristik tertentu yang kurang disukai konsumen. Kualitas keju ini berkaitan dengan perbedaan komposisi antara keju rendah lemak dengan keju lemak penuh (Mistry 2001).

Keju cottage pertama kali dibentuk oleh curd dari susu skim. Krim yang ditambahkan akan membungkus globula-globula lemak, kemudian curd

menyerap sejumlah kecil globula lemak, sehingga menghasilkan keju cottage rendah lemak dengan tekstur menyerupai “karet” (kosikowski et al. 1997). Meskipun keju Mozarella tidak termasuk keju matang, kerusakan pada kasein masih tergolong tingkat kecil, yang dibutuhkan untuk menghasilkan fungsi dan tekstur keju. Apabila kandungan lemak dikurangi sampai dengan 15%, maka proses proteolisis akan menurun dan akan meningkatkan kekerasan keju (Rudan

et al. 1999).

Karakteristik tekstur keju rendah lemak dapat ditingkatkan yaitu dengan meningkatkan kelembaban dalam curd. Metode untuk meningkatkan kelembaban diantaranya manipulasi suhu pemanasan dan pengadukan (Bank et al. 1989), mencuci dan mengaduk curd atau mengaduk curd pada pH tinggi (Guinee et al.

1998).

Cara Pembuatan Keju

Cara pembuatan keju menurut Winarno & Fernandes (2007), pertama kali yang dilakukan adalah susu diasamkan dan dibiarkan menggumpal. Kemudian cairan dan bagian menggumpal dipisahkan. Bagian yang menggumpal dikeringkan dan dicetak dalam cetakan sampai benar-benar kering. Proses lama pengeringan sangat variatif, tergantung pada suhu dan kelembaban udara. Hal ini mengakibatkan keju yang dihasilkan berbeda-beda dari segi tekstur, warna, dan keharuman. Hal ini hanya berlaku pada keju yang dibuat secara tradisional, tidak tergolong keju yang mengalami proses pengolahan di pabrik dengan peralatan modern.

Di dunia terdapat beragam jenis keju, seluruhnya memiliki prinsip dasar yang sama dalam proses pembuatannya. Hal pertama yang dilakukan yaitu, pasteurisasi susu pada suhu 700C, proses ini dilakukan untuk membunuh bakteri patogen. Kemudian dilakukan pengasaman susu yang bertujuan agar enzim

rennet dapat bekerja optimal. Pengasaman dapat dilakukan dengan penambahan lemon jus, asam tartrat, cuka, atau bakteri Steptococcus lactis.

Proses fermentasi Steptococcus lactis akan mengubah laktosa (gula susu) menjadi asam laktat, sehingga derajat keasaman (pH) susu menjadi rendah dan rennet efektif bekerja. Tahap selanjutnya adalah penambahan enzim rennet. Rennet memiliki daya kerja yang kuat, dapat digunakan dalam konsentrasi yang kecil. Perbandingan antara rennet dan susu adalah 1 : 5.000, kurang dari 30 menit setelah penambahan rennet ke dalam susu yang asam, maka terbentuklah

curd (dadih). Bila suhu sistem dipertahankan 400C, maka akan terbentuk curd

yang padat. Kemudian dilakukan pemisahan curd dari whey. Pemisahan ini dilakukan dengan cara mengepres curd sehingga whey yang berbentuk cair benar-benar terpisah.

Salah satu proses yang cukup kritis adalah pemisahan antara whey dan

curd. Keju merupakan produk olahan susu yang bernilai ekonomis tinggi. Proses pemisahan curd melibatkan rennet yang bisa berasal dari lambung anak sapi, babi, atau produk mikrobial. Setelah curd dipisahkan, masih ada produk lain, yaitu whey yang masih mengandung tinggi laktosa, sehingga sering digunakan dalam produk-produk susu olahan atau susu formula.

Tahap terakhir yang dilakukan yaitu proses pematangan keju (ripening). Untuk menghasilkan keju yang berkualitas, dilakukan proses pematangan dengan cara menyimpan keju selama periode tertentu. Dalam proses tersebut, mikroba mengubah komposisi curd, sehingga menghasilkan keju dengan rasa, aroma, dan tekstur yang spesifik. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan, seperti temperatur dan kelembaban udara di ruang tempat pematangan. Dalam beberapa jenis keju, bakteri dapat mengeluarkan gelembung udara, sehingga menghasilkan keju yang berlubang-lubang.

Bahan Pembuatan Keju Susu

Sebagian besar keju dibuat dari susu sapi, namun beberapa jenis susu lain juga dapat dibuat keju. Keju yang terkenal dengan nama French Rojuefar cheese, dibuat dari susu domba, Gjetost dari Norwegia terbuat dari susu kambing, Jeu dari Italia dari susu kerbau yang dikenal sebagai Mozzarella

Susu didefinisikan sebagai hasil sekresi dari kelenjar susu hewan mamalia. Dilihat dari kandungan gizinya, susu mengandung lemak, protein, laktosa dan mineral. Susu merupakan makanan alami yang dapat dijadikan sumber gizi sekaligus pelengkap pola makan sehat seimbang. Pola gizi seimbang inilah yang kini dianggap lebih ideal untuk mendapatkan gizi yang sehat. Susu adalah sumber pangan penyempurna yang kandungan gizinya lengkap, demikian juga manfaatnya (Winarno & Fernandez 2007).

Komposisi susu sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis ternak, waktu pemerahan, musim, umur ternak, waktu laktasi dan pakan ternak. Selain itu, komposisi susu dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti penambahan air atau bahan lain dan aktivitas bakteri (Buckle et al, 1985). Secara umum komposisi susu sapi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi susu sapi

Komponen Komposisi Lemak 3.5 Protein 3.2 Kalsium 143 Fosfor 60 Air 88.3

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) 2007

Protein susu terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kasein yang dapat diendapkan oleh asam dan enzim renin dan protein whey yang dapat mengalami denaturasi oleh panas pada suhu sekitar 65oC. Kasein dalam susu jumlahnya mencapai sekitar 80% dari total protein. Kasein terdapat dalam bentuk kasein-kalsium yaitu senyawa kompleks dari kalsium fosfat dan terdapat dalam bentuk partikel-partikel kompleks koloid yang disebut misel. Kasein terdiri atas tiga komponen protein, yaitu alpha, beta, gamma dan k-kasein.

Apabila lemak dan kasein dihilangkan dari susu, air sisanya dikenal sebagai whey. Sekitar 0.5 – 0.7% dari bahan protein yang dapat larut tertinggal dalam whey yaitu laktalbumin dan laktoglobulin. Laktalbumin berjumlah kira-kira 10% dari total protein susu dan jumlah kedua terbesar setelah kasein. Laktalbumin mudah dikoagulasikan panas, meskipun pasteurisasi tidak banyak merusak sifat protein whey.

Lemak susu sapi terdiri atas 97 - 98% trigliserida, selebihnya adalah fosfolipid, glycolipid, monogliserida, dan digliserida, sterol bebas dan asam lemak bebas. Sekurang-kurangnya lima puluh macam asam lemak yang berbeda

ditemukan dalam lemak susu, dan 60 - 75% bersifat jenuh, 5 - 30% tidak jenuh dan 4% merupakan asam lemak polyunsaturated. Asam lemak yang paling banyak adalah asam miristat, palmitat, dan stearat. Asam lemak tak jenuh yang utama adalah oleat, linoleat, dan linolenat. Asam butirat dan kaproat terdapat dalam jumlah kecil sebagai trigliserida (Daulay 1991).

Lemak pada susu merupakan sumber dari sebagian komponen-komponen pembentuk citarasa, aroma, rasa dan kelembutan keju matang. Pengaruh dari lemak tidak hanya tergantung pada jenis keju tetapi juga dari komposisi dan karakter fisik lemaknya. Keju yang dibuat dari susu tanpa lemak, umumnya memiliki tekstur yang keras dan tidak membentuk cita rasa tipikal keju yang diharapkan. Susu skim yang diperoleh melalui pemisahan krim secara manual masih mengandung lemak sebanyak 1.0 % sampai dengan 1.75 %, sehingga beberapa jenis keju (misalnya blue Vinney) yang dibuat dari jenis susu ini dapat membentuk cita rasa tipikal keju. Keju yang dibuat dari susu skim yang dipisahkan dengan menggunakan mesin separator krim (kadar lemak 0.1% - 0.2%) tidak mempunyai citarasa selain citarasa laktat digolongkan ke dalam keju lunak (Daulay 1991).

Susu Skim

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al, 1985). Bagi masyarakat yang menginginkan minum susu dengan kalori rendah maka sangat cocok mengonsumsi susu skim. Kandungan kalori dalam susu skim adalah sekitar 55%. Susu skim hanya mengandung sedikit lemak, maka susu skim dapat disimpan lebih lama. Tabel 4 menunjukkan komposisi rata-rata susu skim.

Tabel 4 Komposisi rata-rata susu skim

Komponen Komposisi % Lemak 0.1 Protein 3.5 Kalsium 123 Fosfor 97 Air 90.5

Rennet dan Starter

Rennet merupakan ekstrak kasar enzim yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang berumur kurang dari 30 hari. Protease yang utama dalam rennet adalah rennin, yang mempunyai aktivitas menggumpalkan susu. Berdasarkan tatanama yang diberikan oleh International Enzyme Nomenclature Committe, enzim renin diberi nama Khimosin (Chymosin, EC 3.4.4.3) untuk menghindari kekeliruan dengan hormon rennin yang disekresi oleh ginjal. Rennet mengandung dua enzim khimosin yang berperan dalam proses koagulasi kasein susu dan enzim pepsin yang berperan dalam proses hidrolisis keju sewaktu proses pematangan. Rennet yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang masih menyusui akan mengandung 6 – 12% pepsin dan 88 – 94% khimosin, sedangkan ekstrak rennet yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang lebih tua atau telah makan pakan lain, mengandung 6 – 12% khimosin dan 90 – 94% pepsin (Scott 1981).

Starter merupakan bakteri asam laktat yang membantu dalam koagulasi susu. Starter dapat terdiri atas galur tunggal atau galur ganda dari Streptococcus lactis, Streptococcus cremoris, Streptococcus durans, Streptococcus thermophillus, atau Streptococcus bulgaricus. Salah satu tujuan penggunaan starter dalam keju adalah untuk memproduksi komponen asam laktat, cita rasa, dan aroma. Ditambahkan oleh Foster (1957), bahwa fungsi asam laktat (S. lactis) selain untuk membantu penyusutan kandungan whey pada curd, adalah untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, membantu penggabungan partikel-partikel dari curd, dan membantu kerja enzim proteolitik dari rennin (rennet).

Emulsi Minyak Emulsi W1/O/W2

Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter lebih dari 0.01 µm atau antara 0.01 - 50 µm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu (Nawar 1985). Dalam pangan kedua fase tersebut berupa minyak dan air, bila minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase

pendispersi maka emulsi yang terbentuk disebut tipe emulsi minyak dalam air atau oil in water (o/w). Sebaliknya, Menurut Roland et al. (2003) bila fase air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi disebut tipe emulsi air dalam minyak atau water in oil (w/o).

Jenis-jenis emulsi menurut McClements et al. (2007), terdiri dari

conventional emulsion (O/W), multiple emulsions (W/O/W), multilayer emulsions

(M-O/W), solid lipid particles (SLP-O/W), dan filled hydrogel particles (O/W/W). Emulsi air dalam minyak dalam air (W/O/W) merupakan emulsi ganda, dimana droplet air yang berukuran kecil terkandung dalam droplet minyak yang berukuran lebih besar, kemudian akan terdispersi dalam fase air yang kontinyu. Emulsi air dalam minyak dalam air dituliskan dalam bentuk emulsi W1/O/W2, dimana W1 merupakan fase air yang berada di dalam, dan W2 merupakan fase air yang berada di luar, dan keduanya mengandung komposisi yang berbeda (McClements et al. 2007). Emulsi W/O/W mengandung kedua emulsi W/O dan O/W, yang membutuhkan dua pengemulsi untuk membentuk dua sistem ketika menggunakan metode dua langkah, salah satunya harus mangandung nilai HLB (Hydrophile Lipophile Balance) rendah untuk menstabilkan emulsi W/O dan salah satu harus mengandung nilai HLB tinggi untuk menstabilkan emulsi O/W. Surfaktan dengan nilai HLB rendah yang dominan mengandung hidrofobik ditambahkan ke dalam fase minyak, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB tinggi dominan hidrofilik ditambahkan ke dalam fase air kontinyu. Rasio konsentrasi dari dua surfaktan, merupakan sesuatu yang penting dalam hal untuk mempertahankan kestabilan emulsi W/O/W (Jiao & Burges 2003). Pada Gambar 1 dapat dilihat proses pembentukan emulsi W/O/W.

Dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan kimia lainnya untuk menstabilkan emulsi. Bahan tersebut tergolong ke dalam bahan pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (stabilizer). Penambahan pengemulsi bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan penambahan penstabil bertujuan untuk meningkatkan viskositas fase kontinyu agar emulsi yang terbentuk menjadi stabil (Muchtadi 1990). Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil. Oleh karena itu dibutuhkan dua hal untuk membentuk emulsi stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk mendispersikan sistem dan penambahan bahan penstabil/pengemulsi untuk mempertahankan sistem tetap terdispersi (Bergenstahl & Claesson 1990).

Menurut Nasimhan (1992), emulsi dibentuk oleh pemberian energi mekanik untuk mencampur dua fase cairan yang tidak saling tercampur sehingga satu cairan terdispersi dalam butiran yang baik. Energi mekanik awalnya menggangu interfasial yang membentuk butiran besar, kemudian merusaknya menjadi butiran-butiran lebih kecil.

Peralatan yang umum digunakan untuk pembuatan emulsi adalah mixer

dan homogenizer. Pemilihan peralatan tersebut biasanya tergantung pada penggunaan emulsinya (Muchtadi 1990). Selain peralatan, pemilihan jenis penstabil sangat penting dalam pembentukan emulsi. Cowles (1998) memberikan cara-cara pemilihan bahan pengemulsi: (1) menentukan sistem emulsi bertipe o/w atau w/o dengan tujuan untuk memilih jenis pengemulsi berdasarkan nilai HLB (hydrophilic-liphopilic balance). Secara umum jika emulsi tipe w/o dibutuhkan pengemulsi dengan nilai HLB <7 dan jika terbentuk emulsi o/w dibutuhkan pengemulsi dengan nilai HLB >7; (2) menentukan pengemulsi mempunyai nilai pH < 4 atau kadar sodium >2 - 3 (%), kondisi yang demikian menyebabkan penggunaan pengemulsi yang bersifat amfortir tidak bermanfaat; dan (3) pertimbangan penggunaan kombinasi dua atau lebih pengemulsi bila penggunaan satu emulsi tidak berhasil dengan baik.

Pengaruh bahan pengemulsi terhadap pembentukan emulsi adalah menurunkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi dengan cara menurunkan tegangan interfasial. Tegangan interfasial tersebut tidak berada pada nilai kesetimbangan dan akan bergantung pada laju absorpsi bahan pengemulsi (Narsimhan 1992). Menurut Noerono (1990), jika terdapat pengemulsi yang cukup maka molekul pengemulsi akan terabsorpsi pada setiap

batas antar permukaan globula-globula yang terbentuk dan membentuk lapisan film yang utuh, dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup terhadap globula-globula. Tabel 5 menunjukkan nilai HLB beberapa bahan pengemulsi.

Tabel 5 Nilai beberapa komponen bahan pengemulsi

No Komponen Nila HLB 1 Asam oleat 1.0 2 Sorbitol trisrearat 2.1 3 Stearil monogliserida 3.1 4 Gliserol monostearat (GMS) 3.8 5 Sorbitol monostearat 4.7 6 Sorbitol monolaurat 8.6 7 Gelatin 9.8 8 Gum arab 10.0

9 Polioksietilen sorbitol stearat 10.5

10 Metilselulosa (CMC) 10.5

11 Polioksietilen sorbitol stearat (tween-60) 14.9 12 Polioksietilen sorbitol monooleat (tween 80) 15.0

13 Sodium oleat 18.0

14 Potasium oleat 20.0

Sumber: Belitz dan Grosch (1987) Kestabilan Emulsi

Kestabilan emulsi pangan merupakan fenomena yang kompleks karena melibatkan berbagai sistem yang luas. Emulsi dari dua fase cairan secara termodinamika tidak bersifat stabil. Pengertian emulsi stabil secara termodinamika adalah bahwa emulsi secara spontan terbentuk kembali setelah dilakukan pemisahan dengan sentrifugasi atau alat lain. Dengan demikian pengertian emulsi stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian sehingga proses tersebut tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan, biasanya 2 - 3 tahun (Friberg et al. 1990). Gambar 1 menunjukkan beberapa konsep yang menggambarkan sebuah emulsi dari sebelum terbentuk hingga terjadinya ketidakstabilan emulsi.

Keterangan:

A: Proses sebelum emulsi (fase I) B: Fase II dalam proses emulsi C: Emulsi yang tidak stabil D: Emulsi yang stabil

Selama suatu emulsi disimpan, dapat terjadi perubahan-perubahan fisik di dalam butiran-butiran terdispersinya yang berakibat pada penurunan mutu. Perubahan stabilitas suatu emulsi dapat terjadi melalui proses kriming, flokulasi dan koalesan (Muchtadi 1990). Kriming adalah pemisahan yang terjadi karena gerakan globula-globula ke atas/ke bawah, terjadi karena gaya grafitasi terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi dari droplet. Pada flokulasi tidak terjadi pemutusan film antar permukaan, sehingga jumlah dan ukuran globula tetap. Terjadinya flokulasi dapat mempercepat laju kriming. Koalesan merupakan penggabungan globula-globula menjadi globul yang lebih besar. Pada tahap ini terjadi pemutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula berubah (Nawar 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi menurut Glicksman (1982) adalah: (1) faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol yang meliputi perbedaan densitas antar fase, kohesi fase internal (terdispersi), persentase solid

Dokumen terkait