• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging Domba

Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi oleh masyarakat yang mengkonsumsi daging domba tersebut (Soeparno, 2005).

Defenisi daging terbatas pada beberapa 3000 spesies mamalia yang dikenal, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan atau dikonsumsi. Variasi yang sangat banyak dalam kualitas penyimpanan daging, selalu terlihat semu oleh konsumen.Pendapat yang mengatakan bahwa variabilitas dalam beberapa serat daging, mungkin secara rasional mencerminkan perbedaan sistematis dalam komposisi dan kondisi jaringan urat daging sebagai aspek pascamati (post

mortem) secara perlahan dapat disadari (Lawrie, 2003).

Daging tersusun dari jaringan ikat,epitelial,jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak.Jumlah jaringan ikat berbeda daiantara otot,jaringan ikat berhubungan dengan kealotan daging.Otot skeletal merupakan sumber utama jaringan otot daging dengan komposisi terbanyak dalam karkas,yaitu 35-36% dari berat karkas atau 35-40% dari berat hewan hidup (Lawrie, 1995).

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi.Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging teradapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.Dari tingkat kealotan

daging merupakan sekumpulan otot yang melekat pada kerangka.Istilah daging dibedakan dengan karkas, daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisakan dari tulang atau kerangkanya (Astawan, 2008).

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging,hormondan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging (Abustam, 2009).

Menurut Cassens (1978) di dalam daging juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium,magnesium,kalium,natrium,fosfor,klor,besi,belerang,tembaga,dan mangan.Vitamin yang terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2),vitamin C, A, D, E, dan K. Selain itu, daging juga mengandung pigmen pemberi warna merah (mioglobin). Daging merupakan sunber vitamin B yang baik disamping mengandung vitamin A dan vitamin C dalam jumlah kecil. Daging domba mengandung 3,79 mg vitamin B tiap 100 mg daging, 2 UI vitamin A tiap 1 gram lemak daging,sedangkan sebagian besar kandungan vitamin C akan hilang dalam penanganan daging segar.sebanyak 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap harinya,yang mengandung sekitar

10 % kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks (Lukman et al.,2007).

Rigormortis pada Daging

Rigormortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat (Abustam, 2009)

Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan biofisika yang ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan glikolisis secara anaerobik.Mekanisme anaerobik ini terjadi karena otot-otot tidak mendapatkan lagi oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot

masih tetap hidup dengan menghabiskan cadangan energinya (Abustam, 2009)

Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase prerigor mortis, rigor mortis, dan pascarigor mortis.Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan.Penemuan baru menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase prerigor, oleh karena itu bertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada temperatur 20oC pada fase prerigor mortis (Abustam, 2009).

Darah yang keluar dari tubuh ternak mengakibatkan hilangnya mekanisme pengendalian temperatur didalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari dalam tubuh tidak ada lagi yang diangkut ke paru-paru dan permukaan tubuh lain, sehingga terjadi kenaikan temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan, kenaikan temperatur dalam tubuh tergantung pada laju produksi panas metabolik dan lama produksi serta pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan temperatur otot postmortem, juga menyebabkan pH otot pacamerta (Soeparno,

2005).

Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan.Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama.Sedangkan fase pascarigor adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor

(kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan

menghasilkan daging yang tidak empuk (Abustam, 2009).

Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati.Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor

mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat (Abustam, 2009).

Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH > 5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin (Abustam, 2009).

Ternak yang telah disembelih, akan terjadi ikatan kimia antara filament tebal dan filament tipis yang akan merubah sifat-sifat kontraktil dari jaringan muskuler menjadi struktur tidak ekstensibel dan kompak, dikenal sebagai rigor mortis dan daging menjadi keras. Lawrie (2003) menyatakan bahwa kekerasan maksimal otot dicapai pada saat tingkat kontraksi otot mncapai 40% dari panjang semula. Kontraksi diatas 40% sampai 60% kekerasan menurun. kekerasan maksimal pada daging dicapai pada saat otot memendek antara 35 – 40% dari panjang semula.

Jenis Otot pada domba

Otot merupakan penyusun utama daging, termasuk jaringan ikat epitel dan jaringan syaraf lain yang terdapat di dalam otot dan jaringan ikat serta keberadaan lemak di dalamnya merupakan penentu karakteristik kualitatif daging

Korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging, koefisien korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan

daging yang diukur menggunakan Warner Bratzles shear force. memperlihatkan koefisien relasi antara daya putus daging dengan kandungan kolagen yang terdapat pada daging mentah yang telah mengalami maturasi sebesar +0,87. Beberapa penilitian menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan dan solubilitas

kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 – 20% pada otot Semitendinosus dari ternak dengan genotip yang sama (Abustam, 2004).

Daging memiliki keempukan yang bervariasi diantara jenis otot, jumlah jaringan ikat dalam otot yang lebih banyak digerakkan selama ternak masih hidup seperti otot Semitendinosus memiliki tekstur yang lebih halus. Otot yang

teksturnya kasar akan kurang empuk dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus (Aberley et al, 2001).

Asap cair

Asap cair merupakan hasil pendinginan dan pencairan asap dari tempurung kelapa yang dibakar dalam tabung tertutup. Asap yang semula merupakan partikel padat didinginkan kemudian menjadi cair itu disebut nama asap cair atau liquid smoke. Asap cair berfungsi sebagai pengawet bahan makanan mengingat bahwa asap cair tidak saja mengandung formaldehid alami, tetapi juga dilengkapi dengan komponen lain yang juga bersifat mengawetkan seperti fenolat dan asam. Asap cair tempurung mengandung lebih dari 400 komponen dan memiliki fungsi sebagai penghambat perkembangan bakteri dan cukup aman sebagai pengawet alami. Asap tempurung kelapa memiliki kemampuan mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil (Anonima, 2010).

Efektifitas formaldehid alami ini tidak sekuat formaldehid sintetik (formalin), tapi dengan dukungan kandungan asamnya yang terdiri dari asam asetat, asam butirat, iso valerat, valerat, maupun propionat yang pada pH 5 efektif mematikan kapang dan bakteri. Asam ini juga memberikan lingkungan yang tidak nyaman bagi mikrobial.Demikian juga dengan kandungan fenolatnya yang didominasi siringol, eugenol, berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi terhadap kerusakan akibat oksidasi pada lemak maupun protein pada bahan pangan (Anonimb, 2010).

Senyawa karsinogen telah dikemukakan didalam asap kayu alami dalam jumlah yang sangat rendah, sehingga bahaya karsinogenis dapat diabaikan. Jumlah karsinogen tergantung ada temperatur pembentukan asap dan lignin. Senyawa 3,4 benzipiren dan 1,2,5,6 fenantrasen yang bersifat karsinogenik telah dikemukakan dan terbentuk dari pembakaran lignin pada teperatur diatas 35%. Asap cair dapat disuplementasi dengan substansi fenolik tertentu untuk meningkatkan atau menimbulkan bau dan flavor buah untuk menghasilkan asap cair yang bebas karsinogen yaitu dengan cara kondensasi, kemudian diikuti dengan destilasi fraksional, fraksi yang dipilih dilarutkan dalam air dan benzipiren tidak akan larut.

Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol 4,13 %, karbonil 11,3 % dan asam10,2 %. Asap cair ini memiliki fungsi sebagai penghambat perkembangan bakteri dan sangat aman sebagai pengawet alami. Kandungan senyawa fenol dengan titik didih tinggi dalam asap cair merupakan zat yang

mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Asap cair sebagai pengganti formalin asap cair hasil pendinginan dan pencairan asap dari tempurung kelapa yang dibakar dapat sebagai bahan pengawet makanan, terutama ikan. Bahan pengawet ini bisa mengawetkan ikan sampai 25 hari dan tidak memiliki efek samping atau bahan beracun berbahaya seperti formalin (Broken, 2010).

Kelebihan penggunaan asap cair dalam pengasapan yaitu beberapa aroma dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi, lebih intensif dalam pemberian aroma, kontrol hilangnya aroma lebih mudah, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan dan dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial (Adawyah, 2007).

Asap cair ini juga telah diaplikasikan pada pengawetan daging, termasuk daging unggas dan ikan salmon. Selain itu juga digunakan untuk menambah citrarasa pada saus, sup, sayuran dalam kaleng, bumbu dan rempah-rempah. Pengasapan adalah salah satu cara pengawetan ikan yang dikenal manusia. Namun, pada ikan asap yang proses pembuatannya konvensional, hanya diasapi dengan bara api, masih mengandung tar dan benzopyrene. Keduanya adalah penyebab kanker, sedangkan ikan yang diawetkan dengan asap cair tidak berbahaya bagi kesehatan, juga masih layak dikonsumsi hingga sebulan, sama seperti ikan yang diasapkan dengan cara konvensional. Kelemahan asap cair ini, kalau konsentrasinya cukup tinggi mengeluarkan bau asap yang sangat keras. Tetapi bau asap itu bisa dihilangkan dengan cara tertentu namun dampaknya bagi kesehatan jauh lebih aman dari formalin (Broken, 2010)

Hasil penelitian Susalam (2012), menunjukkan bahwa penggunaan asap cair efektif untuk memperpanjang masa simpan sehingga mampu

mempertahankan kualitas nugget daging ayam dalam hal ini mempengaruhi nilai susut nugget daging ayam secara nyata.

Susut Masak

Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengistemasikan jumlah jus dalam daging masak.Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang tinggi. Susut masak adalah proses selama pemasakan daging yang mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Prodak daging olahan sebaiknya mengalami susut masak sedikit karena susut masak mempunyai hubungan erat dengan rasa/juiceness daging (Winarno, 1993).

Pada temperatur pemasakan 80oC daging yang mengalami pemendekan dingin Pada pH normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar daripada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama. Pemasakan pada temperatur 90oC juga dapat menghasilakn susut masak otot (misalnya ST steer) pendek dingin yang lebih besar daripada otot regang. Susut masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur tenak.Misalnya pada domba, susut masak otot SM yang dimasak pada temperatur 80oC selama 90 menit, menurun dengan meningkatnya umur ternak.Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak.Misalnya susut otot LD sapi yang diberi pakan maintenans (imbangan energi nol) dan submaintenans (imbangan energi negatif) adalah lebih kecil daripadaotot LD sapi yang diberi pakan dengan imbangan energi positif (Harjono, 2008).

Menurut Shanks et al., (2002) menjelaskan bahwa besarnya susut masak

keluar dari daging, umur simpan daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air.

Keempukan daging

Keempukan daging dapat diukur dengan melihat daya putus daging dengan menggunakan alat CD Shear Force.Uji daya putus daging merupakan

pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kealotandaging, semakin tingggi nilai DPD suatu sampel daging maka semakin tinggi pula tingkat kealotannya.Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kealotan daging adalah jumlah kolagen dan tingkat kelarutan kolagen (Lawrie, 2003).

Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak yang didasarkan pada kemudahan waktu menguyah tanpa menghilangkan sifat-sifat jaringan yang layak.Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor.Faktor yang mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging (Reny, 2009).

Keempukan merupakan faktor yang mempengaruhi mutu produk terutama hubunganya dengan selera konsumen dan mempengaruhi penerimaan secara umum.Keempukan dapat diketahui dengan daya putusnya, Semakin rendah nilai daya putusnya, semakin empuk daging tersebut (Maruddin, 2004).

Derajat keempukan dapat dihubungkan dengan tiga kategori protein dalam urat daging yaitu : 1) Tenunan pengikat (kolagen, miosin, tropomiosin), 2). Miofibril (aktin, miosin, tropomiosin), 3). Sarkoplasma (protein-protein sarkoplasma, sarkoplasma retikulum). Kontribusi masing-masing kategori protein

tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe urat daging dan suhu pemasakan (Lawrie, 1995).

Soeparno (2005) menjelaskan bahwa keempukan daging tergantung dari temperatur dan waktu pemasakan, lama waktu pemasakan mempengaruhi kolagen, dan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibrilar.

Fiems et al., (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat

berpengaruh oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan.Menurut Lawrie (1995), faktor-faktor yang menentukan kekasaran tekstur adalah ukuran berkas serat dan jumlah perimisium yang merupakan tebal dalam urat-urat daging kasar. Berhubung elemen-elemen yang menentukan tekstur adalah aspek tenunan pengikat, maka mungkin dapat diharapkan bahwa ada hubungan/korelasi langsung antara kasarnya sususan serat dan kekerasan daging setelah dimasak. Kandungan kolagen memiliki korelasi yang sangat erat terhadap kekerasan daging yang dinilai dengan melakukan pemutusn paralel dengan arah serat daging untuk koefisien korelasi (Abustam dan Ali, 2005).

Uji Organoleptik

Semakin tua ternak, daging makin merah. Tiap jenis daging mempunyai aroma yang khas. Warna daging adalah satu parameter penting pada kualitas daging. Itu dapat diukur secara numerical menggunakan colorimeter atau secara

obyektif. Beberapa faktor mempengaruhi warna daging seperti species / keturunan, usia, jenis kelamin, potongan daging, pelayuan daging dan kecacatan (Twelve, 2008).

Sifat organoleptik menggunakan indera manusia sebagai instrument penilaian.Beberapa sifat yang menentukan dari satu produk dapat dinilai secara organoleptik, misalnya aroma, warna, rasa, dan tekstur (Utami, 2008).

Flavor/cita rasa adalah sensasi yang kompleks, melibatkan bau dan rasa/taste, tekstur, suhu dan pH (dari semua ini, bau adalah yang paling penting).

Respon terhadap bau terjadi pada sel-sel alfactory dari permukaan asal dan dari situ disampaikan ke otak guna ditafsirkan oleh saraf alfactory. Pada umumnya diduga bahwa zat-zat yang mengandung kimia, reaktif dengan ujung-ujung saraf alfactory (Antonius, 2001). Bau daging masak sangat ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak dan pembebasan substansi volatil (kreatin, kreatinin dan purin ) yang terdapat didalam daging (Soeparno, 1992).

Menurut Sitorus (2001), rasa digunakan sebagai salah satu parameter uji kesukaan karena rasa merupakan salah satu faktor yang menentukan pilihan konsumen. Pada manusia dewasa, respon terhadap rasa terjadi dalam sel-sel terspesialisasi pada lidah langit-langit lembut dan puncak kerongkongan. Seperti halnya bau, ada kemungkinan terlibat reaksi-reaksi kimia antara molekul-molekul yang ada hubungannya dengan nerve ending dalam sel-sel pengecap dan hal diatur

dalam otak.

Sari rasa (juiceness) pada daging yang telah dimasak dapat dipisahkan

menjadi dua hal. Pertama, karena pengaruh keluarnya cairan pada saat dikunyah dan kedua karena adanya rangsangan lemak dari saliva. Keempukan dan juiceness mempunyai hubungan yang erat, makin empuk daging makin cepat keluarnya cairan akibat dikunyah dan daging lebih juicy (Sitorus, 2001).

Menurut Bouton et al., (1975), juiciness atau jus daging mempunyai

hubungan yang erat dengan susut masak. Juiciness daging yang rendah dapat

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi penduduk Indonesia yang terus bertambah mengakibatkan permintaan kebutuhan pangan terus meningkat dan salah satunya adalah kebutuhan protein hewani yang berasal dari daging.Daging temasuk dalam bahan makanan yang mudah rusak.Salah satu jenis ternak yang perlu mendapatkan perhatian dan potensial untuk produksi daging adalah ternak domba.

Daging domba merupakan salah satu jenis daging yang dapat digunakan sebagai bahan pangan asal hewan yang potensial.Disebabkankandungan asam amino esensial lengkap dan seimbang.Selain itu keunggulan lainnyaadalah protein daging domba lebih mudah dicerna dibanding yang berasal dari nabati.Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.

Pada kenyataannya permintaan daging dombarelatifmasih sedikitdibanding dengan permintaan daging sapi dimana hal ini mungkin berhubungan dengan tempat penjualan daging dan hasil olahannya yang relatif kurang, faktor budaya, faktor ketersediaan, faktor karakteristik daging domba dankarakter dari konsumen itu sendiri. Karakteristik konsumen tersebut terutama berkaitan dengan umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.

Dalam hal konsumsi hasil olahan dagingdomba,hal yang mungkin jadi permasalahan oleh konsumen adalah pengetahuan tentang kualitas dan karakteristik umum daging belum sepenuhnya diketahui secara pasti sehingga menjadi alasan belum diterimanya daging ini oleh masyarakat luas. Preferensi

konsumen terhadap hasil olahan daging domba tersebut merupakan hal yang penting untuk mengetahui posisi produk tersebut dalam suatu pasar, disamping itu juga, diperlukan sasaran promosi dan penyesuaian karakteristik promosi yang akan dilakukanini dapat diketahui dengan memahami karakteristik konsumen yang mengkonsumsi hasil olahan daging domba yang dapatdilihat dari beberapa aspek seperti, umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.

Kualitas daging pascapanen dan selama penyimpanan akan mengalami perubahan-perubahan fungsional dan fisik akibat proses biokimia dan mikrobiologis. Perubahan ini mengakibatkan daya tahan daging serta produk olahannya menjadi terbatas, hal ini disebabkan karena adanya fase rigormortis,sehingga kemampun daging dalam mengikat air akan menurun,maka perlu dilakukan penambahan bahan sebagai bahan pengikat.

Asap cair merupakan bahan pengikat yang mengandung senyawa fenol yang bersifat sebagai antioksidan, oleh karena itu asap cair dapat menghambat kerusakan pangan dengan cara mendonorkan hidrogen dan efektif untuk menghambat autooksidasi lemak, sehingga dapat mengurangi kerusakan pangan karena oksidasi lemak oleh oksigen. Senyawa fenol yang terdapat pada asap cair mampu mengikat gugus-gugus lain seperti aldehid, keton, dan ester yang dapat mempengaruhi daya ikat pada sampel. Kandungan asam pada asap cair juga sangat efektif dalam mematikan dan menghambat pertumbuhan mikroba pada produk makanan yaitu dengan cara senyawa asam ini menembus dinding sel mikroorganisme yang menyebabkan sel mikroorganisme menjadi lisis kemudian mati, dengan menurunnya jumlah bakteri dalam produk makanan maka kerusakan

pangan oleh mikroorganisme dapat dihambat sehingga meningkatkan umur simpan produk pangan.

Daging yang mengalami proses pascarigor akan mengalami penurunan daya ikat air sehingga susut masak menjadi meningkat, maka perlu dilakukan penambahan bahan yang bersifat sebagai bahan pengikat (binder). Bahan

tambahan pangan yang alami yang bersifat pengawet sekaligus sebagai bahan pengikat dan aman untuk dikonsumsi oleh manusia adalah asap cair, dengan penambahan asap cair pada daging pascarigor maka diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daging dalam mengikat air dan susut masak daging yang rendah.

Hal inilah yang melatarbelakangi dilaksanakannya penelitian mengenai penambahan asap cair pada daging sebagai bahan pengikat (binder) pada jenis

otot yaitu Semitendinosus, selama pasca rigor dalam meningkatkan sifat fisik dan

fungsional daging yang meliputi susut masak, keempukan, kebasahan, flavour,

Dokumen terkait