• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

Menurut Fishbein dan Azjen (1975) menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setip perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.

Winardi (2001) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses internal yang bermanfaat sebagai filter dan metode untuk mengorganisasikan stimulus, yang mungkin kita hadapi dim lingkungan kita. Proses persepsi menyediakan mekanisme melalui stimulus yang di seleksi dan dikelompokkan dalam wujud yang hampir bersifat otomatik dan bekerja dengan cara yang sama pada setiap individu sehingga secara karakteristik menghasilkan persepsi yang berbeda-beda.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan- hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) hingga manusia memperoleh pengetahuan baru (Rakhmat, 2007).

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal

yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian, persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2002).

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat pengelihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2007).

Persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun objeknya sama (Notoatmodjo, 2007)

Beberapa pengertian persepsi juga dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain:

1) Menurut David Krech (1962), persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataan.

2) Menurut Duncan (1981), persepsi dapat dirumuskan dengan berbagai cara, tetapi dalam ilmu perilaku khususnya psikologi, istilah ini dipergunakan untuk mengartikan perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat atau

merasakan sesuatu. Persepsi yang signifikan adalah jika diperluas di luar jangkauan lima indera dan merupakan suatu unsur yang penting di dalam penyesuaian perilaku manusia.

3) Meurut Luthans (1981), persepsi lebih kompleks dan luas dibandingkan dengan penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan, dan penafsiran. Dengan kata lain proses persepsi dapat menambah, dan mengurangi kejadian senyatanya yang diinderakan oleh seseorang

Menurut Hidayat (2009), persepsi dapat didefinisikan sebagai proses seseorang memahami lingkungan, meliputi pengorganisasian dan penafsiran rangsang dalam suatu pengalaman psikologis. Persepsi merupakan proses kognitif yaitu menginterpretasi obyek, simbol dan orang dengan pengalaman yang relevan. Persepsi juga merupakan proses ekstraksi informasi persiapan untuk berespon. Persepsi menerima, memilih, mengatur, menyimpan dan menginterpretasi rangsang menjadi gambaran dunia yang utuh dan berarti. Persepsi dapat terjadi saat rangsang mengaktifkan indera, atau pada situasi dimana terjadi ketidakseimbangan pengetahuan tentang obyek, simbol atau orang akan membuat kesalahan persepsi. Persepsi ini akan memengaruhi pembentukan sikap dan perilaku manusia.

2.2.Peran Tenaga Kesehatan

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat (Depdikbud, 2001).Peran adalah suatu pola tingkah laku,

kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan di pegang kedudukan.Jadi peran menggambarkan prilaku yang seharusnya di perlihatkan oleh individu pemegang peran tersebut dalam situasi yang umum (Sarwono, 2007).

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Kozier Barbara, 1995).

Menurut Horton dan Hunt (1993) dalam Sudarma (2008), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status. Seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar – benar sama.

Ahli sosiologi menemukan sesuatu yang bermanfaat untuk mempelajari interaksi antara individu sebagai pelaku (actor) yang menjalankan berbagai peranan.Suatu peranan, apakah dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya mempunyai kewajiban atau paling tidak diharapkan untuk menjalankan suatu tugas atau kegiatan yang sesuai dengan peranannya (Muzaham, 2007).

Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan masyarakat (Azwar, 1996).Tenaga kesehatan berdasarkan pekerjaanya adalah tenaga medis, dan tenaga paramedic seperti tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga penunjang medis dan lain sebagainya.Upaya pengembangan pelayanan puskesmas adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan.Hal ini diwujudkan dengan meningkatkan keterampilan staf dan motivasi kerjanya, memberikan pelayanan, dan menyediakanperalatan dan obat-obatanyang mencukupi sesuai kebutuhan pelayanan.Ada dua aspek mutu pelayanan kesehatan yang perlu dilakukan di puskesmas yaitu quality of care dan quality of service, namun keduanya saling terkait.Quality of careadalah lebih banyak terkait dengan ketrampilan kinerja klinis staf medis dan paramedis dan jika mutu pelayanan ini kurang akan menjadi tanggungjawab ikatan profesi untuk meningkatkannya. Sedangkan Quality of service lebih banyak terkait dengan manajemen program dan pelayanan kesehatan, misalnya kualitas dan jumla sarana dan prasarana kesehatan, mutu kebijakan kesehatan, dan penyediaan sarana pelayanan kesehatan.Peningkatan kualitas dimulai dari kebutuhan dan berakhir pada persepsi pelanggan.Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan pada sudut pandang atau persepsi pelanggan (Muninjaya, 2004).

Menurut Wijono (1999), tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi dan tenaga ketehnisian medis, namun dalam penelitian ini tenaga kesehatan yang dimaksud adalah seorang koordinator imunisasi yang diberikan tugas untuk memberikan pelayanan kesehatan tentang imunisasi.

Peran tenaga kesehatan dalam memelihara dan melindungi kesehatan adalah sebagai customer, komunikator, fasilitator, motivator dan konselor (Azwar,1996; Herawati, 2006; Notoatmodjo 2007). Diharapkan tenaga kesehatan melaksanakan ke lima peran ini dalam melakukan pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0 -7 hari.

Adapun peran tenaga tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:

2.2.1. Customer

Menurut Muninjaya (2004), tenaga kesehatan harus menyadari peranannya sebagai customer yaitu staf yang diberikan tugas istimewa memberikan asuhan pelayanan medis dan kesehatan kepada masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan. Sebagai pemberi pelayanan, petugas membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Petugas memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan social.Pemberian asuhan memberikan bantuan kepada kepada klien dan keluarga dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan energi dan waktu yang minimal (Potter dan perry, 2007).

2.2.2. Komunikator

Komunikator adalah orang ataupun kelompok yang menyampaikan pesan ataupun stimulus kepada orang atau pihak lain dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan tersebut memberiknn respon. Menurut Mundakir (2006), tenaga kesehatan secara fisik dan psikologis harus hadir secara utuh pada waktu berkomunikasi dengan klien. Petugas tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap dan penampilan dalam berkomunikasi.Sebagai pelaku aktif dalam komunikasi, peran komunikator sangatlah vital. Komunikasi dapat berjalan lancar dan efektif tidak jarang karena faktor komunikator yaitu:

1. Penampilan yang baik, sopan dan menarik sangat berpengaruh dalam proses komunikasi. Seorang yang menerima pesan adakalanya yang pertama diperhatikan adalah penampilan komunikator. Sebagai seorang tenaga kesehatan, penampilan yang bersih, sopan dan menarik sangat perlu dalam menjalankan perannya memberikan asuhan pelayanan kebidanan

2. Penguasaan masalah. Sebelum melakukan komunkasi seorang komunikator hendaknya paham dan yakin betul bahwa apa yang akan disampaikan merupakan permasalahan yang penting. Penguasaan masalah juga dapat meningkatkan komunikasi terhadap komunikator.

3. Penguasaan bahasa. Proses komunikasi akan berjalan lambat apabila bahasa yang digunakan kurang sesuai dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh penerima

pesan. Penguasaan bahasa yang kurang baik dapat menyebabkan salah penafsiran.

Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran yang lain. Pelayanan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, komunikasi antar profesi kesehatan lainnya.Memberi perawatan yang efektif, pembuatan keputusan dengan klien dan keluarga atau mengajarkan sesuatu kepada klien, tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas.Kualitas komunikasi merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan klien (Potter dan Perry, 2007).

Tenaga kesehatan sebagai komunikator seharusnya memberikan informasi secara jelas kepada pasien. Pemberian informasi sangat diperlukan karena menurut Notoatmodjo (2003), komunikasi diperlukan untuk mengkondisikan faktor kurangnya pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, mereka berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.Untuk itu diperlukan komunikasi yang efektif dari tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan harus mengevaluasi pemahaman ibu tentang informasi yang diberikan.Juga memberikan pesan kepada ibu apabila terjadi efek samping yang tidak bisa ditanggulangi segera datang untuk konsultasi ke petugas (Mandriwati, 2008).

2.2.3. Motivator

Menurut Azwar (1996) dalam Maulana (2009) Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang artinya adalah rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang hingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi adalah upaya untuk menimbulkan

rangsangan, dorongan ataupun pembangkit keinginan seseorang maupun sekelompok masyarakat tersebut sehingga mau berbuat dan bekerja sama secara optimal, melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Motivasi juga didefinisikan sebagai kekuatan dari dalam individu yang mempengaruhi kekuatan atau petunjuk perilaku, motivasi itu mempunyai arti mendorong/menggerakkan seseorang untuk berperilaku, beraktivitas dalam mencapai tujuan (Widayatun, 1999).Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berprilaku.Motivator adalah orang yang memberikan motivasi atau dorongan kepada seseorang untuk berperilaku (Santoso, 2005).

2.2.4. Fasilitator

Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan atau menyediakan fasilitas (Santoso, 2005).Tenaga kesehatan harus dapat berperan sebagai fasilitator bagi klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.Sebagai fasilitator tenaga kesehatan harus mampu menentukan kelompok sasaran sehingga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi (Depkes RI, 2000).

Menurut Notoatmodjo (2007), tenaga kesehatan harus memfasilitasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau program pemberdayaan.

2.2.5. Konselor

Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman terhadap

fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien (Depkes RI, 2002). Tujuan umum pelaksanaan konseling adalah membantu ibu mencapai perkembangan yang optimal dalam batas-batas potensi yang dimiliki dan secara khusus bertujuan untuk mengarahkan perilaku yang tidak sehat menjadi perilaku sehat, membimbing ibu belajar membuat keputusan dan membimbing ibu mencegahtimbulnya masalah (Mandriwati, 2008).

Pada umumnya jasa konseling diperlukan apabila ada pihak yang mempunyai kesulitan tentang sesuatu dan berharap dengan konsultasi kesulitan tersebut dapat teratasi.Konseling adalah bagian dari peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan kepada klien dalam memberikan pelayanan yang optimal (Mundakir, 2006).Konseling berbeda dengan komunikasi infomasi edukasi karena konseling merupakan upaya untuk menciptakan perubahan perilaku yang dilaksanakan secara individu atau kelompok dengan menggunakan komunikasi efektif, untuk mengutarakan permasalahan sesuai dengan kondisi sasaran sampai sasaran merasakanpermasalahannya dan membimbing dalam pelaksanaannya (Mandriwati, 2008).

Proses konseling terdiri dari 4 unsur kegiatan yaitu pembinaan hubungan baik, penggalian informasi (identifikasi masalah, kebutuhan, perasaan, kekuatan diri, dan sebagainya) dan pemberian informasi sesuai kebutuhan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, perencanaan dan menindaklanjuti pertemuan (Depkes RI, 2002).

Langkah-langkah pelaksanaan konseling menurut Mandriwati (2008) adalah tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.Tahap persiapan yaitu menyiapkan ruangan

yang kondusif, menyiapkan alat-alat peraga sesuai dengan kebutuhan dan menyiapkan alat tulis, catatan dan kartu ibu sesuai dengan kebutuhan. Tahap pelaksanaan konseling disingkat dengan GATHER yaitu greet (menyapa ibu untuk memulai percakapan dan menciptakan suasana yang akrab), ask (menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi), tell (memberi informasi tentang cara atau metode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah), help (yaitu membantu ibu memilih cara yang tepat untuk mengatasi permasalahannya sesuai dengan kemampuan ibu), explain (menjelaskan secara rinci tehnik pelaksanaan cara-cara yang dipilih) dan return (membuat kesepakatan dengan ibu untuk pertemuan berikutnya untuk mengevaluasi keberhasilan cara-cara pemecahan masalah yang telah dilaksanakan) (Mandriwati, 2008).

Tenaga kesehatan harus mampu menjadi konselor untuk menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan ditengah-tengah masyarakat. Sebagai konselor petugas harus mampu meyakinkan ibu bahwa ia berada dalam asuhan orang yang tepat sehingga ibu mau berbagi cerita seputar permasalahan kesehatan yang dialaminya dan ibu mau menerima asuhan yang diberikan (Simatupang, 2008).

Konselor yang baik adalah yang mau mengajar dari dan melalui pengalaman, mampu menerima orang lain, mau mendengarkan dan sabar, optimis, respek, terbuka terhadap pandangan dan interaksi yang berbeda, tidak menghakimi, dapat menyimpan rahasia, mendorong pengambilan keputusan, memberi dukungan, membentuk

dukungan atas dasar kepercayaan, mampu berkomunikasi, mengerti perasaan dan kekhawatiran orang lain dan mengerti keterbatasan mereka (Simatupang, 2008).

2.2.6. Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan (Sarwono, 2004).Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Menurut Notoatmodjo (2007) setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya. Perilaku seperti inilah yang disebut dengan praktik kesehatan.Oleh sebab itu indicator praktik kesehatan ini sangat berkaitan dengan persepsi.

Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Menurut Lawrence Green (1980), perilaku seseorang itu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:

1. Faktor Predisposisi (Predisposing factors)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social, ekonomi dan sebagainya.Faktor- faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku kesehatan, maka sering disebut sebagai faktor pemudah.

2. Faktor pemungkin (Enabling Factors)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung.Fasilits ini pada hakekatnya mendukung untuk mewujudkan perilaku kesehatan, maka faktor-fakor ini disebut dengan faktor pendukung atau faktor pemungkin.

3. Faktor Penguat atau Pendorong (Reinforcing Factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para tenaga kesehatan.Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.Untuki berperilau sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan juga perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan terlebih lagi para tenaga kesehatan.disamping itu undang-undng juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut (Notoatmojdo, 2007).

2.3. Imunisasi Hepatitis B 2.3.1. Pengertian imunisasi

Imunisasi salah satu cara yang paling efektif untuk memberikan kekebalan khusus terhadap seseorang yang sehat, dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah

suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 2000).

Menurut Musa dalam Mirzal (2008) Imunitas dalam ilmu kedokteran adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.Oleh karena itu imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga apabila seseorang terpapar antigen yang serupa maka tidak akan pernah terjadi penyakit (Ranuh dkk, 2001).

2.3.2. Program Imunisasi

Program imunisasi di Indonesia telah dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakit cacar khususnya di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi

dinyatakan Negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenal kan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum. Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Depkes RI, 2000).

Cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4% pada tahun 1984.Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989.Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin .Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur.

Pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990.Dengan penerapan strategi mobilisasi sosial dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990.Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama (Depkes RI, 2000).

2.3.3. Tujuan Pelaksanaan Imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit yang dapat menyerang anak-anak.Hal ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sedini mungkin kepada bayi dan anak-anak. Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita anak-anak pra sekolah.

Pencapaian program PD3I perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi.Tujuan pemantauan menurut Azwar (2003) adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja, mengetahui permasahan yang ada.Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program.

Menurut Sarwono (1998), pemantauan yang dilakukan oleh petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi adalah sebagai berikut : Pemantauan ringan adalah memantau apakah pelaksanaan pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin cukup tersedia, pengecekan lemari es normal, hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril, apakah diantara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.

Cakupan imunisasi dapat dilakukan dengan cara memantau cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-masing

desa. Untuk mengetahui keberhasilan program dapat dengan melihat seperti, bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 75-100% dari target, berarti program sangat berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 50-75% dari target, berarti program cukup berhasil dan bila garis pencapaian dalam 1 tahun dibawah 50% dari target berarti program belum berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat dibawah 25% dari target berarti program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten.Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu mempertimbangkan pula memonitoring evaluasi pemakaian vaksin (Notoatmodjo,

Dokumen terkait