• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Minyak

Minyak merupakan salah satu bahan pencemar yang merugikan karena buangan atau tumpahan minyak tersebut mampu melapisi permukaan dengan gumpalan ter dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota akuatik. Pengaruh spesifik dari peristiwa tumpahan minyak terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung volume tumpahan minyak, lokasi dan waktu kejadian (Neff, 1996). Supriharyono (2002) menyatakan bahwa selain jumlah tumpahan minyak, tingkat kerusakan juga dipengaruhi oleh jumlah tumpahan minyak, jenis,

7 sifat dan bahan kimiawi minyak yang tumpah serta kepekaan ekosistem terhadap tumpahan minyak tersebut.

2.3.1. Sumber pencemaran minyak

Petroleum hydrocarbon masuk ke lingkungan perairan dengan beberapa cara yakni rembesan alam (natural seeps), kecelakaan tanker (tanker accident), operasi normal tanker (normal operation of tanker), kebocoran dan semburan dari

poduksi dan eksplorasi lepas pantai, kilang minyak di darat, limbah kota dan jatuhan dari atmosfer. Sumber hidrokarbon alami terbesar di dunia adalah dari alam. Sekarang telah teridentifikasi sebanyak 190 lokasi rembesan dari dasar laut, terutama di daerah perairan dalam dan area aktivitas tektonik (Mukhtasor, 2008). 2.3.2. Karakteristik minyak

Minyak bumi terbentuk sebagai hasil dari penguraian bahan-bahan organik yang tertimbun selama berjuta-juta tahun lalu di kerak bumi baik di bagian daratan atau lepas pantai. Minyak bumi mentah (crude oil) yang baru keluar dari sumur eksplorasi mengandung ribuan macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair atau padatan. Senyawa utama yang terdapat dalam minyak bumi adalah alifatik (paraffinic hydrocarbon), alisiklik (napthenic hydrocarbon) dan

aromatic (Supriharyono, 2002).

Komponen alifatik (paraffinic hydrocarbon) mengandung 1-78 atom karbon. Bentuk fisiknya tergantung pada jumlah karbon yang dikandung. Paraffinic hydrocarbon yang memiliki atom karbon kurang dari lima akan berbentuk gas pada suhu kamar dan tekanan atmosfer. Kandungan hidrokarbon yang terdiri dari 5-16 atom karbon berbentuk semi cairan dan yang ≥17 atom karbon berbentuk padatan atau semi padat. Rantai alkana ini berbentuk lurus sehingga relatif tidak

8 beracun dan tidak dapat diuraikan secara biologis oleh mikroba (Mukhtasor, 2008).

Komponen alisiklik atau napthene berbentuk cincin yang tersusun dari 5-6 atom karbon dan sangat stabil dan tahan terhadap oksidasi. Cyclopentene dan

cyclohexane adalah bicyclic dan polysiclic napthene yang tahan (resistance) dan sulit dihancurkan oleh mikroba. Jumlah senyawa ini umumnya dominan dalam minyak bumi yaitu sekitar 30-40% (Mukhtasor, 2008).

Komponen hidrokarbon aromatik jumlahnya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon lainnya yaitu hanya sekitar 2-4%. Senyawa aromatik paling sederhana adalah benzene yang berbentuk cincin dengan enam cincin benzene yang terjalin bersama. Secara umum komponen aromatic lebih beracun dan sangat mudah berubah menjadi uap (Supriharyono, 2002).

Selain hidrokarbon, minyak bumi juga mengandung senyawa lain yakni nitrogen (0-0.09%), belerang (0-1%) dan oksigen (0-2%) dan komponen logam yang mencapai 40 %. Umumnya komponen logam yang paling dominan adalah nikel dan vanadium (Mukhtasor, 2008).

2.3.3. Toksisitas minyak

Semua minyak mentah dan beberapa produk kilang minyak lainnya dalam konsentrasi tertentu, beracun terhadap organisme laut. Fraksi minyak bumi yang tidak dapat larut sangat merusak, karena minyak tersebut akan melapisi organisme dan mengakibatkan mati lemas. Minyak juga dapat menyebabkan

terkontaminasinya organisme yang dapat dimakan, dengan demikian fraksi yang tidak dapat larut tersebut merupakan salah satu penyebab toksisitas minyak.

9 Hidrokarbon aromatik pada titik didih rendah merupakan fraksi yang paling toksik dan penyebab utama kematian organisme. Termasuk didalamnya adalah

benzene, toluene, cylene, dan naphthalene. Pada konsentrasi tinggi hidrokarbon ini dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel, khususnya pada tingkat larva (Tabel 1).

Tabel 1. Sensitivitas biota akuatik terhadap pemaparan hidrokarbon dan turunannya.

Secara umum, sensitivitas terhadap minyak meningkat dari avertebrata yang lebih rendah ke avertebrata yang lebih tinggi kemudian berakhir pada ikan.

Biota IC50 atau EC50 Referensi Keterangan

Chlorococcum hypnosporum (mikroalga) >10% Chung et al (2007) Napthalene Chlorococcum meneghini (mikroalga) >10% Chung et al (2007) Napthalene Selenastrum capricornutum (mikroalga) >10% Chung et al (2007) Napthalene Clarias gariepinus (African catfish) 15.5 % Zabbey et. al (2006) Water Soluble Fraction (WSF) Larva Echinodermata 23 % Fernandez et al

(2005) Aromatik hidrokarbon Allorchestes compressa (amphipod)

34.5 % Terrens and Tait (1994)

Pengeboran minyak

Mysidopsis bahia 7.1 % Moffitt et al.

(1992) Pengeboran minyak Skeletonema costatum 27.6 % Brendehaug et al. (1992) Pengeboran minyak

Isochrysis sp. 10% Ansari et al (1997) Water Soluble Fraction (WSF)

Prorocentrum micans 10% Goutx et al (1986) Petroleum biodegradation

10 Tahapan larva merupakan tahapan yang paling sensitif jika dibandingkan seluruh daur hidupnya (Bishop, 1983).

2.3.4. Pengaruh minyak terhadap biota akuatik

Minyak memiliki beberapa efek yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh biota akuatik. Efek yang memberikan pengaruh tidak nampak dan memiliki periode yang panjang (sublethal) akan mampu memberikan

pengaruh yang lebih berbahaya karena mampu merubah karakteristik populasi spesies laut dan struktur ekologi komunitas laut. Efek dari tumpahan minyak untuk organisme tertentu memiliki tingkat pemulihan yang bervariasi tergantung tingkat dampak awal yang terjadi (Tabel 2)

Tabel 2. Perkiraan dampak minyak dan tingkat pemulihannya terhadap tipe Komunitas dan Populasi Laut (Bishop, 1983)

Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan dan perilaku biota laut terutama plankton. Selain itu, tumpahan minyak dapat mempengaruhi tingkat fotosintesis yang terjadi

(Mukhtasor, 2008). Komponen minyak umumnya mencegah pertumbuhan bakteri laut. Tidak hanya beberapa unsur pokok minyak toksik terhadap populasi

mikroba, tetapi juga karena produk yang terbentuk oleh degradasi hidrokarbon Tipe Komunitas/

Populasi

Perkiraan dampak awal Perkiraan tingkat pemulihan

Plankton Ringan - Sedang Cepat – Sedang

Komunitas Bentik

Pada Pasut Bebatuan Ringan - Sedang Cepat – Sedang Pada Pasut Berlumpur

atau Berpasir

Sedang Sedang

Pada Daerah Subtidal atau Offshore

Berat Lambat

Ikan Ringan - Sedang Cepat – Sedang

Burung Berat Lambat

11 bersifat lebih toksik dibandingkan dengan hidrokarbon aslinya (Bartha dan Atlas, 1977 in Mukhtasor, 2008). Dampak besar dari pencemaran minyak adalah terhadap organisme bentik karena minyak terakumulasi di lapisan dasar dan umumnya beberapa organisme bentik tidak bergerak dan tidak dapat menghindari pencemaran tersebut (Mukhtasor, 2008).

2.3.5. Interaksi antara minyak dan sedimen

Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak akan mengalami beberapa perubahan secara fisik dan kimia. Diantara perubahan tersebut adalah terbentuknya lapisan (slick formation), menyebar (dissolution), menguap (evaporation), polimerisasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), air dalam emulsi minyak (water in oil emultion), minyak dalam emulsi air (oil in water emultion), foto oksidasi (photooxidation), biodegradasi mikroba

(biodegradation), sedimentasi (sedimentation), dicerna oleh plankton (ingestion) dan bentuk gumpalan ter (ter lump formation). Semua proses itu disebut dengan

weathering of oil (Gambar 1).

Hilangnya sebagian material yang ada membuat minyak lebih padat dan membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang terlarut dalam air laut akan membentuk lapisan yang lebih tebal dan melekat. Selain itu, turbulensi air akan mengakibatkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Ketika semua itu terjadi, reaksi fotokimia akan merubah karakter minyak dan terjadi biodegradasi minyak di permukaan (Mukhtasor, 2008).

12

Gambar 1. Berbagai proses perubahan fisik dan kimia dari minyak (Mukhtasor, 2008)

2.4. Uji Toksisitas sedimen

Dokumen terkait