• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempuyung (Sonchus arvensis) Tempuyung termasuk tanaman obat asli Indonesia dari famili Asteraceae. Tanaman ini merupakan tanaman herba menahun, tegak, mengandung getah, mempunyai akar tunggang yang kuat, tumbuh liar di Jawa, yaitu di daerah yang banyak hujan pada ketinggian 50-1650 m di atas permukaan laut. Tempuyung tumbuh di tempat terbuka seperti di pematang, dan di pinggir saluran air (Heyne 1987).

Gambar 1 Tanaman tempuyung Kandungan kimia yang terdapat di dalam daun tempuyung adalah ion-ion mineral, antara lain silika, kalium, magnesium, natrium, dan senyawa organik seperti flavonoid (kaemferol, luteolin-7-O-glukosida, dan apigenin-7-O-glukosida), kumarin (skepolatin), taraksasterol, inosatol, serta asam fenolat (sinamat, kumarat, dan vanilat). Menurut Cos (1998), flavonoid apigenin-7-O-glukosida adalah salah satu golongan flavonoid yang berpotensi cukup baik untuk menghambat kerja enzim xantin oksidase dan superoksida.

Xantin Oksidasi

Xantin oksidase merupakan suatu kompleks enzim yang terdiri dari molekul-molekul protein yang tiap molekul-molekulnya tersusun atas 2 mol FAD, 2 mol atom Mo dan 8 mol atom Fe. Enzim xantin oksidase di dalam tubuh terdapat pada hati dan otot. Satu unit xantin oksidase dapat mengkonversi satu µmol substrat (xantin) menjadi asam urat tiap satu menit pada pH optimum (pH 7.5) dan suhu optimum (25oC).

Enzim xantin oksidase berbentuk unimolekuler dengan sistem transport elektron yang multi komponen. Selain proses oksidasi molekul oksigen bertindak sebagai akseptor elektron menghasilkan radikal superoksida (O2*-) dan hidrogen. Enzim ini dapat

3

mengkatalisis reaksi oksidasi hipoxantin dan xantin menjadi asam urat yang berperan penting dalam timbulnya gout dan reaksinya dapat dilihat pada Gambar 2. Selama proses oksidasi xantin membentuk asam urat, atom oksigen ditransfer dari molibdenum ke xantin. Perombakan pusat molibdenum yang aktif terjadi dengan penambahan air (Murray et al.

2006).

Gambar 2 Skema reaksi xantin oksidase yang mengkonversi hipoxantin menjadi xantin kemudian asam urat.

Asam Urat (Gout)

Asam urat didefinisikan sebagai penyakit atau sindrom yang disebabkan oleh adanya pembengkakan atau inflamasi karena menumpuknya kristal monosodium urat pada tulang sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat dalam darah (Johnstone 2005). Kadar asam urat normal dalam darah berkisar antara 25–75 g/ml dengan volume urin yang diekskresikan per harinya antara 250 hingga 750. Gout selalu didahului oleh hiperurisemia (Mycek et al. 2001). Asam urat terbentuk di hepar dan dilepaskan ke dalam peredaran darah. Konsentrasi asam urat di dalam serum darah dua kali lipat jika dibandingkan dengan kadar asam urat yang terdapat di eritrosit. Pada serum atau plasma darah, asam urat dapat ditemukan dalam dua bentuk, bentuk bebas dan terikat pada albumin. Konsentrasi asam urat normal pada laki-laki berkisar 30−70

g/ml, sedangkan perempuan lebih rendah yaitu 25−60 g/ml. Penyakit ini umumnya menyerang pria dari pada perempuan dengan rasio perbandingan pria dan wanita yang terkena adalah 7:1. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki hormon estrogen lebih banyak daripada laki-laki, yang ikut membantu pembuangan asam urat melalui urin.

Tingginya kadar asam urat dalam darah pada penderita gout maupun hiperurisemia diakibatkan oleh faktor produksi asam urat berlebihan, obesitas, diabetes yang disertai dengan tekanan darah tinggi (Galvan et al.1995), hingga stres tinggi (Montgomery et al. 1993) dan faktor makanan terutama protein hewani maupun nabati atau sayur-sayuran kaya purin dalam jumlah banyak.

Penelitian Pendukung

Penelitian mengenai khasiat tanaman obat sebagai anti asam urat melalui mekanisme inhibisi enzim xantin oksidase telah banyak dilakukan seperti di Amerika (Owen & Timothy 1998), China (Kong et al. 2000), India (Behera et al. 2003; Umamaheswari et al. 2006), dan Taiwan (Tung & Chang 2010). Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa tanaman obat yang diteliti dapat menginhibisi enzim xantin oksidase dengan daya inhibisi dari 20% sampai 80%. Beberapa senyawa dan kelompok senyawa aktif yang telah diisolasi dari berbagai jenis tanaman obat diketahui memiliki aktivitas antigout seperti penolat dan tanin dari Laric laricina(Owen & Timothy 1998), ekstrak metanol Cinnamomum cassia, Chrysanthemum indicum, Lycopus europaeuos(Kong et al. 2000), asam valoneat dilakton dariLagerstroemia speciosa(Unno et al. 2003), sub keluarga Asteridae seperti

Carthamus tinctorious (Zhang & Yatcilla 2004), ekstrak metalonat Coccinia grandis, Datura metel, Strychnus nux-vomica, danVitex regundo (Umamaheswari et al. 2006), kuersetin, kaemferol, apigenin dari Pystacia integerrima (Ahmad et al. 2007), ekstrak hidromatalonat dari Erythrina stricta

(Umamaheswari et al. 2009), okanin dan melanoxetin dari Acasia confusa (Tung & Chang 2010).

Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, beberapa tanaman asli Indonesia dapat menginhibisi enzim xantin oksidase diantaranya sidaguri (Iswantini et al. 2003) yang ekstrak flavonoidnya memiliki daya inhibisi terhadap xantin oksidase di atas 50%. Seledri merupakan salah satu tanaman yang dapat menginhibisi xantin oksidase (Ramdhani 2004). Gabungan ekstrak sidaguri dan seledri dapat menginhibisi enzim xantin oksidase melebihi alopurinol atau produk komersial lainnya secara in vivoserta menunjukkan efek yang signifikan terhadap penurunan kadar asam urat pada tikus dengan dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB (Iswantni et al. 2004). Formula ekstrak sidaguri dan seledri secara klinik telah ditentukan LD50-nya, (Iswantini et

al. 2005). Wardani (2008) telah membuktikan bahwa ekstrak tempuyung dan meniran dapat menghambat kerja xantin oksidase dalam mengubah xantin menjadi asam urat. Izzah (2010) membuktikan bahwa gabungan dari ekstrak sidaguri, seledri, dan tempuyung berpotensi sebagai obat antigout melalui inhibisi enzim xantin oksidase secara in vitro

dengan persen inhibisi sebesar 88,68% dan penelitiannya itu sekaligus mengukuhkan gabungan ekstrak tersebut dengan dosis 2640 mg/300 g BB dapat menurunkan konsentrasi asam urat dalam darah tikus sebesar 59,45 % yang melebihi kontrol positif (alopurinol) sebesar 56,86%. Hasil penelitian ini didukung oleh Chairul (1999) menyatakan bahwa tempuyung berkhasiat dalam mengobati penyakit gout dengan menghambat kerja enzim xantin oksidase. Flavonoid tempuyung juga berpotensi sebagai komponen antiinflamasi dan antihiperurisemia (Heryanto 2003).

Penelusuran melalui situs paten Amerika (www.uspto.gov) pada tanggal 4 Maret 2010, menunjukkan beberapa hasil penelitian yang memuat khasiat tanaman herba sebagai anti inflamasi, yaitu Coix, Pinellia, Prunus (Hou 1999; US Patent No. 5908628). Tanacetum parthenium, Zingibar officinale, Curcuma longa (Tomer 2000; US Patent No. 616248), jahe, the hijau, huzhang, oregano (Newmark 2001; US Patent No. 6264995). Sub keluarga Asteridae seperti Carthamus tinctoriousefektif untuk menginhibisi aktivitas xantin oksidase (Zhang 2004; US Patent No. 7195790). Selain itu terdapat ekstrak etanol seledri yang dapat mencegah inflamasi dan iritasi lambung (Ethels 2004; US Patent No. 6761913). US Paten publikasi No. 2004/0161480 A1 mengenai produk suplemen makanan yang mengandung seledri yang digunakan untuk mengatasi gangguan sendi pada mamalia (in vivo) yang diantaranya disebabkan oleh gout

(Rose & Chrisope 2004), terdapat juga aplikasi paten mengenai makanan yang dikonsumsi untuk mengobati atau mencegah hiperurisemia dan mengobati gout yang mengandung kondroitin sulfat protein kompleks dan seledri, yaitu US Paten publikasi No. 2005/0222010 A1 (Murota et al. 2005). Aplikasi paten yang lebih baru, yaitu mengenai komposisi gabungan herbal yang mengandung Zingibar officinalesebagai antiarthritis (Pulpa 2008; US Patent 7338674B2).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampel tempuyung, CHCl3, MeOH, EtOH, NaOH, NH4OH, H2SO4, heksana, HCl, aseton, etil asetat, pereaksi Meyer, Dragendorf, dan Wagner, xantin dari sigma, buffer fospat, enzim xantin oksidase dari sigma, kertas saring, dan air bebas ion.

Alat–alat yang digunakan antara peralatan gelas, cawan porselin, neraca analitik, pembakar bunsen, oven, desikator, inkubator, rak tabung reaksi, waterbath, pH meter, autopipet, stopwatch, vorteks mixer, dan Instrumen Spektrofotometer UV Vis.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan beberapa tahap, yaitu tahap persiapan sampel, penentuan kadar air, ekstraksi, uji fitokimia, uji inhibisi, dan uji kecepatan. Diagram alir penelitian disajikan pada Lampiran 1.

Persiapan Sampel

Bahan baku tempuyung diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor. Semua bahan dipisahkan dari kotoran atau bahan-bahan asing lainnya lalu di cuci dan dirajang. Sampel dikeringkan di udara terbuka hingga kadar air kurang dari 10% agar bahan yang diperoleh tidak mudah rusak akibat dari mikroorganisme. Penentuan Kadar Air

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven pada suhu 105ºC selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot kosongnya. Sampel ditimbang sekitar 3 gram dan dimasukkan ke cawan porselin. Sampel beserta cawannya dikeringkan pada suhu 105°C selama 3 jam di dalam oven. Setelah didinginkan dalam desikator selama 30 menit, cawan beserta isinya ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali sampai didapatkan bobot tetap dengan selisih kurang dari 1 mg. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (triplo). Persen kadar air sampel dihitung dengan persamaan:

Kadar Air =

100%

a

b

a

dimana:

a = bobot sebelum dikeringkan (g) b = bobot setelah dikeringkan (g)

5

Ekstraksi Etanol (BPOM 2004)

Serbuk sampel diekstraksi dengan pelarut etanol 30% menggunakan metode maserasi dengan perbandingan 1:5 antara simplisia dan pelarut. Sampel beserta pelarut diaduk,

kemudian didiamkan selama 24 jam. Filtrat dipisahkan dan proses diulangi 3 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua filtrat dikumpulkan dan diuapkan dengan radas penguap putar sampai kental, kemudian ditambahkan pengisi lalu dikeringkan di dalam oven. Rendemennya dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rendemen ekstrak = x 100% Keterangan:

a= bobot ekstrak (g)

b= bobot sampel (g)

Uji Fitokimia (Harborne 1987) a. Uji alkaloid

Sebanyak 1 g contoh dilarutkan dalam 10 ml kloroform dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring dan filtrat dimasukkan ke dalam tabung reksi bertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan asamnya dipisahkan dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner, dan Dragendorf yang akan menimbulkan endapan warna berturut-turut putih, coklat, dan merah jingga.

b. Triterpenoid dan steroid

Sebanyak 1 g contoh dilarutkan dalam 25 ml etanol panas (50oC) disaring ke dalam pinggan porselen dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes serta ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (uji Lieberman-Buchard). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid sedangkan warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid.

c. Uji saponin dan flavonoid

Sebanyak 1 g contoh yang ingin diuji dimasukkan dalam gelas piala, ditambahkan 100 ml air panas, dan dididihkan selama 5 menit. Setelah itu, disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin dilakukan dengan pengocokan 10 ml filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik lalu dibiarkan selama 10 menit. Saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih stabil. Sebanyak 10 ml filtrat lain dicampurkan 0.5 g serbuk magnesium, 2 ml alkohol klorhidrat (campuran HCL 37% dan etanol 95% dengan perbandingan 1:1), dan 2 ml amil alkohol

kemudian dikocok dengan kuat. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. d. Uji tanin

Sebanyak 1 g contoh ditambah 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit, dan disaring. Sebagian filtrat yang diperoleh ditambah larutan besi (III) klorida. Terbentuknya warna hitam kehijauan menunjukkan tanin.

Pembuatan Kurva Standar

Larutan substrat (xantin) dibuat pada berbagai konsentrasi (0.1; 0.2; 0.3; 0.4; dan 0.5 ppm) dan diukur panjang gelombang maksimumnya terlebih dahulu. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh yairu 269 nm. Semua larutan xantin kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh sehingga diperoleh kurva hubungan antara konsentrasi dan serapan larutan xantin. Persamaan kurva linear tersebut digunakan untuk menghitung aktivitas xantin oksidase.

Uji Daya Inhibisi Terhadap Enzim Xantin Oksidase (Tamta et al. 2006)

Uji daya inhibisi ekstrak kasar terhadap xantin oksidase dilakukan pada kondisi optimumnya. Kondisi optimum pengujian mengacu pada Iswantini dan Darusman (2003), yaitu pada waktu inkubasi 45 menit, suhu 20o C, pH 7.5, konsentrasi xantin oksidase 0.1 unit/ml, dan konsentrasi substrat (xantin) 0.7 mM.

Ekstrak kasar dimasukkan ke dalam tabung reaksi terpisah dengan variasi konsentrasi tertentu. Variasi konsentrasi didasarkan pada hasil uji sitotoksin (Wardani 2008). Selanjutnya kedalamnya ditambahkan larutan buffer kalium fosfat 50 mM pH 7.5 sampai volumenya menjadi 1.9 ml. Campuran kemudian ditambah 1 ml xantin 2.1 mM dan xantin oksidase 0.1 unit/ml sebanyak 0.1 ml lalu diinkubasi pada suhu 20oC selam 45 menit. Setelah masa inkubasi, ke dalam campuran dengan segera ditambahkan HCl 0.58 M sebanyak 1 ml untuk menghentikan reaksi.

Campuran selanjutnya diukur serapannya menggunakan spektrofometer UV pada panjang gelombang 269 nm untuk melihat seberapa besar sisa xantin yang tidak bereaksi dalam sampel uji. Konsentrasi ini nantinya dapat diubah menjadi konsentrasi xantin yang bereaksi sehingga dapat ditentukan seberapa besar aktivitas xantin oksidase dan seberapa

besar persen inhibisi ekstrak yang diujikan terhadap aktivitas xantin oksidase.

Uji Kecepatan Aktivitas Xantin Oksidase di berbagai Konsentrasi Substrat (Tamta et al. 2006)

Uji kecepatan dilakukan hanya pada ekstrak kasar tempuyung. Prosedur uji ini mirip dengan pelaksanaan uji penentuan daya inhibisi, hanya saja pada uji kecepatan ini, konsentrasi substrat (xantin) dalam larutan divariasikan mulai dari 0, 0.1 hingga 0.9 mM (interval kenaikan 0.2 mM) dan konsentrasi ekstrak dibuat konstan. Sebelum uji dilakukan perlu diketahui terlebih dahulu pada konsentrasi berapa ekstrak kasar memberikan hambatan maksimumnya. Ekstrak dengan konsentrasi yang memberikan daya inhibisi terbaik dan masih berada di bawah nilai LC50 -nya yang kemudian dijadikan kandidat bagi pelaksanaan uji kecepatan. Ekstrak etanol tempuyung menunjukkan daya inhibisi yang paling besar pada konsentrasi 200 ppm.

Dalam pelaksanaannya, sederetan konsentrasi substrat disiapkan (0.00; 0.3; 0.9; 1.5;2.1; dan 2.7 mM) dan diuji sebagaimana penentuan daya inhibisi, dari sini akan diperoleh kecepatan reaksi enzim xantin oksidase dalam keadaan normal, sedangkan untuk melihat kecepatan reaksi enzim akibat perlakuan ekstrak, ke dalam sederetan konsentrasi substrat yang lain ditambahkan ekstrak (konsentrasi terpilih), dan diinkubasi sesuai kondisi optimumnya, lalu dibaca serapannya pada panjang gelombang 269 nm.

Data yang diperoleh kemudian dikonversi dan diinterpretasikan ke dalam persamaan Michaelis Menten dalam bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Sampel tempuyung yang digunakan pada penelitian ini berbentuk simplisia yang telah dikeringkan dan digiling. Pengeringan simplisia dimaksudkan untuk menghindari pengaruh mikrob, karena kadar air dalam suatu bahan akan memengaruhi daya tahan sampel tersebut terhadap serangan mikrob. Penggilingan sampel dimaksudkan untuk memudahkan proses difusi pelarut masuk ke dalam dinding sel tumbuhan sehingga proses ekstraksi dapat berjalan optimal.

Serbuk tempuyung ditentukan kadar airnya agar dapat diperkirakan cara

penyimpanan terbaik bagi sampel untuk menghindari pengaruh aktivitas mikrob (jamur). Data dan perhitungan kadar air bisa dilihat pada Lampiran 2. Kadar air yang diperoleh adalah 10.29 %, maka serbuk tempuyung relatif kurang stabil terhadap serangan mikrob karena kadar airnya lebih dari 10% (Winarno 1997). Hal ini bisa terjadi karena panen dilakukan pada saat musim hujan sehingga kadar airnya cukup tinggi.

Ekstraksi

Ekstraksi digunakan untuk memperoleh kandungan senyawa kimia yang larut dalam pelarut. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi cocok digunakan untuk senyawa yang belum diketahui ciri-cirinya. Kandungan senyawa dalam sampel yang tidak tahan panas tidak rusak dan sampel dapat diekstraksi langsung dalam jumlah banyak. Mekanisme ekstraksi pada metode maserasi adalah adanya proses difusi pelarut ke dalam dinding sel tumbuhan untuk mengekstraksi senyawa yang ada dalam tumbuhan tersebut. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol 30%, alasan etanol karena etanol memiliki 2 gugus fungsi yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang nonpolar. Senyawa-senyawa dengan kepolaran yang berbeda dalam sampel diharapkan akan terekstrak ke dalam etanol (Khopkar 2002). Selain itu, etanol 30% lebih ekonomis dan limbah yang dihasilkan tidak terlalu berbahaya. Rendemen yang didapatkan dari hasil ekstraksi serbuk tempuyung adalah 22.06% terhadap bobot keringnya. Untuk perhitungannya dapat dilihat di Lampiran 2.

Uji Fitokimia

Senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak tempuyung dapat diketahui melalui uji fitokimia. Uji yang dilakukan meliputi uji flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, steroid, dan triterpenoid. Uji pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya flavonoid di dalam ekstrak tersebut yang kemungkinan berperan dalam menginhibisi xantin oksidase. Uji fitokimia dilakukan terhadap serbuk dan ekstrak kasar tempuyung. Hasil uji fitokimia serbuk dan ekstrak (Tabel 1) menunjukkan bahwa keduanya mengandung flavonoid dan tanin.

Flavonoid pada ekstrak kasar tempuyung didapati lebih banyak daripada simplisianya. Hal ini terlihat dari warna yang terbentuk pada ekstrak lebih pekat. Metabolit sekunder flavonoid ini yang diduga dapat menghambat

7

aktivitas xantin oksidase. Sementara kandungan tanin pada ekstrak dan simplisia diperkirakan sama dilihat dari warnanya yang hampir sama.

Tabel 1 Uji fitokimia serbuk dan ekstrak

tempuyung Golongan senyawa Hasil uji Serbuk Ekstrak Flavonoid + + + Alkaloid -Tanin + + Saponin -Steroid -Triterpenoid -Keterangan: (-): tidak terdeteksi; (+): terdeteksi

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tempuyung selain mengandung flavonoid dan tanin juga mengandung triterpenoid dan steroid (Wardani 2008). Perbedaan diduga karena kondisi tanaman saat panen berbeda sehingga kandungan metabolit sekundernya berbeda.

Uji Inhibisi Ekstrak Kasar terhadap Aktivitas Xantin Oksidase

Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan sebelum uji inhibisi xantin oksidase. Pengukuran serapan larutan pada panjang gelombang maksimum dapat mengurangi galat atau memiliki ketepatan yang tinggi dalam penentuan suatu senyawa secara spektrofotometri. Hal ini disebabkan karena pengukuran pada dengan serapan maksimum

akan meningkatkan kepekaan analisis. Pengukuran ultraviolet (UV) dilakukan pada kisaran panjang gelombang 220–320 nm karena senyawa yang akan diukur tidak berwarna. Panjang gelombang maksimum diperoleh pada panjang gelombang 269 nm (Lampiran 3). Hasil ini tidak terlalu jauh dari

max yang diperoleh Izzah (2010) yaitu 268.2 nm.

Uji inhibisi terhadap enzim xantin oksidase dilakukan pada ekstrak tempuyung dengan konsentrasi, mulai dari 100 ppm sampai 1500 ppm. Variasi konsentrasi ini bertujuan mencari konsentrasi yang memiliki daya inhibisi terbaik. Konsentrasi terbaik dengan daya inhibisi tertinggi inilah yang digunakan untuk uji kecepatan enzim. Selain itu, juga dilakukan pengamatan aktivitas enzim tanpa penambahan ekstrak (kontrol) untuk melihat pengaruh inhibisi ekstrak terhadap aktivitas enzim.

Pembuatan kurva standar perlu dilakukan sebelum uji enzimatik untuk mengetahui serapan xantin pada berbagai konsentrasi. Persamaan linear yang diperoleh ialah

y=2.8346x+0.2235 dengan nilai r=0.9600 (Lampiran 3), dan ymerupakan serapan xantin dengan penambahan ekstrak dan xmerupakan konsentrasi xantin sisa yang tidak terkonversi menjadi asam urat. Konsentrasi ini nantinya dapat diubah menjadi konsentrasi xantin yang bereaksi sehingga dapat ditentukan besarnya aktivitas xantin oksidase dan persen inhibisi ekstrak yang diujikan terhadap aktivitas xantin oksidase.

Faktor-faktor utama yang dapat memengaruhi aktivitas enzim meliputi konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, jumlah produk yang terbentuk, adanya senyawa inhibitor dan aktivator, pH, kekuatan ion, serta suhu lingkungan (Thenawijaya 1995). Faktor-faktor ini harus benar-benar diperhatikan selama bekerja dengan enzim. Uji enzimatik dilakukan pada kondisi optimum (Iswantini dan Darusman 2003), yakni pada suhu inkubasi 20oC, pH 7.5, konsentrasi xantin oksidase 0.1 unit/ml, konsentrasi xantin 0.7 mM, dan waktu inkubasi 45 menit. Serapan yang terukur merupakan sisa xantin yang tidak terkonversi menjadi asam urat. Serapan ini nantinya dapat diubah menjadi konsentrasi xantin berdasarkan pada persamaan linear. Daya hambat ekstrak kasar tempuyung dapat diilustrasikan dalam bentuk persen inhibisi yang diperlihatkan pada Gambar 3.

Hasil uji (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tidak semua varian konsentrasi ekstrak memiliki aktivitas enzim yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak kasar tempu-yung berpotensi untuk menghambat dan mengaktivasi aktivitas xantin oksidase. Namun, kemampuan menghambatnya masih lebih besar daripada kemampuan mengaktivasi dilihat dari nilai inhibisinya.

Ekstrak kasar tempuyung dapat mengham-bat aktivitas enzim xantin oksidase mulai dari konsentrasi 100 ppm sampai 600 ppm dengan daya hambat paling besar pada konsentrasi 200 ppm, yaitu sebesar 10.86%. Namun, pada konsentrasi 700 ppm sampai 1500 ppm ekstrak tersebut malah menjadi aktivator. Hal ini disebabkan ekstrak yang diujikan masih kasar, sehingga semakin pekat ekstrak, semakin banyak pula senyawa lain yang ikut terekstraksi oleh etanol yang diduga memiliki fungsi bukan hanya untuk menginhibisi.

Gambar 3 Inhibisi ekstrak tempuyung terhadap enzim xantin oksidase dalam berbagai konsentrasi.

Data hasil uji inhibisi menunjukkan daya inhibisi yang tidak seiring dengan bertam-bahnya konsentrasi ekstrak. Peningkatan yang tidak signifikan ini diduga adanya karakteristik komponen senyawa yang berbeda dalam sampel yang ikut terekstrak oleh etanol dan ketidakhomogenan distribusi ekstrak oleh pelarut. Golongan senyawa tersebut dapat berfungsi sebagai inhibitor ataupun aktivator enzim (Harborne 1987).

Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak tempuyung yang diduga dapat menginhibisi xantin oksidase adalah flavonoid. Kandungan flavonoid yang terdapat di dalam ekstrak etanol tempuyung, yaitu flavonoid dengan komponen utama adalah 7-glukosilluteolin, 7-glukosilapigenin, dan kaemferol (Chairul 1999). Senyawa flavonoid dapat menghambat xantin oksidase dan bersifat menangkap radikal bebas superoksida sehingga mampu menurunkan kadar asam urat. Jenis-jenis flavonoid seperti apigenin, luteolin, kuersetin dan kaemferol mempunyai potensi cukup baik untuk menginhibisi aktivitas enzim xantin oksidase, sedangkan turunan flavonoid seperti 7-glukosilapigenin memiliki inhibisi lebih rendah dibandingkan flavonoid aslinya, yaitu apigenin (Cos et al. 1998). Berdasarkan penelitian sebelumnya flavonoid golongan quersetin dan

rutin sebagai inhibitor xantin oksidase dan xantin dehidrogenasi sehingga dapat mencegah hiperurisemia pada hati tikus secara in vivo

(Zhu et al. 2004). Umamaheswari et al.(2006) menyatakan bahwa selain kandungan flavonoid, senyawa-senyawa seperti diterpen, triterpenoid, alkaloid, dan lignan yang terdapat dalam ekstrak metanol tanaman Vivex negundo

L. atau saponin dan polifenol yang terdapat pada ekstrak air tanaman Coccinia grandis L. dapat berperan dalam menghambat xantin oksidase secara in vitro dengan daya inhibisi lebih besar dari 50%. Kuersetin dari Pistecia integerrima juga dapat menghambat aktivitas xantin oksidase (Ahmad et al. 2007). Flavonoid pada ekstrak Acacia confusa dapat menghambat xantin oksidase sebesar 80% (Tung & Chang 2010).

Uji Kecepatan Reaksi Enzim pada Berbagai

Dokumen terkait