• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Tinjauan Pustaka

Adapun skripsi sebelumnya yang pembahasannya berkaitan dengan persoalan yang penulis bahas pada kesempatan kali ini adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh Ayu Lestari, NIM. 1111.046 dengan judul

“Studi Analisis Terhadap Pemanfaatan Uang Wakaf di Jorong

20Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 883

21

http://mandiriamalinsani.or.id.perbedaan-wakaf-uang-dan-wakaf-melalui-uang/?doing_wp_cron=1565747551.5293951034545898437500. Diakses pukul 22.45 tanggal 20 Agustus 2019.

22 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 883

19

Tamtaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam Menurut Hukum Islam”. Skripsi ini menjelaskan tentang adanya kejanggalan dalam pengelolaan wakaf tunai oleh pengurus masjid, yang mana pengurus masjid memanfaatkan uang wakaf tersebut untuk keperluan membayar gaji garin dan honor penceramah sehingga menghilangkan nilai wakaf itu sendiri. Hal ini terjadi disebabkan karena pengurus masjid tidak memisahkan aliran dana yang masuk ke masjid berupa wakaf, infak dan sedekah. Ketika memungut dari masyarakat alirannya di pisahkan namun saat pengumpulan semua disatukan.

2. Skripsi yang ditulis oleh Hawari Darman, NIM. 1112.052 dengan judul “Pemahaman Masyarakat Tentang Pemanfaatan Harta Wakaf (Studi Kasus di Kenagarian Koto Baru Simalanggang Kecamatan Payakumbuh Kabupaten 50 Kota). Skripsi ini menjelaskan tentang banyaknya potensi harta wakaf yang ada di Kenagarian Koto Baru Simalanggang, namun harta tersebut banyak yang peruntukannya tidak sesuai dengan ikrar wakafnya. Diantara penyebabnya adalah masyarakat kurang memahami mengenai konsep wakaf, perbedaan pendapat masyarakat mengenai hukum pengalihan manfaat harta wakaf di luar ikrar wakaf, serta masyarakat tidak mengetahui dengan baik mengenai aturan fikih dan perundang-undangan tentang pengalihan harta wakaf.

20 H. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I Pendahuluan. Di dalam Bab pendahuluan ini terdiri dari; (a) Latar Belakang Masalah, (b) Rumusan masalah, (c) Tujuan dan kegunaan penelitian, (d) Metode penelitian, (e) Tinjauan Pustaka, (f) Penjelasan Judul dan (g) Sistematika penulisan.

Bab II Pembahasan . Bab ini membahas tentang; (a) Teori Wakaf (b) Teori Wakaf Tunai , (c) Pengelolaan Wakaf Uang Di Masjid-Masjid Kota Bukittinggi

Bab III Hasil Penelitian. Yakni; (a) Monografi Kota Bukittinggi.

(b) pengelolaan wakaf uang di Masjid-Masjid Kota Bukittinggi, (c) peran dan fungsi masjid dalam pembangunan umat dari segi pemeliharaan ibadah dan pendidikan

Bab IV Penutup. Sebagai capaian simpul dari hasil penelitian yang benar, berkelanjutan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, pada bab penutup ini disusun dengan; (a) Kesimpulan, dan (b)

Saran-saran.

21 BAB II

LANDASAN TEORI A. TEORI WAKAF

1. Pengertian Wakaf

Kata “wakaf” berasal dari kata kerja bahasa Arab, yaitu “waqafa-yaqifu”

ََوََق

(

ََف

َيَِق -َ

َُف

) yang berarti berhenti, menghentikan, berdiam di tempat atau menahan

sesuatu, lawan dari kata istamarra )َّرَمَتْسِا( yang berarti terus menerus.,1 2 Pengertian menghentikan ini (kalau) dihubungkan dengan ilmu pengetahuan membaca al-Qur‟an (ilmu tajwid) adalah tata cara menyebut huruf-hurufnya, dari mana harus memulai dan dimana harus berhenti. Wakaf dalam pengertian ilmu tajwid berarti menghentikan bacaan. Pengertian wakaf dalam makna berdiam di tempat , dikaitkan dengan wuquf yaitu berdiam di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wuquf di Arafah, tidak ada Haji bagi seseorang. Pengertian menahan sesuatu dihubungkan dengan harta kekayaan. Itulah yang dimaksud wakaf dalam uraian ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam.3

Di dalam kepustakaan, sinonim kata “waqf” adalah “habs”. Kedua-duanya adalah kata benda yang berasal dari kata kerja “waqafa” dan “habasa”,

1 Sulaiman, Total Quality Management (TQM) Untuk Wakaf, (Malang : UIN-Maliki Press,2013), hal. 36

2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010), hal. 43

3 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)), 1899, hal. 77

22

artinya menghentikan, menahan seperti yang dikemukakan diatas. Bentuk jama‟nya adalah awqaf untuk waqf dan ahbas untuk habs. Perkataan habs atau ahbas biasanya dipergunakan di Afrika Utara di kalangan pengikut Mazhab Maliki. 4

Berdasarkan maknanya yang umum dan praktiknya, wakaf adalah memberikan harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur tangan pribadi, menyalurkan hasil dan manfaatnya secara khusus sesuai dengan tujuan wakaf, baik untuk kepentingan perorangan, masyarakat, agama, ataupun umum.5 Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang nilainya lebih dominan pada ibadah sosial.6

Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan dimensi ekonomi (dimensi sosial). Karena itu, pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting. 7

Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul

4 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,………… hal. 80

5 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Grup, 2007), hal.3

6 Qadri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Memneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 122

7 Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Direktorat Pemberdayaan Wakaf , Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hal. 1

23

ashli) , lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud dengan tahbisul Ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.8

Para ahli fikih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri.

Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah adalah sebagai berikut:

a. Menurut Abu Hanifah

Wakaf secara istilah menurut Abu Hanifah adalah :

ََحَ ب َوى

“Wakaf adalah menahan harta dari otoritas kepemilikan orang yang mewakafkan dan menyedekahkan kemanfaatan barang tersebut untuk tujuan kebaikan“9

Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak terlepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan untuk menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Sebab menurut Abu Hanifah wakaf itu hukumnya jaiz (boleh), bukan lazim (wajib, mengandung hukum yang mengikat).

Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah,”tidak

8 Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,………..hal. 1

9 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terjemahan dari Fiqhul Islaami wa Adillatuhu oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta : Gema Insani, Darul Fikir, 2011), jilid 10, hal. 269.

24

melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang. Contohnya seperti wakaf buah kelapa.10

"wakaf adalah bahwa si pemilik harta menjadikan hasil dari harta yang dia miliki-meskipun kepemilikan itu dengan cara menyewa- atau menjadikan penghasilan dari harta tersebut, misalnya dirham, kepada orang yang berhak dengan suatu sighat (akad, pernyataan) untuk suatu tempo yang dipertimbangkan oleh orang yang mewakafkan"11

Artinya wakif menahan harta tersebut dari segala bentuk pengelolaan kepemilikan , menyedekahkan hasilnya untuk tujuan kebaikan, sementara barang itu masih utuh menjadi milik orang yang mewakafkan untuk suatu tempo tertentu.

Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafazh wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik.

Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

c. Mayoritas Ulama

10 Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,…....hal. 2

11 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, …………..hal. 272

25

Mayoritas Ulama yang dimaksud disini adalah mazhab Hanafiyyah, mazhab Syafi‟I, dan mazhab Hanbali menurut pendapat yang shahih.

Mereka semuanya mengambil fatwa dari dua murid Abu Hanifah.

ََوَُى

“Wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang tersebut untuk tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah swt.”12 Berdasarkan pengertian tersebut, harta wakaf lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah. Orang yang mewakafkan tersebut terhalang untuk mengelolanya, penghasilan dari barang tersebut harus disedekahkan sesuai dengan tujuan perwakafan.

Adapun contoh mewakafkan barang yang dimiliki dengan cara menyewa adalah seseorang menyewa sebuah rumah yang dimiliki orang lain atau sebidang tanah untuk suatu tempo tertentu, kemuadian dia mewakafkan hasil dari penyewaan itu kepada pihak yang berhak pada masa itu juga.13

12 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, …………..hal. 271

13 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, …………..hal. 272

26

Mazhab Syafi‟i mendefinisan wakaf itu adalah “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

Jika kita perhatikan, definisi wakaf yang dikemukakan oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki memiliki sisi persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa wakaf itu pada hakikatnya tidak melepaskan kepemilikan dari orang yang berwakaf, sehingga yang timbul dari wakaf hanyalah menyumbangkan manfaat.

Selain itu wakaf juga berlaku sementara. Bahkan Imam Maliki melarang pensyaratan wakaf kekal. .

Adapun perbedaannya yaitu bahwa menurut Abu Hanifah, wakaf itu hanya boleh pada harta yang menjadi milik penuh si wakif. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, wakaf itu diperbolehkan pada harta yang dimiliki, meskipun kepemilikan itu dengan cara menyewa, atau menjadikan penghasilan dari harta tersebut untuk tujuan wakaf.

Selanjutnya , dalam ketentuan umum Pasal 215 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Perwakafan, wakaf diartikan sebagai :

“perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.”14

14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Permata Press, TT), hal. 65

27

Sedangkan menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004, disebutkan defenisi wakaf adalah:

“Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan dan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari‟ah”.15

Dari berbagai macam rumusan mengenai wakaf, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat wakaf itu adalah menahan pokok harta yang telah diserahkan untuk kepentingan ibadah ataupun kepentingan umum lainnya sesuai dengan aturan Islam.

“Dalam kata lain, wakaf adalah tidak melepas harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepas kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.16

2. Dalil Wakaf

a. Dalil al-Qur’an 1) Q.S Al-Hajj ayat 77

15 Kementrian Agama RI, UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf (Direktorat pemberdayaan Wakaf, 2010), hal. 3

16 Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,………. hal. 2

28

“Perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan”

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk berbuat kebajikan.

Dan salah satu bentuk kebajikan adalah wakaf, dimana wakaf yang kita salurkan dapat meringankan sedikit beban kaum muslimin.

2) Q.S Al-Baqarah:261 Allah Maha luas, Maha Mengetahui.”

3) Q.S Al-Baqarah ayat 267

“ Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.”

4) Q.S Ali-Imran ayat 92

ٌُمْيِلَعُِوِبَُللهُ نِاَفٍُئْيَشُْنِماْوُقِفْنُ تُاَمَوَُنْو بِحُتُا مِمْوُقِفْنُ تُى تَحُ رِبْلاُُلاَنَ تُْنَل

“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sampai kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakan , tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui”

Ayat 261 dan 267 surat Al-baqarah dan juga ayat 92 surat Ali Imran adalah perintah dan motivasi untuk berinfak di jalan Allah. Berinfak di jalan Allah itu termasuk ke dalam sekedah. Termasuk juga yang di maksud disini

29

adalah sedekah jariyah. Sedekah jariyah inilah yang dipahami oleh para ulama sebagai wakaf.

b. Dalil Hadis

Selain dari ayat-ayat yang mendorong manusia berbuat baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan (menyedekahkan) hartanya tersebut diatas, hadist Nabi juga banyak menyebutkan tentang wakaf. Diantaranya adalah

1) Hadist riwayat Muslim dari Abu Hurairah:

: َلاَقَُم لَسَوُِوْيَلَعُُللهاُى لَصُِللهاُ ُلْوُسَرُ نَأَُةَرْ يَرُىُ ْيِبَأُْنَع

َُعَطَقْ نِاُُناَسْنِْلاُ َتاَمُاَذِا

ٍُةَث َلََثُْنِمُ لِاُُوُلَمَع

ُْنِم

ٍُةَيِراَجٍُةَقَدَص ُ

ٍَم لِعَو

ُُوَلُْوُعْدَيٌُحِلاَصٌُدَلَوَوُِوِبُُعَفَ تْنُ ي ُ

“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda: jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do‟a anak yang shaleh”.

(HR. Muslim no. 1631)17 .

Menurut hadist tersebut, seorang manusia yang meninggal dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya kecuali pahala tiga amalan, yaitu (1) pahala amalan shadaqah jariyah yang diberikannya selama ia hidup, (2) pahala ilmu yang bermanfaat, (bagi orang lain) yang diajarkannya selama hayatnya, dan (3) doa anak (amal) shaleh yakni anak yang membalas guna orang tuanya dan mendoakan ayah ibunya kendatipun orang tuanya itu telah tiada bersama dia di dunia ini. Para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan pahala shadaqah jariyah dalam

17 Al-Hafizh Ibnu Hajjar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Bandung: Al-Ma‟arif, TT), hal. 210

30

hadist itu adalah (pahala) wakaf yang diberikannya di kala seseorang masih hidup.

2) Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar.

ُِنَع

pertimbangan tentang tanah itu, maka katanya:”wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya?” Maka kata Rasulullah SAW kepadanya: “jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya.”Maka „Umar pun menyedekahkan manfaatnya, dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak diberikan dan tidak diwariskan.

Tanah itu dia waqafkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma‟ruf, dan memakannya tanpa menganggap bahwa tanahnya itu miliknya sendiri.”18

Menurut hadist ini, Umar bin Khattab ayah dari Ibnu Umar mempunyai tanah di Khaibar, suatu daerah pertanian di Madinah. Tanah itu sangat disukai oleh Umar. Pada suatu hari beliau bertanya kepada

18 Al-Hafizh Ibnu Hajjar al-Asqalani, Bulughul Maram,………. hal. 210

31

Nabi Muhammad, apakah sebaiknya melepaskan tanah yang disukainya itu sebagai sedekah dalam rangka memenuhi seruan Allah. Nabi menjawab:”tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”.

Anjuran Nabi ini dituruti oleh Umar. Ditahannya tanah itu, dalam pengertian tidak dijual, tidak diwariskan, tidak pula dihibahkan kepada orang lain. Ditetapkannya pula bahwa hasil tanah itu diperuntukannya bagi fakir miskin, keluarga-keluarga yang memerlukannya , orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan, para tamu, para penuntut ilmu dan sebagainya. Ditentukannya pula bahwa orang yang mengurus wakaf itu dapat juga memakan hasil tanah wakaf dimaksud sekedar untuk keperluan hidupnya sendiri beserta keluarganya dalam batas-batas yang pantas.

3) Hadis tentang Usman bin Affan yang membeli sumur di kota Madinah.

َُنْبَُنْيَصُحُُتْعِمَس:َلاَقَُسْيِرْدِاُُنْبُللهاُُدْبَعُاَنَرَ بْخَأُ:َلاَقُمْيِىاَرْ بِأُُنْبُُقاَحْسِأُاَنَرَ بْخَأ

ُِدْبَع

َُمْح رلا ُ

ُاَنْجَرَخُ:َلاَقُ ٍسْبَ قُ ِنْبُ ِفاَنْحَْلاُ ِنَعُ,َناَواَجُ ِنْبوِرْمَعُ ْنَعُ ُث دَحُيُ ِن

َُوَُةَنْ يِدَمْلاُاَنْمِدَقَ فُاًجا جُح

ُْذِاُاَنَلاَحِرُُعَضَنُاَنَلِزاَنَمُْيِفُُُنْحَنُاَنْ يَ بَ فُ, جَحْلاُُدْيِرُنُُنْحَن

ُسا نلاُاَذِأَفُاَنْقَلَطْناَف,اْوُعَزَ فَوُ َدِجاَسَمْلاُ ْيِفُاْوُعَمَتْجاُ ِدَقُ َسا نلاُ نِاُ:َلاَقَ فُ ٍتَااَناَتَأ

َُوُ,ِدِجْسَمْلاُ ِطْسَوُ ْيِفُرَفَ نُىَلَعَُنْوُعِمَتْجُم

ُْيِبَأُُنْبٌُدْعَسَو ٌُةَحْلَطَوٌُرْ يَ ب زلاَوٌُّيِلَعُاَذِا

ُِبُ َع نَ قُ ْدَقُ ُءاَرْفَصُ ٌةَءَلَُمُ ِوْيَلَعُ َنا فَعُ ُنْبُ ُناَمْثُعُ َءاَجْذِاُ َكِلَذَكَلُ ا نِاَفُ ,ٍصا قَو

ُاَه َُساَنُهَىَأُ ؟رْيَ ب زلاُ اَنُهَىَأُ ؟ةَحْلَطُ اَنُهَىَأ ؟يِلَعاَنُهَىَأ:َلاَقَ ف,ُوَسْأَر

ُي نِاَف:َلاَق,ْمَعَ ن:اْوُلاَق؟ادْع

ُُعاَتْبُ يُ ْنَمُ((:َلاَقُم.صُِللهاُ َلْوُسَرُ نَأَُنْوُمَلْعَ تَأ!َوُىُ لِاَُوَلِا َلُ ْيِذ لاُوِللاِبُْمُكدُشْنَأ

ُْيِرْشِعَوُِةَسْمَخِبُ ْوَأُاًفْلَأَُنْيِرْشِعِبُُوُتْعَ تْ باَف.))ُوَلُُللهاَُر فَغُن َلَُفُْيِنَبٌُدَبْرَم

ُُتْيَ تَأَف,اًفْلَأَُن

ُ مُهل لَاُ:ُ ْوُلاَقُ))؟َكَلُُهُرْجَأَوُاَنِدِجْسَمُْيَفاَهْلَعْجِاُ((ُ:َلاَقَ ف,ُوُتْرَ بْخَأَفُم.صُِللهاَُلْوُسَر

32 dari Husain bin Abdurrahman, dari Amr bin Jawan bahwa al-Ahnaf bin Qais berkata:”kami keluar untuk menunaikan haji. Kami singgah di Madinah dalam perjalanan menunaikan haji tersebut. Saat berada di tempat persinggahan, kami tambatkan hewan-hewan tunggangan kami.

Tiba-tiba seseorang datang dan berkata,‟orang-orang telah berkumpul di masjid‟. Lalu kami pergi (ke masjid), ternyata orang-orang memang telah berkumpul di depan beberapa orang yang berada di tengah masjid. Ternyata mereka adalah Ali bin Abi Thalib, az-Zubair, Thalhah, dan Sa‟id bin Abi Waqqash. Saat kami menyaksikan hal itu, tiba-tiba Utsman datang dengan mengenakan sarung kuning dan menutupkannya ke kepala. Utsman berkata,‟apakah Ali ada disini? Apakah Thalhah ada disini? Apakah az-Zubair ada disini? Apakah Sa‟id ada disini?‟ Mereka menjawab,‟ya‟. Utsman berkata,‟Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sungguh aku memohon kepada kalian (jawablah dengan jujur).

Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,‟ siapa yang membeli mirbad (tempat pengeringan kurma) milik Bani Fulan, Allah mengampuni dosanya.‟ Aku membelinya dengan 20 ribu atau 25 ribu, lalu menemui Rasulullah saw dan mengabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau bersabda,‟wakafkanlah untuk dijadikan sebagai masjid kita, engkau akan mendapatkan pahalanya.‟mereka berkata,‟ya.‟ Utsman berkata,‟Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia.

Aku mohon kepada kalian (jawablah dengan jujur). Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah saw bersabda,‟siapa yang membeli sumur Rumah, niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya.‟ Lalu aku menemui beliau dan berkata,‟aku telah membelinya dengan harga sekian dan sekian.‟ Beliau bersabda,‟jadikanlah ia sumber minum untuk kaum muslimin dan engkau akan mendapatkan pahalanya.‟ Mereka berkata,‟ya.‟ Utsman berkata,‟Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, aku mohon kepada kalian (jawablah dengan jujur). Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah saw melihat wajah orang-orang lalu bersabda,‟siapa yang memberikan perbekalan untuk mereka, niscaya Allah akan

33

memberikan ampunan untuknya.‟ Yaitu (perbekalan untuk tentara Jaisy al-Usrah). Lalu aku memberikan perbekalan kepada mereka sampai mereka semua mendapatkan tali dan tali kekang (hewan tunggangan).‟

Mereka berkata,‟ya.‟Utsman berkata,‟ Ya Alah, saksikanlah. Ya Alah, saksikanlah.‟19ُ

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya hijrah ke Madinah dalam kondisi yang belum stabil, mereka dihadapkan pada kesulitan air.

Di Madinah ada sebuah sumur yang memancarkan mata air segar bernama sumur Rumah. Sumur ini kepunyaan seorang Yahudi yang diperjualbelikan. Rasulullah saw berharap ada di antara para sahabat yang membeli sumur itu, sehingga kaum muslimin dapat mengkonsumsinya.

Setelah tawar menawar, akhirnya lelaki tua Yahudi itu hanya mau menjual setengah sumurnya seharga 12.000, dengan aturan satu hari untuk si Yahudi dan satu hari untuk Utsman. Kaum muslimin mengambil air dari sumur itu pada hari bagian Ustman sebanyak kebutuhan mereka selama 2 hari. Si Yahudi yang menyadari kerugiannya itu lalu menawarkan Utsman untuk membeli setengahnya lagi. Utsman pun langsung membelinya. Akhirnya, sumur yang melimpah airnya itu menjadi sumber air minum gratis bagi penduduk Madinah secara gratis.20

19 Ahmad bin Syu‟aib Abu Abdurrahman an-Nasa‟I, Ensiklopedi Hadist 7, Sunan an-Nasa‟I, diterjemahkan oleh Ali Hamzah dkk., (Jakarta : al-Mahira, 2013), Cet 1, hal. 741

20 Khalid Muhammad Khalid, Biografi Khalifah Rasulullah : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz (Jakarta : Ummul Qura, 2013), hal. 274

34

Di dalam hadist yang berkenaan dengan Usman ini tidak dijumpai perkataan habs, tapi dari fungsi sumur itu yakni untuk kemanfaatan orang banyak jelas pengertian wakaf di situ.

4) Hadist yang menyangkut pembangunan masjid secara bersama.

ُ

“Ishaq menyampaikan kepadaku dari Abdush-Shamad yang mengabarkan, aku mendengar ayahku berkata dari Abu Tayyah bahwa Anas bin Malik ra, dia berkata: ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah dan memerintahkan untuk membangun mesjid, beliau berkata:

“wahai bani Najjar, apakah kamu hendak menjual kebunmu ini?”Mereka menjawab:”demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah ta‟ala.”21ُ

Hadist tersebut menceritakan tentang Bani Najjar (orang-orang Najjar yang hidup di zaman Nabi) membangun bersama-sama dinding sebuah masjid dan memberikan (mewakafkannya) untuk kepentingan umum.

3. Sejarah Awal Perwakafan Dalam Islam

Menurut Mundzir Qahaf, wakaf di zaman Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad saw di Madinah yang ditandai dengan pembangunan masjid Quba, yaitu masjid yang dibangun atas dasar taqwa sejak dari pertama agar menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan

21 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Ensiklopedi Hadist 1, Shahih Bukhari 1, diterjemahkan oleh Masyar dan Muhammad Suhadi, (Jakarta : al-Mahira, 2011), hal. 643.

35

agama. Kemudian disusul dengan masjid Nabawi yang dibangun diatas tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli oleh Rasulullah seharga 800 dirham.

Dengan demikian Rasulullah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid.22

Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha‟), tentang siapa yang petama kali melaksanakan syari‟at wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw, yakni wakaf milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. pendapat ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan dari Umar bin Sa‟ad bin Mu‟ad :”kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam. Orang-orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan Orang-orang-Orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf Rasulullah saw.” Adapun ulama yang mengatakan bahwa Umar adalah yang pertama kali melaksanakan syari‟at wakaf mendasarkan pendapatnya pada hadist yang menceritakan bahwa Umar telah mewakafkan sebidang tanah di Khaibar.23

Sahabat Usman bin Affan juga mewakafkan sumur yang airnya digunakan untuk memberi minum kaum muslimin. Dimana sebelumnya pemilik sumur ini mempersulit dalam masalah harga, maka Rasulullah menganjurkan dan menjadikan pembelian sumur ini sunnah bagi para sahabat. Beliau

22 http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perkembangan-islam/, diakses pada pukul 16.30 tanggal 05 Februari 2019

23 http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perkembangan-islam/, diakses pada pukul 16.30 tanggal 05 Februari 2019

36

bersabda,”barangsiapa yang membeli sumur Raumah, Allah mengampuni dosa-dosanya”. Abu Thalhah juga mewakafkan kebun yang dicintainya, yaitu perkebunan Bairuha‟, sehingga turunlah ayat 92 surat Ali Imran yang artinya

“kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna sampai kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”.

Pengelolaan harta wakaf mengalami perkembangan yang sangat pesat

Pengelolaan harta wakaf mengalami perkembangan yang sangat pesat

Dokumen terkait