2 TINJAUAN PUSTAKA
Polimer konvensional pada umumnya dibuat dari minyak bumi seperti misalnya poliolefin. Plastik berbasis poliolefin banyak digunakan untuk bahan kemasan dan keperluan lain karena murah, kuat, tahan terhadap pelarut, tahan air, dan tahan terhadap physical aging (penurunan sifat fisik). Ketahanan plastik poliolefin tersebut selain menjadi keunggulan ternyata juga menjadi masalah lingkungan jangka panjang. Pada tahun 2002, diduga 41 % produksi plastik digunakan oleh industri kemasan dan 47 %-nya adalah untuk kemasan pangan (Ray dan Bousmina 2005).
Bahan kemasan berbahan baku minyak bumi pada umumnya bersifat non-recycleable atau secara ekonomi tidak layak untuk recycle sehingga menumpuk sebagai sampah yang tidak dapat didegradasi. Mikroba yang terdapat di tanah tidak mampu mendegradasi plastik konvensional (Mueller 2006) sehingga sampah plastik bertahan dalam waktu lama sebagai pencemar lingkungan (Shimano 2001). Penimbunan sampah menyebabkan gangguan pada penduduk di sekitarnya dan semakin mahal dan sulit dilakukan karena penolakan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA (tempat pembuangan akhir).
Pengolahan kembali plastik merupakan salah satu penyelesaiannya. Namun pengolahan kembali plastik memiliki kelemahan berupa penurunan sifat fisik-mekanisnya (Scott 2000). Sampah plastik juga dapat dibakar menggunakan incinerator, namun cara ini menimbulkan masalah emisi gas rumah kaca serta gas-gas beracun yang dihasilkan selama pembakaran, misalnya pada pembakaran PVC dihasilkan furan dan dioksin (Jayasekara et al. 2005).
Pengolahan secara biologis seperti pengomposan dapat menjadi alternatif lain dalam penanganan sampah kemasan. Pada pengolahan secara biologis ini mikroba dimanfaatkan untuk mendegradasi biomassa mengikuti siklus karbon secara alami (Scott 2000). Namun demikian cara ini tidak mungkin dilakukan pada poliolefin dan plastik sintetis lainnya karena sifatnya yang tidak dapat didegradasi secara biologis, bahkan keberadaan sampah plastik dapat menekan perkembangan dan aktivitas mikroba pengurai di dalam tanah. Dengan demikian perlu dilakukan pembuatan plastik yang dapat dikomposkan dengan cara modifikasi secara kimia atau mencampur dengan polimer alami seperti pati, poli asam laktat (PLA), atau selulosa (Vroman and Tighzert 2009) yang dikenal sebagai biopolimer.
Biopolimer menjadi semakin penting peranannya karena tidak berpengaruh buruk pada lingkungan dan kenaikan harga minyak bumi. Polimer biodegradable didefinisikan sebagai polimer yang dapat didekomposisi menjadi karbondioksida, metana, air, senyawa anorganik, atau biomassa yang mekanismenya terutama disebabkan oleh aksi enzimatis dari mikroorganisme yang dapat diukur melalui pengujian yang standar pada periode waktu tertentu yang menggambarkan kondisi pembuangan. Standar Eropa dan Amerika mendefinisikannya secara lebih detil mengenai persyaratan klasifikasi polimer biodegradable dengan memberi batasan yaitu dapat didegradasi secara biologis 90 % selama 180 hari untuk campuran atau kopolimer dan 60 % untuk homopolimer pada periode waktu yang sama.
26
Plastik biodegradable dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu campuran, komposit, dan modifikasi material dasar. Campuran merupakan hasil pencampuran dua atau lebih polimer yang mungkin miscible atau immiscible, kompatibel atau tidak kompatibel, misalnya campuran pati dengan polietilen. Komposit adalah matriks polimer yang diberikan bahan pengisi atau fase sekunder seperti partikel silika, karbon atau serat alami yang didispersikan di dalamnya (Maniar 2004). Modifikasi suatu bahan dasar adalah cara yang umum dan dapat dilakukan secara batch menggunakan reaktor atau menggunakan proses ekstrusi, seperti yang dilakukan pada pati. Polimer pati termoplastik dapat dibuat secara ekonomis dari berbagai sumber pati dapat diklasifikasikan sebagai polimer biodegradable.
Ubi kayu
Ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan tanaman sumber pati yang dihasilkan di berbagai daerah di Indonesia. Ubi kayu mudah tumbuh di lahan yang kurang subur dengan produktivitas yang baik sehingga penyebaran penanamannya sangat luas. Produksi ubi kayu Indonesia stabil bahkan sedikit meningkat dari 21.76 ton pada tahun 2008 menjadi 21.99 juta ton pada tahun 2009 (BPS 2011).
Umbi ubi kayu mengandung sekitar 25-28 % pati dan 10 % serat. Pada pengolahan ubi kayu menjadi tapioka, dapat diperoleh sekitar 20-25 % tapioka dan sekitar 11 % onggok (Dziedzic dan Kearsley 1995 dan Supriyati 2009). Umbi ubi kayu juga mengandung sedikit lemak, protein, dan abu, bahkan komponen ini masih terdapat pada tapioka sebagai hasil ekstraksinya, yaitu sebesar 0.08-1.54 % lemak, 0.03-0.06 protein dan 0.02-0.33 % abu (Rickard et al. 1991).
Gambar 1 Struktur pati (Czigany et al. 2007)
Pati tersusun dari dua kelompok polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer glukosa yang memiliki struktur rantai lurus yang terbentuk melalui ikatan glikosida α-(1,4), sementara amilopektin tersusun dari glukosa yang berikatan glikosida α-(1,4) dengan rantai cabang
hilum garis kristal
heliks ganda garis amorf
cincin amorf cincin kristalin
27 melalui ikatan glikosida α-(1,6). Struktur pati dan rumus bangun amilosa dan amilopektin ditampilkan pada Gambar 2.
Amilopektin amilosa
Gambar 2 Rumus kimia amilopektin dan amilosa (Czigany et al. 2007) Serat atau selulosa yang terkandung di dalam onggok juga merupakan karbohidrat yang tersusun dari glukosa sebagai monomernya. Ikatan glikosida yang terdapat pada selulosa adalah ikatan glikosida β-(1,4). Ikatan glikosida yang berbeda ini memberikan karakter selulosa yang berbeda dengan pati. Selain berbeda pada sifat daya cernanya juga berbeda dalam sifat fisik mekanisnya, selulosa lebih kuat dan kaku dibandingkan dengan pati.
Pati termoplastik dan komposit plastik
Penggunaan pati sebagai bahan bioplastik sudah dimulai sejak tahun 1970 (Curvelo et al. 2001). Keunggulan penggunaan pati sebagai bahan bioplastik adalah murah, tersedia dalam jumlah besar, terbarukan, dan terdapat dalam berbagai produk dan hasil samping pertanian. Pati dapat digunakan sebagai bioplastik dalam bentuk pati alami, pati termodifikasi, dan pati termoplastis. Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan, pati dapat diproses tersendiri menjadi film pati termoplastik ataupun ditambahkan ke dalam polimer lain untuk membentuk plastik komposit.
Pati termoplastik yang dibentuk film tersendiri memiliki berbagai kelemahan terutama sebagai akibat retrogradasi pati. Retrogradasi pati menyebabkan film pati termoplastik mengalami perubahan menjadi lebih kaku dan kurang fleksibel setelah mengalami aging selama waktu tertentu. Pati termoplastik lebih tahan terhadap deformasi karena adanya bahan pemlastis yang merubah struktur kristalin pati menjadi bentuk amorf. Dengan demikian deformasi hanya terjadi pada daerah diberikannya stress sehingga kerusakan dapat diminimalkan (Ishiaku et al. 2002). Pati termoplastik yang bersifat hidrofilik menyebabkan mudah dipengaruhi oleh air. Air yang kontak dengan pati termoplastik menyebabkan peluang terjadinya migrasi bahan pemlastis dari
28
struktur pati sehingga memungkinkan terjadinya rekristalisasi yang menyebabkan rapuhnya pati termoplastik (Huneault, Li 2007).
Kandungan amilosa dan waktu aging berpengaruh terhadap Modulus Young, kuat tarik, elongasi dan penyerapan air (Chaudhary et al. 2009). Kadar amilosa yang rendah menghasilkan pati termoplastik dengan Modulus Young yang tinggi dibandingkan dengan pati termoplastik dengan kandungan amilosa tinggi (de Graff et al. 2003)
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengatasi kelemahan pati termoplastik, diantaranya adalah dengan pembuatan komposit. Komposit dapat dibuat dengan mencampur pati termoplastik dengan plastik konvensional seperti polietilen densitas rendah, polietilen linier densitas rendah, poli asam laktat (Leadprathom et al. 2010) dengan hasil yang cukup memuaskan. Komposit juga dibuat dengan mencampurkan pati termoplastik dengan serat kapas (Prachayawarakorn et al. 2010), selulosa, onggok, bahkan dengan bahan tambang seperti montmorilonit (Azeredo 2009). Teixeira (2001) membuat film termoplastis dari pati ubi kayu, onggok, dan tepung ubi kayu, sementara Permatasari (2010) membuat komposit dari campuran tapioka-onggok termoplastis dengan polietilen, dan Widyasari (2010) membuat komposit onggok termoplastis dengan polietilen.
Secara umum plastik komposit merupakan komposit antara resin plastik konvensional seperti PP, PE, poli ester, atau plastik lainnya dengan bahan alami baik berupa pati, serat, atau bahan lignoselulosa. Serat alami seperti kayu, jute, sisal dan flax sudah sejak lama digunakan sebagai bahan pengisi pada plastik (Mohanty et al. 2005 dan Saputra et al. 2007). Saat ini, hasil samping kegiatan pertanian seperti jerami rye banyak dimanfaatkan sebagai bahan pengisi plastik.
Pembuatan plastik untuk keperluan struktural dapat menggantikan penggunaan kayu, baik sebagai bahan untuk jendela, bingkai jendela, railing tangga, serta penggunaan lainnya. Dengan demikian penggunaan komposit plastik dapat memanfaatkan limbah kayu dan pertanian, menekan biaya, meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, dan mempertahankan hutan hujan tropis (Lechner 2008).
Pembuatan komposit plastik dengan pati ataupun bahan lignoselulosa memperbaiki sifat biodegradabilitas plastik serta memperbaiki kelemahan pati atau lignoselulosa dalam hal sifat mekanis. Namun demikian pencampuran ini akan dihadapkan pada masalah ketidak setaraan sifat kedua bahan yang dicampurkan. Umumnya plastik konvensional bersifat hidrofobik sementara pati dan lignoselulosa bersifat hidrofilik sehingga sulit untuk dapat dicampurkan dengan sempurna. Pencampuran dua bahan yang tidak setara sifat hidrofilitasnya memerlukan bahan tambahan yang dapat menghubungkan atau menyambungkan keduanya (coupling agent) atau biasa disebut sebagai kompatibiliser (compatibilizer) (Saputra et al. 2007).
Kompatibiliser
Kompatibiliser (compatibilizer) atau coupling agent adalah bahan tambahan yang digunakan untuk mencampurkan bahan-bahan yang tidak saling bercampur (immiscible) pada proses ekstrusi. Prinsip umum kompatibilisasi adalah menurunkan energi antar muka antara kedua polimer sehingga meningkatkan
29 pelekatan (adhesion). Penambahan bahan kompatibiliser menghasilkan dispersi yang lebih halus sehingga morfologinya lebih baik. Kompatibiliser bekerja dengan membentuk ikatan intermolekul antara kedua polimer yang tidak setara (Metha dan Jain 2007) sehingga terbentuk ikatan seperti ikatan silang (cross linking) antara keduanya (Lechner 2008). Ketika ikatan silang terjadi maka terbentuklah molekul yang lebih besar dengan kompatibiliser sebagai jembatan yang pada kedua ujungnya mengikat kedua jenis polimer yang tidak setara sifat hidrofilitasnya. Dengan demikian terjadilah penurunan energi permukaan antara kedua polimer sehingga keduanya dapat bercampur dengan lebih baik.
Kompatibiliser berfungsi karena memberikan atau menyediakan gugus hidrofilik pada resin plastik sintetis yang bersifat hidrofobik. Gugus hidrofilik inilah yang akan berikatan dengan pati atau lignoselulosa. Bahan yang dapat digunakan sebagai kompatibiliser untuk komposit pati-plastik ataupun lignoselulosa-plastik di antaranya adalah asam akrilat, etilen asam akrilat, dan maleat anhidrida (Christianty 2009), poli (difenilmetana diisosianat), asam stearat, dan kombinasinya (Saputra et al. 2007), serta berbagai merek dagang yang diproduksi oleh PolyGroup, DuPont, Danisco serta pabrikan lainnya.
Plastisiser
Plastisiser (plasticizer) memegang peranan penting pada pembuatan pati termoplastik dan kompositnya. Plastisiser merupakan bahan organik yang ditambahkan ke dalam polimer untuk memberikan sifat fleksibel dan kemampuan mulur pada polimer. Kedua sifat tersebut diperlukan untuk memudahkan proses pencetakan dan blowing polimer serta menjaga agar film yang dihasilkan tidak mudah retak atau pecah. Penggunaan plastisiser juga memberikan pengaruh yang merugikan, yaitu menyebabkan sifat lunak (soft) dan lemah pada polimer (Kalambur dan Rizvi 2006). Penambahan plastisiser, baik jenis dan jumlahnya pada polimer perlu dipertimbangkan dengan baik untuk mendapatkan manfaat yang diinginkan dan menghindari pengaruh buruk sampai batas tertentu. Pemilihan plastisiser dapat didasarkan pada polaritas, struktur molekul, serta pada kualitas dan sifat produk yang diharapkan, dan biaya yang diperlukan.
Mekanisme kerja plastisiser untuk meningkatkan fleksibilitas polimer adalah dengan meningkatkan volume bebas polimer sebagai akibat dari bobot molekul plastisiser yang lebih rendah dibandingkan polimernya. Adanya plastisiser menyebabkan jarak antara molekul-molekul polimer menjadi lebih jauh (Surdia, Saito 1985) sehingga gerak segmental rantai polimer menjadi lebih baik. Plastisiser dapat mengurangi kekuatan intermolekuler ekstensif dan meningkatkan mobilitas rantai polimer sehingga fleksibilitas polimer meningkat (Song dan Zheng 2008).
Penambahan plastisiser pada plastik dapat meningkatkan daya alir dan sifat termoplastik dengan penurunan viskositas, temperatur transisi gelas, temperatur pelelehan, dan modulus elastisitasnya (Chanda dan Roy 2007). Peningkatan dosis gliserol dari 29 menjadi 40 % pada pati gandum dapat menurunkan temperatur transisi gelasnya.
Bahan yang dapat digunakan sebagai plastisiser diantaranya adalah gula polialkohol seperti gliserol (Godbole et al. 2003 dan Sun et al. 2008) dan sorbitol
30
air, asam laktat, oligosakarida, dan poliol (Cuq et al. 1997 dan Pouplin et al. 1999). Air juga dapat berfungsi sebagai plastisiser tetapi kurang baik daya plasticizing-nya terutama disebabkan karena air mudah menguap pada temperatur operasi sehingga menghasilkan pati termoplastis yang rapuh (Liu et al. 2009).
Penambahan plastisiser menyebabkan penurunan sifat mekanis plastik sehingga menjadi soft dan weak (Kalambur dan Rizvi 2006). Peningkatan dosis gliserol menurunkan Modulus Young (Mali et al. 2005) yang disebabkan matriks film menjadi kurang kuat akibat pergerakan rantai polimer yang lebih bebas (Mali et al. 2005).
Antifog
Penggunaan plastik sebagai kemasan buah segar yang disimpan pada temperatur rendah menyebabkan terbentuknya kabut pada permukaan plastik. Kabut tersebut terjadi akibat adanya uap air yang dihasilkan selama respirasi buah bertemu dengan permukaan plastik yang dingin sehingga terkondensasi. Kabut yang terjadi menyebabkan plastik kehilangan sifat transparan atau translusennya sehingga menurunkan nilai estetikanya. Keberadaan kabut juga dapat meningkatkan peluang kerusakan mikrobiologis produk yang dikemas.
Pembentukan kabut pada permukaan plastik kemasan yang akan digunakan pada temperatur rendah, perlu dicegah dengan penambahan bahan anti kabut. Penambahan bahan anti kabut ini akan menurunkan energi permukaan antara butiran air dengan permukaan plastik. Penurunan energi permukaan ini akan menurunkan sudut kontak antara butiran air dengan permukaan plastik yang berarti meningkatkan sifat wettability dari plastik tersebut (Schneider et al. 2004).
Minimisasi pembentukan kabut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan additif internal dan pelapis luar (external coating). Antifog aditif internal pada umumnya menggunakan surfaktan non-ionik yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan droplet air sehingga sudut kontak droplet air pada permukaan plastik akan turun dan air mudah menyebar pada permukaan plastik sehingga tidak terbentuk kabut. Surfaktan non-ionik merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya tidak bermuatan tetapi memiliki sifat larut dalam air karena polaritasnya tinggi, seperti polioksietilen (POE atau R—OCH2CH2O—) dan kelompok polialkohol seperti gula (Myers 2006).
Penggunaan surfaktan non-ionik sebagai antifog internal memiliki kelemahan, yaitu sifat polaritasnya. Plastik konvensional kelompok poliolefin umumnya bersifat non polar sehingga surfaktan non-ionik yang digunakan memiliki kecenderungan bermigrasi menuju permukaan plastik. Surfaktan non-ionik lebih cocok digunakan pada plastik yang lebih polar seperti poli ester.
Bahan antifog dapat juga diaplikasikan sebagai pelapis pada permukaan plastik. Bahan pelapis antifog pada umumnya adalah cairan kental yang dilapiskan ke atas permukaan plastik dengan cara perendaman, pelapisan menggunakan roll, atau dengan penyemprotan kemudian dikeringkan. Cara kerja bahan antifog ini adalah dengan berikatan dengan droplet air sehingga bahan antifog-nya larut ke dalam air. Kelemahan dari penggunaan bahan antifog dalam bentuk lapisan adalah hilangnya lapisan bahan antifog pada plastik yang digunakan dengan teknik termoforming.
31 Penggunaan surfaktan dalam preparasi sistem polimer seperti komposit memberikan beberapa manfaat sekaligus. Surfaktan dapat berfungsi sebagai pelumas pada mesin-mesin pemroses, agen mold release, agen antistatik, dan agen untuk memodifikasi permukaan. Sebagai agen untuk memodifikasi permukaan, surfaktan mengubah fase antar muka komponen yang tidak setara menjadi setara sehingga dapat bercampur dengan lebih baik (Myers 2006).
32
3 METODE
Bahan
Bahan untuk pembuatan tepung ubi kayu termoplastik adalah tepung ubi kayu yang diperoleh dari petani di Kabupaten Sukabumi, gliserol (refined glicerine) dengan kadar air 0.5 %, dan air industri. Resin linear low density polyethylene (LLDPE) yang digunakan adalah Asrene UF 1810 dengan indeks laju alir 0.8-1.2 g/10 menit dan UI 2420 dengan indeks laju alir 20 g/10 menit yang diperoleh dari PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., sementara bahan kompatibiliser yang digunakan adalah palm fatty acid distillate (PFAD) yang diperoleh dari PT Smart Tbk. dan asam stearat Edenor ST 05MMY. Surfaktan yang digunakan adalah polyoxyethylene stearate dengan nilai HLB 4 dari Croda.
Alat
Alat yang digunakan untuk persiapan tepung ubi kayu adalah disc mill dan vibrating screen. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi kayu termoplastik dan film komposit adalah mesin kneading-mixing machine (compression-type kneading and mixing machine) model ML-5L dengan kapasitas 4-5 kg, mesin crusher tipe FBR 7.5, hopper dryer kapasitas 20 kg dan mesin film blowing line produksi CV Varia Kebumen dengan die spesifikasi untuk film LLDPE. Alat-alat analisis yang digunakan yaitu moisture analyzer tipe AND MS-70 untuk analisis kadar air plastik, pengukur melt flow index tipe Frank untuk analisis indeks laju alir, Universal TestingMachine dari Lloyd Instrument untuk analisis kuat tarik (tensile strength) dan elongasi (elongation) film serta spektrofotometer Gretagmacbeth Color i5 untuk pengukuran yellowness index dan opasitas film.
Tahapan Penelitian Persiapan dan Karakterisasi Bahan
Penelitian diawali dengan melakukan pengecilan ukuran pada tepung ubi kayu dengan menggunakan disc mill dan vibrating screen sehingga diperoleh tepung ubi kayu lolos ayakan 100 mesh. Selanjutnya karakterisasi dilakukan pada tepung ubi kayu meliputi kadar air (AOAC 1999), kadar abu (AOAC 1999), kadar lemak (AOAC 1995), kadar protein (AOAC 1995), kadar serat kasar (AOAC 1995), kadar pati (Apriyantono et al. 1989) dan kadar amilosa (AOAC 1994). Prosedur analisis karakterisasi tepung ubi kayu disajikan pada Lampiran 1. Karakterisasi juga dilakukan pada PFAD untuk mengetahui komponen asam lemak penyusunnya dengan menggunakan gas kromatografi, sedangkan komponen asam lemak dari asam stearat berdasarkan certificate of analysis (CoA) dari perusahaan produsennya.
Tepung ubi kayu yang telah digiling lolos ayakan 100 mesh selanjutnya dilakukan proses plastisasi menggunakan gliserol dan air. Penggunaan ukuran tepung ubi kayu lolos ayakan 100 mesh mengacu pada penelitian sebelumnya untuk mendapatkan tepung ubi kayu termoplastik yang baik (Permatasari 2010, Widyasari 2010). Dosis gliserol yang digunakan adalah 30 dan 40 % dari bobot
33 tepung ubi kayu (Permatasari 2010, dan Widyasari 2010), sementara air ditambahkan sampai kadar air awal campuran adalah 25 % . Penambahan air ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Lee (2009) untuk menghasilkan pati termoplastis yang baik dan tidak berwarna gelap. Tepung ubi kayu, gliserol, dan air dicampur menggunakan super mixer agar gliserol dan air dapat tercampur merata dengan tepung ubi kayu sebelum dilakukan proses termoplastisasi 3 jam setelahnya. Skala proses yang digunakan ditetapkan berdasarkan jumlah bobot tepung ubi kayu dan gliserol, yaitu 4 kg. Selanjutnya dilakukan termoplastisasi dengan kondisi proses menurut Permatasari (2010) yang dimodifikasi dengan menggunakan kneading-mixing machine pada temperatur 90 o
C dengan putaran rotor 52 rpm selama 15 menit sampai dihasilkan gumpalan tepung ubi kayu termoplastik. Gumpalan tepung ubi kayu termoplastik yang berbentuk seperti gumpalan karet dikeluarkan dari kneading-mixing machine dan dipotong-potong agar cepat dingin. Setelah mencapai temperatur kamar, gumpalan digiling menggunakan crusher sehingga diperoleh pelet atau chips tepung ubi kayu termoplastik lolos lubang ayakan 5 mm agar mudah diproses selanjutnya. Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu termoplastik ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu termoplastik (modifikasi Permatasari 2010)
Gliserol 30 dan 40%
Air Tepung ubi kayu
Lolos ayakan 100 mesh
Pencampuran
Supermixer, 1 menit, temperatur kamar
Kadar air campuran 25 % Termoplastisasi Kneading-mixing machine
52 rpm, 90 oC, 15 menit
Pendinginan dan pengecilan ukuran Temperatur kamar, lolos ayakan 5
mm
Pelet tepung ubi kayu termoplastik Lolos ayakan 100 mesh
34
Penentuan Kondisi Proses Komponding dan Film komposit
Tahapan penelitian berikutnya adalah penentuan kondisi proses komponding (pembuatan komposit tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE) dan rasio tepung ubi kayu:LLDPE yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Kondisi proses komponding dicobakan pada berbagai formulasi tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE dan film kompositnya dilakukan dengan rasio tepung ubi kayu:resin LLDPE 60:40, 50:50, 40:60, 30:70, dan 20:80. Rasio ini dipilih berdasarkan berbagai penelitian sebelumnya (Permatasari 2010, Widyasari 2010, Waryat 2013). Skala proses yang dilakukan ditetapkan berdasarkan jumlah bobot tepung ubi kayu dan resin LLDPE, yaitu 4 kg. Kondisi proses komponding yang dicoba adalah kecepatan putar rotor kneading-mixing machine tetap pada 52 rpm dan temperatur kneading-mixing machine (rotor dan chamber) divariasikan pada temperatur 150 – 190 oC. Komposit yang dihasilkan diamati keseragaman hasil campuran dan warnanya secara visual. Kondisi proses film blowing ditentukan dengan pengoperasian film blowing line dengan variasi temperatur pada ekstruder dan die sehingga dapat dihasilkan film yang paling tipis dan paling lebar. Hasil rasio tepung ubi kayu:resin LLDPE yang terpilih digunakan sebagai perlakuan pada penelitian tahap berikutnya.
Pembuatan Film Komposit Tepung Ubi Kayu Termoplastik-LLDPE
Proses pembuatan kantong plastik komposit diawali dengan mencampurkan resin LLDPE dan tepung ubi kayu termoplastik dengan bahan kompatibiliser (asam stearate atau PFAD) di dalam kneading-mixing machine chamber. Rasio pencampuran antara tepung ubi kayu dan resin LLDPE pada pembuatan plastik komposit adalah rasio terbaik pada tahap sebelumnya, yaitu 20:80 dan 30:70 untuk kompatibiliser asam stearat dan 30:70 dan 40:60 untuk kompatibiliser PFAD. Skala proses yang dilakukan ditetapkan berdasarkan jumlah bobot tepung ubi kayu dan resin LLDPE, yaitu 4 kg. Dosis penggunaan bahan kompatibiliser baik untuk asam stearat maupun PFAD adalah 5 dan 7 % dari bobot resin LLDPE. Hasil dari proses pencampuran yaitu berupa gumpalan komposit tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE. Pengecilan ukuran dilakukan pada gumpalan tersebut setelah kondisinya dingin dan keras dengan menggunakan crusher, sehingga diperoleh pelet komposit tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE lolos ayakan diameter 5 mm.
Selanjutnya pelet plastik komposit dikeringkan menggunakan hopper dryer. Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air pelet komposit tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE komposit sampai kurang dari 0.2 % sesuai dengan spesifikasi bahan untuk proses film blowing. Proses pembuatan film komposit tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE dilakukan dengan menggunakan mesin film blowing line dengan spesifikasi die unit untuk film LLDPE. Temperatur pada empat zona mesin film blowing diatur pada 150 °C. Serpihan plastik komposit dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam hopper mesin film blowing. Film yang dihasilkan digulung oleh bagian winding unit mesin film blowing. Film tersebut kemudian dibentuk menjadi kantong plastik dengan cara dikelim menggunakan alat heat sealer. Diagram alir pembuatan film komposit tepung ubi kayu termoplastik-LLDPE dapat dilihat pada Gambar 4.
35 Karakterisasi Film Komposit Tepung Ubi Kayu Termoplastik-LLDPE
Karakterisasi yang dilakukan pada serpihan plastik komposit meliputi kadar air, specific gravity dan indeks laju alir. Analisa kadar air dilakukan dengan