• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Interpretasi Pengertian Interpretasi

Penggunaan interpretasi sebagai bentuk komunikasi dalam kegiatan wisata telah umum dijumpai di berbagai negara sepanjang abad kedua puluh. Akar dari bidang interpretasi dapat ditelusuri dan ditemukan di Amerika dan Eropa pada abad kesembilan belas. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan dalam studi mengenai sumber daya alam, perencanaan wisata melalui penggunaan pusat informasi alam dan taman naturalis (Sharpe 1982).

Penyediaan informasi merupakan hal yang umum dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan wisata. Umumnya penyampaian informasi terdapat di museum, kebun binatang, lokasi bersejarah hingga kawasan konservasi (Muntasib 2003). Proses penyampaian informasi atau mendidik pengunjung dapat didefinisikan sebagai interpretasi (Moscardo 1998). Interpretasi telah dikenal sebagai layanan kepada pengunjung (Pearce&Moscardo 2007), dan pendekatan untuk komunikasi (Ham 1992). Archer&Wearing (2003) mendefinisikan interpretasi sebagai kegiatan menjelaskan dan merancang informasi tentang sumber daya lokal bagi pengunjung dengan cara yang menarik. Veverka (1994)

Bambu sebagai Bahan Baku Angklung (Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000)

Proses Pengolahan dan Pemanfaatan Bambu menjadi Angklung (stimulus manfaat)

Pengelola Karakteristik Fisik, Biologis, Mekanik

Akustik Bambu (Widjaja 2001a+b) (stimulus alamiah)

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu (Zuhud et al. 2007)

Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan

Baku Angklung

juga menyatakan bahwa interpretasi adalah proses komunikasi yang dirancang untuk mengungkapkan makna dan hubungan budaya dan warisan alam kepada masyarakat (pengunjung) melalui tangan pertama pengalaman dengan obyek, artefak, lanskap, atau lokasi.

Meski kedatangan pengunjung ke tempat rekreasi untuk berwisata dan atau mencari inspirasi tetapi pengunjung juga mempunyai keinginan untuk mengenal tempat yang dikunjungi. Poo (1993) dalam Moscardo (1998) menyatakan perubahan trend menunjukkan bahwa program yang berbasis pada pendidikan, konservasi, dan meningkatkan pengalaman dan pengetahuan pengunjung lebih diminati. Interpretasi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih luas terhadap lingkungan (Archer&Wearing 2003). Belajar hal-hal yang baru dan meningkatkan pengetahuan menjadi motivasi terbesar yang diminati dan dipilih pengunjung. Jika pengunjung semakin mencari unsur pendidikan dalam aspek perjalanannya, maka interpretasi menjadi bagian integral yang harus ada di lokasi wisata (Moscardo 1998).

Perencanaan Interpretasi

Komponen penting bagi perencanaan program interpretasi adalah 1) pengunjung, 2) prosedur penyampaian informasi (Sharpe 1982). Komponen pengunjung meliputi latar belakang, perilaku dan sikap, dan karakteristik spesial pengunjung. Karakteristik spesial pengunjung meliputi umur, tingkat pendidikan, dan ketertarikan khusus. Interpretasi mampu mengakomodasi berbagai karakteristik spesial dari pengunjung. Berdasarkan Sharpe (1982) dalam menyusun sebuah interpretasi, perlu perencanaan yang spesifik. Proses perencanaan harus interaktif dan terus menerus. Langkah-langkah dalam merencanakan sebuah interpretasi terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Fase Perencanaan Interpretasi (Bradley dalam Sharpe 1982) Fase perencanaan interpretasi terdiri dari menuliskan tujuan, mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada, pelaksanaan program, evaluasi dan perbaikan (Sharpe 1982). Penjabaran dari tahap tersebut adalah:

Masukan

Umpan Balik Tujuan Inventarisasi &

Pengumpulan Data

Analisis Sintesis Peren

canaan Penerapan

Evaluasi& Revisi

a. Tujuan

Tujuan adalah panduan untuk melakukan tindakan spesifik yang diperlukan dalam sebuah perencanaan. Perumusan tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam perencanaan interpretasi

b. Inventarisasi

Tahap inventarisasi adalah tahap mengidentifikasi lokasi untuk menemukan sumber daya serta kekhasan dari lokasi tersebut yang meliputi aspek fisik, biologis, dan sosial budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk memberikan sebuah data dasar dalam perencanaan interpretasi.

c. Analisis

Data yang diperoleh dalam inventarisasi harus menggambarkan kondisi yang ada di lokasi. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan penyajian dalam bentuk tabulasi. Dalam analisis data, informasi yang didapatkan harus diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan potensi, permasalahan, dan pemecahan masalah yang dilanjutkan pemilihan obyek interpretasi serta lokasi interpretasi (site) untuk pengembangan rencana interpretasi yang disusun. d. Sintesis

Tahap ini merupakan tahap memadukan berbagai alternatif kegiatan dan mengidentifikasi implikasinya. Rencana interpretasi mengadopsi potensi sumber daya dengan kebutuhan pengunjung.

e. Perencanaan

Pada tahap ini merupakan tahap melengkapi semua aspek dan rencana yang diperoleh sekaligus pendugaan dan dampak implementasi.

f. Evaluasi dan Perbaikan Rencana

Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan untuk melihat potensi keberhasilan dan keberlanjutan suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terkait dampak program terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumber daya.

Beberapa prinsip untuk merancang interpretasi yang efektif antara lain: (1) merancang pengalaman interpretasi yang berbeda, (2) menyediakan komunikasi personal dengan pengunjung, (3) melatih partisipasi pengunjung, (4) menciptakan konten yang jelas, (5) memungkinkan untuk pengunjung alternatif yang bukan sasaran utama (Knapp&Benton 2004; Muscardo 1998). Ham (1992) mengemukakan empat ide utama yang menjadi pendekatan dalam interpretasi yaitu: (1) pleasurable atau menyenangkan, (2) relevant atau menghubungkan, (3)

organized atau mengatur, dan (4) has a theme atau mempunyai tema.

Teknik Interpretasi

Veverka (1998) mengklasifikasikan teknik interpretasi menjadi beberapa jenis. Teknik interpretasi tidak selalu berupa guided tour, namun dapat berupa ucapan, musik pengiring kedatangan pengunjung, pola-pola ubin, penataan ruangan hingga hal-hal yang meningkatkan ketertarikan pengunjung serta menciptakan ikatan (bonding) antara pengunjung dengan destinasi. Beberapa teknik intrepretasi antara lain : Visitor Center, Education Center, Display and

Sharpe (1982) menyampaikan interpretasi terdiri dari dua teknik yaitu (1) Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung (unattended service).

1. Teknik secara langsung (Attended Service)

Teknik secara langsung (attended service) yaitu kegiatan interpretasi yang melibatkan langsung antara interpreter dan pengunjung dengan obyek interpretasi yang ada sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau bila mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek intrepretasi yang dipergunakan dan biasanya dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut:

 Informasi; pengunjung akan mendapatkan informasi tentang obyek yang akan dikunjungi.

 Rencana kegiatan pelaksanaan program akan dijelaskan pada suatu sentra pengunjung, jadi pengunjung sudah lebih dulu mengetahui program interpretasi yang dipilih dan garis besar rencana perjalanannya.

 Penyampaian uraian-uraian; dilakukan oleh interpreter pada saat melaksanakan program interpretasinya.

Dengan adanya kontak antara pengunjung dengan interpreter maka terdapat suatu komunikasi langsung sehingga peran interpreter sangat besar untuk dapat mengungkapkan semua potensi dalam suatu kawasan secara menarik. Interpreter yang baik harus dapat membuat suasana yang santai sehingga pengunjung akan dapat bebas bertanya ataupun dapat mengutarakan keluhan-keluhannya. Pengunjung akan merasa penting jika dilibatkan dalam suatu program interpretasi (Knapp&Benton 2004).

2. Teknik secara tidak langsung (Unattended Service)

Teknik secara tidak langsung (unattended service) yaitu kegiatan interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi disajikan dalam suatu program slide, video, film, ataupun rangkaian gambar-gambar. Program ini biasanya diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua potensi alam mudah dinikmati atau didatangi (daerahnya rawan, satwa liar masih banyak) sehingga walaupun tidak dapat mengunjungi semua lokasi tetapi pengunjung dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di kawasan tersebut. Program interpretasi secara tidak langsung ini juga harus dibuat menarik dan dapat mewakili potensi alam yang ada di tempat tersebut.

Kedua teknik diatas sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi besar dan luas ingin melihat dulu secara keseluruhan potensi alam yang ada ditempat-tempat tersebut, baru setelah itu melihat salah satu atau beberapa program interpretasi yang ditawarkan.

Program Interpretasi

Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas, dan seluruh kegiatan interpretasi, kelembagaan serta tempat wisata tersebut. Menurut Ditjen PHPA (1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi menurut waktu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi

adalah garis-garis besar cerita yang mencakup materi interpretasi sebagai bahan yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan menjadi isi dan maksud dari program interpretasi tersebut.

Program interpretasi yang disusun haruslah informal dan dalam suasana yang santai (Ham 1992). Program membantu pengunjung untuk menyelaraskan kebutuhan rekreasi dan ekspetasi akan sumber daya yang ada sekaligus memberi dampak terhadap tingkah laku pengunjung secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi memberi makna secara langsung (Wearing 2009). Manfaat dari segi pendidikan bagi pengunjung adalah kesempatan untuk belajar, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan serta mendorong penemuan personal (self discovery).

Dalam merancang suatu program interpretasi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, seperti yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) sebagai berikut :

1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara yang diperagakan dengan apa yang diuraikan akan merupakan suatu hal yang sia-sia

2. Informasi atau penerangan bukanlah interpretasi. Interpretasi adalah suatu ungkapan berdasarkan informasi-informasi. Dalam interpretasi dimasukkan unsur-unsur informasi

3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni, baik bersifat ilmiah, sejarah atau arsitektur, suatu seni yang pada suatu tingkatan tertentu dapat dianjurkan kepada orang lain

4. Cara menyampaikan interpretasi bukan dengan perintah tetapi pancingan atau persuasi (dorongan)

5. Interpretasi bermaksud menunjukkan sesuatu secara keseluruhan dan bukan potongan-potongan informasi

6. Interpretasi bagi anak-anak bukan penyederhanaan bagi orang dewasa.

Makna Konservasi

Konservasi berasal dari conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian “upaya memelihara apa yang

kita punya (keep/save what you have) namun secara bijaksana (wise use). Konsep

ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roseevelt (1902) dalam Model Desa Konservasi (2009) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang diterjemahkan sebagai the wise use of nature resources (pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana). Makna konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang bertanggungjawab, berkelanjutan, dan berkeseimbangan (Zuhud 2011).

Azas konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya adalah pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Tujuan dari konservasi adalah terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan 1990).

Pemanfaatan dan konservasi bambu telah menjadi perhatian bagi negara-negara di Asia, khususnya Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Wong, 2004). Konservasi bambu seperti halnya dengan konservasi pada tanaman lain didasarkan pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi dan spesies yang tergolong langka dan endemik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bambu, penebangan bambu terus meningkat. Pemanenan yang dilakukan secara tidak beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan. Pengambilan secara terus menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali berdampak pada kepunahan. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha konservasi bambu, baik di lokasi tumbuh alaminya (in-situ) maupun di luar lokasi pertumbuhannya (ex-situ) (Widjaja 2001).

Pemerintah telah menyiapkan strategi dan rancang tindak untuk melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi keanekaragaman hayati bambu dan jasa lingkungan yang tersedia secara berkelanjutan (Untung et al. 1998). Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya secara

in-situ dan ex-in-situ. Pelestarian bambu dilakukan melalui kegiatan penanaman di

hutan alam dan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber genetiknya.

Salah satu konsep mengenai pengelolaan konservasi jangka panjang disampaikan oleh Zuhud (2008) yaitu konsep tri stimulus AMAR konservasi. Konsep tristimulus AMAR konservasi terdiri dari tiga nilai yang menstimulus seseorang atau suatu pihak untuk melakukan upaya konservasi. Tiga nilai tersebut adalah nilai Alamiah, nilai MAnfaat, dan nilai Rela-religius. Stimulus alamiah didefinisikan nilai-nilai kebenaran alam, fakta-fakta, fenomena-fenomena dan sinyal-sinyal alam yang harus disikapi serta diperlakukan sesuai dengan karakter setiap spesies sumberdaya alam hayati. Stimulus MAnfaat diartikan nilai-nilai kepentingan untuk manusia, terutama berguna bagi keberlanjutan hidup fisiologis manusia, diantaranya manfaat ekonomi, sandang, obat dan sebagainya. Adapun stimulus Rela-religius bermakna nilai-nilai kebaikan terutama yang ganjarannya dipercaya dan diyakini anugerah dari Sang Pencipta Alam. Stimulus ini antara lain: nilai spiritual, nilai agama yang universal, dosa, pahala, norma, etika, termasuk kearifan sosial budaya masyarakat tradisional. Stimulus ini mampu mendorong masyarakat untuk rela berkorban melakukan aksi konservasi dan mencegah aksi yang bertentangan dengan konservasi. Konservasi akan terwujud dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal menjadi pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung

Dalam konteks sistem nilai, terdapat tiga kelompok stimulus pro konservasi, yaitu

Alamiah, MAnfaat, dan Religius-rela yang merupakan kristalisasi dari nilai kebenaran, kepentingan, dan kebaikan (Zuhud 2011). Kristalisasi tersebut

menjadi penggerak, penyeimbang, dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara konkret. Gambar berikut

menunjukkan diagram alir tiga kelompok stimulus sebgai pendorong sikap pro-konservasi masyarakat.

Gambar 3 Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)

Bio-Ekologi Bambu (Stimulus Alamiah) Morfologi Bambu

Bambu merupakan tumbuhan dengan batang berbentuk buluh, beruas, bercabang dan berimpang (Alamendah 2011). Bambu telah menjadi penghuni bumi sejak 200.000.000 tahun yang silam. Jumlah jenis bambu yang ada di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Menurut Widjaja (2001a) ada 1.200-1.300 jenis bambu ada di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 160 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia (Fathony 2011). Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja 2001b).

Bambu menjadi bagian dari kehidupan dan budaya bangsa Asia (Wong, 2004). Bagi para botanist, keanekaragaman bambu menjadi sumber penelitian yang mengagumkan,sedangkan fokus perhatian agronom yaitu membudidayakan bambu, bagi pengelola sumber daya memastikan bambu dilestarikan dan diketahui dengan baik, sedangkan keberadaan dan kelimpahan bambu menjadi fokus perhatian para rimbawan. Bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang cepat

Tri-Stimulus Amar Prokonservasi 1. Stimulus Alamiah

Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumber daya alam hayati sesuai dengan karakter biologisnya (jenis, morfologi, habitat, usia, pola pemanenan, proses pengawetan bambu)

2. Stimulus Manfaat

Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat sosial, budaya, ekologis

(angklung, bahan bangunan, rebung, kertas)

3. Stimulus Religius-rela

Nilai-nilai religius, kebaikan, nilai spiritual, kearifan budaya, kepuasan batin Sikap Konservasi Cognitive Persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective Emosi, cinta Overt action Kecenderungan bertindak Perilaku Pro Konservasi Konservasi terwujud di dunia nyata

tumbuh dan dapat mencapai ketinggian maksimum 30 meter dalam waktu 2-4 bulan dengan rata-rata pertumbuhan harian sekitar 20-100 cm dan diameter 5-15 cm (Bamboo the Giant Grass 1991; Ueda (1960) dalam Jonkhart 2011). Dalam beberapa bulan, batang bambu mampu mencapai pertumbuhan maksimal. Rata-rata waktu pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa sekitar 3-6 tahun (Xingcui 2011).

Bambu memiliki batang yang tumbuh di dalam tanah yang disebut rimpang (rhizome) dan buluh (culm) untuk bagian rimpang yang tumbuh ke atas membentuk rebung (Widjaja 2001; Wong 2004). Rimpang membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua macam sistem percabangan rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpangnya yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Di Indonesia jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem rimpang pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga (Bamboo Terminology 1991).

Rebung merupakan bambu muda yang muncul dari permukaan dasar rumpun atau rizhom. Pada awalnya berbentuk tunas yang pertumbuhannya lambat dan dalam perkembangannya berbentuk kerucut yang merupakan bentuk permulaan dari perkembangan batang. Rebung muncul pada musim hujan yang laju pertumbuhannya sangat tergantung dari jenis bambunya (Bamboo Terminology 1991; Environmental Bamboo Foundation Holland1996). Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh tua. Rebung selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang mengikuti perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001b).

Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Selain berbeda dalam panjang buluhnya beberapa jenis tertentu mempunyai diameter buluh yang berbeda. Marga Dendrocalamus mempunyai diameter buluh tebesar diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001). Buluh memiliki pelepah yang merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas. Pelepah buluh sangat penting fungsinya yaitu menutupi buluh ketika muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi pada beberapa jenis bambu pelepahnya luruh tetapi jenis lain pelepahnya tetap menempel (Widjaja 2001). Pelepah buluh terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula (sambungan antara pelepah buluh).

Batang bambu terdiri atas tiga bagian yaitu kulit, kayu dan bagian empulur. Kulit bambu adalah bagian terluar dari penampang lintang dinding batang, empulur adalah bagian batang yang berdekatan dengan rongga bambu yang tidak mengandung ikatan vaskular. Bagian kayu pada bambu adalah bagian diantara kulit dan empulur (Widjaya 2001b).

Percabangan pada umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Pada marga

Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem percabangan memiliki satu

cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil. Cabang lateral bambu yang tumbuh pada batang utama, biasanya berkembang ketika buluh mencapai tinggi maksimum.

Daun pada tanaman bambu diasumsikan dalam dua bentuk dengan fungsi berbeda. Daun yang berwarna hijau dan berperan dalam fotosintesis dan selubung

daun (culm sheaths) yang berfungsi membungkus ruas batang yang masih muda dan umumnya akan berubah warna dari hijau menjadi coklat kekuningan (Bamboo Terminology 1991; Wong 2004). Helai daun bambu mempunyai tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan sempit seperti pada bambu cendani (Bambusa multiplex) dan bambu siam (Thyrsostachys siamensis). Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun.

Siklus Hidup Bambu

Bambu mampu tumbuh di cuaca yang panas seperti di Kepulauan Nusa Tenggara hingga iklim yang bercurah hujan tinggi seperti Bandung (Sulthoni, 1994). Semakin tinggi curah hujan, semakin beragam jenis bambu yang tumbuh. Bambu juga mampu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl. Bahkan bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Sutiyono2006).

Siklus hidup tanaman bambu dimulai seperti tanaman lain, bertunas dari biji dan mengeluarkan pucuk pertamanya untuk membentuk suatu batang. Seperti kebanyakan rerumputan, bambu tumbuh dan berbunga, menghasilkan biji dan mati. Cabang tunas ini nantinya akan membantuk akar dan menghasilkan rizoma dan batang bambu baru. Batang bambu memiliki rongga dan dibatasi oleh node (buku) tempat tumbuhnya ranting dan daun bambu. Batang tersebut mengeluarkan daun untuk memulai proses fotosintesis. Batang pertama dari suatu rumpun ukurannya dibatasi oleh kapasitas fotosintesis dari rumpun baru. Pada proses fotosintesis ini, batang-batang yang lebih kecil hingga yang sudah cukup besar membantu batang-batang yang baru mencapai ketinggian maksimal (Sutiyono 2006).

Pola Pertumbuhan Bambu

Bambu secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok menyebar (running) dan merumpun (clumping). Jenis yang merumpun (clumping) menyebarkan tunas – tunas barunya dekat dengan tangkainya (culm), sementara kelompok yang menyebar (running) menyebarkan tunasnya sejauh 30 meter dari tangkainya (culm), biasanya sejauh tingginya batang. Kebanyakan spesies tropis seperti yang ditemukan di Indonesia adalah kelompok yang merumpun (clumping), sementara kelompok yang menyebar (running) hanya terbatas di daerah yang lebih dingin seperti di Cina (Sutarno 1996 dalam Erizal 1997).

Penanaman Bambu

Bambu dapat tumbuh melalui biji, pemotongan atau pembagian rumpun. Karena bambu sangat jarang berbunga, biasanya dikembangbiakkan secara vegetatif dan kultur jaringan. Bambu jenis menjalar, biasanya dikembangkan dengan potongan rizomanya. Sedangkan bambu rumpun biasanya dikembangbiakkan dengan potongan batang bambu yang menyertakan ruas yang memiliki bakal tunas. Spesies bambu mempunyai waktu yang lama untuk berbunga dan susah bertunas dari biji (tingkat pertumbuhan hanya dibawah 1%). Jenis tanaman bambu yang kecil (diameter < 5 cm) ditanam dengan memisahkan rumpun sedangkan jenis yang lebih besar (> 15 cm) dengan metode pemotongan.

Cara yang paling umum dalam penyebaran spesies bambu besar adalah dengan memotong dan dikubur (burying cuttings) secara horizontal, dimana 3 atau 4 bongkol bambu dengan panjang sekitar 6 inci dikubur dibawah tanah pada permulaan musim hujan. Lubang – lubang dipotong ditengah antara bongkol, dan setiap segmen diisi dengan air sebelum dikubur. Tunas-tunas baru kemudian akan terbentuk dari setiap tangkal bongkol (nodal joints) (Sutiyono 2006).

Jenis dan Karakteristik Bambu untuk Angklung

Bambu yang dipergunakan sebagai bahan baku angklung sebagai berikut : Bambu Gombong(G. Pseudoarundinacea)

Bambu Hitam atau Awi Hideung(G. Atroviolacea) Bambu Temen atau Awi Temen(G. Atter)

Bambu Tali atau Awi Tali(G. Apus)

Keempat jenis bambu tersebut merupakan bambu yang paling baik sebagai bahan baku angklung karena keempat bambu tersebut memiliki pola distribusi serabut yang lebih merata. Kelemahan bambu antara lain :

a. Elastisitas bambu/sifat menyusut dan mengembang

Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan nada yang telah terbentuk pada Angklung. Nada yang dihasilkan dapat menjadi lebih tinggi apabila bambu mengerut dan menjadi rendah apabila bambu mengembang. Besar kecilnya elastisitas bambu tergantung kepada kepadatan bambu yang bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka elastisitasnya akan menjadi lebih besar dan mudah sekali berubah karena pengaruh iklim. Namun jika bambu memiliki distribusi serat yang cukup padat, maka elastisitasnya akan kecil Perubahan elastisitas dapat diperbaiki dengan melakukan penyeteman kembali. b. Bambu menjadi retak/pecah karena perubahan iklim yang drastis

Perubahan suhu berpengaruh terhadap kerusakan bambu. Bambu akan mudah retak bahkan pecah jika berada pada suhu lingkungan yang tinggi.