• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pepaya (Carica papaya L.) Asal-usul Pepaya

Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba yang diduga berasal dari Amerika Tropis, diantaranya Meksiko dan Nikaragua. Penyebaran tanaman pepaya bersamaan dengan pelayaran bangsa Portugis di abad ke-16 ke berbagai benua dan negara, termasuk Benua Afrika dan Asia. Sekitar abad ke-17, tanaman ini disebarkan di daerah tropis termasuk Indonesia (Kalie 2010).

Taksonomi Pepaya

Pepaya termasuk kelas Dicotyledonae, ordo Caricales, famili Caricae, genus Carica dan termasuk tumbuhan herba besar dengan biji berkeping dua. Tanaman pepaya dapat mencapai tinggi antara 2-10 m dengan batang bulat dan mempunyai rongga yang berdiameter 10-20 cm dengan jaringan lunak. Daun berselang-seling, tersusun seperti spiral melingkari batang, tunggal, dan menjari. Permukaan daun bagian atas licin dan berwarna hijau tua, sedangkan permukaan bawah daun berwarna agak pucat dan kasar. Tanaman pepaya mempunyai bunga yang khas dengan bentuk bermacam-macam dan dikenal dengan bunga betina, bunga jantan, dan bunga sempurna yang akan menghasilkan bentuk buah yang berbeda (Soegondo 1990).

Syarat-syarat Tumbuh Pepaya

Tanaman pepaya memerlukan tanah ringan yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, aerasi dan drainase tanahnya baik dengan pH mendekati netral (6-7). Tanaman pepaya membutuhkan iklim yang hangat dengan penyinaran matahari penuh dan langsung setiap hari dan tidak tahan terhadap naungan. Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman pepaya berkisar antara 22-26

o

C. Tanaman pepaya akan tumbuh baik pada daerah yang mempunyai curah hujan merata sepanjang tahun. Curah hujan (CH) untuk pertanaman pepaya berkisar

antara 1000-2000 mm/tahun, dengan bulan kering (CH < 60 mm) 3-4 bulan, serta beriklim basah (PKBT 2004).

Hama dan Penyakit Penting Pepaya

Serangan hama dan patogen merupakan masalah utama dalam budidaya tanaman. Manusia mencoba untuk selalu mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman budidaya mereka dengan berbagai cara, yaitu cara fisik, mekanik, kultur teknik, penggunaan pestisida, dan musuh alami. Berikut ini adalah beberapa hama dan penyakit penting pada tanaman pepaya.

Kutu putih pepaya. Kutu putih pepaya Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) berasal dari Amerika Tengah. Kutu putih merupakan hama baru yang menjadi masalah penting pada pertanaman pepaya di Indonesia. Serangga ini diketahui keberadaannya pertama kali pada bulan Mei 2008 pada tanaman pepaya di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat (Muniappan et al. 2008).

Kutu putih pepayaini merupakan serangga polifag dan menjadi hama pada berbagai komoditas buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias. Kisaran inang dari kutu putih ini antara lain pepaya, jeruk, alpukat, terong, kembang sepatu, dan acalypha. P. marginatus merupakan salah satu hama yang banyak menyerang tanaman pepaya, dan menimbulkan kerugian yang besar (Miller dan Miller 2002).

Tungau Tetranychus sp.. Tungau ini pertama kali dilaporkan pada tanaman ubi kayu di daerah Jawa dengan nama spesies Tetranychus cinnabarinus

(Acarina: Tetranychidae). Selain menyerang tanaman ubi kayu T. cinnabarinus

juga menyerang tanaman pepaya. Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh tungau berupa mengeringnya daun yang terserang. Pada daun yang terserang mula-mula timbul bintik-bintik berwarna kuning pada pangkal daun dan sepanjang pangkal daun. Bintik-bintik kemudian menyebar ke seluruh helai daun, daun menguning seperti karat. Tungau tampak sebagai bintik-bintik merah pada permukaan bawah daun (Kalshoven 1981).

Penyakit antraknosa. Penyakit antraknosa merupakan masalah penting dalam usaha tani pepaya, yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum

gloeosporioides. Serangan penyakit ini terutama dijumpai di daerah pertanaman pepaya yang mempunyai curah hujan yang relatif tinggi seperti Bogor, dan sekitarnya serta beberapa daerah lain di Jawa Barat. Penyakit antraknosa ini merupakan penyakit yang sudah lama ada dan dikenal di Indonesia, namun ledakan dalam skala yang luas di lapangan baru terjadi akhir-akhir ini. Dari berbagai literatur sebelumnya, antraknosa lebih dikenal sebagai penyakit pasca panen atau penyakit gudang. Perkembangan terakhir berdasarkan pengamatan, selain menyerang buah penyakit ini dapat menyerang batang, pucuk, daun, dan pembibitan. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian besar bahkan terjadi gagal panen (Wiyono dan Manuwoto 2009).

Penyakit Busuk akar dan pangkal batang. Penyakit Busuk akar dan pangkal batang adalah penyakit yang cukup penting dan tersebar luas di Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Penyakit dapat timbul pada berbagai stadia umur, serta menyerang akar, batang, dan buah. Mula-mula daun bawah layu, menguning, dan menggantung di sekitar batang sebelum rontok. Seterusnya daun- daun yang agak muda menunjukkan gejala yang sama sampai akhirnya tanaman mati. Jika digali, tampak akar-akar lateral membusuk, menjadi massa berwarna coklat tua, lunak, dan sering berbau tidak enak. Pada persemaian pepaya, penyakit ini timbul sebagai ‘’penyakit semai’’ (damping off). Pangkal batang membusuk dan tampak seperti selai. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. (Semangun 2000).

Penyakit bercak pada daun. Penyakit bercak pada daun yang disebabkkan oleh Corynespora cassiicola (Berk. et Curt.) Wei. Penyakit ini tersebar luas di daerah-daerah penanaman pepaya diseluruh dunia, meskipun pada umumnya dianggap sebagai penyakit yang kurang merugikan. Gejala pada daun- daun bawah terdapat bercak-bercak bulat dengan garis tengah, berwarna coklat muda. dan meluas ke atas, kedaun-daun yang lebih muda. Pusat bercak sering pecah sehingga bercak berlubang. Bercak-bercak pada tangkai daun berbentuk jorong dan diliputi oleh miselium jamur yang berwarna coklat tua. Serangan pada buah menyebabkan terjadinya bercak kecil, coklat tua, dan melekuk pada buah, tetapi bercak tidak menyebabkan tejadinya pembusukan buah (Semangun 2000).

Pengendalian Hama Terpadu

Salah satu masalah penting yang dihadapi petani dalam budidaya tanaman yaitu serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi tanaman baik secara kuantitas maupun kualitas. Berbagai strategi pengendalian telah dikenal mulai dengan penggunaan varietas tahan, musuh alami, cara fisik mekanik, kultur teknik, hingga penggunaan senyawa kimia (pestisida). Di samping itu pemerintah telah membuat peraturan-peraturan dalam bidang perkarantinaan sebagai upaya mencegah masuk dan keluarnya hama dan pathogen tanaman (Dadang dan Prijono 2008).

Penggunaan pestisida tidak bijaksana menimbulkan masalah baru seperti pencemaran lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, resistensi hama, serta organisme yang bukan sasaran menjadi mati (Untung 2007). Munculnya beberapa masalah ini, menggugah para ahli untuk mencetuskan konsep pengelolaan dan pengendalian hama terpadu (PHT) pada tahun 1950 (Sinaga 2006). Program pelatihan PHT untuk petani dikenal dengan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang didahului dengan pelatihan terhadap petugas pemandu dan memandu para petani SLPHT (Untung 2007).

Pelatihan, penyuluhan dan penerapan PHT melalui SLPHT dapat meningkatkan pengetahuan baru dikalangan petani. Pengetahuan ini merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada akhirnyanya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan atau wawasan baru di kalangan petani, akan mendorong terjadinya sikap yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka (Suharyanto et al. 2006).

Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Sikap petani dalam penerapan inovasi baru dalam pertanian juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa,

institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam diri individu. Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap tindakan berikutnya (Suharyanto et al. 2006).

Soekartawi (1988) mengatakan bahwa tindakan penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi, dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Faktor lingkungan meliputi jarak sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana serta proses memperoleh sarana produksi.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Rancabungur , Kabupaten Bogor di beberapa desa, yaitu Rancabungur, Bantar Sari, Bantar Jaya, dan Mekar Sari. Survei dilaksanakan dari Mei hingga Agustus 2010.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam survei ini yaitu kantong plastik, alkohol 70%, bahan peraga, alat tulis, kamera digital, dan kuesioner (Lampiran 5). Bahan peraga yang digunakan berupa potongan daun yang terdapat imago kutu putih, koleksi kering kumbang coccinellidae, dan laba-laba.

Metode

Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan wawancara secara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang telah tersedia kepada petani melalui kuesioner. Sedangkan wawancara secara tidak terstruktur dilakukan dengan menanyakan hal-hal yang tidak tercantum dalam kuesioner seperti sumber air untuk pertanaman, cara pembibitan, cara pengendalian hama dan penyakit secara mekanik, dan sistem perdagangan komoditas pepaya.

Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden sebanyak 40 petani. Wawancara dilakukan di rumah penduduk, kantor gapoktan atau di lahan pepaya. Pengamatan di lahan pertanaman pepaya dilakukan untuk melihat langsung cara petani dalam budidaya pepaya, keadaan tanaman, keberadaan hama dan penyakit tanaman, serta kondisi pertanaman yang ada di sekitar lahan pepaya.

Pengamatan hama dan penyakit dilakukan dengan mengamati jenis-jenis hama dan penyakit dan serangan yang ditimbulkan. Pengamatan hama dan penyakit ini bertujuan untuk membandingkan informasi dari petani responden terhadap hama dan penyakit yang ada di lapangan. Hama dan Penyakit yang di amati dilakukan pengambilan contoh dan foto kemudian di identifikasi di

Laboratorium Taksonomi Serangga dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Analisis Data

Analisis data, hubungan antara umur, pendidikan, pengalaman usaha tani, keanggotaan gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan petani menggunakan uji χ2 (chi-square) untuk menentukan keterkaitan antar variabel tersebut pada taraf α=5%. Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007.

Uji χ2 dihitung menggunakan rumus:

  Frekuensi harapan di hitung dengan menggunakan rumus:

Frekuensi harapan = total kolom x total baris total pengamatan

Bila χ2> χ2α dengan v = (r - 1) (c - 1) derajat bebas, tolak hipotesis nol bahwa kedua penggolongan itu bebas pada taraf nyata α, bila selainnya, terima hipotesis nol (Walpole 1993).

Dari data yang diperoleh dilakukan penggolongan pengetahuan, sikap, dan tindakan dinilai dengan prinsip-prinsip PHT atas jawaban yang benar dari petani responden. Penggolongan atas pengetahuan, sikap, dan tindakan tersebut adalah: Pengetahuan:

Rendah: < 50% Sedang: 50 ≤ x < 70% Tinggi: ≥ 70%

Sikap: Kurang sesuai PHT: < 50% Agak sesuai PHT: 50 ≤ x < 70% Sesuai PHT: ≥ 70% Tindakan: Tidak sesuai PHT < 60% Sesuai PHT: ≥ 60%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kecamatan Rancabungur berada pada ketinggian lebih kurang 200 m dpl, dengan intensitas curah hujan harian rata-rata 24,00 mm/hari (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), 27 Juli 2010, komunikasi pribadi).

Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu sentra produksi tanaman pepaya. Komoditas tanaman lain yang diusahakan oleh petani di Kecamatan Rancabungur antara lain bengkuang, terong, ubi kayu, ubi jalar, jagung, kacang- kacangan, dan pare.

Karakteristik Petani

Petani pepaya yang menjadi responden berkisar antara umur 20 – 80 tahun, dan semuanya adalah laki-laki. Umumnya, petani responden berusia diatas 40 tahun. Petani yang usianya kurang dari 40 tahun sebanyak 20%. Pendidikan formal petani responden mulai dari yang tidak pernah sekolah sampai lulusan perguruan tinggi. Pada umumnya, petani responden hanya lulusan sekolah dasar (57,5%). Jumlah anggota keluarga untuk setiap kepala keluarga petani responden berkisar antara 1 – 8 orang. Sebagian besar petani (55%) memiliki keluarga 4 – 6 orang (Tabel 1).

Sebagian besar petani responden menyatakan bahwa bertani merupakan pekerjaan utama (70%), dan sebagian kecil lainnya mempunyai pekerjaan utama sebagai pedagang, buruh, sopir, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain bertani, beberapa petani responden juga mempunyai pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan mereka seperti berdagang dan buruh (Tabel 1).

Petani pepaya di Kecamatan Rancabungur sudah lama mengenal budidaya tanaman pepaya. Pengetahuan budidaya pepaya ini diperoleh dari pengalaman turun-temurun dari keluarganya dan dari petani-petani lain. Sebagian besar petani responden (57,5%) tidak pernah mengikuti SLPHT, petani responden yang

mengikuti kegiatan SLPHT hanya 42,5%. Petani yang mengikuti SLPHT ini, umumnya adalah petani yang tergabung dalam anggota gapoktan (37,5%).

Tabel 1 Karakteristik petani pepaya di Kecamatan Rancabungur

No Karakteristik Petani Jumlah Petani (n) Proporsi Petani (%)

1 Kisaran umur (tahun) < 40 40 – 49 50 – 59 ≥ 60 8 12 12 8 20 30 30 20 2 Pendidikan formal Tidak sekolah Sekolah Dasar SLTP SLTA Perguruan Tinggi 2 23 7 5 3 5 57,5 17,5 12,5 7,5 3 Jumlah anggota keluarga (orang)

1 – 3 4 – 6 7 – 8 16 22 2 40 55 5 4 Pengalaman usaha tani pepaya (tahun)

< 10 10 – 19 ≥ 20 17 10 13 42,5 25 32,5 5 Pekerjaan utama Petani Dagang PNS Sopir Buruh 28 7 2 1 2 70 17,5 5,0 2,5 5,0 6 Pekerjaan Sampingan Petani Dagang Buruh 13 5 2 32,5 12,5 5,0 7 Keanggotaan Gapoktan Anggota Bukan Anggota 15 25 37,5 62,5 8 Mengikuti SLPHT Ya Tidak 17 23 42,5 57,5

Karakteristik Usaha Tani

Luas lahan yang dimiliki petani untuk budidaya pepaya berkisar antara 300–15.000 m2, pada umumnya adalah lahan kering. Status kepemilikan tanah adalah pemilik penggarap (40%), penyewa penggarap (50%), dan pemaro (10%) (Tabel 2). Usaha tani pepaya di Kecamatan Rancabungur ini masih tergolong usaha tani subsisten. Skala usaha taninya masih kecil dan bertujuan memenuhi kebutuhan keluarga dan manajemen usaha taninya sederhana.

Biaya yang banyak dikeluarkan petani selama proses produksi adalah untuk pembelian pupuk, baik pupuk kandang, pupuk buatan, maupun pupuk cair (67,5%) dan pestisida (27,5%). Kebanyakan petani lebih memilih mengolah lahan sendiri untuk menghemat biaya tenaga kerja. Biaya untuk pembelian bibit pepaya, umumnya dikeluarkan petani pada awal penanaman pepaya. Benih penanaman selanjutnya diperoleh petani dari hasil panen sebelumnya (60%) (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik usaha tani petani pepaya

No Karakteristik Petani Jumlah Petani (n) Proporsi Petani (%)

1 Kepemilikan tanah Pemiliki penggarap Penyewa Penggarap Pemaro 16 20 4 40 50 10 2 Luas garapan (m2) < 2000 2000 ≤ x < 4000 4000 ≤ x < 6000 ≥ 6000 14 15 6 5 35 37,5 15 12,5 3 Varietas yang ditanam

California Bangkok 24 16 60 40 4 Asal benih yang ditanam

Hasil panen sebelumnya Petani lain Kios saprotan IPB 24 4 9 3 60 10 22,5 7,5 5 Biaya yang paling banyak dikeluarkan

selama proses produksi Pupuk Pestisida Tenaga kerja Bibit 27 11 2 0 67,5 27,5 5 0

Pemasaran hasil panen dilakukan petani dengan menjual kepada pedagang pengumpul atau gapoktan dengan sistem ditimbang. Kisaran harga jual pepaya di kalangan petani dari bulan Mei – Agustus 2010 yaitu varietas California rata-rata Rp. 2500-3500/kg, sedangkan harga jual varietas Bangkok rata-rata Rp. 1500- 500/kg.

Permasalahan dalam Usaha Tani Pepaya

Permasalahan utama petani pepaya di Kecamatan Rancabungur adalah gangguan hama dan penyakit. Hama utama pada tanaman pepaya adalah kutu putih pepaya Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae). Penyakit utama pada tanaman pepaya adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum gloeosporioides. Hama dan penyakit ini dapat menimbulkan kerugian besar dalam budidaya.

Kutu putih merupakan hama baru yang menjadi masalah penting pada pertanaman pepaya di Indonesia. Serangan kutu putih ini dapat menyebabkan penurunan hasil panen. Menurut petani responden, kutu putih umumnya muncul ketika musim kemarau yang ditandai dengan terdapatnya koloni kutu putih pada bagian pangkal buah dan daun. Pengendalian kutu putih umumnya dilakukan petani secara kimiawi.

Menurut petani responden, penyakit antraknosa merupakan penyakit utama dalam budidaya pepaya. Penyakit ini dapat menghancurkan tanaman dan menggagalkan panen. Penyakit ini muncul pada musim hujan, ketika musim kemarau penyakit ini jarang ditemukan di lahan pertanaman pepaya.

Tabel 3 Permasalahan utama yang dihadapi petani pepaya di Rancabungur

Permasalahan Jumlah Petani (n) Proporsi Petani (%)

Gangguan Hama dan Penyakit 36 90

Fluktuasi Harga 2 5

Banyaknya Gulma 2 5

Kecocokan Lahan 0 0

Tabel 4 Permasalahan hama dan penyakit penting yang dihadapi petani dalam budidaya pepaya

Varietas Petani responden (n) Kutu Putih Antraknosa

n % N %

California 24 21 87,5 23 95,8

Bangkok 16 12 75 8 50

Jumlah 40

Penyakit antraknosa merupakan penyakit penting yang menyerang tanaman pepaya. Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan yang parah dan menggagalkan panen. Penyakit ini dapat menyerang bagian batang, daun, dan buah. Serangan berat dapat menimbulkan gejala mati pucuk sehingga dapat menyebabkan tanaman mati. Gejala pada daun berupa bercak kecoklatan, terdapat titik-titik oranye pada daun yang terserang, dan daun yang terserang berat bisa gugur. Serangan pada daun tidak berperan besar dalam kehilangan hasil tetapi lebih berperan dalam penyebaran patogen (Wiyono dan Manuwoto 2009).

Pengendalian penyakit antraknosa umumnya dilakukan petani responden secara mekanik, dengan memotong batang tanaman sakit dan membuangnya. Sisa potongan bagian tanaman di lahan, ditutup dengan menggunakan plastik supaya patogen yang terdapat pada bagian potongan tersebut tidak menyebar ke tanaman yang lain. Sedangkan buah yang terserang dikumpulkan oleh petani dan kemudian dibuang. Penyakit antraknosa yang menyerang daun jarang diperhatikan oleh petani karena daun pepaya jarang dimanfaatkan.

Tabel 5 Persepsi petani terhadap keefektivan pengendalian

Keefektivan Pengendalian

Kutu Putih Antraknosa

n % n %

Efektif 31 77,5 18 45

Tidak Efektif 9 22,5 22 55

Menurut sebagian besar petani (77,5%), penggunaan pestisida untuk pengendalian kutu putih memberikan dampak keefektivan pengendalian yang baik. Sedangkan petani lainnya (22,5%) beranggapan, pengendalian kutu putih

tidak memberikan dampak keefektivan pengendalian yang baik (Tabel 5). Pada umumnya petani tidak memperhatikan kegunaan dari pestisida yang digunakan, misalnya pestisida berbahan aktif mankozeb yang merupakan fungisida, digunakan petani untuk mengendalikan serangan kutu putih. Pengendalian ini tidak memberikan keefektivan terhadap pengendalian yang dilakukan oleh petani. Namun ada juga sebagian petani yang jarang mengendalikan kutu putih karena menurut petani tersebut, serangan kutu putih tidak memberikan dampak kerugian yang besar seperti serangan penyakit antraknosa, sehingga pengendaliannya hanya dilakukan ketika terjadi serangan berat dari kutu putih tersebut.

Menurut petani responden (55%), pengendalian penyakit antraknosa tidak memberikan keefektivan pengendalian yang baik, karena setelah dilakukan pengendalian penyakit ini dapat timbul lagi pada tanaman pepaya yang akan ditanam selanjutnya. Menurut petani responden, pengendalian penyakit antraknosa secara kimiawi belum ada, sehingga petani kurang mengerti cara efektif untuk pengendalian penyakit ini. Petani yang melakukan pengendalian penyakit antraknosa secara kimiawi, menggunakan pestisida berbahan aktif mankozeb. Namun, pengendalian secara kimiawi, tidak memberikan keefektivan pengendalian yang baik dibandingkan pengendalian secara mekanik.

Tabel 6 Pendapat petani tentang serangan kutu putih dan penyakit antraknosa dalam budidaya pepaya

Tahun Serangan awal Serangan berat

n % n % Kutu putih Sebelum 2007 17 42,5 1 2,5 2007 – 2008 15 37,5 13 32,5 Setelah 2008 8 20 26 65 Antraknosa Sebelum 2007 3 7,5 0 0 2007 – 2008 24 60 5 12,5 Setelah 2008 13 32,5 35 87,5

Serangan awal kutu putih di Kecamatan Rancabungur menurut petani responden, dimulai sekitar akhir tahun 2006, namun serangan berat kutu putih berawal sekitar tahun 2008 (Tabel 6). Pada awal terjadi serangan kutu putih, petani jarang mengendalikan karena dianggap tidak terlalu merugikan. Ketika

terjadi serangan berat sekitar tahun 2008, petani baru mengendalikan kutu putih dikarenakan sudah menimbulkan kerugian yang besar.

A B Gambar 1

Serangan kutu putih pada batang (A), serangan kutu putih pada buah (B) Serangan penyakit antraknosa dalam budidaya pepaya, menurut petani responden berawal sekitar tahun 2006. Serangan berat penyakit ini dimulai sekitar tahun 2008, yang menyebabkan budidaya tanaman pepaya banyak yang mati. Serangan penyakit ini menimbulkan kerugian besar dikalangan petani, banyak petani yang harus menebang tanaman pepaya karena serangan penyakit ini. Serangan penyakit ini memusnahkan kurang lebih 80% dari tanaman pepaya yang ada di Kecamatan Rancabungur (Anwar Musadat, 20 Juli 2010, Komunikasi Pribadi).

A B

Gambar 2

Pengetahuan Petani dalam Budidaya Pepaya

Petani responden sudah mengetahui bahwa biji untuk benih harus berasal dari tanaman sehat (100%). Sebagian besar petani kurang mengetahui, pupuk urea bila tidak ditutupi tanah sebagian akan menghilang karena menguap terbawa air (Tabel 7). Namun sebagian petani beranggapan, pupuk urea perlu ditutupi tanah supaya uap dari urea tersebut tidak merusak permukaan daun dan buah. Gulma yang ada dipertanaman menurut sebagian besar petani tidak menjadi sumber penyakit tetapi merupakan sumber pupuk organik yang bisa dimanfaatkan.

Tabel 7 Pengetahuan petani tentang budidaya tanaman

Pernyataan Proporsi petani menjawab (%)

Benar Salah Tidak tahu

1 Biji untuk benih sebaiknya berasal dari tanaman yang sehat

100 0 0

2 Pupuk kandang perlu diberikan agar tanah menjadi gembur

80 0 20

3 Pengendalian hama dan penyakit perlu dilakukan secara berkala

95 0 5

4 Pupuk urea bila tidak ditutupi tanah sebagian akan hilang karena menguap terbawa air

32,5 25 42,5

5 Pemupukan sebaiknya diberikan secara lengkap dengan menggunakan campuran urea/ZA dengan TSP dan KCL

75 15 10

6 Gulma yang ada dipertanaman dapat menjadi sumber penyakit

12,5 60 27,5

7 Sebagian penyakit tanaman dapat bertahan hidup di dalam tanah

70 2,5 27,5

Sebagian besar petani sudah mengetahui tentang cara penyemprotan yang baik dan cara penggunaan pestisida. Dalam kehidupan sehari-hari petani tidak menerapkan pengetahuan yang sudah dimiliknya, seperti petani sudah mengetahui, tangki bekas semprot sebaiknya langsung dicuci setelah melakukan penyemprotan (57,5%) (Tabel 8). Menurut petani, sisa penyemprotan dari tangki dapat digunakan untuk penyemprotan selanjutnya, jika tangki dicuci maka sisa penyemprotan sebelumnya akan hilang.

Pada waktu melakukan penyemprotan, sebagian besar petani sudah mengetahui sebaiknya menggunakan penutup hidung dan mulut (87,5%), namun hal ini jarang dilakukan. Petani beranggapan bahwa ketika melakukan penyemprotan cukup berjalan sejalan dengan arah angin, sehingga pestisida yang digunakan tidak akan terkena pada bagian mulut dan hidung. Penyemprotan untuk

tanaman pepaya yang sudah tinggi, dilakukan petani dengan menggunakan penutup hidung dan mulut. Hal ini bertujuan, supaya cairan semprot tidak terkena pada bagian hidung dan mulut petani tersebut. Penyemprotan untuk tanaman yang sudah berbuah dilakukan petani setelah panen untuk menghindari terjadinya keracunan terhadap buah yang akan dikonsumsi (95%) (Tabel 8).

Tabel 8 Pengetahuan petani tentang pestisida dan penyemprotan

Pernyataan Proporsi petani menjawab (%)

Benar Salah Tidak tahu

Dokumen terkait