• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Maastricht

(Maastricht Treaty Criterion) Merupakan suatu kriteria ekonomi dalam perwujudan penyatuan ekonomi (single market) yang telah banyak digunakan pada perwujudan single market di wilayah Uni Eropa. Pendekatan ini secara jelas dianggap sebagai intisari dari orientasi keseimbangan dan juga pendiri kebijakan fiskal dan tingkah laku nilai tukar mata uang. Ditinjau dari segi ekonomi, melalui kriteria ini, semakin lama periode data yang digunakan akan memberikan tingkat akurasi yang tepat pada keseimbangan sebuah negara (Artis dan Zhang 1998).

Menurut Zhang, kriteria ini didasarkan pada lima variabel penting yang merupakan variabel-variabel makroekonomi yaitu : 1. Inflation rate, merupakan rata-rata inflasi

setiap tahunnya yang diukur dengan persentase. Jika nilainya positif maka terjadi inflasi, dan jika nilainya negatif menunjukkan terjadinya deflasi.

2. Deficit as percentage of GDP (Gross Domestik Produk) merupakan rasio antara defisit anggaran belanja pemerintah dengan GDP. Bisa diartikan juga sebagai neraca keseimbangan dari sebuah negara. Jika nilainya positif berarti terjadi surplus, sedangkan jika nilainya negatif berarti terjadi defisit anggaran pemerintah. Nilainya diukur dalam persentase.

3. Volatility in exchange rate, merupakan keseimbangan nilai tukar mata uang setiap negara yang didasarkan pada mata uang dolar Amerika. Nilai ini dihitung berdasarkan standar deviasi (x102) dari logaritma nilai pembedanya.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebelum terbentuk kerja sama antar negara seperti Uni Eropa, ASEAN, NAFTA, dan lain - lain, masing - masing negara memiliki mata uang sendiri, sehingga banyak sekali jenis mata uang yang ada di dunia ini. Hal tersebut menurut pakar ekonomi dari Italy, Oscar La Fonthe tidak efisien karena didunia ini hanya dibutuhkan 4 sampai 5 jenis mata uang saja.

Sejak dibentuknya Uni Eropa yang menghasilkan suatu single market dengan mata uang tunggal yaitu euro, antar negara Uni Eropa bisa menjalankan perdagangan secara bebas tanpa dibebankan adanya pajak (devisa). Hal ini membuat perekonomian negara-negara Uni Eropa semakin berkembang pesat dan sekarang ini bisa mengalahkan kondisi perekonomian Amerika. Selain itu, wisatawan antar negara Uni Eropa bebas melakukan perjalanan ke beberapa negara Uni Eropa tanpa direpotkan adanya pertukaran mata uang atatupun pasport. Hal ini juga mendorong pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa.

Berawal dari kesuksesan Uni Eropa tersebut, mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN yang diselenggarakan di Bali tahun 2003 lalu, semua anggota ASEAN menyepakati sebuah penyatuan perekonomian yang dikenal dengan “AEC plan” (ASEAN Economic Community) dengan tujuan utama yakni meningkatkan perekonomian wilayah ASEAN. Sejalan dengan rencana tersebut, ternyata tidak hanya negara-negara anggota ASEAN saja yang terlibat, tetapi juga melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan China, sehingga muncul istilah baru di kalangan para ekonom yaitu ASEAN+3. Secara teoritis, penyatuan ekonomi hanya bisa berjalan dengan baik jika terdapat kemiripan (kehomogenan) diantara para anggotanya. Dengan demikian, sangat menarik untuk mengelompokkan negara-negara tersebut berdasarkan kriteria Maastricht sebagai acuan dengan berbagai pendekatan ilmiah yang nantinya bisa membantu dalam penentuan kebijakan moneter pada perwujudan single market.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengelompokan negara-negara ASEAN+3 berdasarkan kriteria Maastricht (Maastricht Treaty Criterion) dengan metode penggerombolan k-rataan dan fuzzy clustering c-means (fcm). Kedua metode ini digunakan untuk melihat kesamaan dari hasil akhir penggerombolan. Selain itu juga mengamati karakteristik pada masing-masing objek serta perubahannya dalam suatu cluster pada kondisi waktu yang berbeda yaitu saat krisis ekonomi dan setelah krisis ekonomi dengan analisis biplot dan analisis procrustes.

TINJAUAN PUSTAKA

Kriteria Maastricht

(Maastricht Treaty Criterion) Merupakan suatu kriteria ekonomi dalam perwujudan penyatuan ekonomi (single market) yang telah banyak digunakan pada perwujudan single market di wilayah Uni Eropa. Pendekatan ini secara jelas dianggap sebagai intisari dari orientasi keseimbangan dan juga pendiri kebijakan fiskal dan tingkah laku nilai tukar mata uang. Ditinjau dari segi ekonomi, melalui kriteria ini, semakin lama periode data yang digunakan akan memberikan tingkat akurasi yang tepat pada keseimbangan sebuah negara (Artis dan Zhang 1998).

Menurut Zhang, kriteria ini didasarkan pada lima variabel penting yang merupakan variabel-variabel makroekonomi yaitu : 1. Inflation rate, merupakan rata-rata inflasi

setiap tahunnya yang diukur dengan persentase. Jika nilainya positif maka terjadi inflasi, dan jika nilainya negatif menunjukkan terjadinya deflasi.

2. Deficit as percentage of GDP (Gross Domestik Produk) merupakan rasio antara defisit anggaran belanja pemerintah dengan GDP. Bisa diartikan juga sebagai neraca keseimbangan dari sebuah negara. Jika nilainya positif berarti terjadi surplus, sedangkan jika nilainya negatif berarti terjadi defisit anggaran pemerintah. Nilainya diukur dalam persentase.

3. Volatility in exchange rate, merupakan keseimbangan nilai tukar mata uang setiap negara yang didasarkan pada mata uang dolar Amerika. Nilai ini dihitung berdasarkan standar deviasi (x102) dari logaritma nilai pembedanya.

4. Long-term interest rate, merupakan tingkat suku bunga jangka panjang yang dilihat dari suku bunga berjangka minimal 6 bulan. Nilainya diukur dengan persentase pada setiap tahunnya.

5. Debt as percentage of GDP merupakan rasio antara utang dengan GDP (Gross Domestik Produk). Nilainya diukur dengan persentase untuk setiap tahunnya.

Krisis Ekonomi Asia

Krisis financial Asia dimulai pada 2 Juli 1997 dengan devaluasi mata uang Thailand (Baht). Jatuhnya mata uang negara ini diikuti oleh spekulasi mata uang negara-negara tetangganya. Mula-mula Malaysia, lalu Indonesia dan akhirnya ekonomi yang lebih maju dan besar seperti Korea Selatan. Pemerintahan di setiap negara mengalami masalah, berasal dari ketergantungan ekonomi mereka pada perdagangan, bank, dan perusahaan domestik yang memiliki hutang besar dalam dolar (Krugman dan Obstfeld dalam Anisa 2004).

Sebelum terjadinya krisis ekonomi, ASEAN pernah menjadi salah satu region yang paling cepat berkembang di dunia. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan yang mencapai lebih dari 7% per tahun pada dekade tersebut. Namun hal ini berakhir karena krisis yang mulai dirasakan dari tahun 1996 dan bahkan pertumbuhan ekonomi di ASEAN pada tahun 1998 diprediksi sebagai yang terendah pada tiga dekade terakhir.

Dampak krisis pertama kali tampak pada pasar nilai tukar. Mata uang ASEAN terdevaluasi dalam waktu singkat. Pada awal Januari 1998, nilai Baht jatuh sebesar 40%, Rupiah 80%, Ringgit 40% dan Peso 30% terhadap Dolar dari nilai 1 Juli 1997. Devaluasi ini mengakibatkan besarnya hutang luar negeri yang dihadapi oleh bank domestik dan sistem financial. Indonesia terpaksa menutup 16 bank sedangkan Thailand menghentikan operasi 56 perusahaan keuangan dan akhirnya menutup 54 diantaranya (Setboonsarg dalam Anisa, 2004).

Kerangka Pikir

Pada kasus ini, digunakan metode penggerombolan k-rataan dan fuzzy clustering. Hal ini dilakukan karena pada metode penggerombolan k-rataan, jumlah cluster yang akan dibentuk ditentukan di awal dan algoritma ini sering digunakan karena secara umum sederhana tanpa

memperhitungkan matriks jaraknya dan menggunakan kriteria kuadrat galat untuk memperbaiki jarak antar clusternya. Selain itu juga, metode k-rataan ini sangat peka terhadap data pencilan karena jumlah objek pengamatan yang kecil pada data dapat berpengaruh besar pada nilai tengah jika terdapat pencilan (Kantardzic 2002).

Metode fuzzy clustering juga digunakan pada kasus ini karena analisis ini bertujuan untuk mengukur kesamaan atau ketidaksamaan struktur ekonomi pada data dan melihat kehomogenan pada setiap gerombolnya. Fuzzy clustering ini merupakan jenis data yang terbagi, dimana setiap objek pada data diukur dengan ”derajat kepemilikan” pada setiap cluster. Nilai ini dihitung dari nilai rataan koefisien keanggotaannya. Metode ini memiliki kelebihan pada penaksiran keadaan yang kompleks atau ketidakpastian informasi dan menghasilkan informasi yang rinci pada struktur data dibandingkan dengan penggerombolan biasa (Artis and Zhang 1998). Secara ekonomi, masing-masing objek pengamatan tidak terlepas dari hubungan spasial. Sehingga pada pengelompokan ini akan dilihat nilai setiap objek terhadap setiap cluster yang terbentuk dengan pecahan fungsi kepadatan probabilita sekumpulan data yang diberikan ke dalam sebuah jumlah kepadatan probabilita yang diboboti komponen cluster.

Analisis Gerombol k-rataan

Analisis gerombol merupakan suatu metode peubah ganda untuk mengelompokkan n objek pengamatan ke dalam m gerombol dimana mn yang didasarkan pada ukuran kemiripan atau ketakmiripan dari setiap objek yang dinyatakan dengan fungsi jarak dengan harapan keragaman antar unit pengamatan dalam gerombol lebih homogen (mirip) dibandingkan dengan keragaman antar unit pengamatan yang berbeda gerombol (Jollife 2002).

Konsep jarak yang sering digunakan adalah jarak Euclid yang dinyatakan sebagai :

2 1 1 2 ) (       − =

= p k jk ik ij x x d dengan :

dij = jarak antara objek i dan objek j xik = nilai objek i pada peubah ke-k xjk = nilai objek j pada peubah ke-k p = banyaknya peubah yang diamati.

Kemiripan antar dua objek semakin dekat jika dij semakin kecil.

Menurut Jolliffe (2002), jika satuan pengukuran tidak sama, maka perlu dilakukan trasformasi data awal ke bentuk baku (Z) sebelum jarak antar objek dihitung. Pembakuan tersebut berguna untuk mengurangi keragaman akibat perbedaan satuan pengukuran.

Jika terjadi korelasi antar peubah yang diamati, maka dapat dilakukan transformasi dengan Analisis Komponen Utama. Akan tetapi, jarak euclid antara dua pengamatan dengan atau tanpa transformasi komponen utama akan sama bila seluruh komponen utama diikutsertakan (Hartigan dalam Wibowo 2004). Selain itu, penelitian ini tidak bertujuan untuk mereduksi dimensi peubah dan ada kalanya komponen utama sulit diintepretasikan (Sartono 2003). Sehingga AKU tidak digunakan dalam penelitian ini.

Salah satu metode penggerombolan non-hierarki yang umum digunakan adalah metode k-rataan yang diperkenalkan oleh MacQueen 1967 (Anderberg 1973).

Algoritma k-rataan dilakukan dengan langkah sebagai berikut (Anderberg 1973) : 1. Menentukan k titik pusat awal

kelompok masing – masing, dengan memilih k unit data pertama sebagai pusat-pusat awal kelompok.

2. Menghitung jarak suatu pengamatan ke pusat kelompok dan mengalokasikan pengamatan ke kelompok berdasarkan jarak (Euclid) terdekat. Setelah unit pengamatan masuk ke dalam kelompok dan terjadi perpindahan unit pengamatan lain, pusat kelompok dihitung kembali dengan metode centroid. Tujuannya adalah meminimumkan jarak antara pusat kelompok yang akan digabungkan. Jarak kuadrat antara pusat kelompok A dan B adalah : ) ( ) ( 2 B A B A AB X X X X d = − ′ −

dengan XA adalah vektor pusat kelompok A dan XBadalah vektor pusat kelompok B.

3. Ulangi langkah kedua sampai tidak ada lagi unit pengamatan yang berpindah kelompok.

Analisis Fuzzy Clustering C-Means

Konsep logika fuzzy pertama kali dikenalkan oleh Prof. Lutfi A Zadeh dari Universitas California pada bulan Juni 1965

yang merupakan generalisasi dari logika klasik yang hanya memiliki dua nilai keanggotaan 0 dan 1. Inti dari himpunan fuzzy yaitu fungsi keanggotaan yang menggambarkan hubungan antara domain himpunan fuzzy dengan nilai derajat keanggotaan. Dengan teori himpunan fuzzy, suatu objek dapat menjadi anggota dari banyak himpunan dengan derajat keanggotaan yang berbeda dalam masing-masing himpunan. Derajat keanggotaan menunjukkan nilai keanggotaan suatu objek pada suatu himpunan yang nilainya berkisar antara 0 sampai 1 (Cox 2005).

Clustering fuzzy merupakan pecahan fungsi kepadatan probabilita sekumpulan data yang diberikan ke dalam sebuah jumlah kepadatan probabilita yang diboboti komponen cluster. Kepadatan ini diinterpretasikan untuk menyatakan tingkat pemilikan setiap titik kepada setiap cluster. Keuntungan fuzzy clustering adalah bahwa titik-titik yang belum jelas atau berada di tengah antara dua cluster maupun jenis-jenis ketidakpastian lainnya bisa diklasifikasikan secara demikian (Vladimir dan Mulier 1998).

Selain itu juga bisa menentukan cluster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada bentuk normal Euclidian untuk jarak antar vektor (Kusumadewi 2002).

Algoritma yang digunakan pada fuzzy clustering adalah FCM (fuzzy C-Means) yang pertama kali dikenalkan oleh Jim Bezdek pada tahun 1981 dengan konsep dasar sebagai berikut :

1. Menentukan pusat cluster, yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap cluster. Pada kondisi awal, pusat cluster masih belum akurat. Tiap-tiap titik data memiliki derajat keanggotaan untuk tiap-tiap cluster.

2. Memperbaiki pusat cluster dan derajat keangotaan tiap-tiap titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat cluster akan bergerak menuju lokasi yang tepat. Perulangan ini didasarkan pada minmisasi fungsi objektif yang menggambarkan jarak dari titik data yang diberikan ke pusat cluster yang terboboti oleh derajat keanggotaan titik data tersebut.

Menurut Kusumadewi dan Purnomo (2004) secara matematis algoritma FCM adalah sebagai berikut :

1. Input data yang akan dicluster X, berupa matriks ukuran n x m ( n = jumlah sample data, m = atribut setiap data).

jk

X

= data sample ke-j(j=1,2….n), atribut ke-k(k=1,2,…m) 2. Menentukan : • Jumlah cluster = c • Pangkat = w, dimana w > 1 atau (w = 2). • Maksimum iterasi = 100 • Eror terkecil =

α

= 10-5 • Fungsi Objektif awal = Po=0 • Iterasi awal = t = 1 3. Membangkitkan bilangan random

seragam [0 1] sebagai U ij , dengan i=1,2,…..c ; dan j=1,2,….n; yang merupakan elemen matriks partisi awal U. Menghitung jumlah setiap kolom :

=

=

c i ij k

U

Q

1 ………(1) dengan k = 1,2,………n. Kemudian hitung : k ij ij

Q

U

U

*

=

………(2)

4. Menghitung pusat cluster ke-k : Vik dengan k=1,2,…..m dan i=1,2,….c

= =

×

=

n j w ij n j jk w ij ik

U

X

U

V

1 * 1 *

)

(

)

)

((

……..(3)

5. Menghitung fungsi objektif pada iterasi ke-t,

∑∑ ∑

= = =             − = n j c i w ij m k ik jk t X V U P 1 1 * 1 2 ) ( ) ( …..(4)

6. Menghitung perubahan matriks partisi yang baru : 1 1 1 1 2 1 1 1 2 ) ( ) ( = = =

∑ ∑

      −       − = w c i m k ik jk w m k ik jk ij V X V X U …(5)

7. Cek kondisi berhenti :

• Jika (|Pt – Pt-1| < α) atau (t > maxIter) maka berhenti;

• Jika tidak : t = t+1, ulangi langkah ke-4.

Output dari algoritma ini merupakan sederetan pusat cluster dan beberapa derajat keanggotaan untuk tiap-tiap objek, serta fungsi objektif yang dihasilkan pada setiap iterasi dengan persamaan (4).

Analisis Biplot

Biplot merupakan teknik statistika deskriptif yang dapat menyajikan secara simultan n objek pengamatan terhadap p peubah dalam ruang dua dimensi, sehingga ciri – ciri peubah dan objek pengamatan serta posisi relatif antar objek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis (Jolliffe 2002).

Informasi dan interpretasi yang diperoleh dari biplot adalah sebagai berikut (Sartono 2003) :

1. Hubungan (korelasi) antar peubah Biplot akan menggambarkan peubah sebagai garis berarah. Dua peubah yang berkorelasi positif tinggi digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama dan membentuk sudut sempit (<90°). Hal ini berkaitan dengan nilai kosinus dari sudut yang dibentuk oleh kedua peubah.

2. Keragaman peubah

Peubah dengan keragaman yang kecil digambarkan sebagai vektor (garis) yang pendek. Sedangkan peubah yang keragamannya besar digambarkan sebagai vektor panjang.

3. Kedekatan antar objek

Dua buah titik pengamatan yang posisinya berdekatan digambarkan sebagai dua buah objek yang karakteristiknya sama.

4. Nilai peubah pada suatu objek

Karakteristik suatu objek bisa disimpulkan dari posisi relatifnya yang paling dekat dengan suatu peubah. Biplot yang mampu memberikan informasi sebesar 70% dari seluruh informasi dianggap cukup mewakili dari karakterisktik populasi yang ada (Sartono 2003).

Besarnya keragaman yang diterangkan oleh biplot didefinisikan sebagai :

=

+

=

p i i 1 2 1 2

( )

λ

λ

λ

ρ

dengan : λ1 = akar cirri terbesar pertama

λ2 = akar cirri terbesar kedua

λi = akar ciri terbesar ke-i dari X’X i = 1,2,3….p

Jika ρ2 semakin mendekati nilai satu, berarti biplot yang diperoleh akan memberikan penyajian yang semakin baik mengenai informasi yang terdapat pada data yang sebenarnya (Sumertajaya 1997).

Tahapan pembentukan biplot adalah sebagai berikut :

1. Persiapan gugus data yang digunakan (berukuran n x p).

2. Pembentukan matriks data X yang dikoreksi terhadap rataan masing-masing peubah.

3. Perhitungan akar ciri dan vektor ciri dari matriks X’X.

4. Penjabaran matriks X menjadi X= ULA’ dimana L adalah matriks singular dari matriks X dan kolom-kolom matriks A adalah vektor ciri dari X’X yang berpadanan dengan akar ciri λ.

5. Perhitungan matriks U, L dan A.

6. Penjabaran matriks X pada langkah 4 menjadi : X = ULαL1-αA’.

7. Pemisalan G = ULα dan H’=L1-αA’. 8. Perhitungan matriks G dan H’, dengan

menggunakan α=0 dan α=1.

9. Ambil 2 kolom pertama dari matrks G sebagai koordinat peubah pada hasil perhitungan dengan menggunakan α=0, karena biplot lebih menekankanpada posisi relatif objek terhadap peubah dan dapat mempertahankan keragaman data. 10. Menghitung keragaman yang dapat

diterangkan oleh biplot.

Analisis Procrustes

Metode procrustes bertujuan untuk membandingkan dua konfigurasi titik yang mewakili n unit pengamatan yang sama (Digby 1987). Salah satu konfigurasi dibuat tetap, sedangkan konfigurasi yang lainnya ditransformasi sedekat mungkin sesuai dengan konfigurasi pertama, sehingga akan terlihat kesamaan betuk dan ukuran dari kedua konfigurasi tersebut.

Menurut Digby 1987, terdapat tiga tipe transformasi dalam analisis procrustes yaitu : 1. Translasi, adalah perpindahan paralel

dari setiap titik pengamatan ke suatu titik asal yang baru untuk mendapatkan sumbu baru yang sejajar dengan sumbu aslinya. Translasi dapat ditulis sebagai berikut :

XT

X*=

dengan : T = matriks translasi X = matriks data

X*= matriks hasil transformasi 2. Rotasi, adalah perputaran titik melalui

sumbu koordinat. Rotasi pada metode procrustes ini dinyatakan sebagai :

Γ

= X

X*

dengan : Γ = matriks rotasi X = matriks data

X*= matriks data setelah rotasi

3. Penskalaan, dilakukan jika kedua konfigurasi mempunyai skala yang tidak sama (Digby 1987).

Jenis perpindahan yang dipakai merupakan perpindahan dengan prinsip meminimumkan jumlah kuadrat jarak antara titik-titik pada konfigurasi yang dipindahkan terhadap titik-titik yang bersesuaian pada konfigurasi yang dibuat tetap (Digby 1987).

Jika terdapat dua konfigurasi titik dalam ruang dimensi r adalah gugus data P (matriks P) dan gugus data Q (matriks Q), dengan matriks P dibuat tetap sementara matriks Q ditranformasi menjadi matriks baru, maka proses tersebut dapat dinyatakan :

'

τ

βQ

N

Z = Γ+Ι

Jumlah kuadrat jarak (m2PQ) titik-titik yang dipindahkan terhadap titik-titik yang sepadan pada konfigurasi yang dibuat tetap secara aljabar dinyatakan dengan :

))

(

)'

((

2

Z

P

Z

P

tr

m

PQ

= − −

Untuk meminimumkan nilai m2PQ sebaiknya kedua matriks P dan Q dipusatkan terlebih dahulu di titik asal.

Matriks tranlasi dugaan dapat diperoleh melalui persamaan :

'

)

ˆ

(

)

ˆ

(PP −β QQ Γ=Ι

N

τ

Pˆ

dan

Qˆ

adalah matriks data terpusat. Misalkan penguraian nilai singular (Singular Value Decompotion, SVD) didefinisikan :

'

'Q ULA

P =

Sehingga Γ= AU'. Matriks A dan U merupakan matriks ortogonal, sehingga matriks Γ juga ortogonal dan digunakan sebagai matriks rotasi.

Penduga untuk parameter skala adalah :

)

'

(

)

'

(

Q

Q

tr

Q

P

tr Γ

=

β

Salah satu ukuran yang digunakan adalah R2, dimana R2 dapat menggambarkan kesamaan bentuk dari kedua konfigurasi yang dibandingkan. Nilai ini menunjukkan besarnya persentase pada kedua konfigurasi yang dianggap sama.

R2 = 1 – JKG/JKT , JKT = tr (P`P)

JKG = tr ( (P - Z)`(P - Z) )

Z merupakan matriks transformasi salah satu dari dua konfigurasi matriks yang dibandingkan.

Jika R2=100%, maka kedua konfigurasi tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang sama.

Dokumen terkait