Pelepah Daun Kelapa Sawit
Pelepah daun kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternakan. Produksi pelepah daun kelapa sawit dapat mencapai 10,5 ton pelepah kering/ha/tahun. Kandungan protein
kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masing mencapai 15% BK (daun) dan 2 – 4% BK (pelepah) (Mathius, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan pakan tersebut dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 4,8%.
Pelepah sawit dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan panen tandan buah segar. Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan), sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan kering (Diwyanto et al., 2003).
Komposisi nutrisi pelepah sawit adalah sebagai berikut kandungan Bahan Kering 48,78 %, Protein Kasar 5,33 %, NDF 78,05 %, ADF 56,93 %,
hemiselulosa 21,12 %, selulosa 27,94 %, lignin 16,94 % dan silika 0,6 % (Imsya et al., 2009).
Kandungan pelepah daun kelapa sawit berdasarkan analisis proksimat terdapat pada Tabel 1. berikut:
Tabel 1. Kandugan gizi pelepah daun kelapa sawit
Zat Nutrisi Kandungan Bahan Kering 26,07a Protein Kasar 5,02b Lemak Kasar 1,07a BETN 39,82a TDN 45,00a Ca 0,96a P 0,08a Energi (MCal/ME) 56,00c Sumber Serat 36,94a Sumber: a. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003)
b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2003) c. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000).
Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70% serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil silase daun kelapa sawit (Sinurat, 2003).
Pemanfaatan pelepah sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat
ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit
(Balai Penelitian Ternak, 2003).
Pelepah kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau diproses menjadi silase. Hasil Penelitian menunjukan penggunaan pelepah sawit dalam bentuk silase pada sapi sebanyak 50% dari total pakan dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian berkisar 0,62-0,75 kg dengan nilai konversi pakan antara 9-10. Fermentasi pelepah kelapa sawit menjadi silase ditujukan preservasi dan konsentrat, pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relatif kecil. Adapun untuk meningkatkan kandungan gizi dalam proses fermentasi dapat
ditambahkan urea. Penambahan urea sebanyak 3 - 6% akan meningkatkan
kandungan protein bahan dari 5,6 menjadi 12,5 atau 20% (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2013).
Fermentasi
Menurut Pujaningsih (2005), fermentasi adalah suatu proses pemecahan senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan mikroorganisme dengan tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, tekstur yang lebih baik disamping itu juga menurunkan zat anti nutrisi. Adanya perubahan kimia oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba itu meliputi perubahan molekul-molekul kompleks atau senyawa organik seperti protein, karbohidrat, maupun lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, mudah larut dan daya cerna yang tinggi.
Penambahan bahan- bahan nutrient kedalam fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan pada proses fermentasi akan terurai oleh enzim urease menjadi ammonia dan karbondioksida yang selanjutnya digunakan asam amino (Fardiaz, 1989).
Adanya proses fermentasi memiliki manfaat diantaranya menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), yaitu dapat mengubah molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, mengubah rasa dan aroma menjadi lebih baik. Selain itu produk hasil fermentasi akan menjadi tahan lama dan dapat mengurangi senyawa racun yang dikandung sehingga nilai ekonomi bahan dasarnya menjadi lebih baik (Saono, 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi dalam proses fermentasi oleh mikroba :
a. Sifat fisik dan kimia substrat
1. Kelarutan, pada umumnya zat terlarut lebih mudah didegradasi. 2. Luas permukaan
Semakin luas permukaan makin mudah dicerna mikroorganisme. Dalam hal ini untuk mempercepat degradasi digunakan substrat dengan ukuran yang kecil. 3. Kemampuan mengadopsi uap air
Material yang higroskopis lebih mudah dicerna oleh mikroorganisme. Dalam hal ini kelembaban sangat mempengaruhi proses.
b. Struktur kimia dari substrat
Pengaruh struktur kimia dalam degradasi oleh mikroorganisme, pada umumnya senyawa karbon yang terbentuk secara alamiah lebih mudah didegradasi dari pada yang sintetik.
c. Faktor lingkungan
Setiap spesies mikroorganisme mempunyai kisaran kondisi lingkungan dalam batas-batas toleransi yang sempit. Di luar batas itu mikroorganisme tidak akan tumbuh dan biodegradasi tidak terjadi. Proses tersebut ada yang menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Hal yang menguntungkan ialah adanya degradasi protein yang membentuk protein lain yang mudah dicerna, dan yang merugikan pada umumnya proses perusakan atau pembusukan (Rarumangkay, 2002).
Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan
mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat, diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35 ºC – 37 ºC (optimum), 6 ºC – 8 ºC (minimum), 45 ºC – 47 ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger
Peningkatan kandungan protein kasar yang sejalan dengan pertumbuhan kapang (jamur) dikarenakan tubuh jamur terdiri dari elemen yang mengandung nitrogen. Selain itu enzim yang dihasilkan oleh jamur juga merupakan protein. Dinding sel jamur mengandung 6,3% Protein Kasar, sedangkan membran sel pada jamur yang berhifa mengandung protein 25 - 45% dan karbohidrat 25 -30% (Munandar, 2003).
memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat (Soeharto, 2003).
Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana
enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat meningkan daya cerna dari suatu bahan pakan (Klich, 2002).
Aspergillus niger di dalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum diserap kedalam sel, untuk itu Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler (Hardjo et al., 1989). Dari beberapa hasil penelitian diketahui fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein dari beberapa bahan (Hanim et al., 1999). Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae sebagai salah satu galur yang paling umum
digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatif kuat dan anaerob fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses fermentasi berlangsung dengan cepat pula serta mampu memproduksi alkohol dalam jumlah banyak. Alkohol (etanol) yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pelarut selain air dan bahan baku utama dalam laboratorium dan industri kimia (Buckle et al., 1987).
Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan
ukuran antara 5 sampai 20 mikron, biasanya berukuran 5 sampai 10 kali lebih besar dari bakteri. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan padat, perbanyakan sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu proses yang merupakan sifat khas dari Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces
cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35 oC - 47oC, pH pertumbuhan saccharomyces cerevisiae yang baik antara 3 - 6.
Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi (Prescott dan Dunn, 1959).
Pada Saccharomyces cerevisiae, 70% dari glukosa didalam subtract akan diubah menjadi karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya 30% tanpa adanya nitrogen akan diubah menjadi produk penyimpanan cadangan (Fardiaz, 1992).
Bakteri Rumen
Kondisi dalam rumen adalah anaerobik, tekanan osmos pada rumen mirip
dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38 oC – 42 oC, pH 6,7 - 7,0 dapat dipertahankan dengan adanya absorbs asam lemak dan ammonia.
Saliva yang keluar masuk ke dalalm rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4
Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen sedangkan secara hidrolisi dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian dalam rumen. Rumen mengandung banyak tipe bakteri, protozoa dan jamur. Beberapa spesies mikroba rumen mampu menghasilkan enzim selulase dan hemiselulase yang dapat menghidrolisa isi sel dan dinding sel tanaman pakan (Tillman et al., 1991)
(Arora,1995).
Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu 39 oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah yang telah ditempatkan di dalam water bath pada suhu 39 oC. Cairan rumen ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi (Afdal
Inkubasi dan Dosis
Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam produksi enzim bermacam-macam. Hal ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dari mikroba itu sendiri, dimana mikroba mengalami empat fase dalam pertumbuhannya, yaitu fase lambat, fase log, fase tetap dan fase menurun. Waktu inkubasi yang optimal untuk menghasilkan asam organik untuk fermentasi kultur permukaan adalah 7 - 10 hari, sedangkan untuk fermentasi terendam lebih pendek yaitu 4 - 5 hari (Kapoor et al, 1982).
Pada fase lambat tidak terjadi pembelahan sel. Mikroba hanya melakukan kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dan lingkungan yang baru. Fase ini dipengaruhi oleh spesies, umur sel inokulum dan lingkungannya (Buckle, 1985).
Setelah beradaptasi dengan lingkungan baru mikroba akan memasuki fase log, dimana sel-sel akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensasi sampai mencapai jumlah mkasimum sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bila media tempat tumbuh mengandung campuran zat-zat gizi (yang sederhana dan mempunyai bobot molekul yang besar), maka mikroba tersebut akan memanfaatkan zat gizi yang sederhana dulu baru kemudian memanfatkan zat gizi yang sederhana dulu baru kemudian memnfaatkan komponen molekul yang besar dengan jalan menghasilkan enzim ekstraseluler untuk menghidrolosis
molekul-molekul besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan (Buckle, 1985).
Dalam proses fermentasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya dosis dan lama fermentasi. Dosis akan mempengaruhi pertumbuhan
kapang dalam memproduksi enzim selulase, sedangkan lama fermentasi akan mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan (Marlida et al., 2002). Cepat lambatnya fermentasi sangat menentukan jumlah enzim yang dihasilkan, semakin lama waktu fermentasi yang digunakan akan semakin banyak bahan yang dirombak oleh enzim, tetapi dengan bertambahnya waktu fermentasi maka ketersediaannya nutrien pada media habis, sehingga kapang lama kelamaan akan mati (Fardiaz,1989).
Tingkat dosis berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang menentukan cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim untuk merombak substrat menjadi komponen yang lebih sederhana. Menurut pendapat Setyatwan (2007) yang menyatakan bahwa lama semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan kapang untuk hidupnya sehingga kandungan zat makanan yang tersisa semakin sedikit. Adapun pendapat Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa pada proses fermentasi mikroba akan membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhannya dan perkembangbiakkannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan di dalam substrat.
Sistem Pencernaan Ruminansia
Sistem pencernaan ruminansia mempunyai fungsi penggunaan/absorbsi hasil fermentasi mikrobial yang optimal. Keadaan ini memungkinkan ruminansia tidak tergantung sumber luar dari vitamin B-kompleks dan asam-asam amino. Kedudukan ternak ruminansia adalah menyediakan makanan bagi manusia dari sumber serat dan sumber non-protein dan tidak bersaing dengan manusia dalam
yang mendalam mengenai peranan mikroflora dalam saluran pencernaan termasuk dari ternak dan spesies makhluk lain (Reksohadiprodjo, 1999).
Perut ruminansia terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasums. Volume rumen pada ternak domba berkisar 10 liter. Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui esophagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam darah (Sutardi, 1978).
Kecernaan
Kecernaan adalah zat-zat makanan dari konsumsi pakan yang tidak diekskresikan ke dalam feses, selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses merupakan jumlah zat makanan yang dapat dicerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari kemampuan suatu bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicernakan ke dalam saluran pencernaan.
Tingkat kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses. Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang
diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang dibuang bersama feses.
Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat-zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992). Kecernaan nutrisi tinggi bila nilainya 70%, dan rendah bila nilainya lebih kecil dari 50%.
Kecernaan Bahan Kering
Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat kecernaannya (Tillman et al., 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak dan mineral (Herman et al., 2003).
Menurut Mackie et al. (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi tingkat pencernaan. Nilai rataan koefisien cerna bahan kering pada domba lokal adalah 57,34% sedangkan nilai koefisien cerna bahan organik adalah 60,74% (Elita, 2006).
Kecernaan Bahan Organik
Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan meningkat pula. Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya kecernaan bahan kering Sutardi (1980).
Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia pakan dan penyimpanan pakan. Daya cerna suatu bahan pakan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya Van Soest (1994).
Teknik In Vitro
Percobaan pencernaan memakan waktu yang mahal dan memerlukan sampel pakan besar. Oleh karena itu, banyak upaya telah diberikan untuk mengembangkan metode untuk memperkirakan daya cerna secara tidak langsung atau dengan metode in vitro. Dinding sel, lignin, hemiselulosa, silika, dan protein isinya telah digunakan secara individual atau dalam kombinasi untuk menunjukkan bahan kering dicerna. Dalam penentuan in vitro berdasarkan prosedur yang dikembangkan oleh Tilley dan Terry (1963) telah banyak dan berhasil digunakan (Maynard, 1981).
Oleh karena pencernaan pada non-ruminansia sukar ditiru keseluruhannya, kecuali untuk protein yang menggunakan pepsin dan HCl. Daya cerna bahan makanan untuk ruminansia dapat ditentukan dengan teliti dengan menggunakan
metode in vitro 2 tingkat. Koefisien cerna yang ditentukan secara in vivo biasanya 1 – 2% lebih rendah dari harga in vitro, teknik ini dipergunakan secara luas untk menganalisis makanan kasar (Tillman et al., 1991).
Di samping manfaat maupun kelebihannya, sistem evaluasi pakan secara
in vitro juga memiliki kelemahan, terutama dalam proses penyiapan sumber
inokulum karna harus menggunakan cairan rumen (Tilley dan Terry, 1963). Cairan rumen biasanya diambil dari ternak yang berfistula rumen dan/atau menyedotnya melalui mulut Mauricio et al., 2001.
Umumnya digunakan dalam tahap awal penelitian secara in vitro untuk prediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan prediksi nilai nutrisi pakan.Produksi gas in vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth culture. Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe
glass atau botol serum) pada suhu 39 0C dalam medium anaerob yang diinokulasi dengan mikroba rumen. Adanya aktifitas fermentasi oleh mikrobia rumen akan menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi (CO2 dan CH4) dan secara tidak langsung dari CO2
Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen yaitu berkisar 38 – 42
yang dilepaskan dari buffer bikarbonat setiap dihasilkan volatile fatty acid (VFA) (Kurniawati, 2007).
o
C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen berkisar 6,7-7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan penambahan larutan buffer bikarbonat dan fosfat (Jhonson, 1966).
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan teknik in vitro adalah waktu yang relatif pendek dan dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan induk semang dengan hasil yang cukup memuaskan (Harris, 1970). Keuntungan utama teknik in vitro adalah dapat mempelajari aktivitas mikroba di luar kontrol dan pengaruh induk semang. Teknik in vitro akan mendapatkan hasil yang lebih baik daripada menggunakan analisa kimia (Hungate, 1996).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan ruminansia sebagian besar berupa hijauan, namun persediaan hijauan semakin terbatas karena ketersediaan lahan untuk tanaman pakan semakin menyempit. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mencari bahan pakan alternatif baik yang berasal dari limbah pertanian maupun perkebunan seperti pelepah daun kelapa sawit. Pelepah daun kelapa sawit merupakan salah satu limbah perkebunan kelapa sawit, dimana keberadaannya cukup tersedia melimpah sepanjang tahun di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara hingga tahun 2012 mencapai luas 5.456.500 ha dan pada tahun 2013 seluas 5.592.000 ha.
Beberapa mikroba seperti dari kapang Aspergillus niger, ragi
Saccharomyces cerevisae diketahui mempunyai potensi besar untuk
meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan maupun meningkatkan aktivitas kinerja mikroba rumen. Chen et al., (2004) melaporkan bahwa mikroorganisme yang bisa dijadikan probiotik adalah khamir dan jamur. Spesies khamir yang digunakan sebagai probiotik adalah Saccharomyces cereviseae dan Candida pentolopesii, sedangkan spesies jamur yang digunakan sebagai probiotik adalah Aspergillus
niger dan Aspergillus oryzae. Beberapa mikroba seperti kapang Aspergillus niger,
ragi Saccharomyces cerevisiae diketahui mempunyai potensi besar untuk meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan. Sumber lain yang dapat digunakan adalah jenis bakteri yang berasal dari ternak ruminansia yang dapat diisolasi dari rumen
bakteri rumen kerbau berjumlah 10 isolat. Di dalam cairan rumen terdapat empat species bakteri selulolitik yang dominan, yaitu: Fibrobacter succinogenes,
Butyrivibrio fibrisolvens, Ruminococcus albus, dan R. flavvfaciens.
Proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh faktor dosis dan waktu. Tingkat dosis berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang berpeluang menentukan cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim untuk merombak substrat, sehingga pada gilirannya akan berpengaruh terhadap produk akhir.
Pertumbuhan mikroba ditandai dengan lamanya waktu yang digunakan, sehingga konsentrasi metabolik semakin meningkat sampai akhirnya menjadi terbatas yang kemudian dapat menyebabkan laju pertumbuhan menurun.
Mudahnya memperoleh bahan pakan tersebut karena merupakan limbah perkebunan maka timbullah pemikiran untuk melakukan penelitian, sehingga dapat dilihat sejauh mana bahan pakan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak yang dapat meningkatkan kecernaan yang dilanjutkan dengan uji kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.
Mengacu pada uraian tersebut penulis tertarik untuk meneliti perlakukan fermentasi pelepah daun kelapa sawit secara in vitro. Metode fermentasi dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL) yaitu Aspergillus niger,
Saccharomyces cerevisiae dan isolat bakteri rumen kerbau dengan dosis dan
Tujuan Penelitian
Mengkaji kemampuan mikroorganisme dengan dosis dan waktu inkubasi yang berbeda dalam meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik terhadap fermentasi pelepah daun kelapa sawit secara in vitro.
Hipotesis Penelitian
Penggunaan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan lama inkubasi yang berbeda dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) in vitro pada pelepah daun kelapa sawit.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kalangan akademis, peneliti dan masyarakat tentang pemanfaatan pelepah daun kelapa sawit dengan penambahan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan waktu inkubasi yang berbeda untuk meningkatkan kecernaan pelepah daun kelapa sawit
ABSTRAK
WIKE SUJANA, 2015. ” Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NEVY DIANA HANAFI.
Penelitian ini bertujuan untuk Mengkaji kemampuan mikroorganisme dengan dosis dan waktu inkubasi yang berbeda dalam meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik terhadap fermentasi pelepah daun