• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis keragaman bahan kering pelepah daun kelapa sawit fermentasi in vitro

Tabel ANOVA

SK dB JK KT Fhitung

F tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 871.45 435.72 8.78 3.74 6.51

Dosis 1 767.04 767.04 15.46 4.60 8.86

Waktu 3 362.37 120.79 2.44 3.34 5.56

Dosis x waktu 3 106.63 35.54 0.72 3.34 5.56

Galat 14 694.39 49.6

(2)

Lampiran 2. Analisis Keragaman Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit Fermentasi in vitro

Tabel ANOVA

SK dB JK KT F hitung F tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 871.45 435.72 8.78 3.74 6.51

Dosis 1 767.04 767.04 15.46 4.60 8.86

Waktu 3 362.37 120.79 2.44 3.34 5.56

Dosis x waktu 3 106.63 35.54 0.72 3.34 5.56

Galat 14 694.39 49.6

(3)

Lampiran 3. Uji lanjut Duncan Kecernaan Bahan Kering

(4)

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N dosis

A 45.378 12 2

(5)

Lampiran 4. Uji lanjut Duncan Kecernaan Bahan Organik

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error

rate.

Alpha 0.05

(6)

Number of Means 2 Critical Range 11.36

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N dosis

A 64.348 12 2

(7)

Lampiran 5. Bagan Peremajaan Aspergillus niger & Saccharomyces cerevisiae

Timbang PDA 3,9 gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Panaskan pada hot plat

Sterilisasi dengan autoklaf suhu 121oC 15 menit

Larutan PDA dituang dalam cawan petri biarkan hingga beku

Gores Aspergillus niger/Saccharomyces cerevisiae ke setiap cawan petri

Tutup pinggiran cawan dengan plastik cling wrap

(8)

Lampiran 6. Bagan peremajaan Aspergillus niger dengan Media Agar Miring

Timbang PDA 3,9 gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Panaskan pada hot plat

Sterilisasi dengan autoklaf suhu 121oC 15 menit

Larutan PDA dituang dalam tabung reaksi, miringkan tabung tutup dengan kapas

Biarkan hingga beku

Gores Aspergillus niger ke setiap tabung

Tutup tabung dengan kapas dan aluminium foil

(9)

Lampiran 7. Bagan Isolasi Bakteri Rumen Kerbau

Diambil cairan rumen sebagai sumber isolat

Cairan rumen diencerkan sampai pengenceran 10-9

Pengenceran 10-9 diisolasi pada media NA selama 2 – 3hari

(10)

Lampiran 8. Bagan Peremajaan Mikroba Rumen

Timbang BHI 3,7gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Tuang larutan BHI kedalam tabung reaksi

Masukan cairan rumen 0,1ml

Tutup menggunakan kapas dan aluminium foil

(11)

Hanafiah, K. A. 2002. Rancangan Percobaan. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Hanim, C., Z. Bacbrudin, dan AliAgus. 1999. Evaluasi nilai nutrisi bungkil inti kelapa sawit yang difermentasi dengan jamur. Buletin Petern akan, 23 (2) : 8 I -87 .

Harahap, N., 2010. Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Kadar NH3 dan VFA pada Jerami Jagung, Pelepah Daun Sawit dan Pucuk Tebu Terolah Pada Sapi Secara In vitro. Skripsi. Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Hardjo S. 1989. Biokonversi Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Hungate, E.E. 1996. The Rumen and Its Microbes. Academic, New York.

Imsya, A dan Rizki Palupi. 2009. Perubahan Kandungan Lignin, Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF) Pelepah Sawit Melalui Proses Biodegumming sebagai Sumber Bahan Pakan Serat Ternak Ruminansia. Program studi Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

Jhonson, R.R, 1966. Technics and Procedures for In-Vitro and In-Vitro Rumen Studies. New York.

Kapoor, KK,K,Chaudray dan D. Tauro.1962. Dalam Presoott dan Dunnes (ads). Industria Microbioloy. AVI Publishing Company Inc, Westpottr. Connucticut.

Klich, M.A. 2002. Identification of Common Aspergillus species. CBS, Utecht. Netherlands

Kurniawati, A., 2007. Teknik Produksi Gas In-Vitro Untuk Evaluasi Pakan Ternak : Volume Produksi Gas Dan Kecernaan Bahan Pakan. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN, Jakarta

Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2000. Departemen Peternakan FP USU, Medan

Marlida, yetty, Gita Ciptaan and Rina Delfita. 2002. Production and

Characterization of Phytase from Endophytic Microbe Its Aplication for Increase the Quality of Bird Ration. Univerisitas Andalas. Artikel

(12)

Mauricio, R.M., E. Owen, F.L. Mould, I.Givens, M.K. Theodorou, J. France, D.R. Davies, and M.S. Dhanoa. 2001. Comparison of bovine rumen liquor and bovine faeces as inokulum for an in vitro gas production technique for evaluating forages. Anim. Feed Sci. Technol. 89: 33-48.

Maynard, L. A., J. K. Lossley., H. F. Hintz and R. G. Warner. 1979. Animal Nutrition7th. Mc Graw-Hill Book Company, New Delhi.

Munandar. (2003:355). Psikologi Industri dan Organisasi. Depok : Penerbit UI (UI Press)

Prescot, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbilogy. McGraw-Hill Book Co. Ltd, New York.

Pujaningsih, Retno. 2005. Teknologi Fermentasi dan Peningkatan Kualitas

Pakan. Laporan dalam bentuk Pdf. Laboratorium Teknologi Makanan

Ternak Fakultas Peternakan UNDIP

Reksohadiprodjo, S. 1999. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yokyakarta.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.

Saono, S., 1998. Pemanfaatan Jasad Renik Dalam Pengolahan Hasil Sampingan/Sisa-Sisa Produksi Pertanian. LIPI, Jakarta.

Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dan amoniasi dan inokulan digesta rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setiawan. (2007). Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan Tabel

Krejcie-Morgan: Telaah Konsep dan Aplikasinya. Makalah disampaikan

pada Diskusi Ilmiah Jurusan Sosial Fakultas Peternakan Unpad.

Sinurat, A.P 2003. Pemanfaatan Lumpur Sawit untuk Bahan Pakan Unggas. Wartoza. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia. Vol 13(2)39-47

Shurtleff, W. dan Aoyagi, A., 1979. Tofu and Milk. Production in The Book of Tofu, Vol. II., New Age Food Study Center,

Lafayete, France

Soeharto, Karti, et al., 2003, Teknologi Pembelajaran, Surabaya Intellectual Club, Surabaya.

(13)

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Rarumangkay, J. 2002. Pengaruh Fermentasi Isi Rumen Sapi Oleh Trichoderma

viridie terhadap Kandungan Serat Kasar dan Energi Metabolis Pada Ayam Broiler. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Padjadjaran,

Bandung.

Reksohadiprodjo, S. 1999. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yokyakarta.

Tilley J. M. A & Terry R. A. 1963. A two-stage technique for in vitro digestion of forage crops. J. Brit.Grassland Soc. 18:104-111.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadimomodjo dan S. Prawirokusumo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Univeritas Gajah Mada, Yogakarta.

Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. 2th Ed Comstock Publishing Associates Advision of Corhell University Press. Ithaca, New York.

Widiyaningrum, P., Siregar. Z., Wahyuni. T. H., Roeswandy. 2009. Penuntun Praktikum Bahan Pakan Ternak dan Formulasi Ransum. Universitas Sumatera Utara.

(14)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak

dan Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian ini berlangsung

selama 2 bulan mulai bulan Juli sampai September 2015.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Bahan yang terdiri atas pelepah daun kelapa sawit, larutan MC Dougall,

cairan rumen segar, gas CO2, larutan pepsin HCl 0,2%, aquades, larutan HgCl2

Alat

jenuh, kertas saring whatman no 41, Aspergillus niger, Saccharomyces cerevisiae

diperoleh dari koleksi Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Program

Studi Peternakan dan Isolat bakteri rumen kerbau.

Chopper untuk mencacah pelepah daun kelapa sawit, timbangan analitik,

tabung fermentor volume 50ml, tutup karet berventilasi, shaker bath dengan suhu

air 39 oC – 40 oC, sentrifuge, pompa vakum, cawan porselin, deksikator, oven 105 o

Metode Penelitian

C, tanur listrik, erlenmeyer, gelas ukur, thermometer, cawan porselin, pH

meter.

Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok

(15)

Adapun perlakuan yang diberikan adalah

Faktor 1 adalah sampel yang di isolasi dengan dosis berbeda yang mempunyai 2

level yaitu:

P1 : Pelepah daun kelapa sawit fermentasi dengan 0,2% multi mikroba

lokal (Aspergillus niger + Saccharomyces cerevisiae + isolat bakteri

kerbau)

P2 : Pelepah daun kelapa sawit fermentasi dengan 0,4 % multimikroba

lokal (Aspergillus niger + Saccharomyces cerevisiae + isolat bakteri

kerbau)

Faktor 2 adalah lama masa inkubasi dengan 4 level yaitu:

T0 : Diinkubasi selama 0 hari

T1 : Diinkubasi selama 3 hari

T2 : Diinkubasi selama 6 hari

T3 : Diinkubasi selama 9 hari

Kombinasi kedua faktor tersebut mengasilkan 8 kombinasi dan 3 kelompok yaitu:

Kelompok

I P1T2 P2T0 P1T1 P2T3 P2T2 P1T3 P2T1 P1T0

II P1T1 P2T3 P1T0 P1T2 P2T0 P1T3 P2T1 P2T2

(16)

Metode linear yang digunakan menurut Hanafiah (2002) adalah:

Hijk = π + Ki + Pj + Pk + (Pj x Pk) + eijk

Keterangan :

Hijk = Hasil akibat perlakuan ke-j dan perlakuan ke-k pada kelompok ke-i

Π = Nilai tengah umum

Ki = Pengaruh kelompok ke-i

Pj = Pengaruh faktor perlakuan ke-j Pk = Pengaruh faktor perlakuan ke-k

Pj x Pk = Interaksi perlakuan ke-j dan perlakuan ke-k

Eijk = Eror akibat perlakuan ke-j dan perlakuan ke-k pada kelompok ke-i I = 1, 2, …., k (k = kelompok)

J = 1, 2, …., p ke-1 (p = perlakuan ke-1) K = 1, 2,…... p ke-2 (p = perlakuan ke-2)

Pelaksanaan Penelitian

Pengukuran Bahan Kering

Sebanyak 2 gram sampel pelepah daun kelapa sawit fermentasi dimasukan

kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya kemudian diovenkan pada

suhu 105o

%KA =

C selama 24 jam, setalah itu didinginkan sampel dalam desikator selama

± 15 menit, kemudian sampel ditimbang dan dihitung menggunakan rumus:

(17)

Pengukuran Bahan Organik

Sebanyak 2 gram sampel pelepah daun kelapa sawit fermentasi

dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya kemudian

dimasukkan kedalam tanur 600o

% KAb =

C sampai menjadi abu (selama 6 jam), dinginkan

sampel dalam desikator selama 1 jam, kemudian sampel ditimbang dan dihitung

kadar abu dengan rumus:

(Berat C + S setelah tanur) – (Berat C kosong) Berat sampel awal

x 100%

Maka kadar Bahan Organiknya dapat dihitung dengan rumus:

% BO = 100% - % KAb - % KA

(Widiyaningrum et al., 2009).

Kecernaan In vitro

Sampel sebanyak 0,5 gram pelepah daun kelapa sawit fermentasi

dimasukkan kedalam tabung fermentor 50ml ditambah dengan larutan penyangga

(MgDougall) 40ml, cairan rumen 10ml. Pembuatan blanko dilakukan tanpa

penambahan sampel kedalam tabung fermentor, kemudian setiap tabung

fermentor diberi aliran gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan kondisi anaerob dan ditutup dengan tutup karet berventilasi cek pH (6,5-6,9). Tabung

fermentor dimasukkan kedalam waterbath yang bersuhu 39o, diinkubasi selama 48 jam. Setelah 48 jam proses inkubasi dihentikan kemudian diteteskan 3 tetes

HgCl2

Residu hasil proses centrifuge ditambahkan 50ml laruran pepsin HCL

untuk setiap tabung fermentor kemudian dimasukkan kedalam waterbath pada

suhu 39

dan dicentrifuge selama 10 menit pada 4000 rpm.

o

(18)

kertas saring Whatman no 41. Setiap ulangan dibuat Duplo. Hasil saringan

dimasukkan kedalam oven pada suhu 105o

KCBK (%) =

C selama 12 jam kemudian didinginkan

dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Perhitungan KCBK dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

BK sampel – (BK residu – BK residu blanko BK sampel

) x 100%

Pengukuran KCBO dilakukan dengan cara sampel yang telah dioven pada

pengukuran KCBK dimasukkan kedalam tanur selama 6 jam pada suhu 105o

KCBO (%) =

C

sehingga sampel menjadi abu kemudian didinginkan dalam desikator selam 15

menit dan ditimbang. Perhitungan KCBO dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

BO sampel – (BO residu – BO residu blanko BO sampel

) x 100%

(Tilley dan Terry, 1963)

Peubah yang diamati

1. Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Yang Keofisien Cerna Bahan Kering (KCBK) hasil in vitro didapat

dengan menggunakan rumus:

KCBK (%) = BK sampel – (BK residu – BK residu blanko BK sampel

) x 100%

(19)

2. Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) hasil in vitro didapat dengan

menggunakan rumus:

KCBO (%) = BO sampel – (BO residu – BO residu blanko BO sampel

) x 100%

(Tilley dan Terry, 1963).

Analisis Data

Hasil analisis setiap perlakuan dihitung dengan menggunakan rumus daya

cerna secara in vitro. Dilakukan perhitungan untuk mengukur besar daya cerna

masing-masing perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis

sidik ragam (ANOVA), apabila diantara perlakuan terdapat pengaruh nyata maka

akan dilanjutkan dengan menggunakan Uji Beda Jarak Duncan (BNJD) yang

(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam

menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka

semakin tinggi juga peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk

pertumbuhannya. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan

rumen dan inokulasi, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lama

waktu inkubasi, ukuran sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Hasil

pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) terhadap lama inkubasi dan

dosis yang berbeda terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan lama inkubasi dan dosis yang berbeda terhadap Koefisien Cerna Bahan Kering

Ket: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P< 0.05)

tn tidak berbeda nyata (P>0.05)

Rataan koefisien cerna bahan kering pada Tabel 2 yang tertinggi terdapat

pada waktu 9 hari yaitu Pelepah daun kelapa sawit fermentasi dengan 0,4 %

multimikroba lokal (Aspergillus niger + Saccharomyces cerevisiae + isolat bakteri

kerbau) sebesar 42.8 % sedangkan koefisien cerna bahan kering yang terendah

(21)

0,2% multi mikroba lokal (Aspergillus niger + Saccharomyces cerevisiae + isolat

bakteri kerbau) sebesar 31.52%.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dosis berpengaruh nyata

(P<0.05) terhadap koefisien cerna bahan kering. Tingkat dosis berkaitan dengan

besaran populasi mikroba yang menentukan cepat tidaknya perkembangan

mikroba dalam menghasilkan enzim untuk merombak substrat menjadi komponen

yang lebih sederhana. Perlakuan dengan dosis 0,4 % menunjukkan koefisien

cerna bahan kering yang lebih tinggi dibandingkan dosis 0,2 %. Hal ini

dikarenakan semakin banyak populasi mikroba yang diberikan maka semakin

tinggi pula bahan keringnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Laskin dan Hubert

(1973), yang menyatakan bahwa jumlah populasi mikroba sangat menentukan

kualitas produk akhir, dimana semakin tinggi populasi Aspergillus niger akan

menghasilkan besaran enzim selulase yang semakin tinggi pula sehingga kuantitas

serat kasar yang dirombak oleh enzim selulase semakin tinggi.

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa lama fermentasi memberikan

pengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap tingkat kecernaan bahan kering, hal ini

disebabkan oleh proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme

menyebabkan perubahan-perubahan seperti memperbaiki mutu bahan pakan serta

dapat meningkatkan daya cernanya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai

nutrisi yang lebih tinggi karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba

tersebut (Winarno dan Fariz, 1980). Pakan yang lebih lama proses fermentasinya

di dalam rumen akan lebih banyak dicerna, sehingga daya cerna lebih tinggi

karena adanya aktivitas mikroba yang mendegradasi pakan sehingga produk

(22)

Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana

enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat

meningkatkan daya cerna dari suatu bahan pakan (Klich, 2002). Begitu juga

dengan penggunaan Saccharomyces cerevisiae yang dinyatakan oleh

Plata et al., (1994) yang menyatakan bahwa penambahan Saccharomyces

cerevisiae dapat meningkatkan populasi protozoa dan bakteri selulotik. Selulosa

merupakan sumber energi yang sangat potensial bagi ruminansia. Ruminansia

memiliki kemampuan mencerna selulosa menjadi sumber energi melalui proses

fermentasi oleh mikroba selulotik yang terdapat dalam rumen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah

pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan

dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor

lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat

proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak

dan mineral (Arora, 1995).

Koefisien cerna bahan kering sangat dipengaruhi oleh waktu inkubasi

selama proses fermentasi dimana berhubungan dengan aktivitas enzim yang akan

semakin meningkat seiring bertambahnya waktu inkubasi. Kandungan bahan

kering yang tertinggi pada waktu inkbasi 9 hari hal ini berhubungan erat dengan

fase-fase pertumbuhan dan perkembangan dimana pada fase eksponensial atau

logaritmik kapang memanfaatkan kandungan nutrisi yang tersedia dalam substrat

sehingga pertumbuhan dan perkembangannya mencapai titik optimal dan banyak

memproduksi metabolit sekunder yang salah satunya menghasilkan enzim

(23)

dan ampas tahu setelah fermentasi. Hal ini sesuai dengan Narasimha et al., (2006)

bahwa aktivitas enzim yang tinggi dihasilkan pada fase pasca eksponensial.

Semakin lama waktu inkubasi memberikan kesempatan bagi kapang

memanfaatkan nutrisi yang terkandung dalam substrat untuk perkembangan dan

meningkatkan aktifitas enzim, salah satunya adalah enzim selulase dimana enzim

selulase akan mendegradasi komponen serat komplek menjadi komponen yang

lebih sederhana sehingga menghasilkan hasil fermentasi yang mudah dicerna

Yohanista et al., (2005).

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas

pakan (Sutardi, 1980). Rahmawati (2001), menambahkan bahwa bahan organik

menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Kecernaan

bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan

ternak untuk hidup pokok dan produksi. Bahan organik menghasilkan energi

untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Semakin tinggi nilai kecernaan

suatu bahan pakan maka semakin banyak zat gizi yang diserap tubuh ternak

(Silalahi, 2003). Nilai koefisien cerna bahan organik (KCBO) terhadap lama

(24)

Tabel 3. Rataan lama inkubasi dan dosis yang berbeda terhadap koefisien cerna

Ket: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P< 0.05)

tn tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dosis memberikan

pengaruh nyata (P<0.05) terhadap koefisien cerna bahan organik akan tetapi lama

fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap koefisien cerna bahan

organik. Lama fermentasi merupakan salah satu faktor yang menentukan

berubahnya komposisi gizi produk fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat

Setyatwan (2007), yang menyatakan bahwa lama semakin lama waktu fermentasi

maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan kapang untuk hidupnya

sehingga kandungan zat makanan yang tersisa semakin sedikit. Adapun pendapat

Winarno et al., (1980) menyatakan bahwa pada proses fermentasi mikroba akan

membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhannya dan

perkembangbiakkannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan di

dalam substrat. Oleh karena itu, bahan kering fermentasi aspergilus niger dan

saccaromyces cerevise bertambah seiring bertambahnya waktu fermentasi.

Waktu yang lebih lama memberikan kesempatan kepada mikrobia

(khamir) untuk melakukan penguraian yang lebih banyak terhadap pelepah daun

(25)

hari, 3 hari dan 6 hari. Hal ini dapat disebabkan karena proses fermentasi pada

pelepah daun kelapa sawit mencapai titik waktu yang optimum untuk

menghasilkan koefisien cerna bahan organik paling tinggi pada hari ke 9.

Peningkatatan yang tidak nyata pada kadar bahan organik difermentasikan selama

0 sampai 6 hari, diduga disebabkan adanya pertumbuhan S. cereviciae dalam

pertumbuhannya maupun perkembangbiakannya memerlukan karbon dan

nitrogen.

Tingkat kecernaan bahan organik pada percobaan mempunyai pola yang

sama dengan kecernaan bahan kering. Tingkat kecernaan bahan organik relatif

lebih tinggi dari pada kecernaan bahan kering pada setiap perlakuan. Hal ini

karena pada bahan kering masih mengandung abu, sedangkan bahan organik tidak

mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah

dicerna. Fathul dan Wajizah (2010), menyatakan bahwa kandungan abu dapat

memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering. Kecernanan bahan

organik sama seperti kecernaan bahan kering sangat dipengaruhi oleh kandungan

serat kasar. Serat termasuk komponen dari bahan organik pakan. Apabila

kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna akan

semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung pada mikroba

rumen (Rahmawati, 2001). Semakin lama proses fermentasi di dalam rumen maka

semakin mudah pula mikroba rumen untuk mendegradasi bahan pakan tersebut

sehingga kecernaan bahan pakan meningkat.

Hasil penelitian Tang et al., (2008) menyatakan bahwa tingginya nilai

kecernaan bahan organik disebabkan adanya penambahan enzim fibrolytic.

(26)

rumen dibandingkan dengan pakan yang difermentasi menggunakan

Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae. Pernyataan ini sesuai denga

hasil penelitian Feng et al., (1996), yang melaporkan bahwa penambahan enzim

fibrolytic dapat meningkatkan ekosistem mikroba rumen yang mengakibatkan laju

kecernaan serat kasar. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya

kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan.

Koefisien cerna bahan organik pada dosis 0.4% yaitu 64.34 lebih tinggi

dibanding 0,2% yaitu 51.96. Dosis inokulum akan mempengaruhi pertumbuhan

kapang dalam memproduksi enzim selulase, sedangkan lama fermentasi akan

mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan (Yetti et al., 2002). Cepat

lambatnya fermentasi sangat menentukan jumlah enzim yang dihasilkan, semakin

lama waktu fermentasi yang digunakan akan semakin banyak bahan yang

dirombak oleh enzim, tetapi dengan bertambahnya waktu fermentasi maka

ketersediaannya nutrien pada media habis, sehingga kapang lama kelamaan akan

mati (Fardiaz, 1989).

Proses fermentasi dapat berjalan baik apabila dalam medium tersedia

semua nutrient yang dibutuhkan mikrobia, serta kondisi fermentasi yang spesifik

untuk masing-masing mikrobia (Rahman, 1989). Menurut Chuzaemi(1990)

produksi mikroba dalam rumen dibatasi oleh ketersediaan energi, protein mudah

(27)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan lama inkubasi

yang berbeda dapat meningkatkan koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan

koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada pelepah daun kelapa sawit. Lama

inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap koefisien cerna bahan kering dan

koefisien cerna bahan organik. Dosis yang tertinggi terdapat pada dosis 0,4%.

Saran

Disarankan bagi peternak yang menggunakan pelepah daun kelapa sawit

sebagai bahan penyusun pakan ternak untuk melakukan fermentasi terlebih dahulu

dengan menambahkan Aspergillus niger dan Saccharomicess cerevisiae ditambah

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Pelepah Daun Kelapa Sawit

Pelepah daun kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang

memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut

belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternakan. Produksi pelepah daun

kelapa sawit dapat mencapai 10,5 ton pelepah kering/ha/tahun. Kandungan

protein

kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masing mencapai 15% BK (daun)

dan 2 – 4% BK (pelepah) (Mathius, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan

pakan tersebut dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 4,8%.

Pelepah sawit dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan panen

tandan buah segar. Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22

pelepah/tahun dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah

dikupas untuk pakan), sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar

untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan

kering (Diwyanto et al., 2003).

Komposisi nutrisi pelepah sawit adalah sebagai berikut kandungan Bahan

Kering 48,78 %, Protein Kasar 5,33 %, NDF 78,05 %, ADF 56,93 %,

hemiselulosa 21,12 %, selulosa 27,94 %, lignin 16,94 % dan silika 0,6 %

(Imsya et al., 2009).

Kandungan pelepah daun kelapa sawit berdasarkan analisis proksimat

(29)

Tabel 1. Kandugan gizi pelepah daun kelapa sawit Sumber: a. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003)

b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2003) c. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000).

Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70%

serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini

menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah

diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil

silase daun kelapa sawit (Sinurat, 2003).

Pemanfaatan pelepah sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak

melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat

ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit

(Balai Penelitian Ternak, 2003).

Pelepah kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau diproses

menjadi silase. Hasil Penelitian menunjukan penggunaan pelepah sawit dalam

bentuk silase pada sapi sebanyak 50% dari total pakan dapat menghasilkan

pertambahan bobot badan harian berkisar 0,62-0,75 kg dengan nilai konversi

pakan antara 9-10. Fermentasi pelepah kelapa sawit menjadi silase ditujukan

preservasi dan konsentrat, pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relatif kecil.

(30)

ditambahkan urea. Penambahan urea sebanyak 3 - 6% akan meningkatkan

kandungan protein bahan dari 5,6 menjadi 12,5 atau 20%

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2013).

Fermentasi

Menurut Pujaningsih (2005), fermentasi adalah suatu proses pemecahan

senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan mikroorganisme dengan

tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai

kandungan nutrisi, tekstur yang lebih baik disamping itu juga menurunkan zat anti

nutrisi. Adanya perubahan kimia oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh

mikroba itu meliputi perubahan molekul-molekul kompleks atau senyawa organik

seperti protein, karbohidrat, maupun lemak menjadi molekul-molekul yang lebih

sederhana, mudah larut dan daya cerna yang tinggi.

Penambahan bahan- bahan nutrient kedalam fermentasi dapat menyokong

dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat

digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan pada

proses fermentasi akan terurai oleh enzim urease menjadi ammonia dan

karbondioksida yang selanjutnya digunakan asam amino (Fardiaz, 1989).

Adanya proses fermentasi memiliki manfaat diantaranya menurut

Shurtleff dan Aoyagi (1979), yaitu dapat mengubah molekul kompleks menjadi

molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, mengubah rasa dan aroma

menjadi lebih baik. Selain itu produk hasil fermentasi akan menjadi tahan lama

dan dapat mengurangi senyawa racun yang dikandung sehingga nilai ekonomi

(31)

Faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi dalam proses fermentasi

oleh mikroba :

a. Sifat fisik dan kimia substrat

1. Kelarutan, pada umumnya zat terlarut lebih mudah didegradasi.

2. Luas permukaan

Semakin luas permukaan makin mudah dicerna mikroorganisme. Dalam hal ini

untuk mempercepat degradasi digunakan substrat dengan ukuran yang kecil.

3. Kemampuan mengadopsi uap air

Material yang higroskopis lebih mudah dicerna oleh mikroorganisme. Dalam

hal ini kelembaban sangat mempengaruhi proses.

b. Struktur kimia dari substrat

Pengaruh struktur kimia dalam degradasi oleh mikroorganisme, pada

umumnya senyawa karbon yang terbentuk secara alamiah lebih mudah

didegradasi dari pada yang sintetik.

c. Faktor lingkungan

Setiap spesies mikroorganisme mempunyai kisaran kondisi lingkungan

dalam batas-batas toleransi yang sempit. Di luar batas itu mikroorganisme tidak

akan tumbuh dan biodegradasi tidak terjadi. Proses tersebut ada yang

menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Hal yang menguntungkan ialah

adanya degradasi protein yang membentuk protein lain yang mudah dicerna, dan

yang merugikan pada umumnya proses perusakan atau pembusukan

(32)

Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan

mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales

dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,

diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam

glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase,

amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu

35 ºC – 37 ºC (optimum), 6 ºC – 8 ºC (minimum), 45 ºC – 47 ºC (maksimum) dan

memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger

Peningkatan kandungan protein kasar yang sejalan dengan pertumbuhan

kapang (jamur) dikarenakan tubuh jamur terdiri dari elemen yang mengandung

nitrogen. Selain itu enzim yang dihasilkan oleh jamur juga merupakan protein.

Dinding sel jamur mengandung 6,3% Protein Kasar, sedangkan membran sel pada

jamur yang berhifa mengandung protein 25 - 45% dan karbohidrat 25 -30%

(Munandar, 2003).

memiliki bulu dasar

berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat

gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah

menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.

Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat

(Soeharto, 2003).

Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana

enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat

(33)

Aspergillus niger di dalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung

dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula

dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul

lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih

dahulu sebelum diserap kedalam sel, untuk itu Aspergillus niger menghasilkan

beberapa enzim ekstraseluler (Hardjo et al., 1989). Dari beberapa hasil penelitian

diketahui fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat

meningkatkan kandungan protein dari beberapa bahan (Hanim et al., 1999).

Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae sebagai salah satu galur yang paling umum

digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatif kuat dan anaerob

fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil

dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses

fermentasi berlangsung dengan cepat pula serta mampu memproduksi alkohol

dalam jumlah banyak. Alkohol (etanol) yang dihasilkan dapat digunakan sebagai

bahan pelarut selain air dan bahan baku utama dalam laboratorium dan industri

kimia (Buckle et al., 1987).

Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan

ukuran antara 5 sampai 20 mikron, biasanya berukuran 5 sampai 10 kali lebih

besar dari bakteri. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan

padat, perbanyakan sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu

proses yang merupakan sifat khas dari Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces

(34)

Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi

(Prescott dan Dunn, 1959).

Pada Saccharomyces cerevisiae, 70% dari glukosa didalam subtract akan

diubah menjadi karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya 30% tanpa adanya

nitrogen akan diubah menjadi produk penyimpanan cadangan (Fardiaz, 1992).

Bakteri Rumen

Kondisi dalam rumen adalah anaerobik, tekanan osmos pada rumen mirip

dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38 oC – 42 oC, pH 6,7 - 7,0 dapat dipertahankan dengan adanya absorbs asam lemak dan ammonia.

Saliva yang keluar masuk ke dalalm rumen berfungsi sebagai buffer dan

membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya

kadar ion HCO3 dan PO4

Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen

sedangkan secara hidrolisi dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian

dalam rumen. Rumen mengandung banyak tipe bakteri, protozoa dan jamur.

Beberapa spesies mikroba rumen mampu menghasilkan enzim selulase dan

hemiselulase yang dapat menghidrolisa isi sel dan dinding sel tanaman pakan

(Tillman et al., 1991)

(Arora,1995).

Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan

ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu

(35)

Inkubasi dan Dosis

Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam produksi enzim

bermacam-macam. Hal ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dari mikroba itu sendiri,

dimana mikroba mengalami empat fase dalam pertumbuhannya, yaitu fase lambat,

fase log, fase tetap dan fase menurun. Waktu inkubasi yang optimal untuk

menghasilkan asam organik untuk fermentasi kultur permukaan adalah 7 - 10 hari,

sedangkan untuk fermentasi terendam lebih pendek yaitu 4 - 5 hari (Kapoor et al,

1982).

Pada fase lambat tidak terjadi pembelahan sel. Mikroba hanya melakukan

kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan

kondisi pertumbuhan dan lingkungan yang baru. Fase ini dipengaruhi oleh

spesies, umur sel inokulum dan lingkungannya (Buckle, 1985).

Setelah beradaptasi dengan lingkungan baru mikroba akan memasuki fase

log, dimana sel-sel akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensasi sampai

mencapai jumlah mkasimum sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bila media

tempat tumbuh mengandung campuran zat-zat gizi (yang sederhana dan

mempunyai bobot molekul yang besar), maka mikroba tersebut akan

memanfaatkan zat gizi yang sederhana dulu baru kemudian memanfatkan zat gizi

yang sederhana dulu baru kemudian memnfaatkan komponen molekul yang besar

dengan jalan menghasilkan enzim ekstraseluler untuk menghidrolosis

molekul-molekul besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan

(Buckle, 1985).

Dalam proses fermentasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan,

(36)

kapang dalam memproduksi enzim selulase, sedangkan lama fermentasi akan

mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan (Marlida et al., 2002). Cepat

lambatnya fermentasi sangat menentukan jumlah enzim yang dihasilkan, semakin

lama waktu fermentasi yang digunakan akan semakin banyak bahan yang

dirombak oleh enzim, tetapi dengan bertambahnya waktu fermentasi maka

ketersediaannya nutrien pada media habis, sehingga kapang lama kelamaan akan

mati (Fardiaz,1989).

Tingkat dosis berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang

menentukan cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim

untuk merombak substrat menjadi komponen yang lebih sederhana. Menurut

pendapat Setyatwan (2007) yang menyatakan bahwa lama semakin lama waktu

fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan kapang untuk

hidupnya sehingga kandungan zat makanan yang tersisa semakin sedikit. Adapun

pendapat Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa pada proses fermentasi

mikroba akan membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhannya dan

perkembangbiakkannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan di

dalam substrat.

Sistem Pencernaan Ruminansia

Sistem pencernaan ruminansia mempunyai fungsi penggunaan/absorbsi

hasil fermentasi mikrobial yang optimal. Keadaan ini memungkinkan ruminansia

tidak tergantung sumber luar dari vitamin B-kompleks dan asam-asam amino.

Kedudukan ternak ruminansia adalah menyediakan makanan bagi manusia dari

(37)

yang mendalam mengenai peranan mikroflora dalam saluran pencernaan termasuk

dari ternak dan spesies makhluk lain (Reksohadiprodjo, 1999).

Perut ruminansia terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasums.

Volume rumen pada ternak domba berkisar 10 liter. Sistem pencernaan pada

ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan, populasi mikroba

dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses

pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada

proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui

esophagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen

akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen

dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil

pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam

darah (Sutardi, 1978).

Kecernaan

Kecernaan adalah zat-zat makanan dari konsumsi pakan yang tidak

diekskresikan ke dalam feses, selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan

yang dieksresikan dalam feses merupakan jumlah zat makanan yang dapat

dicerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari kemampuan suatu bahan

pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan

pakan memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat

makanan dalam bentuk yang dapat dicernakan ke dalam saluran pencernaan.

Tingkat kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak

diekskresikan dalam feses. Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat

(38)

diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat

dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat

makanan yang dibuang bersama feses.

Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat-zat makanan

yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok

(maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992).

Kecernaan nutrisi tinggi bila nilainya 70%, dan rendah bila nilainya lebih kecil

dari 50%.

Kecernaan Bahan Kering

Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan

yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat

makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat

kecernaannya (Tillman et al., 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah

pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan

dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor

lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat

proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak

dan mineral (Herman et al., 2003).

Menurut Mackie et al. (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran

pencernaan sangat mempengaruhi tingkat pencernaan. Nilai rataan koefisien cerna

bahan kering pada domba lokal adalah 57,34% sedangkan nilai koefisien cerna

(39)

Kecernaan Bahan Organik

Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga

meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan

meningkat pula. Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan

meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan

kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi

tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi

rendahnya kecernaan bahan kering Sutardi (1980).

Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor

seperti jenis ternak, komposisi kimia pakan dan penyimpanan pakan. Daya cerna

suatu bahan pakan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung

didalamnya Van Soest (1994).

Teknik In Vitro

Percobaan pencernaan memakan waktu yang mahal dan memerlukan

sampel pakan besar. Oleh karena itu, banyak upaya telah diberikan untuk

mengembangkan metode untuk memperkirakan daya cerna secara tidak langsung

atau dengan metode in vitro. Dinding sel, lignin, hemiselulosa, silika, dan protein

isinya telah digunakan secara individual atau dalam kombinasi untuk

menunjukkan bahan kering dicerna. Dalam penentuan in vitro berdasarkan

prosedur yang dikembangkan oleh Tilley dan Terry (1963) telah banyak dan

berhasil digunakan (Maynard, 1981).

Oleh karena pencernaan pada non-ruminansia sukar ditiru keseluruhannya,

kecuali untuk protein yang menggunakan pepsin dan HCl. Daya cerna bahan

(40)

metode in vitro 2 tingkat. Koefisien cerna yang ditentukan secara in vivo biasanya

1 – 2% lebih rendah dari harga in vitro, teknik ini dipergunakan secara luas untk

menganalisis makanan kasar (Tillman et al., 1991).

Di samping manfaat maupun kelebihannya, sistem evaluasi pakan secara

in vitro juga memiliki kelemahan, terutama dalam proses penyiapan sumber

inokulum karna harus menggunakan cairan rumen (Tilley dan Terry, 1963).

Cairan rumen biasanya diambil dari ternak yang berfistula rumen dan/atau

menyedotnya melalui mulut Mauricio et al., 2001.

Umumnya digunakan dalam tahap awal penelitian secara in vitro untuk

prediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan prediksi nilai nutrisi

pakan.Produksi gas in vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth

culture. Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe

glass atau botol serum) pada suhu 39 0C dalam medium anaerob yang diinokulasi dengan mikroba rumen. Adanya aktifitas fermentasi oleh mikrobia rumen akan

menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi (CO2 dan CH4) dan secara tidak langsung dari CO2

Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen

yaitu berkisar 38 – 42

yang dilepaskan dari buffer bikarbonat

setiap dihasilkan volatile fatty acid (VFA) (Kurniawati, 2007).

o

C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi

berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan

kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen

berkisar 6,7-7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan penambahan

(41)

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan teknik in vitro adalah waktu

yang relatif pendek dan dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan

induk semang dengan hasil yang cukup memuaskan (Harris, 1970). Keuntungan

utama teknik in vitro adalah dapat mempelajari aktivitas mikroba di luar kontrol

dan pengaruh induk semang. Teknik in vitro akan mendapatkan hasil yang lebih

(42)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pakan ruminansia sebagian besar berupa hijauan, namun persediaan

hijauan semakin terbatas karena ketersediaan lahan untuk tanaman pakan semakin

menyempit. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mencari

bahan pakan alternatif baik yang berasal dari limbah pertanian maupun

perkebunan seperti pelepah daun kelapa sawit. Pelepah daun kelapa sawit

merupakan salah satu limbah perkebunan kelapa sawit, dimana keberadaannya

cukup tersedia melimpah sepanjang tahun di Indonesia khususnya Sumatera

Utara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), luas areal perkebunan

kelapa sawit di Sumatera Utara hingga tahun 2012 mencapai luas 5.456.500 ha

dan pada tahun 2013 seluas 5.592.000 ha.

Beberapa mikroba seperti dari kapang Aspergillus niger, ragi

Saccharomyces cerevisae diketahui mempunyai potensi besar untuk

meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan maupun meningkatkan aktivitas kinerja

mikroba rumen. Chen et al., (2004) melaporkan bahwa mikroorganisme yang bisa

dijadikan probiotik adalah khamir dan jamur. Spesies khamir yang digunakan

sebagai probiotik adalah Saccharomyces cereviseae dan Candida pentolopesii,

sedangkan spesies jamur yang digunakan sebagai probiotik adalah Aspergillus

niger dan Aspergillus oryzae. Beberapa mikroba seperti kapang Aspergillus niger,

ragi Saccharomyces cerevisiae diketahui mempunyai potensi besar untuk

meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan. Sumber lain yang dapat digunakan adalah

(43)

bakteri rumen kerbau berjumlah 10 isolat. Di dalam cairan rumen terdapat empat

species bakteri selulolitik yang dominan, yaitu: Fibrobacter succinogenes,

Butyrivibrio fibrisolvens, Ruminococcus albus, dan R. flavvfaciens.

Proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh faktor dosis dan waktu. Tingkat

dosis berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang berpeluang menentukan

cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim untuk

merombak substrat, sehingga pada gilirannya akan berpengaruh terhadap produk

akhir.

Pertumbuhan mikroba ditandai dengan lamanya waktu yang digunakan,

sehingga konsentrasi metabolik semakin meningkat sampai akhirnya menjadi

terbatas yang kemudian dapat menyebabkan laju pertumbuhan menurun.

Mudahnya memperoleh bahan pakan tersebut karena merupakan limbah

perkebunan maka timbullah pemikiran untuk melakukan penelitian, sehingga

dapat dilihat sejauh mana bahan pakan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pakan ternak yang dapat meningkatkan kecernaan yang dilanjutkan dengan uji

kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.

Mengacu pada uraian tersebut penulis tertarik untuk meneliti perlakukan

fermentasi pelepah daun kelapa sawit secara in vitro. Metode fermentasi dengan

menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL) yaitu Aspergillus niger,

Saccharomyces cerevisiae dan isolat bakteri rumen kerbau dengan dosis dan

(44)

Tujuan Penelitian

Mengkaji kemampuan mikroorganisme dengan dosis dan waktu inkubasi

yang berbeda dalam meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan

organik terhadap fermentasi pelepah daun kelapa sawit secara in vitro.

Hipotesis Penelitian

Penggunaan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan lama inkubasi

yang berbeda dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan

kecernaan bahan organik (KCBO) in vitro pada pelepah daun kelapa sawit.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kalangan

akademis, peneliti dan masyarakat tentang pemanfaatan pelepah daun kelapa

sawit dengan penambahan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan waktu

inkubasi yang berbeda untuk meningkatkan kecernaan pelepah daun kelapa sawit

(45)

ABSTRAK

WIKE SUJANA, 2015. ” Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NEVY DIANA HANAFI.

Penelitian ini bertujuan untuk Mengkaji kemampuan mikroorganisme dengan dosis dan waktu inkubasi yang berbeda dalam meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik terhadap fermentasi pelepah daun kelapa sawit secara in vitro. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial 2 x 4 dan 3 kelompok. Perlakuan terdiri dari dosis 0,2% dan 0,4% dan lama innkubasi 0, 3, 6 dan 9 hari. Pelepah daun kelapa sawit fermentasi multi mikroba lokal (Aspergillus niger +

Saccharomyces cerevisiae + isolat bakteri kerbau.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dosis memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) akan tetapi lama fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan organik. Penggunaan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan lama inkubasi yang berbeda dapat meningkatkan koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada pelepah daun kelapa sawit. Lama inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan organik. Dosis yang tertinggi terdapat pada dosis 0,4%.

(46)

ABSTRACT

Wike SUJANA, 2015. "Use of Local Microbial Multi with Different Dose and Duration Incubation of the dry matter and leaf sheaths Organic Materials Palm Oil In Vitro". Guided by MA'RUF TAFSIN and Nevy DIANA HANAFI.

This study aims to Assess the ability of microorganisms with dose and different incubation time in improving digestibility of dry matter and organic matter digestibility of the fermented palm leaf midrib in vitro. The design used in this study is a randomized block design (RAK) factorial 2 x 4 and 3 groups. The treatment consists of a dose of 0.2% and 0.4% and long innkubasi 0, 3, 6 and 9

days. Palm leaf midrib multi microbial fermentation of local (Aspergillus niger + Saccharomyces cerevisiae + bacteria buffalo.

Analysis of variance showed that the dose significant effect (P <0.05) but the fermentation time was not significant (P> 0.05) on the digestibility coefficients of dry matter and organic matter digestibility coefficients. The use of multiple microorganisms with dose and duration of incubation is different can increase dry matter digestibility coefficients (KCBK) and organic matter digestibility coefficients (KCBO) on a palm leaf midrib. Long incubation no significant effect on digestibility coefficient of dry matter and organic matter digestibility coefficients. The highest dose contained in a dose of 0.4

Keywords: Palm Leaf sheaths, local microbes, dose, duration of incubation, Rumen, digestibility, in vitro

(47)

PENGGUNAAN MULTI MIKROBA LOKAL DENGAN

BERBAGAI DOSIS DAN LAMA INKUBASI TERHADAP

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK

PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT IN VITRO

SKRIPSI

Oleh:

WIKE SUJANA

110306010

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(48)

PENGGUNAAN MULTI MIKROBA LOKAL DENGAN

BERBAGAI DOSIS DAN LAMA INKUBASI TERHADAP

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK

PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT IN VITRO

SKRIPSI

Oleh:

WIKE SUJANA 110306010

Sripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(49)

Judul : Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

Nama : Wike Sujana

NIM : 110306010

Program Studi : Peternakan

Disetujui oleh:

Komisi Pembimbing

(Dr.Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) (Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M. Si) Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) Ketua Program Studi Peternakan

(50)

ABSTRAK

WIKE SUJANA, 2015. ” Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NEVY DIANA HANAFI.

Penelitian ini bertujuan untuk Mengkaji kemampuan mikroorganisme dengan dosis dan waktu inkubasi yang berbeda dalam meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik terhadap fermentasi pelepah daun kelapa sawit secara in vitro. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial 2 x 4 dan 3 kelompok. Perlakuan terdiri dari dosis 0,2% dan 0,4% dan lama innkubasi 0, 3, 6 dan 9 hari. Pelepah daun kelapa sawit fermentasi multi mikroba lokal (Aspergillus niger +

Saccharomyces cerevisiae + isolat bakteri kerbau.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dosis memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) akan tetapi lama fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan organik. Penggunaan beberapa mikroorganisme dengan dosis dan lama inkubasi yang berbeda dapat meningkatkan koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada pelepah daun kelapa sawit. Lama inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan organik. Dosis yang tertinggi terdapat pada dosis 0,4%.

(51)

ABSTRACT

Wike SUJANA, 2015. "Use of Local Microbial Multi with Different Dose and Duration Incubation of the dry matter and leaf sheaths Organic Materials Palm Oil In Vitro". Guided by MA'RUF TAFSIN and Nevy DIANA HANAFI.

This study aims to Assess the ability of microorganisms with dose and different incubation time in improving digestibility of dry matter and organic matter digestibility of the fermented palm leaf midrib in vitro. The design used in this study is a randomized block design (RAK) factorial 2 x 4 and 3 groups. The treatment consists of a dose of 0.2% and 0.4% and long innkubasi 0, 3, 6 and 9

days. Palm leaf midrib multi microbial fermentation of local (Aspergillus niger + Saccharomyces cerevisiae + bacteria buffalo.

Analysis of variance showed that the dose significant effect (P <0.05) but the fermentation time was not significant (P> 0.05) on the digestibility coefficients of dry matter and organic matter digestibility coefficients. The use of multiple microorganisms with dose and duration of incubation is different can increase dry matter digestibility coefficients (KCBK) and organic matter digestibility coefficients (KCBO) on a palm leaf midrib. Long incubation no significant effect on digestibility coefficient of dry matter and organic matter digestibility coefficients. The highest dose contained in a dose of 0.4

Keywords: Palm Leaf sheaths, local microbes, dose, duration of incubation, Rumen, digestibility, in vitro

(52)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 27 Mei 1993 dari Bapak Sugiono

dan Ibu Purwantini. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Binjai dan pada tahun yang

sama penulis masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui

jalur Undangan. Penulis memilih program studi peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Ikatan

Mahasiswa Peternakan (IMAPET) pada tahun 2013-2014 sebagai anggota

kewirausahaan. Selain itu penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa

Islam Peternakan (HIMMIP) 2013-2014 sebagai bendahara. Penulis melakukan

Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Loka Penelitian Kambing Potong (Lolit

Kambing) desa Sei Putih Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang dimulai

(53)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah

memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal yang berjudul “Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai

Dosis dan lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua atas doa, semangat

dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan selama ini. Penulis

juga menyampaikan terima kasih kepada bapak Ma’ruf Tafsin selaku ketua komisi

pembimbing dan kepada ibu Nevy Diana Hanafi selaku anggota komisi

pembimbing yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Disamping itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua

civitas akademika di Program Studi Peternakan dan Fakultas Pertanian serta rekan

mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna

kesempurnaan skripsi ini, akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga

(54)

DAFTAR ISI

Kegunaan Penelitian... 3

Hipotesa Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pelepah Daun Kepala Sawit ... 4

Fermentasi ... 6

Aspergillus niger Saccharomyces cerevisiae ... 9

... 8

Bakteri Rumen ...` 10

Inkubasi dan Dosis ... 11

Sistem Pencernaan Ruminansia ... 12

Kecernaan ... 13

Kecernaan Bahan Kering ... 14

Kecernaan Bahan Organik ... 15

Teknik In Vitro ... 15

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 18

Bahan ... 18

Alat ... 18

(55)

Pengukuran Bahan Kering ... 20

Pengukuran Bahan Organik ... 21

Kecernaan In Vitro ... 21

Peubah yang Diamati

Kecernaan Bahan Kering (KCBK) ... 22

Kecernaan Bahan Kering (KCBO) ... 23

Analisis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ... 24

Pembahasan ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

(56)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Kandungan gizi pelepah daun kelapa sawit ... 5

2. Rataan lama inkubasi dan dosis yang berbeda terhadap koefisien

cena bahan kering (KCBK) ... 24

3. Rataan lama inkubasi dan dosis yang berbeda terhadap koefisien

Gambar

Tabel ANOVA
Tabel ANOVA
Tabel 3. Rataan lama inkubasi dan dosis yang berbeda terhadap koefisien cerna  bahan organik
Tabel 1. Kandugan gizi pelepah daun kelapa sawit

Referensi

Dokumen terkait

Karena melihat tukang sihir tersebut telah beriman kepada Nabi Musa a.s., demikian juga istrinya, Siti Asiyah, maka Fir’aun bertambah marah dan ganas. Bersama bala

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam mengembangkan usaha bonsai serut serta menentukan strategi pengembangan

Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa penelitian terdahulu bahwa norma subyektif dan kepercayaan memiliki pengaruh poitif terhadap sikap pekerja, sedangkan dalam penelitian

shaping adalah prosedur sistematis pemberian pengukuhan yang berbeda-beda ( differensial reinforcement) terhadap suatu anggota kelas respons perilaku. Berdasarkan observasi

Berdasarkan definisi tersebut, laboratorium adalah suatu tempat yang digunakan untuk melakukan percobaan maupun pelatihan yang berhubungan dengan ilmu fisika, biologi, dan

Berikut adalah daft ar sekolah peserta Penerimaan Sisw a Baru untuk PSB Online di PROPI NSI DKI JAKARTA t ahun ajaran 2010/ 2011.. N AM A SEKOLAH ALAM AT N O.T ELP KOM PET EN SI

Terlihat dari analisis karakteristik akuifer tiap formasi pada sub-bab sebelumnya bahwa Formasi Kebobutak khususnya di wilayah datarannya memiliki nilai

(pengargaan dan hukuman), Pemberian nasehat, dan Melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun faktor pendukung dan penghambatdalam proses pembinaan mental keagamaan santri Pondok