• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taksonomi Tanaman Sukun

Sukun (A. Communis) adalahtumbuhan dari genus Artocarpus dalam famili moraceae yang banyak terdapat di kawasan tropika seperti Malaysia dan Indonesia. Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan, klasifikasiTaksonomi tanaman sukun (A. communis) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Urticales

Famili

Genus

Spesies : Artocarpus communis Forst Nama Umum : Sukun

Nama daerah

Sumatera : Sukun (Aceh), Hatopul (Batak), dan Amu (Meteyu) Jawa : Sukun (Jawa), Sakon (Madura)

Bali : Sukun (Bali) Nusa Tenggara : Sukun (bali) (Rauf, 2009).

Botani Tanaman Sukun

Tanaman sukun merupakan tanaman multiguna, dimana: buah dapat digunakan sebagai bahan makanan, bunga digunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan; daun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan perkakas rumah tangga. Sampai saat ini, pengembangan dan pemanfaatan tanaman sukun masih terbatas, belum dibudidayakan secara intensif, buahnya masih diolah dalam skala industri rumah tangga dan dipasarkan untuk memenuhi permintaan lokal. Budidaya Tanaman sukun belum secara intensif, masih sebagai tanaman pekarangan, sehingga memunculkan permasalahan terkait pengembangan tanaman Sukun, antara lain: (1). Perusahaan pengolah buah sukun masih dalam betuk home industri. (2). Ketersedian bahan baku masih terbatas, karena produksi buah sukun masih tergantung pada musim. (3). Terbatasnya akses permodalan. (4). Minat Petani untuk membudidayakan tanaman sukun masih rendah. (5). Belum adanya kepastian pasar (Dephut, 2005).

Pohon sukun bertajuk rimbun dengan percabangan melebar kesamping dan tingginya dapat mencapai 10-20 meter, kulit batangnya hijau kecoklatan (Departemen Kehutanan, 1995). Pohon sukun membentuk percabangan sejak ketinggian 1,5 meter dari tanah. Tekstur kulitnya sedang. Pohon sukun yang dipangkas akan cepat membentuk cabang kembali (Pitojo, 1999).

Tanaman sukun merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 m. Kulit kayunya berserat kasar, dan semua bagian tanaman bergetah encer. Daunnya lebar, bercagap menjari dan berbulu kasar. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting, tetapi masih dalam satu pohon (berumah satu). Bunga jantan berbentuk tongkat panjang yang biasa disebut ontel. Bunga betina

berbentuk bulat bertangkai pendek yang biasa disebut babal seperti pada nangka.Bunga betina ini merupakan bunga majemuk sinkarpik. Kulit buah bertonjolan rata sehingga tidak jelas yang merupakan bekas putik dari bunga sinkarpik tersebut (Sunarjono, 1999). Kayu sukun tidak terlalu keras tapi kuat, elastis dan tahan rayap (Irwanto, 2006).

Tanaman sukun memiliki banyak kegunaan, antara lain buah sukun yang merupakan hasil utama dimanfaatkan sebagai bahan makanan, diolah menjadi berbagai macam makanan, misalnya getuk sukun, klepon sukun, stik sukun, keripik sukun dan sebagainya. Batang pohon (kayu) sukun dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun dibuat papan kayu yang kemudian dikilapkan (Dephut, 1998).

Daunnya banyak dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai gangguan kesehatan, selain dapat menurunkan kadar kolestrol darah, ada pula yang memanfaatkannya sebagai obat ginjal. Daun sukun diyakini mengandung beberapa zat berkhasiat seperti asam hidrosianat, asetilleolin, tannin, dan riboflavin. Zat-zat ini ini juga mampu mengatasi peradangan. Getahnya dapat diolah untuk bahan campuran dalam pembuatan bejana tidak tembus air. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian telah merintis pengembangan sukun sejak 2002. Sejak saat itu pula produksi sukun di indonesia terus meningkat dari 62.432 ton pada 2003 menjadi 66.994 pada 2004, dan pada tahun 2005 menjadi 73.637 ton. Sentra produksi sukun terbesar adalah produksi terbesar adalah Jawa Barat dengan produksi 14.262 ton dan Jawa Tengah dengan produksi 13.063 ton (Supriati, 2010).

Tabel 1. Tanaman sukun yang menghasilkan, luas panen, hasil per hektar, produktivitas, dan produksi

Propinsi Tanaman menghasilkan (pohon) Luas panen (ha) Hasil per hektar (ton) Hasil per pohon (kg) Produksi (ton) Sumatera 176.050 1761 0.92 91.62 16.130 Jawa 669.754 6.697 1.18 117.47 78.678

Bali dan Nusatenggara 38.832 388 0.66 66.39 2.578

Kalimantan 74.800 748 1.01 100.83 7.542

Sulawesi 133.315 1.332 0.54 54.16 7.221

Maluku dan Papua 25.602 255 0.64 63.63 1.629

Pulau lain 448.599 4.484 0.78 78.24 35.100

Indonesia 1.118.353 11.181 1.02 101.74 113.778

Sumber : Supriati (2010)

Kandungan karbohidrat dari 100 gram sukun sama dengan 1/3 karbohidrat beras (tabel 1). Apabila buah sukun tersebut diolah menjadi tepung sukun maka kandungan karbohitratnya menjadi setara dengan beras, hanya jumlah kalorinya yang sedikit lebih rendah, dibandigkan dengan dengan jenis pangan lainnya seperti jagung, ubikayu, dan kentang., maka posisi sukun sebgai sumber karbohitrat masih diatas ketiga kominitas tersebut (Supriati, 2010).

Tabel 2. Perbandingan komposisi kandungan gizi sukun (per 100 g) dengan beberapa bahan pangan lainnya.

Jenis Bahan Pangan Energi (Kal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)

Tepung sukun dari tua 302 78.9 3.6 0.8

Buah sukun tua 108 28.2 1.3 0.3

Beras 360 78.9 6.8 0.7 Jagung 129 30.3 4.1 1.3 Ubi kayu 146 34.7 1.2 0.3 Ubi jalar 123 27.9 1.8 0.7 Kentang 83 19.1 2 0.1 Sumber : Supriati (2010)

Tanaman sukun berbuah dua kali dalam satu tahun, dimana musim panen pertama umumnya pada bulan Januari dan Februari yang produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan panen musim kedua pada bulan Agustus dan September. Jika produksi optimal tanaman sukun pada musim panen pertama berkisar antara

600-700 buah dan pada musim panen kedua diasumsikan 50% atau 300 buah, maka satu tanaman sukunn dapat menghasilkan 600 buah + 300 buah = 900 buah pertahun. Faktor geografis,agroekosistem, dan potensi lahan merupakan factor yang mempengaruhi tingkat produksi sukun. Jika dalam estimasi potensi sukun ini dugunakan nilai koreksi antaragroekosisitem sebesar 30%, maka produksi buah sukun per tanamanam rata-rata 600 buah. Dengan asumsi bobot rata-rata sebuah sukun 600 gram (Syah dan Nazarudin, 1994), dan rendemen buah menjadi tepung adalah 30% (Noviarso, 2003) maka satu tanaman sukun dapat menghasilkan 600 buah x bobot per buah persetase kadar tepung per buah = 600 buah x 600 gram x 30% = 108.000 gram tepung sukun per tanaman atau 108 kg tepung sukun per tanaman.

Buah sukun umumnya dikonsumsi dalam keadaan matang (fully mature), tetapi karena respirasinya demikian cepat maka dalam selang beberapa hari saja buah sukun segera membusuk sehingga tidak dapat dimakan. Proses respirasi dan pematangan buah sukun dapat dihambat dengan menyimpannya pada suhu dingin, tetapi proses pematangannya menjadi tidak normal (Thomson et al. 1974 dalam Sukmaningrum, 1990).

Secara sederhana petani di Cilacap menepungkan buah sukun dengan cara memarut, menjemur, dan kemudian menggilingnya. Tepung yang diperoleh masih berwarna kekuningan. Warna tepung dapat dibuat lebih putih sehingga mendekati tepung terigu, dengan cara merendam daging buah segar yang telah dikupas dalam larutan bisulfit 1000 bpj selama 5 menit. Beberapa produk makanan berbahan baku tepung sukun adalah cake, putri salju, kue pukis, nogosari, kroket sukun, dan mie (Sutardi dan Darmadji, 1990).

Selain praktis untuk dikonsumsi, mie juga dapat dapat dibuat dari aneka ragam pangan olahan sehingga tidak mengherankan kalau mie menjadi pangan favorit di kalangan generasi muda. Mie sukun dibuat dari bahan baku tepung komposit sukun dengan terigu dan bahan tambahan yang lain seperti telur, garam, dan soda kue. Komposisi tepung terigu biasanya 70% dan tepung sukun 30%. Tepung terigu masih diperlukan dalam jumlah banyak karena kandungan glutennya tinggi. Gluten berperan dalam membentuk struktur mie agar tidak mudah patah secara umum, berikut disajikan proses pembuatan mie:

pencampuran, pencetakan, perebusan, perendaman, penerisan (Kartono et al, 2014)

Tempat Tumbuh

Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada berbagai jenis tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian ±600 m dari permukaan laut.Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara 80-100 inchi per tahun dengan kelembaban 60-80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari.Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab, panas, dengan temperatur antara 15-38°C.Tanaman sukun ditanam di tanah yang subur, dalam dan drainase yang baik, tetapi beberapa varietas tanpa biji dapat tumbuh baik di tanah berpasir (Tridjaja, 2003).

Iklim mikro yang baik untuk pertumbuhan tanaman sukun adalah pada lahan terbuka dan banyak menerima sinar matahari, sebagai indikator adalah apabila tanaman keluwih bisa tumbuh dengan baik maka sukun juga bisa tumbuh asal daerahnya tidak berkabut. Sukun dapat tumbuh pada semua jenis tanah

(tanah podsolik merah kuning, tanah berkapur, tanah berpasir), namun akan lebih baik bila ditanam pada tanah gembur yang bersolum dalam, berhumus dan tersedia air tanah yang dangkal dengan pH 5-7. Tanaman sukun tidak baik dikembangkan pada tanah yang memiliki kadar garam tinggi (Alrasjid, 1993). Media Tanam Tumbuhan

Tanah yang digunakan sebagai media pembibitan harus memiliki kesuburan yang baik, tidak berkerikil, memiliki aerasi yang baik, tidak terlalu mengandung liat, sumber air cukup tersedia dan berkualitas baik. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam memproduksi media bibit adalah sifat medianya. Media yang memiliki sifat fisik baik memiliki struktur remah, daya serap dan daya simpan air baik serta kapasitas udaranya cukup (Khaerudin, 1999).

Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan standar untuk jenis tanaman yang berbeda habitat asalnya merupakan hal yang sulit. Hal ini disebabkan setiap daerah memiliki kelembaban dan kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembaban daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara. Jenis media tanam yang digunakan pada setiap daerah tidak selalu sama (Khaerudin, 1999).

Kelapa merupakan salah satu komuditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan salah satu Negara didunia yang memiliki potensi agroindustri kelapa yang cukup besar, tetapi belum dapat dimanfaatkan dengan

maksimal. Luas areal kebun kelapa di indonesia adalah yang terbesar di dunia, yaitu 3,76 juta hektar (Setiadi, 2001).

Sabut kelapa segar mengandung tanin 3,12%. Senyawa tanin dapat mengikat enzim yang dihasilkan oleh mikroba sehingga mikroba menjadi tidak aktif. Serbuk sabut kelapa ini juga telah dikembangkan untuk pembuatan briket serbuk sabut kelapa yang digunakan sebagai bahan penyimpan air pada lahan pertanian. Berdasarkan sifat penyerapan air dan oli yang tinggi ini memungkinkan pemanfaatan produk papan partikel yang terbuat dari serbuk sabut kelapa ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap air atau oli. Disamping itu dapat digunakan sebagai pengganti papan busa (stiroform)sebagai bahan pembungkus anti pecah yang ramah lingkungan karena bahan ini kemungkinan besar dapat terdekomposisi secara alami(Subiyanto et al., 2003).

Pengolahan sabut kelapa menghasilkan serat sabut dan serbuk kelapa. Pemanfaatan keduanya sangat banyak. Seperti seratnya dapat dimanfaatkan untuk aneka kerajinan rumah tangga seperti sapu, keset, dan untuk bahan jok mobil, untuk reklamasi seperti cocomesh, untuk membantu kesuburan tanah seperti

cocopeat dan lain-lain. Penggunaan dan permintaan sabut kelapamengalami

peningkatan pasar yang digunakan sebagai media tanam. Cocopeat adalah tempat untuk tanaman yang dibuat dari serabut kelapa sama halnya dengan pot-pot tanaman lainnya tetapi kalau pot tanaman lainnya ada yang terbuat dari plastik, semen, tanah liat dan sebagainya(Mashuri, 2009).

Penggunaan cocopeat (sabut kelapa) sebagai media tanam sangat baik diaplikasikan pada tanah gersang atau lahan kritis. Lahan kritis seperti bekas galian tambang sangat cocok ditanami cocopeat. Sifat cocopeat biodegrable

(mudah terurai) akan membantu kesuburan tanah, menambah unsur hara, sehingga penggunaannya akan menumbuhkan tumbuhan baru di area yang di tanmani

cocopeat. Cocopeat sangat berguna untuk mencegah kerusakan pada tanaman,

adapun kegunanan lain dari cocopeat antara lain : (1). Memproteksi akar didalam permukaan lapisan tanah, (2). Keseimbangan suhu kebasahan konstan pada tanah, (3). Proteksi ekolagi dari hama, (4). 100% dapat didaur ulang dan mempermudah proses pemindahan tanaman, (5). Hemat didalam penggunaan konsimsi air untuk tanaman (Mashuri, 2009).

Pemanfaatan sabut kelapa sebagai cocopeat yaitu sabut kelapa yang diolah menjadi butiran-butiran gabus sabut kelapa. Cocopeat dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut, cocopeat dapat digunakan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan tanaman Holtikultura dan media tanaman rumah kaca. Secara umum, derajat keasaman media cocopeat adalah 5,8 – 6. Pada kondisi itu tanaman optimal menyerap unsure hara. Drajat keasaman ideal yang diperlukan tanaman 5,5- 6,5. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gasas, arang, tannin, dan potasium (Rindengan et al dalam Sittadewi, 2011).

Menurut Mashud et al, (1993), sabut mengandung mineral cukup tinggi yang terdiri dari N (1,25 %), P (0,18 %), K (3,05 %), CaO (0,97 %) dan MgO (0,58 %). Proporsi sabut adalah sekitar 33% dari buah kelapa utuh.

Sabut kelapa mangandung unsur-unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Unsur-unsur makro tersebut merupakan komponen utama sabut kelapa. Herath (1993), melakukan penelitian terhadap komponen utama sabut kelapa, seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Komponen Utama Sabut Kelapa

Unsur Total (ppm)

Total Nitrogen (Kjeldahl) 5238

Nitrogen dalam bentuk N-NH 96

Nitrogen dalam bentuk N-NO 45

Fosfor (P) 330

Kalium (K) 9787

Kalsium (Ca) 2521

Magnesium (Mg) 2006

Sumber : herath (1993).

Banzon dan Velasco (1982), menyatakan bahwa sabut kelapa banyak mengandung unsur hara, dengan K dan Cl merupakan unsure dominan. Sifat fisik sabut kelapa antara lain memiliki porositas 95% dan densitas kamba atau bulk

density ± 0,25 gram/ml (Manzeen dan Van Holm, 1993).

Salah satu kekurangan dari cocopeat adalah banyak mengandung zat tannin. Zat tannin diketahui merupakan zat yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Untuk menghilangkan zat tannin yang berlebihan maka dapat dilakukan dengan cara merendam cocopeat di dalam air bersih. Proses perendaman yang kurang sempurna dapat menyebabkan zat tannin belum hilang seluruhnya, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan pada tanaman (Irawan dan Hidayah, 2014)

Kandungan Air Tanah

Kandungan air didalam tanah merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan keberhasilan pertumbuhan dan produksi tanaman.Kandungan air didalam tanah sangat dipengaruhi oleh iklim, curah hujan dan dipengaruhi oleh sifat tanah seperti tekstur dan struktur tanah.Persentase kandungan air tanah berbeda dengan berbedanya sifat tekstur tanah.

Air tersedia bagi pertumbuhan tanaman merupakan air yang terikatantara kelembapan kapasitas lapang dan pada kelembapan titik layu permanen.Air harus

cukup tersedia di dalam tanahguna dapat melarutkan pupukyang diberikan, karena tanaman hanya dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terlarut didalam larutan tanah.Air tanah sangat berperan dalam hal mekanisme pergerakan hara keakar tanama. Perkembangan akar tanaman sangat dirangsang oleh kondisi tanah yang lembab, sehingga kesempatan dari akar untuk lebih dekat dengan unsur hara yang berasal daripupuk akan lebih besar. Demikian juga dengan aliran massauntuk keperluan transpirasi diperlukan air tanah dan pada waktu bersamaan juga akan mengangkut unsur-unsur hara ke akar dari daerah yang jauh dari jangkauan akar (Damanik et al., 2010).

Air sangat berfungsi bagi pertumbuhan tanaman, khususnya air tanah yang digunakan oleh tumbuhan sebagai bahan melalui proses fotosintesis. Air diserap tanaman melalui akar bersama dengan unsur hara yang larut di dalamnya, kemudian diangkut melalui pembuluh Xylem (Lakitan, 1993).

Sel tanaman yang telah kehilangan air dan berada pada tekanan turgor yang lebih rendah daripada nilai maksimumnya, disebut menderita stress air. Hal ini merupakan suatu istilah yang menyesatkan karena stress mempunyai defenisi yang tepat dalam mekanika dan dapat dengan mudah diukur. Stress air adalah suatu istilah yang sangat tidak tepat, yang menunjukkan bahwa kandungan air sel telah turun dibawah nilai optimum, menyebabkan suatu tingkat gangguan metabolisme (Fitter, 1981).

Karakteristik Lokasi

Secara geografis kawasan Danau Toba terletakdi pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara pada titik koordinat 2021’ 32” – 20 56’ 28” Lintang Utara dan 980 26’ 35” – 990 15’ 40” Bujur Timur. Permukaan danau

berada pada ketinggian 903 meter dpl, dan Daerah Tangkapan Air (DTA) 1.981 mdpl. Luas Perairan Danau Toba yaitu 1.130 Km2 dengan kedalaman maksimal danau 529 meter. Total luas Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba lebih kurang 4.311,58 km2. Curah hujan tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba berkisar antara 1.700 sampai dengan 2.400 mm/tahun. Sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Nopember – Desember dengan curah hujan antara 190 – 320 mm/tahun dan puncak musim kemarau terjadi selama bulan juni – juli dengan curah hujan berkisar 54 – 151 mm/tahun (Kementerian Lingkunagn Hidup, 2011).

Danau Toba terbentuk sebagai akibat terjadinya runtuhan (depresi) tektonik vulkanis yang dasysat pada zaman Pleiopleistosen dengan luas 1100 km2. Ketinggian permukaan air Danau Toba yang pernah diamati dan dicatat adalah sekitar ± 906 meter dpl (diatas permukaan laut). Kedalaman air Danau Toba berkisar 400 – 600 meter dan terdapat di depan teluk Haranggaol (± 460 meter). Jenis tanah yang terdapat disekeliling Danau Toba mempunyai sifat kepekaan terhadap erosi yang cukup tinggi. Hal ini dapat kita lihat banyaknya bagian yang terkena longsor dan adanya singkapan batuan sesi (PPT Bogor, 1990).

Berdasarkan struktur vegetasinya, penutupan lahan dikawasan Danau Toba terdiri atas hutan yang didominasi oleh pohon, semak/belukar yang didonimasi oleh perdu, padang rumput yang didominasi oleh herba dan rumput, serta lahan tak bervetasi. Dari segi kerapatannya hutan dikawasan Danau Toba dapat dikelompokkan menjadi hutan berpohon rapat dan hutan berpohon jarang. Wilayah danau toba didominasi oleh kelas kemiringan lereng landai (3% - 8%) dengan luas area 30% dari seluruh luas DTA Toba, kelas kemiringan kedua

ditempati oleh kelas agak miring (8 – 15%) yang mencapai 20,5% dan daerah dengan kemiringan sangat curam hamper dijumpai di sekeliling danau yang mencapai 4,5% dari luas DTA.tutupan lahan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas perairan danau. Pola penggunaan lahan dapat menimbulkan kerusakan/pencemaran lingkungan apabila dipergunakan melampui batas. Komposisi tutupan lahan diDTA danau toba berupa lahan hutan hanya mencapai 23%, dan untuk aktivitas budidaya sekitar 48,6% dari luas DTA, yang sebagian besar merupakan pertanian lahan kering (27,6%) dan bagian lain berupa lahan terbuka (20,6%) (BP DAS Barumun, Dapertemen Kehutanan, 2009; tidak diterbitkan).

Tebel 4. Kelas Lereng di DTA Danau Toba No. Kelas Lereng Luas (Ha) (%) 1 0 - 8 21.268 8,19 2 9 - 15 44.725 25,43 3 16 - 25 69.121 26,63 4 25 - 40 24.396 9,39 5 > 40 100.084 38,55

Sumber : LPPM USU-Bappeda Sumut, (2000) dalam Kuswara (2007)

Dengan melihat perkembangan dikawasan DTA Danau Toba yang salahsatunya dicirikan dengan tingkatpertumbuhan penduduk yang terusmeningkat sebagai akibat meningkatnyaaktivitas di kawasan ini, maka tingkatfluktuasi debit air dan erosi dapatmenjadi semakin tinggi juga. Hal inidisebabkan semakin meningkatnya luaslahan yang dijadikan kawasan budidaya,sehingga kondisi penutupan lahan yangdapat menyerap air hujan menjadisemakin berkurang. Kondisi ini didukungoleh data penutupan lahan di kawasanDTA Danau Toba selama kurun waktu 12tahun dari tahun 1985 – 1997 yangmengalami perubahan penutupan lahancukup signifikan. Perubahan itu

antaralain perubahan penutupan lahan darihutan menjadi penutupan non hutan.Dalam kurun waktu tersebut areal hutanseluas 31.895,83 ha berubah dari hutanmenjadi ladang, sawah, alang-alang,dan semak serta permukiman (Kuswara, 2007).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Danau Toba berada di daerah Sumatera Utara merupakan salah satu aset Negara/Pemda yang sangat berharga dan termasuk salah satu Daerah Tujuan Wisata peting setelah Bali dan Lombok/NTB sehingga merupakan kebanggaan tersendiri bagi daerah ini. Ditetapkannya Danau Toba sebagai salah satu daerah tujuan wisata, karena anggapan selama ini memiliki panorama alam yang indah. Sekarang ini keindahan Danau Toba sudah terusik sebagai akibat eksploitasi sumber daya alamnya, baik daerah perairan maupun daratan disekitarnya.

Saat ini DTA Danau Toba mengalami kerusakan lingkungan yang cukup besar terutama sebagai akibat dari berbagai aktivitas masyarakat sekitarnya DTA Danau Toba telah kehilangan lebih dari 16.000 ha kawasan hutan. Penyebab utamanya adalah konversi hutan secara illegal menjadi lahan pertanian. Degradasi lingkungan DTA Danau Toba tidak saja mengancam kelestarian Danau Toba tetapi juga kehidupan masyarakat, baik masyarakat sekitar Danau toba maupun seluruh Provinsi Sumatera Utara (Simangungsong, dkk, 2013).

Ekosistem hutan di sekitar Danau Toba (Sumatera Utara) telah mencapai tingkat mencemaskan. Penggundulan hutan di daerah tersebut, bukan hanya menghilangkan keindahan alam, tetapi juga mengakibatkan permukaan air Danau Toba tidak stabil dan cenderung menurun. Salah satu hal yang dilakukan untuk merehabilitasi lahan di sekitar Danau Toba adalah dengan menanam tanaman Sukun.

Tanaman sukun (Artocarpus communis) dapat tumbuh dengan baik sejak di dataran rendah hingga dataran tinggi. Tanaman sukun memiliki toleransi yang

cukup longgar terhadap rentang iklim. Sukun dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim basah maupun iklim kering. Tanaman sukun lebih suka tumbuh di tempat terbuka, dan mendapat sinar matahari penuh. Sukun juga memiliki toleransi terhadap ragam tanah. Sukun menghendaki tanah yang memiliki air tanah dangkal, dan tidak menghendaki tanah dengan kadar garam yang tinggi. Tanah dengan kadar humus yang tinggi akan lebih menjamin tingkat pertumbuhan dan produksi buahnya (Widyatama, 2009).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah air. Air merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan suatu tanaman. Selain dalam proses transpirasi dan fotosintesis, air juga berperan dalam penyerapan unsur hara yang diperlukan tanaman. Kebutuhan air oleh suatu tanaman umumnya selalu berbeda-beda, oleh karena itu banyak sedikitnya air yang diberikan dalam penyiraman sangat mempengaruhi kondisi dari pertumbuhan tanaman itu sendiri. Kekurangan air akan mengganggu aktifitas fisiologis maupun morfologis, sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Defisiensi air yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan irreversibel (tidak dapat balik) dan pada gilirannya tanaman akan mati (Daniel et al., 1987).

Dalam penelitian ini, yang ingin diketahui adalah mengenai ukuran bahan organik berupa sabut kelapa dengan ukuran yang tepat dapat menyimpan air dalam waktu yang lama dan mengurangi intensitas penyiraman selama proses pembibitan sukun. Sehingga diharapkan dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga selama proses pembibitan. Selain itu, pemberian bahan organik juga penting karena dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan menyediakan unsur hara bagi tanaman.

Untuk mengetahui ukuran sabut kelapa yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman Sukun maka dilakukan penelitian berjudul “Penggunaan Sabut Kelapa Sebagai Penahan Air Untuk Mendukung Pertumbuhan Tanaman Sukun (Artocarpus Communis Forst) Pada DTA Danau Toba, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh berbagai ukuran sabut kelapa sebagai media penahan air yang tepat untuk pertumbuhan bibit sukun (Artocarpus communis Forst) pada lahan.

Manfaat Penelitian

Dokumen terkait