Limbah Laboratorium
Limbah laboratorium pada dasarnya
merupakan limbah yang terbentuk dari
aktivitas laboratorium, seperti kegiatan
praktikum dan penelitian. Adanya bahan kimia di universitas dimulai dari pemberian bahan kimia yang diperlukan dari gudang kimia kepada pekerja atau mahasiswa yang
mengambil mata kuliah praktik atau
mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di laboratorium. Bahan tersebut digunakan untuk sintesis maupun analisis. Oleh karena tujuan penggunaannya, maka terbentuklah bahan awal, produk samping, pelarut yang
digunakan dan bahan kimia yang
terkontaminasi sehingga bahan tersebut harus diurai atau dibuang jika daur ulang tidak mungkin dilakukan (Jamhari 2009).
Limbah laboratorium tidak boleh dibuang secara langsung begitu saja ke badan air.
Beberapa tipe limbah berbahaya yang
dihasilkan tidak dapat dibuang dalam bentuk aslinya dan harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang. Penanganan yang sesuai
PENDAHULUAN
Laboratorium di perguruan tinggi
merupakan fasilitas penunjang untuk
mewujudkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Di laboratorium, para mahasiswa memperoleh pengalaman praktis guna memahami teori-teori yang dipelajari di bangku kuliah melalui kegiatan praktikum dan
pembuatan tugas, sedangkan dosen
memerlukan laboratorium untuk memperoleh data ilmiah. Kegiatan di laboratorium ini menggunakan bahan kimia yang tentunya menghasilkan sejumlah bahan buangan atau limbah. Sebagian limbah tersebut beberapa diantaranya bersifat pencemar dan bahkan tergolong limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang memerlukan penanganan khusus.
Kegiatan praktikum dan penelitian di laboratorium sering menggunakan bahan- bahan yang mengandung logam berat. Salah satunya ialah Analisis Kualitatif Terbatas:
Golongan Klorida dan Spot Test yang
mengukur keberadaan logam-logam seperti Hg, Pb, Ag, Cr, Fe, Mn, dan Ni secara kualitatif dalam suatu larutan contoh. Data pemakaian bahan kimia dan perkiraan konsentrasinya dalam limbah pada analisis tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Logam berat tergolong limbah B3 yang pada
kadar tertentu dapat membahayakan
lingkungan sekitarnya karena bersifat toksik bagi hewan dan manusia (La Grega 2001).
Tempat penampungan limbah logam berat pun perlu mendapat perhatian. Berdasarkan pengamatan di laboratorium, limbah analisis
spot test yang disimpan selama kurang lebih 2
tahun dalam botol polipropilena
mengakibatkan warna dinding botol menjadi
hitam. Beberapa senyawa diduga
mengakibatkan perubahan warna tersebut dan perlu dianalisis lebih lanjut. Di samping itu,
lamanya penyimpanan limbah tersebut
sebelum dimanfaatkan sudah menyimpang dari Peraturan Pemerintah No. 18/1999 yang membatasi paling lama 90 hari.
Salah satu cara menanggulangi
pencemaran logam berat yang bisa diterapkan dalam pengolahan limbah laboratorium ialah
metode koagulasi. Metode koagulasi
merupakan proses absorpsi oleh koagulan terhadap partikel koloid yang menyebabkan destabilisasi pertikel. Ada beberapa jenis koagulan di antaranya adalah polialuminium
klorida (PAC) yang digunakan untuk
mengendapkan logam berat. Koagulan PAC mempunyai kelebihan, yaitu PAC lebih cepat
membentuk flok daripada koagulan biasa. Hal ini disebabkan adanya gugus aktif aluminat yang bekerja efektif dalam mengikat koloid yang ikatan ini diperkuat dengan rantai polimer dari gugus polielektrolit sehingga
gumpalan floknya menjadi lebih padat (Gao et
al. 2005). Karamah et al (2008)
mengungkapkan bahwa peningkatan dosis koagulan PAC dapat meningkatkan persen pemisahan logam berat besi, tembaga, dan nikel dari limbah serta dapat menurunkan nilai kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air limbah.
Setiap koagulan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kondisi optimum koagulasi dengan koagulan tertentu perlu diketahui. Ada dua parameter utama yang memengaruhi proses koagulasi, yaitu konsentrasi koagulan dan pH koagulasi. Oleh karena itu, variasi kedua parameter tersebut dapat dilakukan untuk mencari kondisi optimum koagulasi. Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi optimum kerja koagulan PAC pada limbah cair praktikum analisis
kualitatif logam berat (spot test) serta
mengidentifikasi unsur-unsur yang terdapat
pada botol kemasan polipropilena (PP) yang
digunakan untuk menampung limbah.
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Laboratorium
Limbah laboratorium pada dasarnya
merupakan limbah yang terbentuk dari
aktivitas laboratorium, seperti kegiatan
praktikum dan penelitian. Adanya bahan kimia di universitas dimulai dari pemberian bahan kimia yang diperlukan dari gudang kimia kepada pekerja atau mahasiswa yang
mengambil mata kuliah praktik atau
mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di laboratorium. Bahan tersebut digunakan untuk sintesis maupun analisis. Oleh karena tujuan penggunaannya, maka terbentuklah bahan awal, produk samping, pelarut yang
digunakan dan bahan kimia yang
terkontaminasi sehingga bahan tersebut harus diurai atau dibuang jika daur ulang tidak mungkin dilakukan (Jamhari 2009).
Limbah laboratorium tidak boleh dibuang secara langsung begitu saja ke badan air.
Beberapa tipe limbah berbahaya yang
dihasilkan tidak dapat dibuang dalam bentuk aslinya dan harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang. Penanganan yang sesuai
dapat membantu mengurangi atau menghilangkan sifat racunnya. Keuntungan dari penghilangan sifat racun juga mengurangi resiko kontaminasi pada pekerja laboratorium atau mahasiswa yang melakukan kegiatan di laboratorium (Jamhari 2009). Limbah yang dibuang sembarangan jika masuk ke badan air tanah dan mengalir ke pemukiman penduduk akan menimbulkan bahaya, terutama logam- logam berat. Jika tidak ditangani dengan dengan baik dapat membahayakan makhluk hidup dan merusak lingkungan (Saputra 2008).
Secara umum diketahui bahwa limbah dari
laboratorium umumnya bersifat sangat
beragam dibandingkan dengan limbah dari
sumber lainnya. Beberapa limbah
laboratorium itu berpotensi mengandung bahan dengan kategori B3 (Bahan Berbahaya Beracun) yang memerlukan penanganan secara khusus. Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi atau kombinasinya. Sebelum diolah, limbah B3 terlebih dahulu harus dianalisis parameter fisika, kimia dan/atau biologinya sebagai dasar untuk menentukan proses pengolahan limbah yang tepat, yang dapat memenuhi ketetapan baku mutu pembuangan dan/atau lingkungan. Terdapat beberapa alternatif teknologi proses pengolahan limbah B3 secara kimia, di antaranya netralisasi, presipitasi,
koagulasi-flokulasi, oksidasi, inaktivasi,
stabilisasi, dan insinerasi (Departemen Kimia 2007).
Logam Berat
Logam berat merupakan unsur-unsur logam yang memiliki densitas lebih besar dari 5 mg/l. Unsur-unsur ini terletak di bagian tengah dari daftar periodik. Logam-logam tersebut meliputi Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Fe, dan Hg. Diantara logam tersebut
merupakan unsur renik esensial bagi
pertumbuhan tanaman, hewan, dan manusia karena logam tersebut dibutuhkan hanya sedikit sekali untuk pertumbuhan dan bila kadarnya berlebih maka logam-logam tersebut bersifat racun. Oleh karena itu perlu adanya kontrol terhadap logam-logam berat dalam lingkungan (Departemen Kimia 2007).
Menurut Widowati et al. (2008), logam
berat bersifat toksik karena tidak bisa dihancurkan oleh organisme hidup yang ada
di lingkungan. Logam-logam tersebut
terakumulasi ke lingkungan, terutama
mengendap di dasar perairan dan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik
dan anorganik. Lebih lanjut dijelaskan urutan toksisitas logam berat terhadap hewan air dari yang paling toksik, yaitu merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co). Sedangkan urutan toksisitas logam terhadap manusia yaitu Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn. Berikut adalah logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan, antara lain:
1. Timbal (Pb)
Timbal merupakan jenis logam lunak yang berwarna coklat kehitaman serta mudah dimurnikan dalam proses pertambangan. Dalam pertambangan, logam ini berbentuk sulfida logam (PbS) yang sering disebut galena. Penggunaan paling banyak adalah bahan pada produksi baterai pada kendaraan bermotor (Darmono, 1995). Kebanyakan garam timbal hanya larut sebagian dalam air
dan beberapa diantaranya misalnya PbSO4
atau PbCrO4 tidak larut (Cotton FA &
Wilkinson G 1989). Timbal dapat diendapkan
sebagai Pb(OH)2 pada pH 10 dengan sisa
kadar timbal di bawah 0,05 mg/l (Teng 2000).
2. Kromium (Cr)
Kromium merupakan unsur yang terdapat melimpah di alam dengan berbagai bentuk oksida, yaitu Cr (0), Cr (III), Cr (IV), atau Cr (VI). Kromium merupakan logam yang tahan
korosi, dan mudah larut dalam HCl, H2SO4,
dan HClO4 tetapi menjadi pasif oleh HNO3
(Cotton FA & Wilkinson G 1989).
Pengolahan limbah yang mengandung
kromium terdiri dari 2 tahap yaitu mengubah Cr (VI) menjadi bentuk Cr (III) dan tahap
kedua Cr (III) diendapkan dengan
menggunakan kapur atau kaustik sampai pada pH kelarutan minimum Cr (III) yang berada pada rentang pH 7-8 (Teng 2000).
3. Nikel (Ni)
Nikel berwarna putih keperak-perakan dengan pemolesan tingkat tinggi. Bersifat keras, mudah ditempa, sedikit ferromagnetis, dan merupakan konduktor yang agak baik terhadap panas dan listrik. Nikel tergolong
dalam grup logam besi-kobal, yang dapat
menghasilkan alloy yang sangat berharga. Nikel merupakan logam yang mudah larut dalam asam mineral encer (Cotton FA & Wilkinson G 1989). Nikel dalam bentuk nikel hidroksida tak larut dengan penambahan kapur akan memberikan hasil kelarutan maksimum sebesar 0,01 mg/l pada pH 9-10 (Teng 2000).
Warna
Warna merupakan parameter yang penting untuk diukur dalam pengolahan air limbah. Warna yang timbul dalam perairan dapat disebabkan oleh bahan organik, alga atau mikroorganisme lainnya. Air yang berwarna dapat mengganggu keindahan dan dapat bersifat racun. Genangan air yang berwarna banyak menyerap oksigen dalam air, sehingga meningkatkan nilai COD dan dalam waktu lama akan membuat air berwarna hitam dan berbau (Sugiharto 2006).
Derajat Keasaman (pH)
Nilai derajat keasaman (pH) dapat
didefinisikan sebagai ukuran dari aktivitas ion
hidrogen (H+) yang menunjukkan suasana
asam atau basa. Penentuan pH harus seketika setelah sampel diambil dan sampel tidak dapat diawetkan karena nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat- zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil (Saeni 1989).
Pengaturan pH merupakan hal yang penting dalam proses pengolahan limbah
logam berat secara kimiawi melalui
pengendapan. Hal ini karena proses koagulasi- flokulasi terjadi pada pH tertentu tergantung
dari bahan koagulan yang digunakan.
Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penambahan asam atau basa (Teng 2000).
Koagulasi
Prinsip pengendapan polutan berupa
partikel koloid adalah berdasarkan proses koagulasi dan flokulasi. Koagulasi adalah proses adsorpsi oleh koagulan terhadap
partikel-partikel koloid sehingga
menyebabkan destabilisasi partikel. Proses ini biasa disebut juga proses netralisasi partikel.
Setiap koagulan memiliki kondisi
optimumnya masing-masing dalam
mengendapkan polutan dalam limbah cair.
Proses koagulasi dilakukan dengan
pengadukan. Setelah selesai dengan proses koagulasi, proses dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu flokulasi. Pada proses flokulasi terjadi penggabungan partikel yang tidak stabil sehingga membentuk flok yang lebih besar dan lebih cepat dapat dipisahkan (Teng 2000).
Mekanisme pengendapan dengan koagulan pada partikel koloid, berkaitan dengan muatan listrik pada partikel koloid tersebut. Partikel koloid memiliki muatan yang sama satu sama
lain. Akibatnya partikel koloid saling tolak menolak satu sama lain dan pembentukan partikel yang lebih besar menjadi terhalang. Koagulan yang mengandung muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid akan mengadsorpsi koloid tersebut pada permukaannya dan menurunkan gaya tolak menolak antara koloid sehingga partikel tidak terhalang lagi untuk berkoagulasi, membentuk
partikel yang lebih besar dan dapat
mengendap (Aminzadeh et al. 2007).
Polialuminium Klorida (PAC)
Salah satu koagulan polimer utama adalah polialuminium klorida yang digunakan secara luas pada pengolahan air dan air limbah. Penggunaan PAC dimulai lebih dari 30 tahun yang lalu dan hingga sekarang penggunaannya
semakin berkembang. (Li et al. 2010). PAC
dengan rumus kimia Al13(OH)20(SO4)2Cl15
terbuat dari hidrolisis parsial asam alumunium klorida menggunakan reaktor yang spesifik
(Gao et al. 2005). PAC efektif bekerja pada
rentang pH yang cukup luas yaitu pH 6
sampai dengan 9 (Karamah et al. 2008).
Beberapa keunggulan PAC dalam proses
koagulasi adalah sangat baik untuk
menghilangkan kekeruhan dan warna,
memadatkan dan menghentikan penguraian flok, membutuhkan kebasaan rendah untuk hidrolisisnya, serta sedikit mempengaruhi pH. Keunggulan PAC lainnya, yaitu tidak menjadi
keruh bila pemakaiannya berlebihan,
sedangkan koagulan lain (seperti aluminium sulfat, besi klorida, dan ferro sulfat) bila dosis berlebihan bagi air yang kekeruhannya rendah maka akan bertambah keruh akibat dari flok yang berlebihan (Dempsey 1998).