• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pupuk dan Pemupukan

1. Pupuk

Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun non-organik (mineral). Pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik maupun anorganik, apabila ditambahkan kedalam tanah atau tanaman maka dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Madjid, et al., 2011).

2. Pemupukan

Pemupukan merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh untuk memperbaiki keadaan tanah, baik dengan pupuk buatan (anorganik), maupun dengan pupu organik (seperti pupuk kandang pupuk kompos). Terdapat dua kelompok pupuk anorganik berdsarkan jenis hara yang dikandungnya, yaitu pupuk tunggal dan pupuk mejemuk. Ke dalam kelompok pupuk tunggal terdapat tiga macam pupuk yang dikenal dan banyak beredar di pasaran, yaitu pupuk yang berisi hara utama nitrogen (N), hara utama posfor (P), dan hara utama kalium (K) (Lingga dan Marsono, 2008)

Pupuk Organik

Pupuk organik disebut juga pupuk alam karena seluruh atau sebagian besar pupuk ini berasal dari alam. Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga, dan batu-batuan merupakan bahan dasar pupuk organic ada pupuk organic yang

masih benar-benar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi ada sedikit pula pupuk organic yang telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam bentuk, rupa, dan warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya (Marsono dan Sigit, 2005).

Seperti halnya pupuk anorganik, jenis pupuk organic sangat beragam. Jika jenis pupuk anorganik ditentukan oleh kadar haranya maka jenis pupuk organic ditentukan oleh asal bahan terbentuknya, yaitu:

1. Pupuk Kandang

Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik berupa kotoran padat (feses) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine). Itulah sebabnya pupuk kandang terdidi dari dua jenis, yaitu padat dan cair.

2. Pupuk Hijau

Pupuk hijau adalah pupuk organik yang berasal dari bagian-bagian tanaman seperti daun, tangkai, dan batang yang masih muda. Tujuannya, untuk menambah bahan organic dan unsure-unsur lainnya ke dalam tanah. 3. Humus

Humus adalah sisa tumbuhan berupa daun, akar, cabang, dan batang yang sudah membusuk secara alami lewat bantuan mikroorganisme (di dalam tanah) dan cuaca (di atas tanah). Lapisan atas tanah di hutan banyak terbentuk humus.

4. Kompos

kompos merupakan hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan, jerami, alang-alang, rumput, kotoran hewan, sampah kota, dan sebagainya.

Proses pelapukan bahan-bahan tersebut dapat dipercepat melalui bantuan manusia. Oleh karena itu, siapapun dapat membuat kompos asalkan tau caranya.

(Marsono dan Lingga, 2004).

Pupuk organik mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Akan tetapi, Nitrogen dan unsur hara yang lain yang dikandung pupuk organik dilepaskan perlahan-lahan sehingga penggunaannya harus berkesinambungan. Nilai pupuk yang dikandung dalam pupuk organik juga rendah dan sangat bervariasi, penyediaan hara terjadi secara lambat dan menyediakan hara dalam jumlah terbatas. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah (Sutanto, 2006).

Pengomposan

Pengomposan merupakan suatu teknik pengolahan limbah padat yang mengandung bahan organik biodegradable (dapat diuraikan mikroorganisme). Selain menjadi pupuk organik maka kompos juga dapat memperbaiki struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah dalam menyerap air dan menahan air serta zat-zat hara lain. Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Pengomposan dapat berlangsung

dengan fermentasi yang lebih cepat dengan bantuan mikroorganisme (Permana dan Hirasmawan, 2009).

Proses pengomposan dapat terjadi dalam kondisi aerobik maupun anerobik. Pengomposan aerobik terjadi dalam keadaan terdapat oksigen, sedangkan pengomposan anerobik dalam kondisi tanpa oksigen. Proses aerobik

akan menghasilkan CO2, air dan panas. Proses anerobik menghasilkan metana ,alkohol, CO2, dan senyawa antara seperti asam organik. Proses anerobik seringkali menimbulkan bau tajam sehingga proses pengomposan banyak dilakukan dengan cara aerobik (Sutinah, 2013).

Mikroorganisme Fermentasi

Mikroorganisme fermentasi merupakan mikroorganisme yang dapat di menfaatkan sebagai starter dalam pembuatan bokasi atau kompos. Beberapa jenis mikroorganisme fermentasi yaitu:

1. Rhizopus sp

Jamur Rhizopus sp telah diketahui sejak lama sebagai jamur yang memegang peranan utama pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe. Jamur Rhizopus sp akan membentuk padatan kompak berwarna putih yang disebut sebagai benang halus/biomasa. Benang halus/biomasa disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai dan menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Masyarakat umumnya menyebut inokulum jamur untuk membuat tempe dengan laru atau ragi tempe. Jenis Rhizopus yang dapat digunakan sebagai inokulum dalam pembuatan tempe yaitu R. oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer. dan kombinasi dua jenis atau ketiga-tiganya. Salah satu jenis jamur yang sering dijumpai dalam ragi tempe adalah Rhizopus oligosporus. Jamur ini dapat digunakan sebagai kultur tunggal dalam laru. Jenis jamur lainnya seperti Rhizopus oryzae, R. stolonifer dan R. arrhizus juga sering ditemui pada kultur campuran ragi tempe (Dewi dan ‘Azis, 2011)

Kapang golongan Rhizopus sp sangat berperan penting dalam proses pembuatan fermentasi tempe, dan memiliki kemampuan dalam menghasilkan

enzim β-glukosidase. Selama proses fermentasi kedelai berlangsung menjadi tempe, isoflavon glukosidase dikonversi menjadi isoflavon aglikon oleh enzim

β-glukosidase yang disekresikan oleh mikroorganisme. Enzim ini selain terdapat di dalam kedelai juga diproduksi oleh mikroorganisme selama proses fermentasi berlangsung dan mampu memecah komponen glukosida menjadi aglikon dan gugus gula (Ewan, et al., 1992).

Fermentasi bungkil kedelai memakai Rhizopus sp, mampu meningkatkan kandungan protein kasar bunngkil kedelai dari 41% menjadi 55%. Dan menigkatkan asam amino sebesar 14,2% sehingga diduga dapat dipakai untuk alternatif sebagai bahan pemicu pertumbuhan tanaman (Handajani, 2007).

2. Saccharomyces sp

Ragi mampu menghasikan enzim yang dapat mengubah subtrat menjadi bahan lain dengan mendapatkan keuntungan berupa energi. Ragi untuk tape merupakan campuran dari bermacam-macam organisme yang hidup bersama secara sinergetik, dimana umumnya terdapat spesies-spesies dari genus Aspergillus yang dapat menyederhanakan amilum, Saccharomyces sp, Candida sp, dan Hansenula sp yang dapat menguraikan gula menjadi alkohol dan bermacam-macam zat organik lainnya serta bakteri (Acerobacter sp) yang menumpang untuk mengubah alkohol menjadi asam cuka (Dwidjoseputro, 1994) Tempe, Tape, danYoghurt

1. Fermentasi Tempe

Tempe merupakan makanan tradisional khas Indonesia yang berpotensi sebagai makanan fungsional karena mempunyai gizi tinggi yang diperlukan oleh tubuh. Beberapa khasiat tempe bagi kesehatan antara lain memberikan pengaruh

hipokolesterolemik, antidiare, antioksidan, meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi, sebagai senyawa antitrombotik, menurunkan kolesterol dan sebagainya. Tempe adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Pembuatan Tempe dilakukan dengan proses fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus spp. pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulit epidermisnya (Dewi dan ‘Azis, 2011).

Gambar 1. Fermentasi tempe 2. Fermentasi Tape

Tape adalah jenis makanan rakyat yang terbuat dari bahan-bahan yang mengandung banyak karbohidrat yang di fermentasi, misalnya ketela pohon atau singkong (tape singkong), beras ketan (tape ketan). Fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah lama fermentasi. Lama fermentasi yang dibutuhkan dalam proses fermentasi adalah 2-3 hari. Waktu yang sesuai akan menghasilkan tape yang rasanya khas, rasa manis dengan sedikit asam serta adanya aroma alkohol. Rasa manis karena perubahan karbohidrat menjadi glukosa sebagai karbohidrat yang lebih sederhana, sedangkan rasa asam karena dalam proses fermentasi terbentuk asam, sehingga semakin lama pemeraman maka akan terjadi peningkatan kadar alkohol dan total asam (Fahmi dan Nurrahman, 2011).

Gambar 2. Fermentasi Tape 3. Yogurt

Yogurtmerupakan salah satu produk fermentasi susu dengan bantuan bakteri asam laktat (BAL).) Yoghurtmempunyai banyak manfaat bagi tubuh antara lain mengatur saluran pencernaan, antidiare, antikanker, meningkatkan pertumbuhan, membantu penderita lactose intolerance dan mengatur kadar kolesterol dalam darah. Karakteristik yoghurt seperti rasa yang asam dan tekstur yang kental menjadikan beberapa orang tidak menyukainya. Diperlukan adanya diversifikasi dalam pembuatan yoghurt, yaitu dengan membuat produk yoghurtyang tidak terlalu asam dengan menghentikan waktu fermentasi pada tingkat keasaman yang diinginkan dan tekstur yang tidak kental (encer) sehingga mudah untuk diminum yang biasa disebut drink yoghurt (Hidayat, et al, 2013)

Mol Buah dan Sayur

MOL (mikroorganisme lokal) merupakan kumpulan mikro-organisme yang bisa diternakkan, yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan bokasi atau kompos. Pemanfaatan limbah per-tanian seperti buah-buahan tidak layak konsumsi untuk diolah menjadi MOL dapat meningkatkan nilai tambah limbah, serta me-ngurangi pencemaran lingkungan.

Gambar 3. Mol Buah dan Sayur

Mikroorganisme lokal (MOL) merupakan salah satu cara pengembangbiakan mikroorganisme yang akan mampu mendegradasi bahan organik. Bahan pembuatan MOL ini adalah antara lain tempe, tape, dan youghurt dll. Mikroorganisme dasar dalam MOL ini adalah Saccharomyces yang berasal dari ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus dari yoghurt. Mikroorganisme ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Sifat amilolitik, mikroorganisme yaitu Saccharomyces akan menghasilkan enzim amilase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acids yang kemudian akan menjadi asam amino.

b. Sifat proteolitik, mikroorganisme yaitu Rhizopus akan mengeluarkan enzim protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida, lalu menjadi peptide sederhana dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2 dan air.

c. Sifat lipolitik, mikroorganisme yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam perombakan lemak. (Ginting, 2009)

EM4

Effective microorganismesms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan, bermanfaat bagi kesuburan tanah, maupun

pertumbuhan tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologis tanah dan dapat membantu penyerapan unsure hara. EM4 mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri dari bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.), Actinimycetes sp., Srteptomyces sp., dan ragi (yeast). Selain bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah dan tanaman. EM4 juga bermanfaat untuk memfermentasi sampah organic menjadi pupuk organik (Marsono dan Sigit, 2005).

Gambar 4. EM4

EM-4 (Effective Microorganisme) adalah kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, Mikroorganisme yang terdapat dalam EM-4 terdiri dari bakteri fotosintesis (Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi (Saccharomices sp), actinomycetes sp, dan aspargillus sp. Effective mikroorganisme (EM-4) dapat meningkatkan fermentasi organik, unsur hara tanaman, serta meningkatkan aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme patogen (Djuarnani dkk, 2005).

Parameter yang digunakan pada Uji Pengomposan

1. Temperatur

Temperatur adalah satu indikator penting kunci di dalam pembuatan kompos. Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan proses yang dilakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan organik. Temperatur ini dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik system pengomposan ini bekerja, disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Sebagai ilustrasi, jika kompos naik sampai Temperatur 40°C – 50°C, maka dapat disimpulkan bahwa campuran bahan baku kompos cukup mengandung bahan Nitrogen dan Carbon dan cukup mengandung air (kelembaban cukup) untuk menunjang pertumbuhan mikroorganisme (Susetya, 2010).

Tinggi tumpukan merupakan salah satu faktor yang menentukan temperatur pengomposan, tumpukan bahan yang terlalu rendah akan mengakibatkan cepatnya kehilangan panas karena tidak cukupnya material untuk menahan panas yang dilepaskan, sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang secara optimal. Sebaliknya jika tumpukan terlalu tinggi, akan terjadi kepadatan bahan yang diakibatkan oleh berat bahan sehingga suhu menjadi sangat tinggi dan tidak ada udara di dalam tumpukan (Musnamar, 2003).

Selama proses dekomposisi, suhu dijaga sekitar 40°C - 50°C selama 3 minggu karena pada tingkatan suhu tersebut bakteri akan bekerja secara optimal sehingga penurunan C/N rasio berjalan sempurna dan mampu memberantas bakteri pathogen maupun biji gulma. Pada proses composting yang baik, maka Temperatur 40°C - 50°C dapat dicapai dalam 2 – 3 hari. Kemudian dalam beberapa hari berikutnya Temperatur akan meningkat sampai bahan baku yang

didekomposisi oleh mikrorganisme habis. Dari situ barulah Temperatur akan turun (Parnata, 2004).

Pada system natural aeration, udara yang masuk kedalam alat bergantung pada kondisi udara sekitar dan cuaca, sehingga aerasi yang diperoleh tidak teratur bahkan mungkin jumlahnya bisa terlalu sedikit (Dewi, dkk. 2007).

Temperatur yang tinggi pada proses pengomposan sangat penting untuk proses higienisasi, yaitu untuk membunuh bakteri patogen dan bibit gulma, selain untuk memacu proses pengomposan karena pada umumnya proses pengomposan kombinasi suhu termofilik dan mesofilik. Kurang tingginya suhu kompos disebabkan karena jumlah limbah yang dikomposkan tidak cukup memberikan proses insulasi panas. Sejumlah energi dilepaskan dalam bentuk panas pada perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur. Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik. Kondisi mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan mengakibatakan temperatur turun dan kemudian naik lagi (Pandebesie, 2012).

2. pH

Kisaran pH kompos yang baik adalah 6,5 – 7,5 (netral) karena akan mempengaruhi aktifitas mikroorganisme (Sutedjo, 2002). Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5,5 sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan kompos. Selama proses

pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antar 6 – 8 (Susetya, 2010).

pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Widarti dkk, 2015).

Penurunan nilai pH saat proses pengomposan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan asam organik dan reduksi dari ion ammonium (NH4+) Indrasti dkk. (2006).

3. C/N Rasio

Bahan-bahan mentah yang biasa seperti: merang, daun,sampah dapur,sampah kota, dan lain-lain, umumnya memiliki C/N rasio diatas 30. Pembuatan kompos pada hakekatnya ialah menumpukkan bahan-bahan organic dan membiarkannya terurai enjadi bahan-bahan yang mempunyai C/N rasio yang rendah sebelum digunakan sebagai pupuk (Sutejo, 2002)

Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara jumlah karbon dan nitrogen (C/N) rasio. Jika C/N rasio tinggi berarti bahan penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan dengan C/N rasio rendah (Novizan, 2005).

Apabila proses pengomposan telah selesai, maka perbandingan C/N rasio bahan organic mendekati C/N rasio tanah, yaitu berkisar 12-15. Bahan organic hasil pengomposan biasanya berbentuk serbuk kasar atau sedikit bergumpal

tergantung kadar air bahan. Bahan organic ini sudah bisa diaplikasikan ke tanaman (Isnaini, 2006).

Di dalam proses pengomposan akan terjadi perubahan struktur bahan organic yang dilakukan oleh mikroorganisme, yaitu berupa penguraian selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin serta yang lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan air (Musnamar, 2007)

Penurunan nilai rasio C/N pada masing-masing komposter ini disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah karbon yang dipakai sebagai sumber energi mikroba untuk menguraikan atau mendekomposisi material organik. Pada proses pengomposan berlangsung perubahan-perubahan bahan organik menjadi CO2 + H2O + nutrien + humus + energi. Selama proses pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan penurunan kadar karbon (C) dan peningkatan kadar nitrogen (N) sehingga rasio C/N kompos menurun. Rasio C/N yang terlalu tinggi akan memperlambat proses pembusukan, sebaliknya jika terlalu rendah walaupun awalnya proses pembusukan berjalan dengan cepat, tetapi akhirnya melambat karena kekurangan C sebagai sumber energi bagi mikroorganisme (Pandebesie, 2012).

yang menyatakan bahwa pola perubahan pH kompos berawal dari pH agak asam karena terbentukknya asam-asam organik sederhana, kemudian pH meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya protein dan terjadinya pelepasan amonia. Sementara itu, kadar garam kompos tergolong sangat rendah untuk semua perlakuan, karena bahan dasar kompos tidak ada yang banyak mengandung garam-garam terlarut (Dalzell dkk, 1991)

Kondisi Umum Lokasi Pembuatan Kompos

Kabupaten Dairi terdiri dari 15 kecamatan yiatu Sidikalang, Berambu, Sitinjo, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-pungga, Lae Parira, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga, Gunung Sitember, Pegagan Hilir, dan Tanah Pinem. Kecamatan Silahisabungan merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Dairi yang dimekarkan dari Kecamatan Sumbul Pegagan pada tahun 2004. Kecamatan Silahisabungan terdiri dari 5 Desa yaitu (Desa Silalahi I, Silalahi II, Silalahi III, Paropo, dan Desa Paropo I) dengan jumlah penduduk 4471 jiwa pada tahun 2011 dan memiliki luas wilayah sekitar 7562 km (BPS Dairi).

Gambar 5. Peta Desa Paropo I

Rata-rata kondisi iklim pada tahun 2015 di Kabupaten Dairi yaitu: - curah hujan = 290 mm

- suhu udara = 24.2

- kelembabab udara = 88% - kecepatan angin = 1.47 m/s

- Intensitas radiasi matahari = 751 Wh/m2 (Stasiun Klimatologi Sampali, 2016)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Danau toba adalah Sebuah danau vulkanik yang terletak 176 km arah selatan Kota Medan dengan ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km. Permukaan danau berada pada ketinggian 903 mdpl dengan kedalaman maksimal danau 529 meter. Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara, Danau ini merupakan danau terbesar di vulkanik bernama

Danau Toba memiliki beberapa permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Salah satunya adalah pembakaran lahan hutan untuk membuka lahan pertanian. Karena selain berprofesi sebagai nelayan, sebagian masyarakat di sekitar Danau Tobaberprofesi sebagai petani.

Selain itu, perkembangan eceng gondok yang tidak terkendali juga menjadi permasalahan di Danau Toba. Eceng gondok (Eichornia crassipes) berkembang biak secara vegetatif dengan membentuk tunas (stolon) di atas akar maupun generatif dengan bijinya. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat berlipat ganda dalam waktu 7-10 hari. Menurut penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba, satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang 1x1 m (Purbono, et al)

. Perkembangbiakan yang demikian cepat menyebabkan tanaman eceng gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan Danau Toba. Pertumbuhan Eceng Gondok yang tidak terkendali akan

mempengaruhi ekosistem Danau Toba. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kedua permasalahan diatas adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok sebagai bahan dasar dalam pembuatan pupuk kompos dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme. Dengan pembuatan kompos ini, diharapkan penduduk di sekitar Danau Toba yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dapat membuat pupuk sendiri. Sehingga mereka tidak perlu lagi membeli pupuk organik dari luar. Dengan demikian, diharapkan agar taraf hidup penduduk di sekitar Danau Toba dapat meningkat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aktivator yang paling cepat mendekomposisikan eceng gondok di DTA Danau Toba.

Hipotesis Penelitian

Aktifator yang berbeda akan menghasilkan laju dekomposisi eceng gondok yang berbeda.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara dan diharapkan pula agar masyarakat Kabupaten Dairi maupun masyarakat sekitar Danau toba dapat memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan untuk pembuatan pupuk kompos.

IMAMUDIN: Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator.Dibimbing oleh AFIFUDDIN DALIMUNTHE dan BUDI UTOMO.

Danau Toba memiliki beberapa masalah salah satunya adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengurangi dan mengatasi pertumbuhan eceng gondok di perairan Danau Toba. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2016 di Desa Paropo I Kecamatan silahisabungan Kabupaten Karo dengan menggunakan beberapa perlakuan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan. Perlakuan 1 yaitu kontrol, perlakuan 2 yaitu EM4, perlakuan 3 tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan 4 adalah mol buah dengan sayur, dengan parameter yang di uji adalah temperature, pH dan C/N rasio.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian semua perlakuan dari parameter temperature dan pH mendapatkan hasil yang berpengaruh nyata (Fhit 15.11 < Ftabel 3.29) dan (Fhit 415 < Ftabel 3.29) sedangkan pada pemberian semua perlakuan pada parameter C/N rasio memberikan hasil yang nyata (Fhit 20.36 > Ftabel 3.29). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah perlakuan tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan mol buah dengan sayur adalah aktifator yang paling vepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air Danau Toba.

Kata Kunci : Pengomposan, Pertumbuhan Eceng Gondok, Temperatur, pH, C/N rasio

IMAMUDIN: Composting water hyacinth (Eichornia crassipes) on Lake Toba Catchment Area with activators. Guided by AFIFUDDIN DALIMUNTHE and BUDI UTOMO.

Lake Toba have the problems. One of them iswater hyacinth growing very fast. The purpose of this research was to reduce and resolve water hyacinth growing on Lake Toba. The study was done in October-December 2016 in the Paropo I village Kabupaten Karo using several treatment. This research using four treatment and three replication. Treatment 1 is control, treatment 2 is EM4,treatment 3 is tempe, tape with yoghurt, treatmen 4 is mole fruit with vegetables, with the parameters tested are temperature, pH and C/N ratio.

The result of research showed that the provisions of treatment of all parameters temperature and pH getting results affect real (Fhit 15.11<Ftabel 3.29) and (Fhit 415<Ftabel 3.29) while the treatment in all the provision of real results on parameters of ratio C/N (Fhit 20.36>Ftabel 3.29). the conclusions from the results of this research is treatment tempe, tape with kefir and treatment mole fruit with vegetable are the faster activator to composting water hyacinth on Lake Toba Cacthment Area

Dokumen terkait