LAMPIRAN
Tabel
Lampiran 1. Data harian Temperatur Ulangan 1
Lampiran 7. Temperatur Akhir Jenis
Dekomposer
Temperatur Akhir Ulangan
Lampiran 8. Tabel Anova temperatur
Sumber Keragaman JK Db KT F-Hit F-Tabel
Lampiran 9. Tabel pH minggu ke-0 Jenis
Lampiran 11. Tabel pH minggu ke-2
Lampiran 12. Tabel pH minggu ke-3 Jenis
Lampiran 13. Tabel pH minggu ke-4 Jenis
Lampian 14. Tabel Anova pH kompos
Sumber Keragaman JK Db KT F-Hit F-Tabel
Lampiran 16. Rataan C/N rasio kompos dengan perlakuan tempe, tape + yoghurt
Lampiran 17. Rataan C/N rasio kompos dengan perlakuan EM4 Parameter Satuan
Lampiran 18. Rataan C/N rasio kompos dengan perlakuan mol buah + sayur Parameter Satuan
Lampiran 19. Tabel Anova C/N rasio kompos
DAFTAR PUSTAKA
Dewi C.M, Mirasari D.M, Antaresti, Irawati W. 2007. Pembuatan Kompos secara Aerob dengan Bulking Agent Sekam Padi. Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Katolik Widya Mandala. WIDYA TEKNIK Vol. 6 No. 1, 2007.
Dewi, R. S. Dan ‘Azis, S. 2011. Isolasi Rhizopus oligosporus pada beberapa Inokulum Tempe Di Kabupaten Banyumas. Jurnal Molekul. Vol. 6, No. 2
Djuarnani, N., Kristia, B. S., dan Setiawan, 2005. Cara Tepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Dwidjoseputro. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Dalzell, H.W., A.J. Biddlestone, K.R. Gray dan K. Thurairajan. 1991. Produksi dan Penggunaan Kompos pada Lingkungan Tropis dan Subtropis.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Ewan, C, V., Moor and A Seo. 1992. Isoflavon Aglycones and Volatiles Compound in Soybeans, Effect of Soaking Treatment., Journal Food Science, 57, 577-682.
Fahmi, N Dan Nurrahman. 2011. Kadar Glukosa, Alkohol dan Citarasa Tape Onggok berdasarkan Lama Fermentasi. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 2, No. 3.
Ginting J., S, P., 2009. Kecernaan Pakan Berbentuk Pelet Mengandung Kulit Pisang Raja Fermentasi Dengan Mikroorganisme Lokal Dibandingkan Dengan Trichderma harzianum Pada Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih. Skripsi. Program Studi Peternakan. Fakultas Pertanian. USU
Handajani, H. 2007. Peningkatan Nilai Nutrisi Tepung Azolla Melalui Fermentasi. Naskah Publikasi. Universitas Muhammadiyah Malang.
Hidayat., Kusrahayu., Mulyani, S., 2013. Total Bakteri Asam Laktat, Nilai Ph Dan Sifat Organoleptik Drink Yoghurt Dari Susu Sapi Yang Diperkaya Dengan Ekstrak Buah Mangga. Animal Agriculture Journal. Vol. 2, No.1.
https://dairikab.bps.go.id/frontend/ [diakses pada tanggal 19 Juni 2016 pada pukul 10.00 WIB]
Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Lingga, P dan Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Madjid, M. D., Bachtiar, E. H., Fauzi H., Hamidah, H. 2011. Dasar Pupuk dan Pemupukan Kesuburan Tanah. USU Press. Medan.
Marsono dan Sigit, P. 2005.Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta
Musnamar, E. I., 2003. Pembuatan Aplikasi Pupuk Organik Padat. Penebar Swadaya, Jakarta
Novizan. 2005.Petunjuk Pemupukan yang Efektif.Agromedia Pustaka.Jakarta
Pandebesie, E.S., Rayuanti, D., Pengaruh Penambahan Sekam Pada Proses Pengomposan Sampah Domestik. Jurnal Lingkungan Tropis, 2013, 6(1), 31 – 40.
Parnata, A. S. 2004. Pupuk Organik Cair. T Agromedia Pustaka. Jakarta.
Surtinah. 2013. Pengujian Kandungan Unsur Hara Dalam Kompos Yang Berasal Dari Serasah Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). Jurnal Ilmiah Pertanian. Vol. 11, No. 1.
Susetya, D. 2010. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik untuk Tanaman Pertanian dan Perkebunan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Sutanto, R. 2006. Pertanian Organik. Cetakan Keenam. Kansius. Yogyakarta.
Sutedjo, M. M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. RINEKA CIPTA. Jakarta.
Permana, A. H. dan R. S. Hirasmawan. 2009. Pembuatan Kompos dari Limbah Padat Organik yang tidak Terpakai (Limbah Sayuran Kangkung, Kol dan Kulit Pisang). Jurnal Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Paropo I,Kecamatan Silalahisabungan,
Kabupaten Dairi. Penelitian dilaksanakan mulai dari Oktober 2015 – Desember
2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : eceng gondok,
(EM4), (tape, tempe dan yoghurt), (mol buah+sayur). Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: kamera digital, cangkul, mesin chopper, meteran, ember, pH
meter, thermometer dan bak berukuran 1x1x0.75 m dan alat tulis lainnya yang
diperlukan.
Metode Penelitian
Penelitian di desain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non
Faktorial dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan yaitu :
1. d1 = (EM-4)
2. d2 = (tape, tempe dan yakult)
3. d3 = (mol buah + sayur)
4. d4 = (kontrol)
Semua perlakuan diulang 6 kali sehingga diperoleh 24 jumlah unit percobaan.
Model matematika percobaan yang digunakan adalah :
Υij = µ+τi +βj+Ɛij
i = 1, 2,……t
j = 1, 2,……r
Υij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
βj = pengaruh kelompok ulangan ke-j
µ = nilai tengah umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i
Ɛij = pengaruh galat / acak dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Parameter Penelitian
Parameter yang dapat digunakan dalam uji pengomposan ini adalah :
1. Temperatur
2. pH
3. C/N rasio
Pelaksanaan Penelitian
Adapun langkah-langkah dalam pelaksaan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pengambilan dan Pemilahan Eceng Eondok
Pengambilan eceng gondok dilakukan di Pinggir Danau toba. Pada tahap
ini dilakukan pemisahan eceng gondok dari limbah anorganik barang lapak
dan barang berbahaya. Pemilahan harus dilakukan dengan teliti karena
akan menentukan kelancaran proses dan mutu kompos yang dihasilkan
2. Pencacahan eceng gondok
Pencacahan dilakukan dengan menggunakan mesin chopper. Sehingga
memperluas permukaan eceng gondok, sehingga eceng gondok dapat
dengan mudah dan cepat didekomposisi menjadi kompos
3. Pengisian Bak
Eceng gondok yang telah melewati tahap pemilahan dan pengecilan
ukuran kemudian dimasukkan ke dalam bak.
4. Pemberian Aktifator
Bahan organik yang telah dimasukkan ke dalam bak diberi aktifator yang
telah disediakan. Pemberian aktifator dilakukan dengan merata agar bahan
lebih cepat terdekomposisi.
5. Pengukuran Temperatur
Pengukuran temperature dilakukan setiap hari.
6. Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan seminggu sekali
7. Pembalikan
Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang berlebihan,
memasukkan udara segar ke dalam adonan eceng gondok, meratakan
proses pelapukan di setiap bagian eceng gondok, meratakan pemberian air,
serta membantu pengahancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil.
8. Pematangan
Setelah pengomposan berjalan 30 hari, suhu tumpukan akan semakin
menurun hingga mendekati suhu ruangan. Pada saat itu tumpukan telah
lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kondisi ini menandakan bahwa
9. Analisis C/N Rasio
Sampel kompos yang telah matang diambil untuk dilakukan analisis C/N
rasio.
10.Pengemasan dan Penyimpanan
Kompos yang telah matang dikemas dalam dalam kantung sesuai dengan
kebutuhan pemasaran. Kompos yang telah dikemas disimpan di tempat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temperaturbahan di dalam Bak
Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui perubahan aktivitas
mikoorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam menguraikan
bahan organikDari hasil analisis temperature akhir, diperoleh data bahwa
pemberian dekomposer menunjukkan respon berbeda nyata terhadap temperature
akhir. Sehingga pengujian lanjutan perlu dilakukan. Uji lanjutan dilakukan dengan
Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) Data rata-rata temperature akhirdapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 . Pengaruh Pemberian Dekomposer Yang Berisi Organisme LokalTerhadap Rata-Rata Temperature Kompos pada Umur 30 Hari
Jenis Dekomposer Rataan
d0 (Kontrol
d1 (EM4)
26oC b 24oC a
d2 (Tempe, Tape + Yoghurt) 24oC a
d3 (Mol Buah + Sayur) 24oC a
Berdasarkan Tabel1, rata-rata temperature akhir yang tertinggi terdapat
pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 26oC. Sedangkan rata-rata temperature akhir
yang terendah terdapat pada perlakuaniEM4 yaitu sebesar 24oC, perlakuan tempe
tape dengan yoghurt yaitu sebesar 24oC, dan perlakuan mol buah dengan sayur
yaitu sebesar 24oC.
Selama proses pengomposan yang ditunjukkan pada Gambar, pada setiap
perlakuan rata-rata suhu tidak mencapai suhu thermofilik (50°C) namun hanya
mencapai suhu mesofilik (30°C). kemungkinan hal ini berkaitan dengan suhu
udara didaerah sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan dewi dkk (2007) yang
bergantung pada kondisi udara sekitar dan cuaca, sehingga aerasi yang diperoleh
tidak teratur bahkan mungkin jumlahnya bisa terlalu sedikit.
Gambar 6. Grafik Temperatur Didalam Bak Kompos Dari Hari 1 - 30
Berdasarkan Gambar 1, temperatur tertinggi pada control didapat pada hari
ke 10 yaitu sebesar 280C dan temperatur terendah sebesar 24oC. Sedangkan pada
perlakuan tempe, tape dengan yoghurt temperatur tertinggi didapat pada hari ke 4
dengan suhu 36oC yang merupakan suhu tertinggi dari empat perlakuan dan
menurun sampai suhu terendah yang didapat yaitu 24oC. Kemudian pada
perlakuan mol buah dengan sayur, temperatur tertinggi didapat pada hari ke 3 dan
4 dengan suhu 36oC dan menurun sampai 24oC. Lalu pada perlakuan EM4
temperatur tertinggi diperlihatkan pada hari ke 3 yaitu 35oC dan menurun hingga
Temperatur yang paling tinggi terdapat pada perlakuan yaitu Mol buah
sayur dan tempe tape Yoghurt. Perlakuan EM4 juga mencapai temperature yang
hampir menyamai perlakuan mol buah sayur dan tempe tape yoghurt. Kondisi ini
diduga bahwa mikrooganisme dalam kedua aktivator yang dicoba mempunyai
keragaman yang hampir sama, sehingga peranannya dalam proses perombakan
bahan organik tidak jauh berbeda. Perlakuan Mol buah sayur mengandung
Azotobacter sp, Azosprilium sp, Rhizobium sp, Aspergillus sp, Aeromonas sp,
Metarhizium sp, Trichoderma sp, Beauveria sp, Gliocladium sp, Trichoderma sp,
Pseudomonas sp, Azosprilium sp, (Yuwono (2008). PerlakuanTape, tempe dengan
yoghurt mengandung beberapa jenis mikroorganisme yaitu Saccharomycessp,
Rhizopus sp, Lactobacilus sp, ragi (Ginting, 2009), B3 (EM-4) mengandung
bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), bakteri fotosintesis (Rhodopseudomonas
sp) Azotobacter, Streptomyces sp., ragi (Saccharomices sp), aspargillus sp. dan
Actinomycetes sp. (Djuarnani dkk, 2005).
Tinggi rendahnya temperatur yang didapat pada semua perlakuan
dipengaruhi oleh adanya aktivitas mikroorganisme dalam tumpukan kompos.
Perlakuan Kontrol menunjukkan trend suhu yang relative datar. Kondisi ini terjadi
karena bahan pada perlakuan kontrol tidak diberi starter. Sehingga
mikroorganisme yang ada di dalam bahan pada perlakuan kontrol lebih sedikit,
karena hanya mengandalkan mikroorganisme yang ada di lingkungan. Hal ini
menyebabkan aktifitas mikroorganisme di dalam bahan pada perlakuan kontrol
rendah sehingga trend suhu yang dihasilkanpun datar. Sedangkan perlakuan yang
diberi starter menunjukkan trend suhu yang tinggi. Hal ini terjadi karena adanya
tinggi dan temperaturpun tinggi. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Wahyono
dan Sahwan (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan suhu
menandakan aktivitas mikroorganisme meningkat dan menurun dalam
menguraikan bahan organik. Suhu yang meningkat disebabkan adanya panas hasil
metabolisme mikroba. Panas yang dihasilkan oleh mikroba merupakan hasil dari
respirasi, semakin tinggi temperatur maka semakin banyak pula konsumsi oksigen
dan semakin cepat pula proses dekomposisi dan menurunnya suhu dikarenakan
berkurangnya nutrisi yang terkandung dalam media dan mengindikasikan bahwa
pengomposan sudah selesai.
Gambar 6 memperlihatkan suhu bahan yang terus berfluktuasi. Hal ini
disebabkab oleh aktifitas mikroorganisme dalam merombak bahan organic yang
menyebabkan suhu meningkat. Namun bahan organic tersebut tidak memiliki
kemampuan untuk menahan suhu yang tinggi. Sehingga suhu yang tinggi ini akan
dilepaskan dalam bentuk panas. Selain itu, pembalikkan bahan juga menyebabkan
suhu berfluktuasi. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Pandebesie (2012) yang
menyatakan bahwa Sejumlah energi dilepaskan dalam bentuk panas pada
perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur.
Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik.
Kondisi mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi
protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan
mengakibatakan temperatur turun dan kemudian naik lagi.
Selama proses pengomposan berlangsung, pengukuran temperatur harian
diukur dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam tumpukan
berkisar antara 28oC sampai 35oC dan kemudian menurun terus sampai didapat
suhu terendah berkisar antara 24oC-26oC. Pada kisaran temperatur ini sudah
termasuk dalam suhu optimum pengomposan dan diduga kisaran temperatur ini
komposisi populasi mikroba berubah ke tahap mesofilik (20oC-40oC) dan
temperatur kompos yang telah mengalami penurunan berkisar antara 26oC sampai
24oC hal ini diduga karena kompos telah berada pada tahapan psikofil yang
ditandai dengan menurunnya suhu mendekati suhu ruang. Pada penelitian ini,
bahan memiliki temperatur yang mendekati suhu ruang (24oC) yang menandakan
bahan tersebut telah matang.
Nilai pHBahan
Dari hasil analisis rataan pH diperoleh data bahwa perbedaan perlakuan
dekomposer menunjukkan respon berpengaruh nyata terhadap pH. Sehingga uji
lanjutan perlu dilakukan. Uji lanjutan dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple
Range Test). Rataan pH akhir setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme lokal terhadap rata-rata pH kompos
Jenis Dekomposer Rataan
d0 (Kontrol)
d1 (EM4)
5.90 a 7.46 d
d2 (Tempe, Tape + Yoghurt) 7.33 c
d3 (Mol Buah + Sayur) 7.16 b
Berdasarkan Tabel 2, pH tertinggi terdapat pada perlakuan EM4, yaitu
sebesar 7.46. Sedangkan pH terendah terdapat pada perlakuan kontrol, yaitu
sebesar 5.9. Rataan dari pH ini menunjukkan bahwa bahan sudah matang. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Susetya (2010), bahwapengamatan pH kompos
bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara
5,5 sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam
organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan
mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan kompos. Selama proses
pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral
dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antar 6 – 8.
Gambar 7. GrafikpH
Saat awal proses pengoposan berlangsung, pH mengalami penurunan. Hal
ini disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme yang menghasilkan asamorganik
selama proses pengomposan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indrasti dkk.
(2006) yang menyatakan bahwa penurunan nilai pH saat proses pengomposan
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan asam organik dan
reduksi dari ion ammonium (NH4+).
Pada pengukuran di hari terakhir, nilai pH menunjukkan peningkatan.
Peningkatan Nilai pH yang mencapai netral sampai agak alkalis mungkin
disebabkan terjadinya penguraian protein menjadi amonia (NH
berpengaruh terhadap peningkatan pH kompos. Hal ini sesuai dengan hasil
pendapat Dalzell dkk. (1991) yang menyatakan bahwa pola perubahan pH kompos
berawal dari pH agak asam karena terbentukknya asam-asam organik sederhana,
kemudian pH meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya protein dan
terjadinya pelepasan amonia. Sementara itu, kadar garam kompos tergolong
sangat rendah untuk semua perlakuan, karena bahan dasar kompos tidak ada yang
banyak mengandung garam-garam terlarut.
C/N Rasio
Dari hasil analisis C/N ratio diperoleh data bahwa pemberian perbedaan
perlakuan dekomposer menunjukkan respon perbedaan berpengaruh nyata
terhadap C/N ratio. Sehingga uji lanjutan perlu dilakukan. Rataan C/NRatio dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme lokal terhadap rata-rata C/N Rasio kompos
Perlakuan C/N
d0 (Kontrol)
d1 (EM4)
18.68 c 15.96 b d2 (Tempe, Tape + Yoghurt) 13.47 a
d3 (Mol Buah + Sayur) 13.26 a
Hasil uji DMRT yang ditunjukkan pada table 3 memperlihatkan bahwa
perlakuan tempe, tape + yoghurt dan perlakuan mol buah + sayur tidak berbeda
nyata pengaruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan d2 dan perlakuan d3
memberikan pengaruh yang baik terhadap C/N rasio kompos.
C/N ratio masing-masing perlakuan dari beberapa ulangan, yaitu prlakuan
kontrol sebesar 18.68, perlakuanEM4 sebesar 15.96, perlakuan tempe tape +
pada semua pelakuan menunjukkan bahwa kompos sudah matang dan siap
diaplikasikan ke tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isnaini (2006) yang
menyatakan apabila proses pengomposan telah selesai, maka perbandingan C/N
rasio bahan organic mendekati C/N rasio tanah, yaitu berkisar 12-15. Bahan
organic hasil pengomposan biasanya berbentuk serbuk kasar atau sedikit
bergumpal tergantung kadar air bahan. Bahan organic ini sudah bisa diaplikasikan
ke tanaman.
Sebelum proses perombakan bahan organic terjadi. Nilai C/N rasio pada
bahan masih tinggi. Namun setelah proses perombakan terjadi, nilai C/N menurun
dan mendekati nilai C/N tanah. Hal ini terjadi karena penurunan jumlah karbon
yang digunakan sebagai energi mikroorganisme untuk menguraikan bahan
organik. Selama proses pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan
penurunan kadar karbon (C) dan peningkatan kadar nitrogen (N) sehingga rasio
C/N kompos menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pandebesie (2012) yang
menyatakan bahwa Penurunan nilai rasio C/N pada masing-masing komposter ini
disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah karbon yang dipakai sebagai
sumber energi mikroba untuk menguraikan atau mendekomposisi material
organik. Pada proses pengomposan berlangsung perubahan-perubahan bahan
organik menjadi CO2 + H2O + nutrien + humus + energi. Selama proses
pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan penurunan kadar karbon (C) dan
peningkatan kadar nitrogen (N) sehingga rasio C/N kompos menurun.
Perbedaan perlakuan nisbah C/N memberikan pengaruh yang nyata terhadap
bahan komposan, disebabkan pada proses pengomposan sangat dipengaruhi oleh
akan terjadi pelepasan karbondioksida, semakin tinggi aktivitas mikroorganisme
maka dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik sehingga C-organik
akan berkurang (akibat pelepasan karbondioksida dan dekomposisi bahan
organik) sementara kadar N-total mengalami peningkatan sehingga rasio C/N
akan berkurang. Berdasarkan pernyataan musnamar (2007), bahwa didalam proses
pengomposan akan terjadi perubahan struktur bahan organik yang dilakukan oleh
mikroorganisme yaitu berupa penguraian selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin,
serta yang lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan air
C/N ratio adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen . Pada Tabel
terlihat bahwa pemberian jenis aktivator pada pengomposan eceng gondok
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap C/N ratio kompos. Hal ini
diduga pada MOL dan EM4 mampu menciptakan kondisi lingkungan yang baik
bagi aktivitas mikrobia dekomposer dalam merombak bahan organik. Menurut
Suwastika (2001), menyatakan bahwa selama proses dekomposisi berlangsung,
bahan organik akan dirombak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
sampai akhirnya senyawa tersebut tidak dapat didekomposisikan lagi, seperti
tanin, asam humat dan fulfat. Hasil akhir pelapukan menyebabkan kandungan
C-organik dan rasio C/N menurun sedangkan kandungan N dan unsur hara lainnya
meningkat. Susetya (2010) menambahkan bahwa pinsip pengomposan adalah
menurunkan C/N ratio bahan organik menjadi sama dengan C/N ratio tanah (<20).
Nilai C/N ratio tanah sekitar 10-12. Bahan organik yang mempunyai C/N ratio
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tempe tape dengan yoghurt dan mol buah dengan sayur adalah aktifator
yang paling cepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air
Danau Toba.
Saran
Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang jenis mikroba
yang ada pada mol buah + sayur dan tempe tape + yoghurt agar dapat diketahui
TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk dan Pemupukan
1. Pupuk
Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman
untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu
berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun
non-organik (mineral). Pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik maupun
anorganik, apabila ditambahkan kedalam tanah atau tanaman maka dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Madjid, et al., 2011).
2. Pemupukan
Pemupukan merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh untuk
memperbaiki keadaan tanah, baik dengan pupuk buatan (anorganik), maupun
dengan pupu organik (seperti pupuk kandang pupuk kompos). Terdapat dua
kelompok pupuk anorganik berdsarkan jenis hara yang dikandungnya, yaitu
pupuk tunggal dan pupuk mejemuk. Ke dalam kelompok pupuk tunggal terdapat
tiga macam pupuk yang dikenal dan banyak beredar di pasaran, yaitu pupuk yang
berisi hara utama nitrogen (N), hara utama posfor (P), dan hara utama kalium (K)
(Lingga dan Marsono, 2008)
Pupuk Organik
Pupuk organik disebut juga pupuk alam karena seluruh atau sebagian besar
pupuk ini berasal dari alam. Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga,
masih benar-benar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi ada sedikit pula pupuk
organic yang telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam
bentuk, rupa, dan warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya (Marsono dan
Sigit, 2005).
Seperti halnya pupuk anorganik, jenis pupuk organic sangat beragam. Jika
jenis pupuk anorganik ditentukan oleh kadar haranya maka jenis pupuk organic
ditentukan oleh asal bahan terbentuknya, yaitu:
1. Pupuk Kandang
Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik
berupa kotoran padat (feses) yang bercampur sisa makanan maupun air
kencing (urine). Itulah sebabnya pupuk kandang terdidi dari dua jenis,
yaitu padat dan cair.
2. Pupuk Hijau
Pupuk hijau adalah pupuk organik yang berasal dari bagian-bagian
tanaman seperti daun, tangkai, dan batang yang masih muda. Tujuannya,
untuk menambah bahan organic dan unsure-unsur lainnya ke dalam tanah.
3. Humus
Humus adalah sisa tumbuhan berupa daun, akar, cabang, dan batang yang
sudah membusuk secara alami lewat bantuan mikroorganisme (di dalam
tanah) dan cuaca (di atas tanah). Lapisan atas tanah di hutan banyak
terbentuk humus.
4. Kompos
kompos merupakan hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan,
Proses pelapukan bahan-bahan tersebut dapat dipercepat melalui bantuan
manusia. Oleh karena itu, siapapun dapat membuat kompos asalkan tau
caranya.
(Marsono dan Lingga, 2004).
Pupuk organik mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.
Akan tetapi, Nitrogen dan unsur hara yang lain yang dikandung pupuk organik
dilepaskan perlahan-lahan sehingga penggunaannya harus berkesinambungan.
Nilai pupuk yang dikandung dalam pupuk organik juga rendah dan sangat
bervariasi, penyediaan hara terjadi secara lambat dan menyediakan hara dalam
jumlah terbatas. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat
bermanfaat bagi kondisi fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah
(Sutanto, 2006).
Pengomposan
Pengomposan merupakan suatu teknik pengolahan limbah padat yang
mengandung bahan organik biodegradable (dapat diuraikan mikroorganisme).
Selain menjadi pupuk organik maka kompos juga dapat memperbaiki struktur
tanah, memperbesar kemampuan tanah dalam menyerap air dan menahan air serta
zat-zat hara lain. Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama,
yaitu sekitar 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Pengomposan dapat berlangsung
dengan fermentasi yang lebih cepat dengan bantuan mikroorganisme
(Permana dan Hirasmawan, 2009).
Proses pengomposan dapat terjadi dalam kondisi aerobik maupun
anerobik. Pengomposan aerobik terjadi dalam keadaan terdapat oksigen,
akan menghasilkan CO2, air dan panas. Proses anerobik menghasilkan metana
,alkohol, CO2, dan senyawa antara seperti asam organik. Proses anerobik
seringkali menimbulkan bau tajam sehingga proses pengomposan banyak
dilakukan dengan cara aerobik (Sutinah, 2013).
Mikroorganisme Fermentasi
Mikroorganisme fermentasi merupakan mikroorganisme yang dapat di
menfaatkan sebagai starter dalam pembuatan bokasi atau kompos. Beberapa jenis
mikroorganisme fermentasi yaitu:
1. Rhizopus sp
Jamur Rhizopus sp telah diketahui sejak lama sebagai jamur yang
memegang peranan utama pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe. Jamur
Rhizopus sp akan membentuk padatan kompak berwarna putih yang disebut
sebagai benang halus/biomasa. Benang halus/biomasa disebabkan adanya miselia
jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai dan menghubungkan biji-biji
kedelai tersebut. Masyarakat umumnya menyebut inokulum jamur untuk
membuat tempe dengan laru atau ragi tempe. Jenis Rhizopus yang dapat
digunakan sebagai inokulum dalam pembuatan tempe yaitu R. oligosporus, R.
oryzae, R. stolonifer. dan kombinasi dua jenis atau ketiga-tiganya. Salah satu jenis
jamur yang sering dijumpai dalam ragi tempe adalah Rhizopus oligosporus. Jamur
ini dapat digunakan sebagai kultur tunggal dalam laru. Jenis jamur lainnya seperti
Rhizopus oryzae, R. stolonifer dan R. arrhizus juga sering ditemui pada kultur
campuran ragi tempe (Dewi dan ‘Azis, 2011)
Kapang golongan Rhizopus sp sangat berperan penting dalam proses
enzim β-glukosidase. Selama proses fermentasi kedelai berlangsung menjadi
tempe, isoflavon glukosidase dikonversi menjadi isoflavon aglikon oleh enzim
β-glukosidase yang disekresikan oleh mikroorganisme. Enzim ini selain terdapat
di dalam kedelai juga diproduksi oleh mikroorganisme selama proses fermentasi
berlangsung dan mampu memecah komponen glukosida menjadi aglikon dan
gugus gula (Ewan, et al., 1992).
Fermentasi bungkil kedelai memakai Rhizopus sp, mampu meningkatkan
kandungan protein kasar bunngkil kedelai dari 41% menjadi 55%. Dan
menigkatkan asam amino sebesar 14,2% sehingga diduga dapat dipakai untuk
alternatif sebagai bahan pemicu pertumbuhan tanaman (Handajani, 2007).
2. Saccharomyces sp
Ragi mampu menghasikan enzim yang dapat mengubah subtrat menjadi
bahan lain dengan mendapatkan keuntungan berupa energi. Ragi untuk tape
merupakan campuran dari bermacam-macam organisme yang hidup bersama
secara sinergetik, dimana umumnya terdapat spesies-spesies dari genus
Aspergillus yang dapat menyederhanakan amilum, Saccharomyces sp, Candida
sp, dan Hansenula sp yang dapat menguraikan gula menjadi alkohol dan
bermacam-macam zat organik lainnya serta bakteri (Acerobacter sp) yang
menumpang untuk mengubah alkohol menjadi asam cuka (Dwidjoseputro, 1994)
Tempe, Tape, danYoghurt
1. Fermentasi Tempe
Tempe merupakan makanan tradisional khas Indonesia yang berpotensi
sebagai makanan fungsional karena mempunyai gizi tinggi yang diperlukan oleh
hipokolesterolemik, antidiare, antioksidan, meningkatkan penyerapan kalsium dan
zat besi, sebagai senyawa antitrombotik, menurunkan kolesterol dan sebagainya.
Tempe adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu,
berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit
keabu-abuan. Pembuatan Tempe dilakukan dengan proses fermentasi, yaitu
dengan menumbuhkan kapang Rhizopus spp. pada kedelai matang yang telah
dilepaskan kulit epidermisnya (Dewi dan ‘Azis, 2011).
Gambar 1. Fermentasi tempe 2. Fermentasi Tape
Tape adalah jenis makanan rakyat yang terbuat dari bahan-bahan yang
mengandung banyak karbohidrat yang di fermentasi, misalnya ketela pohon atau
singkong (tape singkong), beras ketan (tape ketan). Fermentasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah lama fermentasi. Lama fermentasi yang
dibutuhkan dalam proses fermentasi adalah 2-3 hari. Waktu yang sesuai akan
menghasilkan tape yang rasanya khas, rasa manis dengan sedikit asam serta
adanya aroma alkohol. Rasa manis karena perubahan karbohidrat menjadi glukosa
sebagai karbohidrat yang lebih sederhana, sedangkan rasa asam karena dalam
proses fermentasi terbentuk asam, sehingga semakin lama pemeraman maka akan
Gambar 2. Fermentasi Tape 3. Yogurt
Yogurtmerupakan salah satu produk fermentasi susu dengan bantuan
bakteri asam laktat (BAL).) Yoghurtmempunyai banyak manfaat bagi tubuh
antara lain mengatur saluran pencernaan, antidiare, antikanker, meningkatkan
pertumbuhan, membantu penderita lactose intolerance dan mengatur kadar
kolesterol dalam darah. Karakteristik yoghurt seperti rasa yang asam dan tekstur
yang kental menjadikan beberapa orang tidak menyukainya. Diperlukan adanya
diversifikasi dalam pembuatan yoghurt, yaitu dengan membuat produk
yoghurtyang tidak terlalu asam dengan menghentikan waktu fermentasi pada
tingkat keasaman yang diinginkan dan tekstur yang tidak kental (encer) sehingga
mudah untuk diminum yang biasa disebut drink yoghurt (Hidayat, et al, 2013)
Mol Buah dan Sayur
MOL (mikroorganisme lokal) merupakan kumpulan mikro-organisme
yang bisa diternakkan, yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan bokasi
atau kompos. Pemanfaatan limbah per-tanian seperti buah-buahan tidak layak
konsumsi untuk diolah menjadi MOL dapat meningkatkan nilai tambah limbah,
Gambar 3. Mol Buah dan Sayur
Mikroorganisme lokal (MOL) merupakan salah satu cara pengembangbiakan
mikroorganisme yang akan mampu mendegradasi bahan organik. Bahan
pembuatan MOL ini adalah antara lain tempe, tape, dan youghurt dll.
Mikroorganisme dasar dalam MOL ini adalah Saccharomyces yang berasal dari
ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus dari yoghurt.
Mikroorganisme ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Sifat amilolitik, mikroorganisme yaitu Saccharomyces akan menghasilkan
enzim amilase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile
fatty acids yang kemudian akan menjadi asam amino.
b. Sifat proteolitik, mikroorganisme yaitu Rhizopus akan mengeluarkan enzim
protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida, lalu menjadi
peptide sederhana dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2 dan air.
c. Sifat lipolitik, mikroorganisme yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim
lipase yang berperan dalam perombakan lemak. (Ginting, 2009)
EM4
Effective microorganismesms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dari
pertumbuhan tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang
ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologis tanah dan dapat
membantu penyerapan unsure hara. EM4 mengandung mikroorganisme
fermentasi dan sintetik yang terdiri dari bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.),
bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.), Actinimycetes sp., Srteptomyces sp.,
dan ragi (yeast). Selain bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah dan
tanaman. EM4 juga bermanfaat untuk memfermentasi sampah organic menjadi
pupuk organik (Marsono dan Sigit, 2005).
Gambar 4. EM4
EM-4 (Effective Microorganisme) adalah kultur campuran dari
mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman,
Mikroorganisme yang terdapat dalam EM-4 terdiri dari bakteri fotosintesis
(Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi
(Saccharomices sp), actinomycetes sp, dan aspargillus sp. Effective
mikroorganisme (EM-4) dapat meningkatkan fermentasi organik, unsur hara
tanaman, serta meningkatkan aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme
Parameter yang digunakan pada Uji Pengomposan
1. Temperatur
Temperatur adalah satu indikator penting kunci di dalam pembuatan
kompos. Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan proses yang dilakukan
oleh mikroba untuk mengurai bahan organik. Temperatur ini dapat digunakan
untuk mengukur seberapa baik system pengomposan ini bekerja, disamping itu
juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Sebagai ilustrasi,
jika kompos naik sampai Temperatur 40°C – 50°C, maka dapat disimpulkan
bahwa campuran bahan baku kompos cukup mengandung bahan Nitrogen dan
Carbon dan cukup mengandung air (kelembaban cukup) untuk menunjang
pertumbuhan mikroorganisme (Susetya, 2010).
Tinggi tumpukan merupakan salah satu faktor yang menentukan temperatur
pengomposan, tumpukan bahan yang terlalu rendah akan mengakibatkan cepatnya
kehilangan panas karena tidak cukupnya material untuk menahan panas yang
dilepaskan, sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang secara optimal.
Sebaliknya jika tumpukan terlalu tinggi, akan terjadi kepadatan bahan yang
diakibatkan oleh berat bahan sehingga suhu menjadi sangat tinggi dan tidak ada
udara di dalam tumpukan (Musnamar, 2003).
Selama proses dekomposisi, suhu dijaga sekitar 40°C - 50°C selama 3
minggu karena pada tingkatan suhu tersebut bakteri akan bekerja secara optimal
sehingga penurunan C/N rasio berjalan sempurna dan mampu memberantas
bakteri pathogen maupun biji gulma. Pada proses composting yang baik, maka
Temperatur 40°C - 50°C dapat dicapai dalam 2 – 3 hari. Kemudian dalam
didekomposisi oleh mikrorganisme habis. Dari situ barulah Temperatur akan
turun (Parnata, 2004).
Pada system natural aeration, udara yang masuk kedalam alat bergantung
pada kondisi udara sekitar dan cuaca, sehingga aerasi yang diperoleh tidak teratur
bahkan mungkin jumlahnya bisa terlalu sedikit (Dewi, dkk. 2007).
Temperatur yang tinggi pada proses pengomposan sangat penting untuk
proses higienisasi, yaitu untuk membunuh bakteri patogen dan bibit gulma, selain
untuk memacu proses pengomposan karena pada umumnya proses pengomposan
kombinasi suhu termofilik dan mesofilik. Kurang tingginya suhu kompos
disebabkan karena jumlah limbah yang dikomposkan tidak cukup memberikan
proses insulasi panas. Sejumlah energi dilepaskan dalam bentuk panas pada
perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur.
Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik.
Kondisi mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi
protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan
mengakibatakan temperatur turun dan kemudian naik lagi (Pandebesie, 2012).
2. pH
Kisaran pH kompos yang baik adalah 6,5 – 7,5 (netral) karena akan
mempengaruhi aktifitas mikroorganisme (Sutedjo, 2002). Pengamatan pH kompos
berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan
bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara
5,5 sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam
organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan
pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral
dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antar 6 – 8 (Susetya, 2010).
pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai
7.5. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan
organik dan pH bahan itu sendiri. pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral (Widarti dkk, 2015).
Penurunan nilai pH saat proses pengomposan disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme yang menghasilkan asam organik dan reduksi dari ion
ammonium (NH4+) Indrasti dkk. (2006).
3. C/N Rasio
Bahan-bahan mentah yang biasa seperti: merang, daun,sampah
dapur,sampah kota, dan lain-lain, umumnya memiliki C/N rasio diatas 30.
Pembuatan kompos pada hakekatnya ialah menumpukkan bahan-bahan organic
dan membiarkannya terurai enjadi bahan-bahan yang mempunyai C/N rasio yang
rendah sebelum digunakan sebagai pupuk (Sutejo, 2002)
Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara
jumlah karbon dan nitrogen (C/N) rasio. Jika C/N rasio tinggi berarti bahan
penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N
rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan
dengan C/N rasio rendah (Novizan, 2005).
Apabila proses pengomposan telah selesai, maka perbandingan C/N rasio
bahan organic mendekati C/N rasio tanah, yaitu berkisar 12-15. Bahan organic
tergantung kadar air bahan. Bahan organic ini sudah bisa diaplikasikan ke
tanaman (Isnaini, 2006).
Di dalam proses pengomposan akan terjadi perubahan struktur bahan
organic yang dilakukan oleh mikroorganisme, yaitu berupa penguraian selulosa,
hemiselulosa, lemak, lilin serta yang lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan
air (Musnamar, 2007)
Penurunan nilai rasio C/N pada masing-masing komposter ini disebabkan
karena terjadinya penurunan jumlah karbon yang dipakai sebagai sumber energi
mikroba untuk menguraikan atau mendekomposisi material organik. Pada proses
pengomposan berlangsung perubahan-perubahan bahan organik menjadi CO2 +
H2O + nutrien + humus + energi. Selama proses pengomposan CO2 menguap dan
menyebabkan penurunan kadar karbon (C) dan peningkatan kadar nitrogen (N)
sehingga rasio C/N kompos menurun. Rasio C/N yang terlalu tinggi akan
memperlambat proses pembusukan, sebaliknya jika terlalu rendah walaupun
awalnya proses pembusukan berjalan dengan cepat, tetapi akhirnya melambat
karena kekurangan C sebagai sumber energi bagi mikroorganisme (Pandebesie,
2012).
yang menyatakan bahwa pola perubahan pH kompos berawal dari pH agak
asam karena terbentukknya asam-asam organik sederhana, kemudian pH
meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya protein dan terjadinya
pelepasan amonia. Sementara itu, kadar garam kompos tergolong sangat rendah
untuk semua perlakuan, karena bahan dasar kompos tidak ada yang banyak
Kondisi Umum Lokasi Pembuatan Kompos
Kabupaten Dairi terdiri dari 15 kecamatan yiatu Sidikalang, Berambu,
Sitinjo, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-pungga, Lae Parira,
Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga,
Gunung Sitember, Pegagan Hilir, dan Tanah Pinem. Kecamatan Silahisabungan
merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Dairi yang dimekarkan
dari Kecamatan Sumbul Pegagan pada tahun 2004. Kecamatan Silahisabungan
terdiri dari 5 Desa yaitu (Desa Silalahi I, Silalahi II, Silalahi III, Paropo, dan Desa
Paropo I) dengan jumlah penduduk 4471 jiwa pada tahun 2011 dan memiliki luas
wilayah sekitar 7562 km (BPS Dairi).
Gambar 5. Peta Desa Paropo I
Rata-rata kondisi iklim pada tahun 2015 di Kabupaten Dairi yaitu:
- curah hujan = 290 mm
- suhu udara = 24.2
- kelembabab udara = 88%
- kecepatan angin = 1.47 m/s
- Intensitas radiasi matahari = 751 Wh/m2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Danau toba adalah Sebuah danau vulkanik yang terletak 176 km arah selatan
Kota Medan dengan ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km. Permukaan danau
berada pada ketinggian 903 mdpl dengan kedalaman maksimal danau 529 meter.
Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan
Propinsi Sumatera Utara, Danau ini merupakan danau terbesar
di
vulkanik bernama
Danau Toba memiliki beberapa permasalahan yang belum terselesaikan
hingga saat ini. Salah satunya adalah pembakaran lahan hutan untuk membuka
lahan pertanian. Karena selain berprofesi sebagai nelayan, sebagian masyarakat di
sekitar Danau Tobaberprofesi sebagai petani.
Selain itu, perkembangan eceng gondok yang tidak terkendali juga menjadi
permasalahan di Danau Toba. Eceng gondok (Eichornia crassipes) berkembang
biak secara vegetatif dengan membentuk tunas (stolon) di atas akar maupun
generatif dengan bijinya. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat berlipat
ganda dalam waktu 7-10 hari. Menurut penelitian Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba, satu batang eceng gondok dalam
waktu 52 hari mampu berkembang 1x1 m (Purbono, et al)
. Perkembangbiakan yang demikian cepat menyebabkan tanaman eceng
gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan
mempengaruhi ekosistem Danau Toba. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi kedua permasalahan diatas adalah dengan memanfaatkan
tanaman eceng gondok sebagai bahan dasar dalam pembuatan pupuk kompos
dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme. Dengan pembuatan
kompos ini, diharapkan penduduk di sekitar Danau Toba yang sebagian besar
berprofesi sebagai petani dapat membuat pupuk sendiri. Sehingga mereka tidak
perlu lagi membeli pupuk organik dari luar. Dengan demikian, diharapkan agar
taraf hidup penduduk di sekitar Danau Toba dapat meningkat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aktivator yang paling cepat
mendekomposisikan eceng gondok di DTA Danau Toba.
Hipotesis Penelitian
Aktifator yang berbeda akan menghasilkan laju dekomposisi eceng
gondok yang berbeda.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kehutanan di Fakultas
Kehutanan, Universitas Sumatera Utara dan diharapkan pula agar masyarakat
Kabupaten Dairi maupun masyarakat sekitar Danau toba dapat memanfaatkan
IMAMUDIN: Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator.Dibimbing oleh AFIFUDDIN DALIMUNTHE dan BUDI UTOMO.
Danau Toba memiliki beberapa masalah salah satunya adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengurangi dan mengatasi pertumbuhan eceng gondok di perairan Danau Toba. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2016 di Desa Paropo I Kecamatan silahisabungan Kabupaten Karo dengan menggunakan beberapa perlakuan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan. Perlakuan 1 yaitu kontrol, perlakuan 2 yaitu EM4, perlakuan 3 tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan 4 adalah mol buah dengan sayur, dengan parameter yang di uji adalah temperature, pH dan C/N rasio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian semua perlakuan dari parameter temperature dan pH mendapatkan hasil yang berpengaruh nyata (Fhit 15.11 < Ftabel 3.29) dan (Fhit 415 < Ftabel 3.29) sedangkan pada pemberian semua perlakuan pada parameter C/N rasio memberikan hasil yang nyata (Fhit 20.36 > Ftabel 3.29). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah perlakuan tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan mol buah dengan sayur adalah aktifator yang paling vepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air Danau Toba.
IMAMUDIN: Composting water hyacinth (Eichornia crassipes) on Lake Toba Catchment Area with activators. Guided by AFIFUDDIN DALIMUNTHE and BUDI UTOMO.
Lake Toba have the problems. One of them iswater hyacinth growing very fast. The purpose of this research was to reduce and resolve water hyacinth growing on Lake Toba. The study was done in October-December 2016 in the Paropo I village Kabupaten Karo using several treatment. This research using four treatment and three replication. Treatment 1 is control, treatment 2 is EM4,treatment 3 is tempe, tape with yoghurt, treatmen 4 is mole fruit with vegetables, with the parameters tested are temperature, pH and C/N ratio.
The result of research showed that the provisions of treatment of all parameters temperature and pH getting results affect real (Fhit 15.11<Ftabel 3.29) and (Fhit 415<Ftabel 3.29) while the treatment in all the provision of real results on parameters of ratio C/N (Fhit 20.36>Ftabel 3.29). the conclusions from the results of this research is treatment tempe, tape with kefir and treatment mole fruit with vegetable are the faster activator to composting water hyacinth on Lake Toba Cacthment Area
BEBERAPA JENIS AKTIFATOR
SKRIPSI
Oleh: IMAMUDIN
121201074/BUDIDAYA HUTAN
PRORGAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judu : Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di Dta Danau TobaDengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator
Nama : Imamudin
Nim : 121201074
Program Studi: Kehutanan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Afifuddin Dalimunthe, SP., MP
Ketua Anggota
Dr. Budi Utomo, SP., MP
Mengetahui,
IMAMUDIN: Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator.Dibimbing oleh AFIFUDDIN DALIMUNTHE dan BUDI UTOMO.
Danau Toba memiliki beberapa masalah salah satunya adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengurangi dan mengatasi pertumbuhan eceng gondok di perairan Danau Toba. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2016 di Desa Paropo I Kecamatan silahisabungan Kabupaten Karo dengan menggunakan beberapa perlakuan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan. Perlakuan 1 yaitu kontrol, perlakuan 2 yaitu EM4, perlakuan 3 tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan 4 adalah mol buah dengan sayur, dengan parameter yang di uji adalah temperature, pH dan C/N rasio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian semua perlakuan dari parameter temperature dan pH mendapatkan hasil yang berpengaruh nyata (Fhit 15.11 < Ftabel 3.29) dan (Fhit 415 < Ftabel 3.29) sedangkan pada pemberian semua perlakuan pada parameter C/N rasio memberikan hasil yang nyata (Fhit 20.36 > Ftabel 3.29). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah perlakuan tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan mol buah dengan sayur adalah aktifator yang paling vepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air Danau Toba.
IMAMUDIN: Composting water hyacinth (Eichornia crassipes) on Lake Toba Catchment Area with activators. Guided by AFIFUDDIN DALIMUNTHE and BUDI UTOMO.
Lake Toba have the problems. One of them iswater hyacinth growing very fast. The purpose of this research was to reduce and resolve water hyacinth growing on Lake Toba. The study was done in October-December 2016 in the Paropo I village Kabupaten Karo using several treatment. This research using four treatment and three replication. Treatment 1 is control, treatment 2 is EM4,treatment 3 is tempe, tape with yoghurt, treatmen 4 is mole fruit with vegetables, with the parameters tested are temperature, pH and C/N ratio.
The result of research showed that the provisions of treatment of all parameters temperature and pH getting results affect real (Fhit 15.11<Ftabel 3.29) and (Fhit 415<Ftabel 3.29) while the treatment in all the provision of real results on parameters of ratio C/N (Fhit 20.36>Ftabel 3.29). the conclusions from the results of this research is treatment tempe, tape with kefir and treatment mole fruit with vegetable are the faster activator to composting water hyacinth on Lake Toba Cacthment Area
Penulis dilahirkan di Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat pada
tanggal 18 September1993. Ayah yang bernama Yatiman dan Ibu Jatiyah. Penulis merupakan
anak kelima dari lima bersaudara. Saat penulis berusia 3 tahun, penulis beserta keluarga pindah
ke Desa Tandem Hilir II, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.
Penulis menempuh pendidikan formal di MIS Al-Washliah Tandem Hilir II dan lulus tahun
2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di MTsS Al-Waskliah Tandem Hilirr II dan
lulus tahun 2009. Dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) Negeri 1 Hamparan Perak dan lulus tahun 2012 dan pada tahun yang sama juga
penulis diterima sebagai Mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara melalui jalur ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi sebagai anggota BKM
Baitul Ashjhaar dan Himpinan Mahasiswa Silva (HIMAS) di Program Studi Kehutanan.
Penulis telah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Pulau
Sembilan Kabupaten Langkat dari tanggal 14 sampai 23 agustus 2014. Penulis juga telah
melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Sumatera Riang Lestari Blok 1 Estate Sei
kebaro, Kab. Labuhan Batu Selatan, Kab. Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara pada
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat danrahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini
yangbertema ”Kecepatan Dekomposisi Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Di
DTA Danau TobaDengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator”.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui jenis aktivator yangpaling
baik dalam proses pembuatan komposeceng gondok di Kabupaten
Dairi.Diharapkan pula agar masyarakat Kabupaten Dairi maupun masyarakat
sekitar Danau toba dapat memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan untuk
pembuatan pupuk kompos. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada: :
1. Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Siti Latifah S,Hut.,
M.Si., Ph.D
2. Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP., MP, selaku komisi pembimbing I atas
membimbingannya untuk dalam penyusunan skripsi ini.
3. bapakDr. Budi Utomo, SP.,MP, selaku komisi pembimbing II atas
membimbingannya untuk dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh dosendi Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang telah
memberi pengajaran dan wawasan.
5. Kedua orang tua serta kakak dan abang yang selalu memberi doa dan
dukungan berupa nasihat dan material.
6. Kepala desa dan warga desa Paroppo I yang telah membantu kegiatan
Arif Azhari, Santi Marlina Nainggolan, Rapolo Lumban Gaol, Budi Satria
Sihite, Christovorus S.S. dan Oskar Pardosi yang telah membantu penulis
dalam pelaksanaan penelitian ini.
8. Seluruh Pegawai Tata Usahadi Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera
Utara yang telah membantu dalam seluruh urusan administrasi dan surat
perijinan.
9. Pegawai Laboratorpum Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan skripsi ini pada masa yang akan datang. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih
Medan, Juni 2016
Hal.
Kegunaan Penelitian... 2
TINJAUAN PUSTAKA PupukdanPemupukan…. 3PupukAnorganik ... 3
Pupuk Organik ... 5
Pengomposan ... 6
Mikroorganisme Fermentasi ... 7
Tempe, Tape, dan Yoghurt... 9
MolBuahdanSayur ... 10
EM4 ... 11
Parameter yang bisadigunakanpadaUjiPengomposan... 12
KondisiUmumLokasiPembuatanKompos ... 16
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan WaktuPenelitian ... 17
Bahan dan Alat Penelitian ... 17
Metode Penelitian... 17
Parameter Penelitian... 18
PelaksanaanPenelitian ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN TemperaturBahan di dalamBak... 20
No. Hal. 1. Pengaruh Pemberian Dekomposer Yang Berisi Organisme Lokal
Terhadap Rata-Rata Temperature Kompos pada Umur 30 Hari ...21
2. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme
lokalterhadap rata-rata pH kompos... 12
3. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme lokal
No. Hal.
1. Fermentasi tempe ...8
2. Fermentasi tape ...9
3. Mol Buah dan Sayur ...10
4. EM4 ...11
5. Peta Desa Paropo I ...16
6. Grafik Temperatur Didalam Bak Kompos Dari Hari 1 - 30 ...22