• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Tabel

Lampiran 1. Data harian Temperatur Ulangan 1

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Lampiran 7. Temperatur Akhir Jenis

Dekomposer

Temperatur Akhir Ulangan

Lampiran 8. Tabel Anova temperatur

Sumber Keragaman JK Db KT F-Hit F-Tabel

Lampiran 9. Tabel pH minggu ke-0 Jenis

(8)

Lampiran 11. Tabel pH minggu ke-2

Lampiran 12. Tabel pH minggu ke-3 Jenis

Lampiran 13. Tabel pH minggu ke-4 Jenis

Lampian 14. Tabel Anova pH kompos

Sumber Keragaman JK Db KT F-Hit F-Tabel

(9)

Lampiran 16. Rataan C/N rasio kompos dengan perlakuan tempe, tape + yoghurt

Lampiran 17. Rataan C/N rasio kompos dengan perlakuan EM4 Parameter Satuan

Lampiran 18. Rataan C/N rasio kompos dengan perlakuan mol buah + sayur Parameter Satuan

Lampiran 19. Tabel Anova C/N rasio kompos

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Dewi C.M, Mirasari D.M, Antaresti, Irawati W. 2007. Pembuatan Kompos secara Aerob dengan Bulking Agent Sekam Padi. Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Katolik Widya Mandala. WIDYA TEKNIK Vol. 6 No. 1, 2007.

Dewi, R. S. Dan ‘Azis, S. 2011. Isolasi Rhizopus oligosporus pada beberapa Inokulum Tempe Di Kabupaten Banyumas. Jurnal Molekul. Vol. 6, No. 2

Djuarnani, N., Kristia, B. S., dan Setiawan, 2005. Cara Tepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Dwidjoseputro. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Dalzell, H.W., A.J. Biddlestone, K.R. Gray dan K. Thurairajan. 1991. Produksi dan Penggunaan Kompos pada Lingkungan Tropis dan Subtropis.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Ewan, C, V., Moor and A Seo. 1992. Isoflavon Aglycones and Volatiles Compound in Soybeans, Effect of Soaking Treatment., Journal Food Science, 57, 577-682.

Fahmi, N Dan Nurrahman. 2011. Kadar Glukosa, Alkohol dan Citarasa Tape Onggok berdasarkan Lama Fermentasi. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 2, No. 3.

Ginting J., S, P., 2009. Kecernaan Pakan Berbentuk Pelet Mengandung Kulit Pisang Raja Fermentasi Dengan Mikroorganisme Lokal Dibandingkan Dengan Trichderma harzianum Pada Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih. Skripsi. Program Studi Peternakan. Fakultas Pertanian. USU

Handajani, H. 2007. Peningkatan Nilai Nutrisi Tepung Azolla Melalui Fermentasi. Naskah Publikasi. Universitas Muhammadiyah Malang.

Hidayat., Kusrahayu., Mulyani, S., 2013. Total Bakteri Asam Laktat, Nilai Ph Dan Sifat Organoleptik Drink Yoghurt Dari Susu Sapi Yang Diperkaya Dengan Ekstrak Buah Mangga. Animal Agriculture Journal. Vol. 2, No.1.

https://dairikab.bps.go.id/frontend/ [diakses pada tanggal 19 Juni 2016 pada pukul 10.00 WIB]

(11)

Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Lingga, P dan Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Madjid, M. D., Bachtiar, E. H., Fauzi H., Hamidah, H. 2011. Dasar Pupuk dan Pemupukan Kesuburan Tanah. USU Press. Medan.

Marsono dan Sigit, P. 2005.Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta

Musnamar, E. I., 2003. Pembuatan Aplikasi Pupuk Organik Padat. Penebar Swadaya, Jakarta

Novizan. 2005.Petunjuk Pemupukan yang Efektif.Agromedia Pustaka.Jakarta

Pandebesie, E.S., Rayuanti, D., Pengaruh Penambahan Sekam Pada Proses Pengomposan Sampah Domestik. Jurnal Lingkungan Tropis, 2013, 6(1), 31 – 40.

Parnata, A. S. 2004. Pupuk Organik Cair. T Agromedia Pustaka. Jakarta.

Surtinah. 2013. Pengujian Kandungan Unsur Hara Dalam Kompos Yang Berasal Dari Serasah Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). Jurnal Ilmiah Pertanian. Vol. 11, No. 1.

Susetya, D. 2010. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik untuk Tanaman Pertanian dan Perkebunan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Sutanto, R. 2006. Pertanian Organik. Cetakan Keenam. Kansius. Yogyakarta.

Sutedjo, M. M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. RINEKA CIPTA. Jakarta.

Permana, A. H. dan R. S. Hirasmawan. 2009. Pembuatan Kompos dari Limbah Padat Organik yang tidak Terpakai (Limbah Sayuran Kangkung, Kol dan Kulit Pisang). Jurnal Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang.

(12)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Paropo I,Kecamatan Silalahisabungan,

Kabupaten Dairi. Penelitian dilaksanakan mulai dari Oktober 2015 – Desember

2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : eceng gondok,

(EM4), (tape, tempe dan yoghurt), (mol buah+sayur). Alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah: kamera digital, cangkul, mesin chopper, meteran, ember, pH

meter, thermometer dan bak berukuran 1x1x0.75 m dan alat tulis lainnya yang

diperlukan.

Metode Penelitian

Penelitian di desain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non

Faktorial dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan yaitu :

1. d1 = (EM-4)

2. d2 = (tape, tempe dan yakult)

3. d3 = (mol buah + sayur)

4. d4 = (kontrol)

Semua perlakuan diulang 6 kali sehingga diperoleh 24 jumlah unit percobaan.

Model matematika percobaan yang digunakan adalah :

Υij = µ+τi +βj+Ɛij

(13)

i = 1, 2,……t

j = 1, 2,……r

Υij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

βj = pengaruh kelompok ulangan ke-j

µ = nilai tengah umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

Ɛij = pengaruh galat / acak dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Parameter Penelitian

Parameter yang dapat digunakan dalam uji pengomposan ini adalah :

1. Temperatur

2. pH

3. C/N rasio

Pelaksanaan Penelitian

Adapun langkah-langkah dalam pelaksaan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Pengambilan dan Pemilahan Eceng Eondok

Pengambilan eceng gondok dilakukan di Pinggir Danau toba. Pada tahap

ini dilakukan pemisahan eceng gondok dari limbah anorganik barang lapak

dan barang berbahaya. Pemilahan harus dilakukan dengan teliti karena

akan menentukan kelancaran proses dan mutu kompos yang dihasilkan

2. Pencacahan eceng gondok

Pencacahan dilakukan dengan menggunakan mesin chopper. Sehingga

(14)

memperluas permukaan eceng gondok, sehingga eceng gondok dapat

dengan mudah dan cepat didekomposisi menjadi kompos

3. Pengisian Bak

Eceng gondok yang telah melewati tahap pemilahan dan pengecilan

ukuran kemudian dimasukkan ke dalam bak.

4. Pemberian Aktifator

Bahan organik yang telah dimasukkan ke dalam bak diberi aktifator yang

telah disediakan. Pemberian aktifator dilakukan dengan merata agar bahan

lebih cepat terdekomposisi.

5. Pengukuran Temperatur

Pengukuran temperature dilakukan setiap hari.

6. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan seminggu sekali

7. Pembalikan

Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang berlebihan,

memasukkan udara segar ke dalam adonan eceng gondok, meratakan

proses pelapukan di setiap bagian eceng gondok, meratakan pemberian air,

serta membantu pengahancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil.

8. Pematangan

Setelah pengomposan berjalan 30 hari, suhu tumpukan akan semakin

menurun hingga mendekati suhu ruangan. Pada saat itu tumpukan telah

lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kondisi ini menandakan bahwa

(15)

9. Analisis C/N Rasio

Sampel kompos yang telah matang diambil untuk dilakukan analisis C/N

rasio.

10.Pengemasan dan Penyimpanan

Kompos yang telah matang dikemas dalam dalam kantung sesuai dengan

kebutuhan pemasaran. Kompos yang telah dikemas disimpan di tempat

(16)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temperaturbahan di dalam Bak

Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui perubahan aktivitas

mikoorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam menguraikan

bahan organikDari hasil analisis temperature akhir, diperoleh data bahwa

pemberian dekomposer menunjukkan respon berbeda nyata terhadap temperature

akhir. Sehingga pengujian lanjutan perlu dilakukan. Uji lanjutan dilakukan dengan

Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) Data rata-rata temperature akhirdapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 . Pengaruh Pemberian Dekomposer Yang Berisi Organisme LokalTerhadap Rata-Rata Temperature Kompos pada Umur 30 Hari

Jenis Dekomposer Rataan

d0 (Kontrol

d1 (EM4)

26oC b 24oC a

d2 (Tempe, Tape + Yoghurt) 24oC a

d3 (Mol Buah + Sayur) 24oC a

Berdasarkan Tabel1, rata-rata temperature akhir yang tertinggi terdapat

pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 26oC. Sedangkan rata-rata temperature akhir

yang terendah terdapat pada perlakuaniEM4 yaitu sebesar 24oC, perlakuan tempe

tape dengan yoghurt yaitu sebesar 24oC, dan perlakuan mol buah dengan sayur

yaitu sebesar 24oC.

Selama proses pengomposan yang ditunjukkan pada Gambar, pada setiap

perlakuan rata-rata suhu tidak mencapai suhu thermofilik (50°C) namun hanya

mencapai suhu mesofilik (30°C). kemungkinan hal ini berkaitan dengan suhu

udara didaerah sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan dewi dkk (2007) yang

(17)

bergantung pada kondisi udara sekitar dan cuaca, sehingga aerasi yang diperoleh

tidak teratur bahkan mungkin jumlahnya bisa terlalu sedikit.

Gambar 6. Grafik Temperatur Didalam Bak Kompos Dari Hari 1 - 30

Berdasarkan Gambar 1, temperatur tertinggi pada control didapat pada hari

ke 10 yaitu sebesar 280C dan temperatur terendah sebesar 24oC. Sedangkan pada

perlakuan tempe, tape dengan yoghurt temperatur tertinggi didapat pada hari ke 4

dengan suhu 36oC yang merupakan suhu tertinggi dari empat perlakuan dan

menurun sampai suhu terendah yang didapat yaitu 24oC. Kemudian pada

perlakuan mol buah dengan sayur, temperatur tertinggi didapat pada hari ke 3 dan

4 dengan suhu 36oC dan menurun sampai 24oC. Lalu pada perlakuan EM4

temperatur tertinggi diperlihatkan pada hari ke 3 yaitu 35oC dan menurun hingga

(18)

Temperatur yang paling tinggi terdapat pada perlakuan yaitu Mol buah

sayur dan tempe tape Yoghurt. Perlakuan EM4 juga mencapai temperature yang

hampir menyamai perlakuan mol buah sayur dan tempe tape yoghurt. Kondisi ini

diduga bahwa mikrooganisme dalam kedua aktivator yang dicoba mempunyai

keragaman yang hampir sama, sehingga peranannya dalam proses perombakan

bahan organik tidak jauh berbeda. Perlakuan Mol buah sayur mengandung

Azotobacter sp, Azosprilium sp, Rhizobium sp, Aspergillus sp, Aeromonas sp,

Metarhizium sp, Trichoderma sp, Beauveria sp, Gliocladium sp, Trichoderma sp,

Pseudomonas sp, Azosprilium sp, (Yuwono (2008). PerlakuanTape, tempe dengan

yoghurt mengandung beberapa jenis mikroorganisme yaitu Saccharomycessp,

Rhizopus sp, Lactobacilus sp, ragi (Ginting, 2009), B3 (EM-4) mengandung

bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), bakteri fotosintesis (Rhodopseudomonas

sp) Azotobacter, Streptomyces sp., ragi (Saccharomices sp), aspargillus sp. dan

Actinomycetes sp. (Djuarnani dkk, 2005).

Tinggi rendahnya temperatur yang didapat pada semua perlakuan

dipengaruhi oleh adanya aktivitas mikroorganisme dalam tumpukan kompos.

Perlakuan Kontrol menunjukkan trend suhu yang relative datar. Kondisi ini terjadi

karena bahan pada perlakuan kontrol tidak diberi starter. Sehingga

mikroorganisme yang ada di dalam bahan pada perlakuan kontrol lebih sedikit,

karena hanya mengandalkan mikroorganisme yang ada di lingkungan. Hal ini

menyebabkan aktifitas mikroorganisme di dalam bahan pada perlakuan kontrol

rendah sehingga trend suhu yang dihasilkanpun datar. Sedangkan perlakuan yang

diberi starter menunjukkan trend suhu yang tinggi. Hal ini terjadi karena adanya

(19)

tinggi dan temperaturpun tinggi. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Wahyono

dan Sahwan (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan suhu

menandakan aktivitas mikroorganisme meningkat dan menurun dalam

menguraikan bahan organik. Suhu yang meningkat disebabkan adanya panas hasil

metabolisme mikroba. Panas yang dihasilkan oleh mikroba merupakan hasil dari

respirasi, semakin tinggi temperatur maka semakin banyak pula konsumsi oksigen

dan semakin cepat pula proses dekomposisi dan menurunnya suhu dikarenakan

berkurangnya nutrisi yang terkandung dalam media dan mengindikasikan bahwa

pengomposan sudah selesai.

Gambar 6 memperlihatkan suhu bahan yang terus berfluktuasi. Hal ini

disebabkab oleh aktifitas mikroorganisme dalam merombak bahan organic yang

menyebabkan suhu meningkat. Namun bahan organic tersebut tidak memiliki

kemampuan untuk menahan suhu yang tinggi. Sehingga suhu yang tinggi ini akan

dilepaskan dalam bentuk panas. Selain itu, pembalikkan bahan juga menyebabkan

suhu berfluktuasi. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Pandebesie (2012) yang

menyatakan bahwa Sejumlah energi dilepaskan dalam bentuk panas pada

perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur.

Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik.

Kondisi mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi

protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan

mengakibatakan temperatur turun dan kemudian naik lagi.

Selama proses pengomposan berlangsung, pengukuran temperatur harian

diukur dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam tumpukan

(20)

berkisar antara 28oC sampai 35oC dan kemudian menurun terus sampai didapat

suhu terendah berkisar antara 24oC-26oC. Pada kisaran temperatur ini sudah

termasuk dalam suhu optimum pengomposan dan diduga kisaran temperatur ini

komposisi populasi mikroba berubah ke tahap mesofilik (20oC-40oC) dan

temperatur kompos yang telah mengalami penurunan berkisar antara 26oC sampai

24oC hal ini diduga karena kompos telah berada pada tahapan psikofil yang

ditandai dengan menurunnya suhu mendekati suhu ruang. Pada penelitian ini,

bahan memiliki temperatur yang mendekati suhu ruang (24oC) yang menandakan

bahan tersebut telah matang.

Nilai pHBahan

Dari hasil analisis rataan pH diperoleh data bahwa perbedaan perlakuan

dekomposer menunjukkan respon berpengaruh nyata terhadap pH. Sehingga uji

lanjutan perlu dilakukan. Uji lanjutan dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple

Range Test). Rataan pH akhir setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme lokal terhadap rata-rata pH kompos

Jenis Dekomposer Rataan

d0 (Kontrol)

d1 (EM4)

5.90 a 7.46 d

d2 (Tempe, Tape + Yoghurt) 7.33 c

d3 (Mol Buah + Sayur) 7.16 b

Berdasarkan Tabel 2, pH tertinggi terdapat pada perlakuan EM4, yaitu

sebesar 7.46. Sedangkan pH terendah terdapat pada perlakuan kontrol, yaitu

sebesar 5.9. Rataan dari pH ini menunjukkan bahwa bahan sudah matang. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Susetya (2010), bahwapengamatan pH kompos

(21)

bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara

5,5 sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam

organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan

mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan kompos. Selama proses

pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral

dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antar 6 – 8.

Gambar 7. GrafikpH

Saat awal proses pengoposan berlangsung, pH mengalami penurunan. Hal

ini disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme yang menghasilkan asamorganik

selama proses pengomposan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indrasti dkk.

(2006) yang menyatakan bahwa penurunan nilai pH saat proses pengomposan

disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan asam organik dan

reduksi dari ion ammonium (NH4+).

Pada pengukuran di hari terakhir, nilai pH menunjukkan peningkatan.

Peningkatan Nilai pH yang mencapai netral sampai agak alkalis mungkin

disebabkan terjadinya penguraian protein menjadi amonia (NH

(22)

berpengaruh terhadap peningkatan pH kompos. Hal ini sesuai dengan hasil

pendapat Dalzell dkk. (1991) yang menyatakan bahwa pola perubahan pH kompos

berawal dari pH agak asam karena terbentukknya asam-asam organik sederhana,

kemudian pH meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya protein dan

terjadinya pelepasan amonia. Sementara itu, kadar garam kompos tergolong

sangat rendah untuk semua perlakuan, karena bahan dasar kompos tidak ada yang

banyak mengandung garam-garam terlarut.

C/N Rasio

Dari hasil analisis C/N ratio diperoleh data bahwa pemberian perbedaan

perlakuan dekomposer menunjukkan respon perbedaan berpengaruh nyata

terhadap C/N ratio. Sehingga uji lanjutan perlu dilakukan. Rataan C/NRatio dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme lokal terhadap rata-rata C/N Rasio kompos

Perlakuan C/N

d0 (Kontrol)

d1 (EM4)

18.68 c 15.96 b d2 (Tempe, Tape + Yoghurt) 13.47 a

d3 (Mol Buah + Sayur) 13.26 a

Hasil uji DMRT yang ditunjukkan pada table 3 memperlihatkan bahwa

perlakuan tempe, tape + yoghurt dan perlakuan mol buah + sayur tidak berbeda

nyata pengaruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan d2 dan perlakuan d3

memberikan pengaruh yang baik terhadap C/N rasio kompos.

C/N ratio masing-masing perlakuan dari beberapa ulangan, yaitu prlakuan

kontrol sebesar 18.68, perlakuanEM4 sebesar 15.96, perlakuan tempe tape +

(23)

pada semua pelakuan menunjukkan bahwa kompos sudah matang dan siap

diaplikasikan ke tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isnaini (2006) yang

menyatakan apabila proses pengomposan telah selesai, maka perbandingan C/N

rasio bahan organic mendekati C/N rasio tanah, yaitu berkisar 12-15. Bahan

organic hasil pengomposan biasanya berbentuk serbuk kasar atau sedikit

bergumpal tergantung kadar air bahan. Bahan organic ini sudah bisa diaplikasikan

ke tanaman.

Sebelum proses perombakan bahan organic terjadi. Nilai C/N rasio pada

bahan masih tinggi. Namun setelah proses perombakan terjadi, nilai C/N menurun

dan mendekati nilai C/N tanah. Hal ini terjadi karena penurunan jumlah karbon

yang digunakan sebagai energi mikroorganisme untuk menguraikan bahan

organik. Selama proses pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan

penurunan kadar karbon (C) dan peningkatan kadar nitrogen (N) sehingga rasio

C/N kompos menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pandebesie (2012) yang

menyatakan bahwa Penurunan nilai rasio C/N pada masing-masing komposter ini

disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah karbon yang dipakai sebagai

sumber energi mikroba untuk menguraikan atau mendekomposisi material

organik. Pada proses pengomposan berlangsung perubahan-perubahan bahan

organik menjadi CO2 + H2O + nutrien + humus + energi. Selama proses

pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan penurunan kadar karbon (C) dan

peningkatan kadar nitrogen (N) sehingga rasio C/N kompos menurun.

Perbedaan perlakuan nisbah C/N memberikan pengaruh yang nyata terhadap

bahan komposan, disebabkan pada proses pengomposan sangat dipengaruhi oleh

(24)

akan terjadi pelepasan karbondioksida, semakin tinggi aktivitas mikroorganisme

maka dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik sehingga C-organik

akan berkurang (akibat pelepasan karbondioksida dan dekomposisi bahan

organik) sementara kadar N-total mengalami peningkatan sehingga rasio C/N

akan berkurang. Berdasarkan pernyataan musnamar (2007), bahwa didalam proses

pengomposan akan terjadi perubahan struktur bahan organik yang dilakukan oleh

mikroorganisme yaitu berupa penguraian selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin,

serta yang lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan air

C/N ratio adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen . Pada Tabel

terlihat bahwa pemberian jenis aktivator pada pengomposan eceng gondok

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap C/N ratio kompos. Hal ini

diduga pada MOL dan EM4 mampu menciptakan kondisi lingkungan yang baik

bagi aktivitas mikrobia dekomposer dalam merombak bahan organik. Menurut

Suwastika (2001), menyatakan bahwa selama proses dekomposisi berlangsung,

bahan organik akan dirombak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana

sampai akhirnya senyawa tersebut tidak dapat didekomposisikan lagi, seperti

tanin, asam humat dan fulfat. Hasil akhir pelapukan menyebabkan kandungan

C-organik dan rasio C/N menurun sedangkan kandungan N dan unsur hara lainnya

meningkat. Susetya (2010) menambahkan bahwa pinsip pengomposan adalah

menurunkan C/N ratio bahan organik menjadi sama dengan C/N ratio tanah (<20).

Nilai C/N ratio tanah sekitar 10-12. Bahan organik yang mempunyai C/N ratio

(25)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tempe tape dengan yoghurt dan mol buah dengan sayur adalah aktifator

yang paling cepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air

Danau Toba.

Saran

Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang jenis mikroba

yang ada pada mol buah + sayur dan tempe tape + yoghurt agar dapat diketahui

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Pupuk dan Pemupukan

1. Pupuk

Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman

untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu

berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun

non-organik (mineral). Pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik maupun

anorganik, apabila ditambahkan kedalam tanah atau tanaman maka dapat

memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman (Madjid, et al., 2011).

2. Pemupukan

Pemupukan merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh untuk

memperbaiki keadaan tanah, baik dengan pupuk buatan (anorganik), maupun

dengan pupu organik (seperti pupuk kandang pupuk kompos). Terdapat dua

kelompok pupuk anorganik berdsarkan jenis hara yang dikandungnya, yaitu

pupuk tunggal dan pupuk mejemuk. Ke dalam kelompok pupuk tunggal terdapat

tiga macam pupuk yang dikenal dan banyak beredar di pasaran, yaitu pupuk yang

berisi hara utama nitrogen (N), hara utama posfor (P), dan hara utama kalium (K)

(Lingga dan Marsono, 2008)

Pupuk Organik

Pupuk organik disebut juga pupuk alam karena seluruh atau sebagian besar

pupuk ini berasal dari alam. Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga,

(27)

masih benar-benar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi ada sedikit pula pupuk

organic yang telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam

bentuk, rupa, dan warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya (Marsono dan

Sigit, 2005).

Seperti halnya pupuk anorganik, jenis pupuk organic sangat beragam. Jika

jenis pupuk anorganik ditentukan oleh kadar haranya maka jenis pupuk organic

ditentukan oleh asal bahan terbentuknya, yaitu:

1. Pupuk Kandang

Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik

berupa kotoran padat (feses) yang bercampur sisa makanan maupun air

kencing (urine). Itulah sebabnya pupuk kandang terdidi dari dua jenis,

yaitu padat dan cair.

2. Pupuk Hijau

Pupuk hijau adalah pupuk organik yang berasal dari bagian-bagian

tanaman seperti daun, tangkai, dan batang yang masih muda. Tujuannya,

untuk menambah bahan organic dan unsure-unsur lainnya ke dalam tanah.

3. Humus

Humus adalah sisa tumbuhan berupa daun, akar, cabang, dan batang yang

sudah membusuk secara alami lewat bantuan mikroorganisme (di dalam

tanah) dan cuaca (di atas tanah). Lapisan atas tanah di hutan banyak

terbentuk humus.

4. Kompos

kompos merupakan hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan,

(28)

Proses pelapukan bahan-bahan tersebut dapat dipercepat melalui bantuan

manusia. Oleh karena itu, siapapun dapat membuat kompos asalkan tau

caranya.

(Marsono dan Lingga, 2004).

Pupuk organik mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Akan tetapi, Nitrogen dan unsur hara yang lain yang dikandung pupuk organik

dilepaskan perlahan-lahan sehingga penggunaannya harus berkesinambungan.

Nilai pupuk yang dikandung dalam pupuk organik juga rendah dan sangat

bervariasi, penyediaan hara terjadi secara lambat dan menyediakan hara dalam

jumlah terbatas. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat

bermanfaat bagi kondisi fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah

(Sutanto, 2006).

Pengomposan

Pengomposan merupakan suatu teknik pengolahan limbah padat yang

mengandung bahan organik biodegradable (dapat diuraikan mikroorganisme).

Selain menjadi pupuk organik maka kompos juga dapat memperbaiki struktur

tanah, memperbesar kemampuan tanah dalam menyerap air dan menahan air serta

zat-zat hara lain. Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama,

yaitu sekitar 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Pengomposan dapat berlangsung

dengan fermentasi yang lebih cepat dengan bantuan mikroorganisme

(Permana dan Hirasmawan, 2009).

Proses pengomposan dapat terjadi dalam kondisi aerobik maupun

anerobik. Pengomposan aerobik terjadi dalam keadaan terdapat oksigen,

(29)

akan menghasilkan CO2, air dan panas. Proses anerobik menghasilkan metana

,alkohol, CO2, dan senyawa antara seperti asam organik. Proses anerobik

seringkali menimbulkan bau tajam sehingga proses pengomposan banyak

dilakukan dengan cara aerobik (Sutinah, 2013).

Mikroorganisme Fermentasi

Mikroorganisme fermentasi merupakan mikroorganisme yang dapat di

menfaatkan sebagai starter dalam pembuatan bokasi atau kompos. Beberapa jenis

mikroorganisme fermentasi yaitu:

1. Rhizopus sp

Jamur Rhizopus sp telah diketahui sejak lama sebagai jamur yang

memegang peranan utama pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe. Jamur

Rhizopus sp akan membentuk padatan kompak berwarna putih yang disebut

sebagai benang halus/biomasa. Benang halus/biomasa disebabkan adanya miselia

jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai dan menghubungkan biji-biji

kedelai tersebut. Masyarakat umumnya menyebut inokulum jamur untuk

membuat tempe dengan laru atau ragi tempe. Jenis Rhizopus yang dapat

digunakan sebagai inokulum dalam pembuatan tempe yaitu R. oligosporus, R.

oryzae, R. stolonifer. dan kombinasi dua jenis atau ketiga-tiganya. Salah satu jenis

jamur yang sering dijumpai dalam ragi tempe adalah Rhizopus oligosporus. Jamur

ini dapat digunakan sebagai kultur tunggal dalam laru. Jenis jamur lainnya seperti

Rhizopus oryzae, R. stolonifer dan R. arrhizus juga sering ditemui pada kultur

campuran ragi tempe (Dewi dan ‘Azis, 2011)

Kapang golongan Rhizopus sp sangat berperan penting dalam proses

(30)

enzim β-glukosidase. Selama proses fermentasi kedelai berlangsung menjadi

tempe, isoflavon glukosidase dikonversi menjadi isoflavon aglikon oleh enzim

β-glukosidase yang disekresikan oleh mikroorganisme. Enzim ini selain terdapat

di dalam kedelai juga diproduksi oleh mikroorganisme selama proses fermentasi

berlangsung dan mampu memecah komponen glukosida menjadi aglikon dan

gugus gula (Ewan, et al., 1992).

Fermentasi bungkil kedelai memakai Rhizopus sp, mampu meningkatkan

kandungan protein kasar bunngkil kedelai dari 41% menjadi 55%. Dan

menigkatkan asam amino sebesar 14,2% sehingga diduga dapat dipakai untuk

alternatif sebagai bahan pemicu pertumbuhan tanaman (Handajani, 2007).

2. Saccharomyces sp

Ragi mampu menghasikan enzim yang dapat mengubah subtrat menjadi

bahan lain dengan mendapatkan keuntungan berupa energi. Ragi untuk tape

merupakan campuran dari bermacam-macam organisme yang hidup bersama

secara sinergetik, dimana umumnya terdapat spesies-spesies dari genus

Aspergillus yang dapat menyederhanakan amilum, Saccharomyces sp, Candida

sp, dan Hansenula sp yang dapat menguraikan gula menjadi alkohol dan

bermacam-macam zat organik lainnya serta bakteri (Acerobacter sp) yang

menumpang untuk mengubah alkohol menjadi asam cuka (Dwidjoseputro, 1994)

Tempe, Tape, danYoghurt

1. Fermentasi Tempe

Tempe merupakan makanan tradisional khas Indonesia yang berpotensi

sebagai makanan fungsional karena mempunyai gizi tinggi yang diperlukan oleh

(31)

hipokolesterolemik, antidiare, antioksidan, meningkatkan penyerapan kalsium dan

zat besi, sebagai senyawa antitrombotik, menurunkan kolesterol dan sebagainya.

Tempe adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu,

berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit

keabu-abuan. Pembuatan Tempe dilakukan dengan proses fermentasi, yaitu

dengan menumbuhkan kapang Rhizopus spp. pada kedelai matang yang telah

dilepaskan kulit epidermisnya (Dewi dan ‘Azis, 2011).

Gambar 1. Fermentasi tempe 2. Fermentasi Tape

Tape adalah jenis makanan rakyat yang terbuat dari bahan-bahan yang

mengandung banyak karbohidrat yang di fermentasi, misalnya ketela pohon atau

singkong (tape singkong), beras ketan (tape ketan). Fermentasi dipengaruhi oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah lama fermentasi. Lama fermentasi yang

dibutuhkan dalam proses fermentasi adalah 2-3 hari. Waktu yang sesuai akan

menghasilkan tape yang rasanya khas, rasa manis dengan sedikit asam serta

adanya aroma alkohol. Rasa manis karena perubahan karbohidrat menjadi glukosa

sebagai karbohidrat yang lebih sederhana, sedangkan rasa asam karena dalam

proses fermentasi terbentuk asam, sehingga semakin lama pemeraman maka akan

(32)

Gambar 2. Fermentasi Tape 3. Yogurt

Yogurtmerupakan salah satu produk fermentasi susu dengan bantuan

bakteri asam laktat (BAL).) Yoghurtmempunyai banyak manfaat bagi tubuh

antara lain mengatur saluran pencernaan, antidiare, antikanker, meningkatkan

pertumbuhan, membantu penderita lactose intolerance dan mengatur kadar

kolesterol dalam darah. Karakteristik yoghurt seperti rasa yang asam dan tekstur

yang kental menjadikan beberapa orang tidak menyukainya. Diperlukan adanya

diversifikasi dalam pembuatan yoghurt, yaitu dengan membuat produk

yoghurtyang tidak terlalu asam dengan menghentikan waktu fermentasi pada

tingkat keasaman yang diinginkan dan tekstur yang tidak kental (encer) sehingga

mudah untuk diminum yang biasa disebut drink yoghurt (Hidayat, et al, 2013)

Mol Buah dan Sayur

MOL (mikroorganisme lokal) merupakan kumpulan mikro-organisme

yang bisa diternakkan, yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan bokasi

atau kompos. Pemanfaatan limbah per-tanian seperti buah-buahan tidak layak

konsumsi untuk diolah menjadi MOL dapat meningkatkan nilai tambah limbah,

(33)

Gambar 3. Mol Buah dan Sayur

Mikroorganisme lokal (MOL) merupakan salah satu cara pengembangbiakan

mikroorganisme yang akan mampu mendegradasi bahan organik. Bahan

pembuatan MOL ini adalah antara lain tempe, tape, dan youghurt dll.

Mikroorganisme dasar dalam MOL ini adalah Saccharomyces yang berasal dari

ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus dari yoghurt.

Mikroorganisme ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Sifat amilolitik, mikroorganisme yaitu Saccharomyces akan menghasilkan

enzim amilase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile

fatty acids yang kemudian akan menjadi asam amino.

b. Sifat proteolitik, mikroorganisme yaitu Rhizopus akan mengeluarkan enzim

protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida, lalu menjadi

peptide sederhana dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2 dan air.

c. Sifat lipolitik, mikroorganisme yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim

lipase yang berperan dalam perombakan lemak. (Ginting, 2009)

EM4

Effective microorganismesms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dari

(34)

pertumbuhan tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang

ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologis tanah dan dapat

membantu penyerapan unsure hara. EM4 mengandung mikroorganisme

fermentasi dan sintetik yang terdiri dari bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.),

bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.), Actinimycetes sp., Srteptomyces sp.,

dan ragi (yeast). Selain bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah dan

tanaman. EM4 juga bermanfaat untuk memfermentasi sampah organic menjadi

pupuk organik (Marsono dan Sigit, 2005).

Gambar 4. EM4

EM-4 (Effective Microorganisme) adalah kultur campuran dari

mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman,

Mikroorganisme yang terdapat dalam EM-4 terdiri dari bakteri fotosintesis

(Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi

(Saccharomices sp), actinomycetes sp, dan aspargillus sp. Effective

mikroorganisme (EM-4) dapat meningkatkan fermentasi organik, unsur hara

tanaman, serta meningkatkan aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme

(35)

Parameter yang digunakan pada Uji Pengomposan

1. Temperatur

Temperatur adalah satu indikator penting kunci di dalam pembuatan

kompos. Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan proses yang dilakukan

oleh mikroba untuk mengurai bahan organik. Temperatur ini dapat digunakan

untuk mengukur seberapa baik system pengomposan ini bekerja, disamping itu

juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Sebagai ilustrasi,

jika kompos naik sampai Temperatur 40°C – 50°C, maka dapat disimpulkan

bahwa campuran bahan baku kompos cukup mengandung bahan Nitrogen dan

Carbon dan cukup mengandung air (kelembaban cukup) untuk menunjang

pertumbuhan mikroorganisme (Susetya, 2010).

Tinggi tumpukan merupakan salah satu faktor yang menentukan temperatur

pengomposan, tumpukan bahan yang terlalu rendah akan mengakibatkan cepatnya

kehilangan panas karena tidak cukupnya material untuk menahan panas yang

dilepaskan, sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang secara optimal.

Sebaliknya jika tumpukan terlalu tinggi, akan terjadi kepadatan bahan yang

diakibatkan oleh berat bahan sehingga suhu menjadi sangat tinggi dan tidak ada

udara di dalam tumpukan (Musnamar, 2003).

Selama proses dekomposisi, suhu dijaga sekitar 40°C - 50°C selama 3

minggu karena pada tingkatan suhu tersebut bakteri akan bekerja secara optimal

sehingga penurunan C/N rasio berjalan sempurna dan mampu memberantas

bakteri pathogen maupun biji gulma. Pada proses composting yang baik, maka

Temperatur 40°C - 50°C dapat dicapai dalam 2 – 3 hari. Kemudian dalam

(36)

didekomposisi oleh mikrorganisme habis. Dari situ barulah Temperatur akan

turun (Parnata, 2004).

Pada system natural aeration, udara yang masuk kedalam alat bergantung

pada kondisi udara sekitar dan cuaca, sehingga aerasi yang diperoleh tidak teratur

bahkan mungkin jumlahnya bisa terlalu sedikit (Dewi, dkk. 2007).

Temperatur yang tinggi pada proses pengomposan sangat penting untuk

proses higienisasi, yaitu untuk membunuh bakteri patogen dan bibit gulma, selain

untuk memacu proses pengomposan karena pada umumnya proses pengomposan

kombinasi suhu termofilik dan mesofilik. Kurang tingginya suhu kompos

disebabkan karena jumlah limbah yang dikomposkan tidak cukup memberikan

proses insulasi panas. Sejumlah energi dilepaskan dalam bentuk panas pada

perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur.

Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik.

Kondisi mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi

protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan

mengakibatakan temperatur turun dan kemudian naik lagi (Pandebesie, 2012).

2. pH

Kisaran pH kompos yang baik adalah 6,5 – 7,5 (netral) karena akan

mempengaruhi aktifitas mikroorganisme (Sutedjo, 2002). Pengamatan pH kompos

berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan

bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara

5,5 sampai 8. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam

organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan

(37)

pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral

dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antar 6 – 8 (Susetya, 2010).

pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai

7.5. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan

organik dan pH bahan itu sendiri. pH kompos yang sudah matang biasanya

mendekati netral (Widarti dkk, 2015).

Penurunan nilai pH saat proses pengomposan disebabkan oleh aktivitas

mikroorganisme yang menghasilkan asam organik dan reduksi dari ion

ammonium (NH4+) Indrasti dkk. (2006).

3. C/N Rasio

Bahan-bahan mentah yang biasa seperti: merang, daun,sampah

dapur,sampah kota, dan lain-lain, umumnya memiliki C/N rasio diatas 30.

Pembuatan kompos pada hakekatnya ialah menumpukkan bahan-bahan organic

dan membiarkannya terurai enjadi bahan-bahan yang mempunyai C/N rasio yang

rendah sebelum digunakan sebagai pupuk (Sutejo, 2002)

Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara

jumlah karbon dan nitrogen (C/N) rasio. Jika C/N rasio tinggi berarti bahan

penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N

rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan

dengan C/N rasio rendah (Novizan, 2005).

Apabila proses pengomposan telah selesai, maka perbandingan C/N rasio

bahan organic mendekati C/N rasio tanah, yaitu berkisar 12-15. Bahan organic

(38)

tergantung kadar air bahan. Bahan organic ini sudah bisa diaplikasikan ke

tanaman (Isnaini, 2006).

Di dalam proses pengomposan akan terjadi perubahan struktur bahan

organic yang dilakukan oleh mikroorganisme, yaitu berupa penguraian selulosa,

hemiselulosa, lemak, lilin serta yang lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan

air (Musnamar, 2007)

Penurunan nilai rasio C/N pada masing-masing komposter ini disebabkan

karena terjadinya penurunan jumlah karbon yang dipakai sebagai sumber energi

mikroba untuk menguraikan atau mendekomposisi material organik. Pada proses

pengomposan berlangsung perubahan-perubahan bahan organik menjadi CO2 +

H2O + nutrien + humus + energi. Selama proses pengomposan CO2 menguap dan

menyebabkan penurunan kadar karbon (C) dan peningkatan kadar nitrogen (N)

sehingga rasio C/N kompos menurun. Rasio C/N yang terlalu tinggi akan

memperlambat proses pembusukan, sebaliknya jika terlalu rendah walaupun

awalnya proses pembusukan berjalan dengan cepat, tetapi akhirnya melambat

karena kekurangan C sebagai sumber energi bagi mikroorganisme (Pandebesie,

2012).

yang menyatakan bahwa pola perubahan pH kompos berawal dari pH agak

asam karena terbentukknya asam-asam organik sederhana, kemudian pH

meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya protein dan terjadinya

pelepasan amonia. Sementara itu, kadar garam kompos tergolong sangat rendah

untuk semua perlakuan, karena bahan dasar kompos tidak ada yang banyak

(39)

Kondisi Umum Lokasi Pembuatan Kompos

Kabupaten Dairi terdiri dari 15 kecamatan yiatu Sidikalang, Berambu,

Sitinjo, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-pungga, Lae Parira,

Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga,

Gunung Sitember, Pegagan Hilir, dan Tanah Pinem. Kecamatan Silahisabungan

merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Dairi yang dimekarkan

dari Kecamatan Sumbul Pegagan pada tahun 2004. Kecamatan Silahisabungan

terdiri dari 5 Desa yaitu (Desa Silalahi I, Silalahi II, Silalahi III, Paropo, dan Desa

Paropo I) dengan jumlah penduduk 4471 jiwa pada tahun 2011 dan memiliki luas

wilayah sekitar 7562 km (BPS Dairi).

Gambar 5. Peta Desa Paropo I

Rata-rata kondisi iklim pada tahun 2015 di Kabupaten Dairi yaitu:

- curah hujan = 290 mm

- suhu udara = 24.2

- kelembabab udara = 88%

- kecepatan angin = 1.47 m/s

- Intensitas radiasi matahari = 751 Wh/m2

(40)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Danau toba adalah Sebuah danau vulkanik yang terletak 176 km arah selatan

Kota Medan dengan ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km. Permukaan danau

berada pada ketinggian 903 mdpl dengan kedalaman maksimal danau 529 meter.

Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan

Propinsi Sumatera Utara, Danau ini merupakan danau terbesar

di

vulkanik bernama

Danau Toba memiliki beberapa permasalahan yang belum terselesaikan

hingga saat ini. Salah satunya adalah pembakaran lahan hutan untuk membuka

lahan pertanian. Karena selain berprofesi sebagai nelayan, sebagian masyarakat di

sekitar Danau Tobaberprofesi sebagai petani.

Selain itu, perkembangan eceng gondok yang tidak terkendali juga menjadi

permasalahan di Danau Toba. Eceng gondok (Eichornia crassipes) berkembang

biak secara vegetatif dengan membentuk tunas (stolon) di atas akar maupun

generatif dengan bijinya. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat berlipat

ganda dalam waktu 7-10 hari. Menurut penelitian Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba, satu batang eceng gondok dalam

waktu 52 hari mampu berkembang 1x1 m (Purbono, et al)

. Perkembangbiakan yang demikian cepat menyebabkan tanaman eceng

gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan

(41)

mempengaruhi ekosistem Danau Toba. Salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk menanggulangi kedua permasalahan diatas adalah dengan memanfaatkan

tanaman eceng gondok sebagai bahan dasar dalam pembuatan pupuk kompos

dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme. Dengan pembuatan

kompos ini, diharapkan penduduk di sekitar Danau Toba yang sebagian besar

berprofesi sebagai petani dapat membuat pupuk sendiri. Sehingga mereka tidak

perlu lagi membeli pupuk organik dari luar. Dengan demikian, diharapkan agar

taraf hidup penduduk di sekitar Danau Toba dapat meningkat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aktivator yang paling cepat

mendekomposisikan eceng gondok di DTA Danau Toba.

Hipotesis Penelitian

Aktifator yang berbeda akan menghasilkan laju dekomposisi eceng

gondok yang berbeda.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kehutanan di Fakultas

Kehutanan, Universitas Sumatera Utara dan diharapkan pula agar masyarakat

Kabupaten Dairi maupun masyarakat sekitar Danau toba dapat memanfaatkan

(42)

IMAMUDIN: Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator.Dibimbing oleh AFIFUDDIN DALIMUNTHE dan BUDI UTOMO.

Danau Toba memiliki beberapa masalah salah satunya adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengurangi dan mengatasi pertumbuhan eceng gondok di perairan Danau Toba. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2016 di Desa Paropo I Kecamatan silahisabungan Kabupaten Karo dengan menggunakan beberapa perlakuan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan. Perlakuan 1 yaitu kontrol, perlakuan 2 yaitu EM4, perlakuan 3 tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan 4 adalah mol buah dengan sayur, dengan parameter yang di uji adalah temperature, pH dan C/N rasio.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian semua perlakuan dari parameter temperature dan pH mendapatkan hasil yang berpengaruh nyata (Fhit 15.11 < Ftabel 3.29) dan (Fhit 415 < Ftabel 3.29) sedangkan pada pemberian semua perlakuan pada parameter C/N rasio memberikan hasil yang nyata (Fhit 20.36 > Ftabel 3.29). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah perlakuan tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan mol buah dengan sayur adalah aktifator yang paling vepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air Danau Toba.

(43)

IMAMUDIN: Composting water hyacinth (Eichornia crassipes) on Lake Toba Catchment Area with activators. Guided by AFIFUDDIN DALIMUNTHE and BUDI UTOMO.

Lake Toba have the problems. One of them iswater hyacinth growing very fast. The purpose of this research was to reduce and resolve water hyacinth growing on Lake Toba. The study was done in October-December 2016 in the Paropo I village Kabupaten Karo using several treatment. This research using four treatment and three replication. Treatment 1 is control, treatment 2 is EM4,treatment 3 is tempe, tape with yoghurt, treatmen 4 is mole fruit with vegetables, with the parameters tested are temperature, pH and C/N ratio.

The result of research showed that the provisions of treatment of all parameters temperature and pH getting results affect real (Fhit 15.11<Ftabel 3.29) and (Fhit 415<Ftabel 3.29) while the treatment in all the provision of real results on parameters of ratio C/N (Fhit 20.36>Ftabel 3.29). the conclusions from the results of this research is treatment tempe, tape with kefir and treatment mole fruit with vegetable are the faster activator to composting water hyacinth on Lake Toba Cacthment Area

(44)

BEBERAPA JENIS AKTIFATOR

SKRIPSI

Oleh: IMAMUDIN

121201074/BUDIDAYA HUTAN

PRORGAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(45)

Judu : Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di Dta Danau TobaDengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator

Nama : Imamudin

Nim : 121201074

Program Studi: Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Afifuddin Dalimunthe, SP., MP

Ketua Anggota

Dr. Budi Utomo, SP., MP

Mengetahui,

(46)

IMAMUDIN: Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Di DTA Danau Toba Dengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator.Dibimbing oleh AFIFUDDIN DALIMUNTHE dan BUDI UTOMO.

Danau Toba memiliki beberapa masalah salah satunya adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengurangi dan mengatasi pertumbuhan eceng gondok di perairan Danau Toba. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2016 di Desa Paropo I Kecamatan silahisabungan Kabupaten Karo dengan menggunakan beberapa perlakuan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan menggunakan 4 perlakuan 6 ulangan. Perlakuan 1 yaitu kontrol, perlakuan 2 yaitu EM4, perlakuan 3 tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan 4 adalah mol buah dengan sayur, dengan parameter yang di uji adalah temperature, pH dan C/N rasio.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian semua perlakuan dari parameter temperature dan pH mendapatkan hasil yang berpengaruh nyata (Fhit 15.11 < Ftabel 3.29) dan (Fhit 415 < Ftabel 3.29) sedangkan pada pemberian semua perlakuan pada parameter C/N rasio memberikan hasil yang nyata (Fhit 20.36 > Ftabel 3.29). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah perlakuan tempe tape dengan yoghurt dan perlakuan mol buah dengan sayur adalah aktifator yang paling vepat mendekomposisikan eceng gondok di Daerah Tangkapan Air Danau Toba.

(47)

IMAMUDIN: Composting water hyacinth (Eichornia crassipes) on Lake Toba Catchment Area with activators. Guided by AFIFUDDIN DALIMUNTHE and BUDI UTOMO.

Lake Toba have the problems. One of them iswater hyacinth growing very fast. The purpose of this research was to reduce and resolve water hyacinth growing on Lake Toba. The study was done in October-December 2016 in the Paropo I village Kabupaten Karo using several treatment. This research using four treatment and three replication. Treatment 1 is control, treatment 2 is EM4,treatment 3 is tempe, tape with yoghurt, treatmen 4 is mole fruit with vegetables, with the parameters tested are temperature, pH and C/N ratio.

The result of research showed that the provisions of treatment of all parameters temperature and pH getting results affect real (Fhit 15.11<Ftabel 3.29) and (Fhit 415<Ftabel 3.29) while the treatment in all the provision of real results on parameters of ratio C/N (Fhit 20.36>Ftabel 3.29). the conclusions from the results of this research is treatment tempe, tape with kefir and treatment mole fruit with vegetable are the faster activator to composting water hyacinth on Lake Toba Cacthment Area

(48)

Penulis dilahirkan di Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat pada

tanggal 18 September1993. Ayah yang bernama Yatiman dan Ibu Jatiyah. Penulis merupakan

anak kelima dari lima bersaudara. Saat penulis berusia 3 tahun, penulis beserta keluarga pindah

ke Desa Tandem Hilir II, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

Penulis menempuh pendidikan formal di MIS Al-Washliah Tandem Hilir II dan lulus tahun

2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di MTsS Al-Waskliah Tandem Hilirr II dan

lulus tahun 2009. Dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah

Atas (SMA) Negeri 1 Hamparan Perak dan lulus tahun 2012 dan pada tahun yang sama juga

penulis diterima sebagai Mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara melalui jalur ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi sebagai anggota BKM

Baitul Ashjhaar dan Himpinan Mahasiswa Silva (HIMAS) di Program Studi Kehutanan.

Penulis telah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Pulau

Sembilan Kabupaten Langkat dari tanggal 14 sampai 23 agustus 2014. Penulis juga telah

melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Sumatera Riang Lestari Blok 1 Estate Sei

kebaro, Kab. Labuhan Batu Selatan, Kab. Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara pada

(49)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat danrahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini

yangbertema ”Kecepatan Dekomposisi Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Di

DTA Danau TobaDengan Menggunakan Beberapa Jenis Aktifator”.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui jenis aktivator yangpaling

baik dalam proses pembuatan komposeceng gondok di Kabupaten

Dairi.Diharapkan pula agar masyarakat Kabupaten Dairi maupun masyarakat

sekitar Danau toba dapat memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan untuk

pembuatan pupuk kompos. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada: :

1. Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Siti Latifah S,Hut.,

M.Si., Ph.D

2. Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP., MP, selaku komisi pembimbing I atas

membimbingannya untuk dalam penyusunan skripsi ini.

3. bapakDr. Budi Utomo, SP.,MP, selaku komisi pembimbing II atas

membimbingannya untuk dalam penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh dosendi Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang telah

memberi pengajaran dan wawasan.

5. Kedua orang tua serta kakak dan abang yang selalu memberi doa dan

dukungan berupa nasihat dan material.

6. Kepala desa dan warga desa Paroppo I yang telah membantu kegiatan

(50)

Arif Azhari, Santi Marlina Nainggolan, Rapolo Lumban Gaol, Budi Satria

Sihite, Christovorus S.S. dan Oskar Pardosi yang telah membantu penulis

dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Seluruh Pegawai Tata Usahadi Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera

Utara yang telah membantu dalam seluruh urusan administrasi dan surat

perijinan.

9. Pegawai Laboratorpum Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini pada masa yang akan datang. Akhir

kata, penulis mengucapkan terima kasih

Medan, Juni 2016

(51)

Hal.

Kegunaan Penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA PupukdanPemupukan…. 3PupukAnorganik ... 3

Pupuk Organik ... 5

Pengomposan ... 6

Mikroorganisme Fermentasi ... 7

Tempe, Tape, dan Yoghurt... 9

MolBuahdanSayur ... 10

EM4 ... 11

Parameter yang bisadigunakanpadaUjiPengomposan... 12

KondisiUmumLokasiPembuatanKompos ... 16

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan WaktuPenelitian ... 17

Bahan dan Alat Penelitian ... 17

Metode Penelitian... 17

Parameter Penelitian... 18

PelaksanaanPenelitian ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN TemperaturBahan di dalamBak... 20

(52)

No. Hal. 1. Pengaruh Pemberian Dekomposer Yang Berisi Organisme Lokal

Terhadap Rata-Rata Temperature Kompos pada Umur 30 Hari ...21

2. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme

lokalterhadap rata-rata pH kompos... 12

3. Pengaruh pemberian dekomposer yang berisi organisme lokal

(53)

No. Hal.

1. Fermentasi tempe ...8

2. Fermentasi tape ...9

3. Mol Buah dan Sayur ...10

4. EM4 ...11

5. Peta Desa Paropo I ...16

6. Grafik Temperatur Didalam Bak Kompos Dari Hari 1 - 30 ...22

Gambar

Tabel
Gambar 6. Grafik Temperatur Didalam Bak Kompos Dari Hari 1 - 30
Tabel   2.  Pengaruh    pemberian    dekomposer    yang    berisi   organisme   lokal    terhadap rata-rata pH kompos
Gambar 7. GrafikpHMinggu ke
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini mengundang Saudara yang namanya tersebut di atas untuk hadir dalam Acara Pembuktian Kualifikasi perusahaan Saudara yang sebelumnya telah dinyatakan lulus dalam tahap

‘Abd Allah Nasih ‘Ulwan juga seorang yang sangat benci kepada. perpecahan yang munculnya firqoh-firqoh dalam negara

Its head swivelled round to face the Master, and it said in its flat, dead voice, ‘The Doctor lives.. Your plan

Penelitan ini merupakan re- plikasi dari penelitian Layata dan Setiawan (2014) yang meneliti ten- tang Pengaruh Kewajiban Moral, Kualitas Pelayanan, Pemeriksaan Pa- jak

Prinsip- prinsip layanan perpustakaan adalah: berorientasi kepada pemakai artinya mengutamakan dalam melayani pemakai sehingga segala sesuatu nya dipersiapkan dan diperuntukkan

[r]

Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 secara elektronik melaluib.

Tidak signifikannya pengaruh derajat desentralisasi fiskal terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai