• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Pepaya

Tanaman pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu tanaman buah tropika yang berasal dari Meksiko Selatan. Tanaman ini diketahui dapat tumbuh di daerah-daerah basah, kering, daerah dataran rendah, serta pegunungan. Hampir semua bagian pohon dapat dimanfaatkan. Buah pepaya lebih banyak dimanfaatkan karena mudah didapat dan lezat. Pepaya merupakan tanaman berumah satu sekaligus berumah dua dengan tiga jenis pohon, yaitu: pohon jantan, betina dan hermafrodit (Villegas, 1992).

Berdasarkan taksonominya, tanaman pepaya dapat diklasifikasikan dalam divisi Spermatophyta, kelas Dycotyledone, ordo Caricales, famili Caricaceae, genus Carica dan spesies Carica papaya L. (Kalie, 1999). Buah pepaya termasuk dalam golongan buah sejati tunggal. Buah ini dapat berisi satu biji atau lebih, dapat pula tersusun dari satu atau banyak buah. Pepaya juga termasuk buah buni. Buah buni adalah buah yang dagingnya mempunyai dua lapisan, yaitu lapisan luar yang tipis seperti kulit, dan lapisan dalam yang tebal, lunak, dan berair. Biji-biji banyak terdapat dalam bagian yang lunak itu. Pepaya termasuk buah buni yang berdinding tebal dan dapat dimakan (Sujiprihati dan Suketi, 2009).

Buah pepaya mengandung berbagai jenis enzim, vitamin dan mineral. Buah pepaya kaya pula dengan vitamin B kompleks dan vitamin E. Selain itu buah pepaya juga mengandung enzim papain. Enzim ini sangat aktif dan memiliki kemampuan mempercepat proses pencernaan protein. Kadar protein dalam buah pepaya tidak terlalu tinggi. Pepaya juga dapat mempercepat pencernaan karbohidrat dan lemak. Selain itu pepaya memiliki sifat antiseptik dan membantu mencegah perkembangbiakan bakteri yang merugikan di dalam usus (Villegas, 1992).

Nilai gizi buah pepaya setiap 100 g bobot segar antara lain: (1) Kalori 38, (2) Protein 0.6 g, (3) Vitamin A 2,500 SI, (4) Vitamin B1 0.02 mg, (5) Vitamin B2 0.02 mg, (6) Niasin 0.10 mg, (7) Vitamin C 60 mg.

Pembungaan, Penyerbukan, dan Pembuahan

Pepaya merupakan spesies polygamous dengan tiga macam bunga: jantan, hermafrodit dan betina (Sobir et al., 2008). Bunga jantan terdiri dari lima helai mahkota dan berukuran kecil. Stamen berjumlah 10 yang tersusun menjadi dua lapis dan melekat pada leher bunga. Bunga ini tidak akan berubah menjadi buah karena tidak mempunyai bakal buah. Bunga betina memiliki bakal buah, terdiri dari lima helai mahkota. Bunga hermafrodit memiliki polen, stigma dan bakal buah (Rosa, 2004). Pohon betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit serta ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga (Suketi, 2011). Bunga pepaya hermafrodit dari genotipe IPB 3, IPB 4, IPB 6 dan IPB 9 disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 3, IPB 4, IPB 6 dan IPB 9

Bunga merupakan alat reproduksi yang menghasilkan buah dan biji. Proses pembungaan terdiri atas beberapa tahap penting yang semuanya harus berhasil dilangsungkan untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji (Ashari, 1998).

IPB 3 IPB 4

Penyerbukan diawali dengan adanya penempelan polen pada permukaan stigma. Pada penyerbukan awal, ketika polen menempel pada stigma dan sesuai (kompatibel), polen tersebut akan berkecambah dan membentuk tabung polen yang kemudian menembus kantung embrio melalui mikropil dan melepaskan isinya ke dalam kantung embrio. Peristiwa pelepasan isi polen ke dalam kantung embrio inilah yang disebut fertilisasi. Polen yang tidak subur dan stigma yang tidak normal menyebabkan permasalahan dalam proses penyerbukan dan fertilisasi (Ashari, 2004). Pada proses penyerbukan, apabila bunga dalam suatu tanaman memiliki polen yang tidak subur maka bunga tersebut memerlukan polen lain yang subur.

Pembentukan tabung polen adalah suatu proses penting dalam fertilisasi. Hal ini menunjukkan potensial perkecambahan dari polen dan merupakan salah satu fase perkembangan yang mempengaruhi pembentukan buah dan biji, selain itu, keefektifan penyerbukan dan fertilisasi akan mempengaruhi buah dan biji. Viabilitas polen yang rendah menyebabkan polen tidak dapat berkecambah yang pada akhirnya akan mempengaruhi efisiensi fertilisasi karena fertilisasi tidak terjadi. Proses fertilisasi pada tumbuhan biji diantaranya setelah penyerbukan, stigma menghasilkan cairan gula untuk perkecambahan polen yang melekat. Pertama dinding polen mengembang, kemudian dinding luar polen pecah, sedangkan dinding sebelah dalam melengkung ke dalam menembus kepala putik, kemudian membentuk tabung polen. Tabung ini menghubungkan polen dengan bakal biji. Tabung polen menuju ke inti sel telur di dalam bakal biji melalui celah kecil yang disebut mikropil (Darjanto dan Satifah, 1990).

Tumbuhan bunga yang mempunyai bunga dengan stigma dan anter yang menghasilkan ovul maupun polen yang fertil dan viabel tidak selamanya dapat melakukan penyerbukan sendiri, hal ini disebabkan oleh inkompatibilitas seksual pada tanaman tersebut sehingga polennya tidak dapat membuahi ovul (Ashari, 2004).

Perkembangan buah melibatkan proses pertumbuhan yang sangat kompleks. Telur yang dibuahi berkembang menjadi embrio, inti endosperma dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya adalah sebagian akibat dari pembelahan dan pembesaran sel, seperti juga halnya di dalam meristem. Air, karbohidrat,

protein, zat-zat hara, zat tumbuh dan sebagainya harus diangkut ke dalam buah dari bagian-bagian tanaman lain. Oleh karenanya selama perkembangan buah, pertumbuhan vegetatif tanaman sangat terhambat dan cadangan makanan di bagian tanaman seperti batang dan akar berada dalam keadaan minim (Bewleg, 1997).

Menurut Sriwahyuni (1999) kegagalan penyerbukan dapat disebabkan karena tidak adanya polen yang sesuai atau ketiadaan serangga penyerbuk yang tepat. Inkompatibilitas dapat berupa tidak melekatnya polen pada stigma, polen tidak berkecambah, atau terjadinya pembesaran pada ujung tabung polen yang disertai dengan pecahnya tabung tersebut. Beberapa bentuk inkompatibilitas ini akan menghambat fertilisasi.

Inkompatibilitas adalah bentuk ketidaksesuaian yang disebabkan oleh ketidakmampuan tanaman yang memiliki polen dan ovul normal dalam membentuk benih karena gangguan fisiologis yang menghalangi fertilisasi. Inkompatibilitas dapat disebabkan oleh ketidakmampuan tabung polen dalam: (a) menembus stigma, atau (b) tumbuh normal sepanjang tangkai stigma namun tidak mampu mencapai ovul karena pertumbuhan yang terlalu lambat (Suwarno, 2008). Menurut Haryanti (2004) diketahui bahwa tingkat inkompatibilitas dari suatu kombinasi persilangan dapat diketahui berdasarkan pada klasifikasi kompatibilitas persilangan, yaitu: (a) Kompatibel, jika hasil persilangan menghasilkan buah diatas 20%, (b) Kompatibilitas sebagian, jika hasil persilangan menghasilkan buah diantara 10-20%, (c) Inkompatibel penuh, jika hasil persilangan menghasilkan buah di bawah 10%.

Menurut Poespodarsono (1986) kompatibilitas adalah bentuk kesuburan yang merupakan kemampuan tanaman yang memiliki polen dan ovul normal dalam membentuk benih. Tanaman dikatakan bersifat kompatibel jika terjadi fertilisasi setelah penyerbukan.

Polen dan Stigma Pepaya

Polen adalah serbuk kasar yang berisi microgametophytes dari tanaman-tanaman induk, yang membentuk gamet jantan (sel sperma). Polen diproduksi di dalam mikrosporangium. Butir-butir polen mempunyai bentuk yang bervariasi

(umumnya bulat), ukuran, dan permukaannya yang licin merupakan tanda-tanda khas yang menunjukkan suatu spesies. Butir-butir polen tersebut mempunyai suatu lapisan keras yang menjaga sel-sel sperma (Pleasants et al., 2001).

Polen pada tanaman angiospermae terdiri dari sel-sel dengan tiga nukleus yang masing-masing dinamakan inti vegetatif satu, inti generatif satu dan inti generatif dua. Inti generatif berasal dari pembelahan mitosis kedua setelah pertumbuhan tabung polen terjadi (Hoekstra dan Bruinsma, 1975).

Perkecambahan polen dipandu oleh adanya sinyal yang diperkirakan berasal dari ovulum itu sendiri. Stigma menghasilkan suatu eksudat untuk perkecambahan polen tersebut. Keberhasilan tabung polen dalam menembus stigma merupakan salah satu proses penting yang mempengaruhi pembentukan buah dan biji (Matthews dan Bramlett, 1983).

Menurut Parton et al. (1998) polen dikategorikan viabel apabila berkecambah menjadi paling sedikit satu kali panjang diameternya, sedangkan polen yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap tidak viabel. Selain itu, menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Priadi dan Rijadi (2002) pada polen

Erythrina sp. yang berbentuk bulat dan viabel, terdapat matriks yang berwarna

gelap, sedangkan polen yang tidak viabel terdapat matriks yang berwarna terang di dalamnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suketi et al. (2011) informasi tentang viabilitas polen pepaya sangat diperlukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pembentukan buah. Di samping itu, menurut Widiastuti dan Palupi (2008), viabilitas polen juga dapat mempengaruhi viabilitas benih yang dihasilkan. Polen dengan viabilitas tinggi akan lebih dahulu membuahi sel telur, serta menghasilkan buah bermutu baik dan benih berviabilitas tinggi, sedangkan menurut Sriwahyuni (1999), viabilitas polen yang rendah menyebabkan polen tidak dapat berkecambah sehingga fertilisasi tidak terjadi.

Polen merupakan jaringan hidup yang mengalami kemunduran seiring lamanya waktu penyimpanan. Menurut Van Bielsen et al. (1993), semakin lama kemampuan berkecambah akan semakin menurun sampai polen tersebut tidak mampu untuk berkecambah sama sekali. Dalam penelitian yang dilakukan pada polen Papaver rhoeas L. dan Narcissus poeticus L., polen dapat disimpan dalam

suhu 24ºC dalam dua kondisi RH. Pada RH 75% dengan kelembaban kurang lebih 15%, polen Papaver dan Narcissus akan kehilangan viabilitasnya dalam beberapa hari, sedangkan RH 40% dengan kelembaban kurang lebih 7-8% viabilitas polen akan bertahan lebih lama.

Menurut Sriwahyuni (1999) dalam penelitiannya pada salak pondoh, daya simpan polen meningkat seiring dengan turunnya tingkat kelembaban ruangan. Menurut Widiastuti dan Palupi (2008), modifikasi suhu dan kelembaban relatif (RH) dapat menjaga agar kelembaban ruangan tetap rendah, sehingga viabilitas polen dapat dipertahankan lebih lama.

Pengujian viabilitas polen bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang viabilitas polen tersebut. Pengujian viabilitas polen dapat dilakukan secara in vitro

dan in vivo. Pengujian kompatibilitas secara in vitro dilakukan dengan

mengecambahkan polen dalam media yang telah disiapkan dan mengamati pertumbuhan tabung polen tersebut, sedangkan pengujian polen secara in vivo, viabilitas polen diuji dengan menyerbukkannya kepada bunga betina di lapangan kemudian mengamati pembentukan buah dan biji yang terjadi, tetapi metode ini sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca (Kovack dalam Sriwahyuni, 1999).

Dalam pengujian viabilitas polen tersebut, dianjurkan polen diambil sebelum antesis, karena menurut Kriswiyanti et al. (2008) pada penelitian pola reproduksi pada salak bali, dikemukakan bahwa viabilitas polen pada anter bunga jantan maupun hermafrodit sebelum antesis lebih tinggi dibanding viabilitas pada bunga sesudah antesis. Hal ini mungkin disebabkan polen memang sudah masak namun anter belum pecah. Menurut Nasution (2009) antesis merupakan tahap ketika terjadi pemekaran bunga. Biasanya antesis terjadi bersamaan dengan matangnya organ reproduksi jantan dan betina, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Ada kalanya organ reproduksi baik jantan maupun betina, masak sebelum terjadi antesis, atau bahkan jauh setelah terjadi antesis.

Stigma adalah bagian putik yang berfungsi menerima polen pada proses penyerbukan. Menurut Sukarmin (2009) hasil observasi pada pertanaman sirsak di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya mutu buah dan bunga tidak maksimal seperti buah bengkok, tidak simetris dan bunga gugur. Hal ini diduga karena proses penyerbukan kurang sempurna dan terjadi secara alami serta polen

jatuh tidak merata pada stigma. Stigma yang reseptif akan mengeluarkan hormon tertentu dan senyawa-senyawa gula tertentu yang dapat menginduksi perkecambahan polen menjadi tabung polen. Menurut Sriwahyuni (1999) dalam penelitiannya pada salak pondoh, masa reseptif stigma dicapai pada satu hari setelah antesis. Musim sangat mempengaruhi periode stigma reseptif. Pada musim hujan stigma reseptif selama dua hari sedangkan pada musim kemarau hanya satu hari.

Media Perkecambahan Polen Pepaya

Media Brewbaker dan Kwack sering digunakan dalam perkecambahan polen secara in vitro. Media tersebut terdiri dari 720 ppm Ca(NO3)2·4H2O, 200 ppm MgSO4·7H2O, 200 ppm KNO3, 20 ppm H3BO3 dan ditambah dengan 10% sukrosa (Brewbaker dan Kwack, 1963).

Setiap komponen pada media mempunyai fungsi masing-masing. Sukrosa (C12H22O11) merupakan suatu disakarida yang dibentuk dari monomer-monomer yang berupa unit glukosa dan fruktosa. Senyawa ini dikenal sebagai sumber nutrisi serta dibentuk oleh tumbuhan, tidak oleh organisme lain seperti hewan. Penambahan sukrosa dalam media berfungsi sebagai sumber karbon. Karbon di sini berfungsi untuk inisiasi dan pertumbuhan tabung polen. Asam borat atau H3BO4 berfungsi untuk meningkatkan perkecambahan polen, sedangkan kalsium nitrat (Ca(NO3)2·4H2O), Magnesium sulfate heptahydrate (MgSO4·7H2O), dan kalium nitrat (KNO3) berfungsi sebagai garam anorganik yang penting untuk induksi perkecambahan polen menjadi tabung polen (Orphardt, 2003).

Dokumen terkait