• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg)

Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea braziliensis

MUELL Arg, berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Tanaman karet ini dibudidayakan oleh penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks

juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelas tica (family moraceae) (Sianturi, 1992).

Menurut Sianturi (1992) tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Euphorbiaceae Genus : Hevea

Spesies : Hevea braziliensis

Tanaman karet ini merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet

terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm, Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar, biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tanaman karet dari segi keawetannya termasuk ke dalam kelas awet ke V, namun tanaman karet dilihat dari segi kekuatannya tergolong kayu yang termasuk kedalam kelas II-III (Mandika, et al, 1989).

Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni)

Tanaman Mahoni adalah salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasi besar termasuk famili Meliaceae. Ada dua jenis spesies yang cukup dikenal yaitu:

Swietenia macrophyla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia mahagoni

Swietenia mahagoni Jacq termasuk kedalam famili Meliaceae yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis tetapi sudah lama di budidayakan di

Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan nama pohon mahoni. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Tanaman mahoni banyak ditanam di piggir-pinggir jalan atau dilingkungan rumah tinggal dan halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Mahoni di tanam besar-besaran di Dinas Kehutanan. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau diantara semak-semak belukar (Sutarni, 1995).

Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah jenis mahoni berdaun sempit, diambil bagian kulit batang tanaman mahoni dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Tanaman mahoni buahnya terlihat muncul di ujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi kira-kira 10-30 m, percabangannya banyak. Daunnya majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya kira-kira 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan kena sinar matahari

langsung, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).

Mahoni merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan yaitu untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, demam dan sebagai penyegar. Tanaman mahoni di Kuba, dalam bentuk larutan penyegar yang manis dari kulit batang mahoni dan daunnya dipakai sebagai tonik (penyegar) serta rebusan kulit batang mahoni dipakai untuk obat penderita sariawan, tetanus dan penyakit HIV (Sutarni, 1995).

Kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan mahoni adalah saponin dan flavonoid, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2 struktur kimia tanaman mahoni.

Gambar 2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni (Harbone, 1987) Tanaman mahoni sejak 20 tahun terakhir ini sudah dibudidayakan karena kualitas kayunya keras dan sangat baik, terutama untuk mebel dan kerajinan tangan, bahkan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kayu mahoni untuk membuat dinding dan lantai. Kayu tua berwarna merah kecokelatan. Kualitas kayu mahoni berada sedikit di bawah kayu jati, maka mahoni pun dijuluki primadona kedua setelah kayu jati (Sutarni, 1995).

Kayu Pinus (Pinus merkusii)

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman pinus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Gymnospermae Ordo : Coriferae Famili : Pinaceae Spesies : Pinus merkusii

Terdapat lebih dari 20 jenis kayu pinus dengan nama species yang berbeda. Jenis kayu pinus yang sering digunakan dan secara umum dikenal memiliki kualitas yang baik ada 2 jenis kayu pinus yaitu Pinus Radiata dan Pinus Merkusii. Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk (Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan, 2001).

Kayu Eucaliptus

Tanaman Eucaliptus merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuatan pulp dan kertas. Jenis Eucaliptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Tanaman dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Sistem perakarannya yang masih sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Afandi, 2007).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman eucaliptus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae Divisi Kelas Ordo Famili Genus : Eucalyptus

Jenis ini dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai ketinggian 100 meter umumnya berbatang bulat, lurus tidak berbanir dan sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan sinar matahari. Percabangannya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnyatidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur

memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Ciri khas lainnya adalah sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk-lekuk. Warna kulit mulai dari putih kelabu, abu-abu mudah, hijau kelabu sampai coklat, merah, sawo matang sampai coklat (Afandi, 2007).

Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami

Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari pada dalam kayu. Hal ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan serangkaian ekstrasi, yang biasanya memberikan ciri awal komposisinya. Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).

Ekstraktif kulit larut berkisar dari sedang sampai tinggi kadar keasamannya, dengan pH berkisar dari 3,5 sampai 6. Ekstrak kulit biasanya jauh lebih asam daripada ekstrak kayu spesies yang sama. Sifat asam kulit memerlukan sejumlah perubahan dalam metode pengolahannya. Keasaman ekstraktif kulit yang tinggi menimbulkan suatu masalah dalam penggunaan kulit sebagai media pot atau penutupan permukaan tanah (Haygreen dan Bowyer, 1989).

Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawetan Alami

Derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet. Keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur ukur kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988).

Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang ikut menentukan keberhasilan pengawetan.Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.

Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).

Derajat pengawetan kayu ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Keberhasilan pengawetan tersebut perlu diuji lagi apakah dengan diawetkan ketahanannya akan makin tahan terhadap faktor perusak. Jika dibandingkan hasil uji yang diawetkan dengan tanpa diawetkan hasilnya menunjukkan kayu yang diawetkan lebih tahan terhadap faktor perusak maka masa pakai kayu akan lebih lama sehingga kayu tersebut meningkat kelas keawetannya, otomatis mutu kayunya juga meningkat (Nicholas, 1988).

Stabilitas Dimensi Kayu

Perubahan dimensi kayu, perubahan bentuk yang dialami kayu karena tegangan-tegangan dalam akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (di bawah kadar air titik jenuh serat). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) terdapat beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu akibat perubahan-perubahan dalam kandungan air. Tak satupun dapat meniadakan perubahan-perubahan dimensional, tetapi sebagian sangat mendekati. Lima pendekatan untuk mengurangi perubahan dimensi adalah:

1. Menghalangi penyerapan uap air dalam pelapisan produk.

2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin.

3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air terikat di dalam dinding sel adalah suatu cara stabilitas komersial.

4. Memperlakukan kayu untuk menghasilkan hubungan saling silang antara kelompok hidroksil dalam dinding sel telah digunakan setelah percobaan dengan berhasil.

5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren akrilonitril dapat meningkatkan kestabilitas kayu dan menambah kekerasan serta ketahanan ausnya.

Dimensi kayu berubah jika kadar airnya berubah, sebab polimer dinding sel mengandung gugus hidroksil dan mengandung gugus oksigen lainnya yang bersifat menarik air melalui ikatan hidrogen. Air ini mengembangkan dinding sel dan kayu memuai sampai dinding sel jenuh dengan air. Air yang terdapat setelah

titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void structure) dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya (Achmadi, 1990).

Banyak penelitian dilakukan dalam bidang pemantapan dimensi. Perubahan dimensi dapat dikurangi melalui pemejalan (bulking) dinding sel dengan bahan kimia yang terikat. Metode ini ampuh, sebab selama perlakuan keadaan kayu dibuat mengembang sebagian atau mengembang sempurna. Modifikasi kimia berarti mengubah sifat polimer dinding sel, berarti mengubah pila sifat kayu secara keseluruhan (Achmadi, 1990).

Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Ahcmadi, 1990).

Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries

Jamur pelapuk kayu S. commune Fr. termasuk dalam kelas Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994).

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:

Regnum : Myceteae Divisi : Amastigomycota Sub-Divisi : Basidiomycotina Kelas : Basidiomycetes Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I Seri : Hymenomycetes I Ordo : Aphyllophorales Famili : Schizophyllaceae Genus : Schizophyllum

Spesies : Schizophyllum commune

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979 ) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu, berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke dalam. Sementara itu menurut Buller (1909) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan secara lateral dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara tunggal dan seringkali dalam kelompok. Lamela jamur ini terdiri dari fasciculi, dimana antarafasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi yang lebih pendek.

Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotali khymenomic etes, dimana micelia “monoporous ” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928 ) dalam

Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.

S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam

Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri. Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).

Dokumen terkait