PENINGKATAN MUTU KAYU KARET (Hevea braziliensis MUELL Arg) DENGAN BAHAN PENGAWET ALAMI DARI BEBERAPA
JENIS KULIT KAYU
HASIL PENELITIAN
Oleh: Ditha Dwi Cahya
081203041/ Teknologi Hasil Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis
MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu
Nama : Ditha Dwi Cahya NIM : 081203041 Program Studi : Kehutanan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Ridwanti Batubara, S. Hut, MP
Ketua Anggota
Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS
Mengetahui,
ABSTRACK
DITHA DWI CAHYA. Make-Up Of Quality Of Wood Hevea Braziliensis MUELL Arg. with Natural Preservative from Some Type Bark. Supervised by RIDWANTI BATUBARA and EDY BATARA MULYA SIREGAR.
Wood which is easy to be destroyed by factor of biologis represent wood owning durabel lower. Rubber wood have durabel lower so that less taken a fancy to upon which or building of contruksi. Durabel treatment to increase wood can be conducted by pickling. Research aim to to know chemical content bark of mahoni, and pine of eucalyptus and also test rubber wood which have been conserved with extractive bark to mushroom attack of Schizophyllum Fr commune.
Research conducted by using bark serbuk (mahoni, and pine of eucalyptus) which is extract with of methanol, then made by 4 concentration level 0%, 2%, 4% and 6%, is here in after tested by retention, dimension stability test and rubber wood resilience test to mushroom attack S. Fr commune. Result of research show third bark type have chemical content of saponin in number many, terpenoida in number a few/little and do not contain chemical of alkaloid. At chemical of flavonoid, bark of eucaliptus have content in number many pine bark and of mahoni. Bark of Eucaliptus at concentration 6% equal to 138,92 kg/m3 to increase assess its retention and also bark of eucalyptus with concentration 6% owning value of ASE ( Antiswelling Efficiency) highest ( 95,18%). Pine bark with concentration 6% effective to mushroom attack S. Fr commune.
ABSTRAK
DITHA DWI CAHYA. Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis
MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu. Dibawah bimbingan RIDWANTI BATUBARA dan EDY BATARA MULYA SIREGAR.
Kayu yang mudah dirusak oleh faktor biologis merupakan kayu yang memiliki keawetan rendah. Kayu karet memiliki keawetan rendah sehingga kurang disukai sebagai bahan bangunan atau kontruksi. Perlakuan untuk meningkatkan keawetan kayu dapat dilakukan dengan cara pengawetan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus serta menguji kayu karet yang telah diawetkan dengan zat ekstraktif kulit kayu terhadap serangan jamur Schizophyllum commune Fr.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan serbuk kulit kayu (mahoni, pinus dan eucalyptus) yang diekstrak dengan pelarut metanol, kemudian dibuat 4 taraf konsentrasi 0%, 2%, 4% dan 6%, selanjutnya diuji retensi, uji stabilitas dimensi dan uji ketahanan kayu karet terhadap serangan jamur S. commune Fr. Hasil penelitian menunjukkan Ketiga jenis kulit kayu memiliki kandungan kimia saponin dalam jumlah banyak, terpenoida dalam jumlah sedikit dan tidak mengandung zat kimia alkaloida. Pada zat kimia flavonoid, kulit kayu eucaliptus memiliki kandungan dalam jumlah banyak dibandingan kulit kayu pinus dan mahoni. Kulit kayu eucaliptus pada konsentrasi 6% sebesar 138,92 kg/m3 efektif digunakan untuk meningkatkan nilai keawetan kayu karena memiliki nilai retensi tertinggi serta kulit kayu eucalyptus dengan konsentrasi 6% memiliki nilai ASE (Antiswelling Efficiency) yang paling tinggi (95,18%). Kulit kayu pinus dengan konsentrasi 6% efektif terhadap serangan jamur S. commune Fr.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, yang berjudul ”Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu” dengan baik. Penelitian ini merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, M.P, dan Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya, M.S selaku komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua dan teman-teman yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah.
Medan, Januari 2013
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT……… i
ABSTRAK……….. ii
KATA PENGANTAR ……… iii
DAFTAR ISI ………... iv
DAFTAR GAMBAR……….. vi
DAFTAR TABEL……….. vii
DAFTAR LAMPIRAN……….. viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ………. 1
Tujuan Penelitian ………. 3
Manfaat Penelitian ………... 4
Hipotesis ………... 4
TINJAUAN PUSTAKA Kayu Karet………… ……… 5
Kayu Mahoni……….. 6
Kayu Pinus………. 8
Kayu Eucalyptus……… 10
Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami …..…. 11
Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawet Alami………….... 11
Stabilitas Dimensi Kayu ………..…………. 13
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 17
Alat dan Bahan ………. 17
Prosedur Penelitian..……….. 17
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Fitokimia………. 29
Kandungan Zat Ekstraktif……… 32
Retensi Bahan Pengawet pada Kayu……… 34
Stabilitas Dimensi Kayu……….. 36
Pengujian pada Jamur Schizophyllum commune Fr. ………. 38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 42
Saran………... 42
DAFTAR PUSTAKA………. 43
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun... 7
2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni ………... 8
3. Batang Tanaman Pinus………. 9
4. Skema Pengujian Steroida-Terpenoida………... 24
5. Skema Pengujian Saponin………. 25
6. Skema Pengujian Flavonoida……… 25
7. Skema Pengujian Alkaloida……….. 27
8. Grafik Rata-rata Nilai Retensi……….………. 35
9. Grafik Rata-rata Nilai ASE……….. 37
10. Grafik Nilai Rata-rata Penurunan Berat Contoh Uji ………… 38
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi... 23
2. Skrining Fitokimia Alkaloida……… 29
3. Skrining Fitokimia Flavonoid………... 30
4. Skrining Fitokimia Terpenoida……… 31
5. Skirining Fitokimia Saponin……… 31
6. Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Jenis Kulit Kayu... 32
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Data Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Kulit Kayu... 46
2. Data Kadar Air Serbuk Ketiga Kulit Kayu………...… 46
3. Data Penambahan Berat Contoh Uji Kayu Karet... 46
4. Data Nilai Retensi Contoh Uji Kayu Karet …………... 49
5. Analisi Sidik Ragam Retensi Kayu……….. 51
6. Data ASE Contoh Uji Kayu Karet……….. 52
7. Analisi Sidik Ragam ASE Contoh Uji Kayu Karet…………. 53
8. Data Penurunan Berat ………. 54
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kayu merupakan kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya penduduk, kemajuan teknologi, perindustrian dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang konstruksi, kayu memiliki arti yang penting dalam penggunaannya meskipun mendapat saingan dari bahan konstruksi lainnya seperti : semen, baja, dan sebagainya. Kayu digunakan juga sebagai bahan bangunan dan sebagai bahan baku industri disebabkan karena kayu memiliki kelebihan, yaitu: mudah diperoleh di seluruh dunia, mudah dibentuk dan dikerjakan, sebagai isolator panas yang baik, dan memiliki sifat dekoratif yang baik. Disamping memiliki kelebihan, kayu juga memiliki kekurangan yaitu mudah dirusak oleh organisme perusak kayu seperti fungi dan serangga dan juga oleh kondisi fisik dan kimia lingkungan. Kerusakan kayu yang disebabkan oleh faktor
biologis lebih tinggi dibandingkan faktor-faktor perusak lainnya (Nandika dan Tambunan, 1989).
sintetis. Ditinjau dari aspek ekologis, penggunaan bahan kimia sintetis mempunyai dampak yang kurang menguntungkan terutama disebabkan bahan kimia tersebut tidak dapat terurai. Upaya untuk mengurangi dampak negatif tersebut dilakukan dengan pencarian bahan pengawet alternatif dari alam melalui berbagai penelitian. Pemanfaatan komponen kimia berupa zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu merupakan salah satu alternatif sumber bahan pengawet kayu alami. Kandungan zat ekstraktif pada setiap jenis kayu berbeda satu sama lainnya, baik kadarnya maupun daya racunnya. Hal ini menjadikan setiap jenis kayu memiliki kelas keawetan yang berbeda-beda (Duljapar, 2001).
Kayu tahan terhadap serangan berbagai faktor perusak terutama perusak biologis (hama dan penyakit) karena memiliki zat ekstraktif yang bersifat racun pada faktor perusak tersebut. Sifat racun zat ekstraktif ini memiliki potensi sebagai bahan pengawet alami. Berbagai penelitian menunjukkan sifat bioaktifnya terhadap rayap dan jamur diantaranya: ekstraktif kulit kayu jati bersifat racun pada rayap (Sari dan Syafii, 2000) dan jamur (Rosamah, 1990), ekstraktif kulit kayu medang bersifat racun pada jamur (Batubara, 2007).
merupakan salah satu faktor penyebab keawetan alami kayu yang memiliki sifat racun terhadap organisme perusak kayu. Zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu bersifat fungisida atau insektisida seperti zat fenol, terpene, saponin, flavonoid dan tanin. Selain itu terdapat juga zat yang merugikan kayu seperti zat tepung atau zat gula (Tim Elsppat, 2007).
Zat ekstraktif lebih banyak pada bagian kulit pohon, zat ekstraktif kulit kayu dapat menghambat perkembangan jamur dan terhadap rayap, diantaranya zat ekstraktif kulit kayu durian (Durio zibethinus) berpengaruh terhadap rayap tanah (Nofarianty, 1998), sifat anti rayap zat ekstraktif beberapa jenis kayu daun lebar tropis (Syafii, 2000) dan zat ekstraktif kulit kayu medang hitam (Cinnamomun porrectum Roxb) berpengaruh terhadap jamur S. commune (Batubara, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus akan dicobakan sebagai bahan pengawet alami kayu karet yang memiliki kelas awet V sebagai upaya untuk meningkatkankan keawetannya terhadap serangan jamur S. commune Fr.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kandungan kimia kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus berdasarkan uji fitokimia.
2. Mengujian kayu karet yang telah diawetkan dengan zat ekstraktif kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus terhadap serangan jamur S. commune
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan suatu alternatif dalam penggunaan zat ekstraktif dari beberapa jenis kulit kayu sebagai bahan pengawet alami.
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg)
Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea braziliensis
MUELL Arg, berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Tanaman karet ini dibudidayakan oleh penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks
juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelas tica (family moraceae) (Sianturi, 1992).
Menurut Sianturi (1992) tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Euphorbiaceae Genus : Hevea
Spesies : Hevea braziliensis
terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm, Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar, biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tanaman karet dari segi keawetannya termasuk ke dalam kelas awet ke V, namun tanaman karet dilihat dari segi kekuatannya tergolong kayu yang termasuk kedalam kelas II-III (Mandika, et al, 1989).
Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni)
Tanaman Mahoni adalah salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasi besar termasuk famili Meliaceae. Ada dua jenis spesies yang cukup dikenal yaitu:
Swietenia macrophyla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia
Spesies : Swietenia mahagoni
Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan nama pohon mahoni. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Tanaman mahoni banyak ditanam di piggir-pinggir jalan atau dilingkungan rumah tinggal dan halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Mahoni di tanam besar-besaran di Dinas Kehutanan. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau diantara semak-semak belukar (Sutarni, 1995).
Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah jenis mahoni berdaun sempit, diambil bagian kulit batang tanaman mahoni dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun
langsung, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).
Mahoni merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan yaitu untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, demam dan sebagai penyegar. Tanaman mahoni di Kuba, dalam bentuk larutan penyegar yang manis dari kulit batang mahoni dan daunnya dipakai sebagai tonik (penyegar) serta rebusan kulit batang mahoni dipakai untuk obat penderita sariawan, tetanus dan penyakit HIV (Sutarni, 1995).
Kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan mahoni adalah saponin dan flavonoid, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2 struktur kimia tanaman mahoni.
Gambar 2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni (Harbone, 1987) Tanaman mahoni sejak 20 tahun terakhir ini sudah dibudidayakan karena kualitas kayunya keras dan sangat baik, terutama untuk mebel dan kerajinan tangan, bahkan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kayu mahoni untuk membuat dinding dan lantai. Kayu tua berwarna merah kecokelatan. Kualitas kayu mahoni berada sedikit di bawah kayu jati, maka mahoni pun dijuluki primadona kedua setelah kayu jati (Sutarni, 1995).
Kayu Pinus (Pinus merkusii)
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Gymnospermae Ordo : Coriferae Famili : Pinaceae Spesies : Pinus merkusii
Terdapat lebih dari 20 jenis kayu pinus dengan nama species yang berbeda. Jenis kayu pinus yang sering digunakan dan secara umum dikenal memiliki kualitas yang baik ada 2 jenis kayu pinus yaitu Pinus Radiata dan Pinus Merkusii. Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk (Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan, 2001).
Kayu Eucaliptus
Tanaman Eucaliptus merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuatan pulp dan kertas. Jenis Eucaliptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Tanaman dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Sistem perakarannya yang masih sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Afandi, 2007).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman eucaliptus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus : Eucalyptus
memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Ciri khas lainnya adalah sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk-lekuk. Warna kulit mulai dari putih kelabu, abu-abu mudah, hijau kelabu sampai coklat, merah, sawo matang sampai coklat (Afandi, 2007).
Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami
Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari pada dalam kayu. Hal ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan serangkaian ekstrasi, yang biasanya memberikan ciri awal komposisinya. Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).
Ekstraktif kulit larut berkisar dari sedang sampai tinggi kadar keasamannya, dengan pH berkisar dari 3,5 sampai 6. Ekstrak kulit biasanya jauh lebih asam daripada ekstrak kayu spesies yang sama. Sifat asam kulit memerlukan sejumlah perubahan dalam metode pengolahannya. Keasaman ekstraktif kulit yang tinggi menimbulkan suatu masalah dalam penggunaan kulit sebagai media pot atau penutupan permukaan tanah (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawetan Alami
Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang ikut menentukan keberhasilan pengawetan.Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.
Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).
Stabilitas Dimensi Kayu
Perubahan dimensi kayu, perubahan bentuk yang dialami kayu karena tegangan-tegangan dalam akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (di bawah kadar air titik jenuh serat). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) terdapat beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu akibat perubahan-perubahan dalam kandungan air. Tak satupun dapat meniadakan perubahan-perubahan dimensional, tetapi sebagian sangat mendekati. Lima pendekatan untuk mengurangi perubahan dimensi adalah:
1. Menghalangi penyerapan uap air dalam pelapisan produk.
2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin.
3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air terikat di dalam dinding sel adalah suatu cara stabilitas komersial.
4. Memperlakukan kayu untuk menghasilkan hubungan saling silang antara kelompok hidroksil dalam dinding sel telah digunakan setelah percobaan dengan berhasil.
5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren akrilonitril dapat meningkatkan kestabilitas kayu dan menambah kekerasan serta ketahanan ausnya.
titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void structure) dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya (Achmadi, 1990).
Banyak penelitian dilakukan dalam bidang pemantapan dimensi. Perubahan dimensi dapat dikurangi melalui pemejalan (bulking) dinding sel dengan bahan kimia yang terikat. Metode ini ampuh, sebab selama perlakuan keadaan kayu dibuat mengembang sebagian atau mengembang sempurna. Modifikasi kimia berarti mengubah sifat polimer dinding sel, berarti mengubah pila sifat kayu secara keseluruhan (Achmadi, 1990).
Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Ahcmadi, 1990).
Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:
Regnum : Myceteae
Divisi : Amastigomycota Sub-Divisi : Basidiomycotina Kelas : Basidiomycetes
Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I Seri : Hymenomycetes I Ordo : Aphyllophorales Famili : Schizophyllaceae Genus : Schizophyllum
Spesies : Schizophyllum commune
Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotali khymenomic etes, dimana micelia “monoporous ” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928 ) dalam
Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.
S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg)
Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea braziliensis
MUELL Arg, berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Tanaman karet ini dibudidayakan oleh penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks
juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelas tica (family moraceae) (Sianturi, 1992).
Menurut Sianturi (1992) tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Euphorbiaceae Genus : Hevea
Spesies : Hevea braziliensis
terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm, Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar, biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tanaman karet dari segi keawetannya termasuk ke dalam kelas awet ke V, namun tanaman karet dilihat dari segi kekuatannya tergolong kayu yang termasuk kedalam kelas II-III (Mandika, et al, 1989).
Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni)
Tanaman Mahoni adalah salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasi besar termasuk famili Meliaceae. Ada dua jenis spesies yang cukup dikenal yaitu:
Swietenia macrophyla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia
Spesies : Swietenia mahagoni
Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan nama pohon mahoni. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Tanaman mahoni banyak ditanam di piggir-pinggir jalan atau dilingkungan rumah tinggal dan halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Mahoni di tanam besar-besaran di Dinas Kehutanan. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau diantara semak-semak belukar (Sutarni, 1995).
Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah jenis mahoni berdaun sempit, diambil bagian kulit batang tanaman mahoni dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun
langsung, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).
Mahoni merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan yaitu untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, demam dan sebagai penyegar. Tanaman mahoni di Kuba, dalam bentuk larutan penyegar yang manis dari kulit batang mahoni dan daunnya dipakai sebagai tonik (penyegar) serta rebusan kulit batang mahoni dipakai untuk obat penderita sariawan, tetanus dan penyakit HIV (Sutarni, 1995).
Kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan mahoni adalah saponin dan flavonoid, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2 struktur kimia tanaman mahoni.
Gambar 2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni (Harbone, 1987) Tanaman mahoni sejak 20 tahun terakhir ini sudah dibudidayakan karena kualitas kayunya keras dan sangat baik, terutama untuk mebel dan kerajinan tangan, bahkan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kayu mahoni untuk membuat dinding dan lantai. Kayu tua berwarna merah kecokelatan. Kualitas kayu mahoni berada sedikit di bawah kayu jati, maka mahoni pun dijuluki primadona kedua setelah kayu jati (Sutarni, 1995).
Kayu Pinus (Pinus merkusii)
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Gymnospermae Ordo : Coriferae Famili : Pinaceae Spesies : Pinus merkusii
Terdapat lebih dari 20 jenis kayu pinus dengan nama species yang berbeda. Jenis kayu pinus yang sering digunakan dan secara umum dikenal memiliki kualitas yang baik ada 2 jenis kayu pinus yaitu Pinus Radiata dan Pinus Merkusii. Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk (Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan, 2001).
Kayu Eucaliptus
Tanaman Eucaliptus merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuatan pulp dan kertas. Jenis Eucaliptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Tanaman dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Sistem perakarannya yang masih sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Afandi, 2007).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman eucaliptus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus : Eucalyptus
memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Ciri khas lainnya adalah sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk-lekuk. Warna kulit mulai dari putih kelabu, abu-abu mudah, hijau kelabu sampai coklat, merah, sawo matang sampai coklat (Afandi, 2007).
Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami
Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari pada dalam kayu. Hal ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan serangkaian ekstrasi, yang biasanya memberikan ciri awal komposisinya. Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).
Ekstraktif kulit larut berkisar dari sedang sampai tinggi kadar keasamannya, dengan pH berkisar dari 3,5 sampai 6. Ekstrak kulit biasanya jauh lebih asam daripada ekstrak kayu spesies yang sama. Sifat asam kulit memerlukan sejumlah perubahan dalam metode pengolahannya. Keasaman ekstraktif kulit yang tinggi menimbulkan suatu masalah dalam penggunaan kulit sebagai media pot atau penutupan permukaan tanah (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawetan Alami
Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang ikut menentukan keberhasilan pengawetan.Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.
Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).
Stabilitas Dimensi Kayu
Perubahan dimensi kayu, perubahan bentuk yang dialami kayu karena tegangan-tegangan dalam akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (di bawah kadar air titik jenuh serat). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) terdapat beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu akibat perubahan-perubahan dalam kandungan air. Tak satupun dapat meniadakan perubahan-perubahan dimensional, tetapi sebagian sangat mendekati. Lima pendekatan untuk mengurangi perubahan dimensi adalah:
1. Menghalangi penyerapan uap air dalam pelapisan produk.
2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin.
3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air terikat di dalam dinding sel adalah suatu cara stabilitas komersial.
4. Memperlakukan kayu untuk menghasilkan hubungan saling silang antara kelompok hidroksil dalam dinding sel telah digunakan setelah percobaan dengan berhasil.
5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren akrilonitril dapat meningkatkan kestabilitas kayu dan menambah kekerasan serta ketahanan ausnya.
titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void structure) dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya (Achmadi, 1990).
Banyak penelitian dilakukan dalam bidang pemantapan dimensi. Perubahan dimensi dapat dikurangi melalui pemejalan (bulking) dinding sel dengan bahan kimia yang terikat. Metode ini ampuh, sebab selama perlakuan keadaan kayu dibuat mengembang sebagian atau mengembang sempurna. Modifikasi kimia berarti mengubah sifat polimer dinding sel, berarti mengubah pila sifat kayu secara keseluruhan (Achmadi, 1990).
Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Ahcmadi, 1990).
Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:
Regnum : Myceteae
Divisi : Amastigomycota Sub-Divisi : Basidiomycotina Kelas : Basidiomycetes
Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I Seri : Hymenomycetes I Ordo : Aphyllophorales Famili : Schizophyllaceae Genus : Schizophyllum
Spesies : Schizophyllum commune
Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotali khymenomic etes, dimana micelia “monoporous ” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928 ) dalam
Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.
S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Laboratorium Budidaya Hutan Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Kimia Bahan Alam, Fakultas FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai April 2012 - November 2012.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, saringan ukuran 40-60 mesh, oven, aluminium foil, kantong plastik, kertas label, kertas saring,
kalipper, gelas erlenmeyer, autoclave, spatula, timbangan, kamera digital, kalkulator, dan alat tulis. Sedangkan bahan yang akan digunakan adalah kayu karet (H. braziliensis) ukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm sebanyak 72 contoh uji, serbuk kulit kayu mahoni, pinus dan eucalyptus dan jamur S. commune, dan pelarut metanol.
Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Baku dan Contoh Uji
dikeringkan sampai kering udara dan di masukkan ke dalam kantung plastik yang berukuran besar. Selanjutnya diukur kadar airnya.
Ekstraksi Kulit Kayu
Serbuk kulit kayu tersebut yang telah kering diambil sebanyak 500 gram, masing- masing diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode perendaman pada suhu ruangan selama 2 hari dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut 1:3 dalam stoples, campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam dengan menggunakan spatula, hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil saringan tersebut di masukkan ke dalam botol, residunya direndam kembali selama 2 hari. Kegiatan perendaman dan penyaringan ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil masing-masing ekstraksi tersebut kemudian dievaporasi sampai volumenya 100 mililiter. Dari ekstraksi diambil 10 mililiter, kemudian dievaporasi sampai kering setelah itu baru dioven untuk mengetahui kadar ekstraknya.
Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan
Pembuatan Contoh Uji Dan Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan
a. Pembuatan Contoh Uji
Kayu karet yang segar tebang dibuat balok dengan panjang kurang lebih 1 m, lalu diambil kayu bagian gubalnya untuk dibuat sebagai contoh uji. Contoh uji yang bebas cacat berukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm sebanyak 72 contoh uji yang dibuat dengan menggunakan gergaji mesin.
b. Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan
Contoh uji dikering udarakan selama 1 bulan. Kemudian contoh uji dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 1000C selama 48 jam kemudian ditimbang (W0) dan volumenya diukur dengan kalipper.
Perendaman (Pengawetan) Contoh Uji Pada Zat Ekstraktif
Perendaman contoh uji kayu karet dilakukan pada larutan ekstraksi metanol selama 3 hari. Contoh uji kayu karet yang direndam adalah 72 buah yang terdiri dari 36 contoh uji untuk pengujian stabilitas dimensi dan 36 buah contoh uji untuk pengujian jamur. 36 contoh uji yang diperoleh dari 3 jenis kulit kayu, 1 jenis pelarut, 4 taraf konsentrasi dan 3 kali ulangan dengan ukuran 20 mm (p) x 20 mm (l) x 10 mm (t) yang sebelumnya dikering udarakan dan telah dioven serta telah diukur volumenya, agar contoh uji terendam dan tidak terapung, maka contoh uji diberi pemberat.
Pengujian Retensi
penambahan berat berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978) dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :
Penambahan berat (%) = 100%
W0 = berat kering tanur contoh uji sebelum pengawetan (gram) W1 = berat kering tanur contoh uji sesudah pengawetan (gram)
Selain penambahan berat dihitung juga besarnya nilai Retensi berdasarkan Duljapar (2001) dengan menggunakan rumus :
X K
W1 = berat kering tanur sesudah diawetkan (kilogram) W0 = berat kering tanur sebelum diawetkan (kilogram) R = retensi bahan pengawet (kg/m3)
K = konsentrasi larutan (% w1/w0) V = volume kayu yang diawetkan (m3)
Pengujian Efektifitas Zat Ekstraktif Terhadap Stabilitas Dimensi Kayu Karet
S (%) = {(V2/V1) - 1} x 100
Keterangan:
V2 = dimensi contoh uji setelah perendaman V1 = dimensi contoh uji kering oven
Nilai ASE (Antiswelling efficiency) dapat dihitung dari perbedaan antara nilai pengembangan contoh uji (S) dengan perlakuan pengawetan dan tanpa perlakuan pengawetan berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978)
dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :
ASE (%) = {1 – (S2/S1)} x 100
Keterangan :
S2 = swelling dalam keadaan basah S1 = swelling dalam keadaan kering oven
Pengujian Pada Jamur
a. Penyediaan biakan jamur (isolasi jamur)
Media biakan jamur yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar), degan bahan: 250 gr kentang, 20 gram gula (dextrosa), 21 gram tepung agar-agar, dan 1000 ml air suling.
b. Pembiakan jamur
Jamur yang digunakan dalam penelitian ini adalah S. commune. Jamur tersebut diperoleh dari isolasi dari kayu dan dimurnikan untuk mendapatkan biakan murni (isolat) yang siap dipakai untuk pengujian. Isolat tersebut menjadi bahan yang akan diinokulasi pada media PDA baru (perlakuan) yang telah disiapkan.
c. Pengujian
a) Contoh uji yang steril dan diketahui beratnya dimasukkan ke dalam gelas yang sudah berisi biakan fungi penguji. Sebelumnya diperiksa dahulu kalau biakan fungi terkontaminasi atau tidak. Biakan fungi yang terkontaminasi harus diganti dan tidak digunakan untuk pengujian.
b) Pengamatan dilakukan setelah 4 minggu. Contoh uji dibersihkan dari miselium dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi.
c) Penilaian kerusakan dapat dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari “utuh” sampai “hancur sama sekali”. Klasifikasi kerusakan dapat dibuat menurut keperluan.
d) Contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam. Persentase kehilangan berat dihitung atas dasar selisih berat contoh uji sebelum dan sesudah diserang fungi.
Pengamatan dilakukan setelah 4 minggu terhadap daya hidup dan intensitas serangan. Pengujian kayu terhadap fungi pelapuk didapat dengan menghitung:
a) Penurunan berat dengan menggunakan rumus :
% W2 = berat contoh uji sesudah diumpankan (g).
b) Penentuan ketahanan kayu didasarkan atas beberapa kelas seperti Tabel 1
Tabel 1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi
Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%) I Sangat Tahan <1
II Tahan 1 – 5
III Agak Tahan 5-10
IV Tidak Tahan 10-30 V Sangat Tidak Tahan >30 % Sumber : SNI 01-7207-2006
Pengujian Fitokimia
Adapun prosedur pengujian fitokimia yang dilakukan adalah :
a. Pengujian Steroida-Terpenoida
Timbang serbuk sebanyak 2-3 gram, masukkan kedalam beaker glass dan diekstraksi dengan 10 ml etanol dan dipanaskan selama 15 menit di atas penangas, lalu saring. Ekstrak akan dipakai pada percobaan berikut :
• Ekstrak sebanyak 1 ml ditambah dengan 3 tetes pereaksi
• Ekstrak sebanyak 1 ml ditambah dengan 3 tetes pereaksi Salkowsky
(H2SO4 pekat), akan memberikan larutan warna merah pekat.
• Ekstrak sebanyak 1 ml ditambah dengan 3 tetes CeSO4 1% dalam H2SO4
10%, akan memberikan larutan warna cokelat.
Apabila salah satu pereaksi tersebut bereaksi (+) terhadap ekstrak sampel berarti pada sampel terdapat senyawa steroida-terpenoida. Skema pengujian steroida-terpenoida dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Skema Pengujian Steroida-Terpenoida
b. Pengujian Saponin
Sebanyak 0,5 gr serbuk dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian tambahkan air panas 10 ml kemudian didinginkan. Kocok dengan kencang selama 10 detik bila terdapat senyawa saponin akan terbentuk buih stabil kurang lebih 10
Serbuk sampel (2-3gr) Ekstraksi Etanol (10 ml)
menit, dengan ketinggian buih 1-10 cm dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Skema pengujian saponin dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema Pengujian Saponin
c. Pengujian Flavonoida
Sebanyak 2-4 gram serbuk diekstraksi dengan 20 ml metanol, kemudian disaring. Ekstrak tumbuhan yang diperoleh dari masing-masing tumbuhan obat diuji dengan 3 tetes pereaksi-pereaksi flavonoida yaitu FeCl3 1%, NaOH 10%,
Mg-HCl, dan H2SO4 (p). Skema pengujian flavonoid dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Skema Pengujian Flavonoida
Serbuk sampel (0,5 gr) Tabung reaksi Air panas (10 ml)
Pendinginan
Larutan ekstrak (1 ml)
d. Pengujian Alkaloida
Serbuk ditimbang sebanyak 0,5 gr, kemudian ditambah 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml aquadest, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :
• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Mayer, akan
terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.
• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorf, akan
terbentuk warna merah atau jingga.
• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan
terbentuk endapan berwarna cokelat sampai hitam.
• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Wagner, akan
terbentuk endapan berwarna cokelat.
Gambar 7. Skema Pengujian Alkaloida
Analisa Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) factorial, dengan dua faktor perlakuan yaitu faktor A adalah 3 jenis kulit kayu (kulit kayu mahoni, pinus dan eucalyptus) dan faktor B adalah 4 taraf konsentrasi bahan pengawet (0%, 2%, 4% dan 6%). Contoh uji dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Sehingga jumlah kayu yang digunakan yakni 36 kayu. Model statistik yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
Serbuk sampel (0,5 gr) Asam klorida 2N Pengendapan Pengendapan Pengendapan
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Σijk
Yijk = nilai pengamatan jenis kulit kayu ke-i, dengan konsentrasi ke-j, dan pada ulangan ke-k
µ = nilairata-rata yang sesungguhnya
αi = pengaruh akibat jenis kulit kayu ke-i
βj = pengaruh akibat konsentrasi larutan ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara jenis kulit kayu ke-i dengan konsentrasi larutan ke-j
Σijk = pengaruh acak (galad) percobaan jenis kulit kayu ke-i dan konsentrasi larutan ke-j serta pada ulangan ke-k
Mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap kayu karet dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung ≥ F tabel maka Ho diterima dan jika F hitung ≤ F tabel maka Ho ditolak. Untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengaruh diantara faktor perlakuan (taraf konsentrasi ekstrak dan pelarut ekstrak) maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji beda
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan zat kimia yang terdapat pada suatu bagian tumbuhan, seperti buah, daun dan kulit kayu. Pengujian fitokimia dilakukan pada ketiga jenis kulit kayu yaitu mahoni, pinus dan eucaliptus. Berikut merupakan hasil pengujian fitokimia pada ketiga jenis kayu tersebut dan data selengkapnya disajikan pada Tabel 2, 3, 4 dan 5.
Tabel 2. Skrining Fitokimia Alkaloida
No. Sampel Pereaksi
Mayer Wagner Bouchardart Dragendorff 1 Mahoni (-) (-) (-) (-)
Berdasarkan hasil uji fitokimia alkaloida (Tabel 2) pada ketiga jenis kulit kayu ditemukan reaksi negatif terhadap semua pereaksi (tidak mengandung zat kimia) yang ditandai dengan tidak terjadinya endapan/kekeruhan pada reaksi yang dilakukan, hal ini dikarenakan ketiga jenis kulit kayu tidak memiliki atom nitrogen. Sesuai pernyataan Lenny (2006) bahwa, semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik.
tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan elektron pada nitrogen. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen.
Tabel 3. Skrining Fitokimia Flavonoid
No. Sampel Pereaksi
FeCl 1% NaOH 10% Mg-HCl H2SO4
1 Mahoni (++) (+) (-) (-) 2 Pinus (++) (+) (-) (-) 3 Eucaliptus (+++) (++) (-) (-)
Keterangan: - = tidak ada, + = sedikit, ++ = sedang, +++ = banyak
Berdasarkan hasil uji fitokimia flavonoida (Tabel 3) ditemukan reaksi positif (mengandung zat kimia) terhadap pereaksi FeCl 1% dan pereaksi NaOH 10%, sedangkan pada pereaksi Mg-HCl dan H2SO4 bereaksi negatif. Pada kulit
kayu eucaliptus ditemukan reaksi positif lebih banyak dibandingn pada kulit kayu mahoni dan pinus. Flavonoid ada jika terjadi pada 2 pereaksi atau lebih.
Tabel 4. Skrining Fitokimia Terpenoida
Hasil pengujian fitokimia terpenoida (Tabel 4), ketiga jenis kulit kayu bereaksi negatif (tidak mengandung zat kimia) pada pereaksi Lieberman-Bouchard dan CeSO4 1% dalam H2SO4 10%, namun bereaksi positif (sedikit
mengandung zat kimia) pada pereaksi Salkowsky yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah pekat. Terpenoida dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia. Terpenoida memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena terpenoida banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH dan dapat mengikat logam berat. Selain itu terpenoida juga bersifat anti rayap dan jamur (Carter et, al., 1978 dalam Risnasari, 2002).
Tabel 5. Skirining Fitokimia Saponin
No. Sampel Pereaksi
pahit seperti karakteristik saponin yang menyebabkan rasa pahit. Saponin merupakan salah satu senyawa yang terkandung didalam tumbuhan-tumbuhan. Saponin memiliki rasa pahit yang menusuk yang menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah.
Kandungan Zat Ekstraktif
Kandungan zat ekstraktif ketiga jenis kulit kayu dengan pelarut metanol yang diteliti memiliki hasil yang berbeda-beda. Kandungan zat ekstraktif tertinggi diperoleh dari jenis kulit kayu eucaliptus dan yang terendah diperoleh dari jenis kulit kayu mahoni. Secara lengkap kandungan zat ekstraktif ketiga jenis kulit kayu tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 data selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
Tabel 6. Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Jenis Kulit Kayu dengan Pelarut Metanol
Jenis Kulit Kayu Berat padatan ekstrak (gr) Kandungan zat ekstraktif (%)
Mahoni 12.07 2.41
Pinus 13.47 2.69
Eucaliptus 15.23 3.05
dilakukan tidak melihat apakah seluruh zat ekstraktif dari serbuk ketiga kulit kayu telah larut. Kemungkinan masih tertinggalnya zat ekstraktif pada residu yang telah disaring, sehingga didapatkan kadar zat ekstraktif yang rendah.
Syafi’i (2000) mengatakan banyaknya zat ekstraktif yang dapat diekstrak dari dalam kayu tergantung berbagai macam faktor, yaitu jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi, ukuran serbuk dan kadar air serbuk. Faktor yang paling berpengaruh adalah jenis kayu. Setiap kayu memiliki kadar zat ekstraktif yang berbeda-beda.
Kandungan zat ekstraktif kayu merupakan penyebab utama keawetan alami kayu. Semakin beracun zat ekstraktif suatu jenis kayu maka keawetan alami kayu tersebut akan semakin baik. Hasil zat ekstraktif yang diperoleh dalam penelitian ini relatif sedang. Hal ini karena ketiga jenis kulit kayu memiliki kelas kelas awet yang rendah, yaitu kelas III – II. (Duljapar, 2001), dan ternyata kandungan ekstraktifnya juga rendah. Banyaknya ekstraktif yang dihasilkan bukan satu-satunya tolak ukur keefektifan ekstrak tersebut, tetapi yang paling utama yaitu zat toksik yang terlarut.
dalam Batubara (2005) menyatakan bahwa banyaknya zat ekstraktif yang dapat larut tidak terlepas dari faktor pemilihan pelarutnya. Pelarut yang ideal digunakan untuk proses ekstraksi harus memenuhi syarat yaitu dapat melarutkan zat ekstraktif, pelarut harus bersifat inert (tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi).
Menurut Sari dan Sutjipto (2004), menyatakan bahwa ekstrak dari tumbuh-tumbuhan seperti kayu, kulit, daun bunga buah atau biji, berpotensi mencegah pertumbuhan jamur ataupun menolak kehadiran serangga perusak. Dalam hal ini penelitian menggunakan ekstrak yang berasal dari bagian kulit kayu.
Uji Keawetan Kayu
Keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan kayu terhadap serangan factor perusak kayu dari golongan biologis. Keawetan alami kayu ditentukan oleh zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organism perusak (Batubara, 2006). Pengujian terhadap keawetan kayu yang dilakukan meliputi uji retensi, uji stabilitas dimensi dan uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu yakni
S. commune Fr.
Retensi Kayu
Gambar 8. Grafik rata-rata nilai retensi
Berdasarkan Gambar 8, diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet, maka semakin besar pula nilai retensinya. Nilai retensi pada kayu karet berkisar antara 23,91 – 138,92 kg/m3. Nilai tertinggi retensi pada kayu karet yang direndam dengan ekstrak kulit kayu eucaliptus pada konsentrasi 6% yaitu 138,92 kg/m3, sedangan nilai terendah pada ekstrak kulit kayu pinus pada konsentrasi 2% yaitu 23,91 kg/m3. Hasil ini berhubungan dengan hasil yang didapat pada nilai penambahan berat, bahwa semakin tinggi nilai penambahan beratnya, makan semakin besar pula retensi yang terjadi.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian ketiga ekstrak kulit kayu pada berbagai taraf konsentrasi (0%, 2%, 4% dan 6%) berpengaruh nyata terhadap nilai retensi yang terjadi pada kayu karet, dan interaksi antara jenis kulit kayu dan taraf konsentrasi juga berpengaruh nyata. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5.
Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi, diperoleh bahwa konsentrasi 2%, 4% dan 6% berbeda nyata. Diantara ketiga taraf konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% lebih efektif, sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.
Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.
Stabilitas Dimensi Kayu
Gambar 9. Grafik rata-rata nilai ASE
Berdasarkan Gambar 9, diperoleh bahwa setiap kenaikan konsentrasi nilai ASE setiap jenis kulit kayu meningkat. Nilai tertinggi adalah nilai yang memiliki anti pengembangan volume yang paling baik. Nilai ASE tertinggi dengan ekstrak kulit eucaliptus dengan konsentrasi 6% yaitu 95,18%. Angka-angka tertinggi menunjukan bahwa semakin tinggi nilai anti pengembang volume maka, semakin kecil nilai pengembangan volumennya. Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Achmadi, 1990).
ASE. Hasil uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap konsentrasi bahan pengawet, diperoleh bahwa ketiga konsentrasi tidak berbeda nyata. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 7.
Penelitian ini menunjukan bahwa contoh uji yang telah direndam dengan zat ekstraktif kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus tidak mengalami pengembangan volume, hal ini disebabkan karena penggunaan zat ekstraktif ketiga kulit kayu dapat menstabilkan atau tidak membuat stabilitas dimensi contoh uji kayu karet berubah. Pengembangan volume terjadi karena perubahan bentuk akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (dibawah kadar air titik jenuh serat).
Pengujian pada Jamur Schizophyllum commune Fr.
Penurunan berat contoh uji dapat disebabkan oleh serangan jamur. Jamur yang menyerah kayu karet adalah jamur S. commune, yang sengaja ditumbuhan untuk melihat kerusakan atau penurunan berat contoh uji. Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 10 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 8.
Berdasarkan Gambar 10, diperolehan nilai serangan jamur S. commune
terhadap kayu karet berkisar antara 1.27% - 15.93%. Contoh uji yang tidak direndam dengan bahan pengawet mengalami penurunan berat yang sangat tinggi dibandingan dengan contoh uji yang direndam dengan ketiga ekstrak kulit kayu dengan taraf konsentrasi (2%, 4% dan 6%). Nilai penurunan berat pada contoh uji terendah yang direndam ekstrak kulit kayu mahoni dengan taraf konsentrasi 4% yaitu 1.27%, sedangkan nilai tertinggi penurunan berat contoh uji pada taraf konsentrasi 0% (kontrol) untuk masing-masing kulit kayu.
Gambar 11. Contoh uji yang serangan jamur S. commune
Berdasarkan hasil analisi sidik ragam yang dilakukan, diperoleh bahwa jenis kulit kayu dan konsentrasi bahan pengawet serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap penurunan berat contoh uji. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.
Uji lanjut yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi (2%, 4% dan 6%) juga berbeda nyata. Diantara ketiga konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% lebih efektif, sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.
Hal ini dikarenakan jamur S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa, sehingga berat contoh uji menurun. Berdasarkan nilai rata-rata penurunan berat, kelas ketahanan kayu terhadap fungi menurut SNI 01-72072-2006, dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 8. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi
Jenis Kulit
Ketiga jenis kulit kayu pada taraf konsentrasi (2%, 4% dan 6%) yang disajikan pada Tabel 7 memiliki kelas ketahanan agak tahan sampai dengan sangat tahan terhadap jamur S. commune. Sedangkan untuk kontrol, menunjukan kelas ketahanan tidak tahan terhadap serangan jamur S. commune. Jamur S. commune
dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Ketiga jenis kulit kayu memiliki kandungan kimia saponin, terpenoida dan tidak mengandung zat kimia alkaloida. Pada zat kimia flavonoid, kulit kayu eucaliptus memiliki kandungan dalam jumlah banyak dibandingan kulit kayu pinus dan mahoni.
2. Faktor jenis kulit kayu dan konsentrasi serta interaksinya memberikan pengaruh nyata terhadap nilai retensi. Kulit kayu eucalyptus dengan konsetrasi 6% efektif digunakan untuk meningkatkan keawetan kayu. Faktor konsentrasi memberikan pengaruh nyata, sedangkan jenis kulit kayu dan interaksinya tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap nilai ASE. Perlakuan dengan konsentrasi 6% memiliki nilai ASE tertinggi. Faktor jenis kulit kayu dan konsentrasi serta interaksinya memberikan pengaruh nyata keawetan kayu terhadap jamur S. commune Fr. Kulit kayu pinus dengan konsentrasi 6% efektif digunakan karena memiliki nilai penurunan berat contoh uji paling rendah.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S.S 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Afandi, M. 2007. Analisis Kandungan Kimia Zat Ekstraktif Kulit Kayu
Eucalyptus grandis W.Hill ex Maiden Berdasarkan Letak Kulit pada Batang dan Perbedaan Umur Pohon. Skripsi Sarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Batubara, R. 2006. Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan [Karya Tulis]. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
______, R. 2007. Bioassay Zat Ekstraktif Kulit Kayu Medang Hitam (Cinnamomum porrectum) Terhadap Jamur Perusak Kayu
Schizophyllum commune. Prosiding Seminar Hasil-hasil Pertanian Sumatera Utara, Medan 15 Agustus 2007.
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2001. Informasi Singkat Benih Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Bandung.
Duljapar, K. 2001. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Fengel, D. and G. Wegener. 1995. Kayu, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Diterjemahkan oleh Sastrohamidjo, J dan Prawirohatmodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Fitriyani I. 2010. Pengujian Keawetan Alami Kayu Karet (Hevea barasiliensis
Muell. Arg.) dan Sugi (Cryptomeria japonica (L. f.) D. Don) Terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fr. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Haygreen, J.G. and J. L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Diterjemahkan oleh Hadikosumo, S. A dan Prawirohatmodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan ke-2. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Penerbit ITB. Bandung. Herliyana, E. N. 1994. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete
Khaerudin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Bogor.
Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. [Karya Ilmiah]. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan
Mandika, D., A. Sapta, dan R. K. Sari. 1989. Selintas Tentang Kayu Karet. Prosiding Lokakarya Nasional. HTI Karet. Pusat Penelitian Perkebunan. Sungai Putih. Medan.
Nicholas, D.D. 1988. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya dengan perlakuan-perlakuan Pengawetan. Jilid I. Universitas Airlangga. Surabaya.
Nofarianty. 1998. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Durian (Durio zibethinus). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rachmawati, E. 2006. Isolasi dan Identifikasi Flavanoid dari Daun Mindi (Melia azedarach L.). [Skripsi]. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Risnasari, I. 2002. Tanin. [Karya Tulis]. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Rosamah, E. 1990. Peranan Zat Ekstraktif Terhadap Keawetan Kayu Jati (Tectona grandis L. F). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Sanjaya. 2001. Pengaruh Anhidridasetat Terhadap Struktur Molekuler Kayu dalam Stabilisasi Dimensi Kayu Pinus merkusii. Jurnal Penelitian FKIP Universitas Sriwijaya.
Sari, L. dan Sutjipto A. H. 2004. Daya Racun Ekstraktif Kulit Kayu Pucung terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2:16-20.
Sari, R. K dan W. Syafii. 2001. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Jati (Tectona grandis, L.f.). Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB XIV (1) : 1-9.
Sianturi, H.S.D. 1992. Budidaya Tanaman Karet. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Standar Nasional Indonesia. 2006. Bandan Standardisasi Indonesia. SNI 01-7207-2006
Syafii, W., 2000. Sifat Anti-Rayap Zat Ekstraktif Beberapa jenis Kayu Daun Lebar Tropis. Buletin Kehutanan, Nomor 42. Fakultas Kehutanan, UGM. Yogyakarta.
Lampiran 1. Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Kulit Kayu
Lampiran 2. Kadar Air Serbuk Ketiga Kulit Kayu Jenis Kulit
Lampiran 3. Penambahan Berat Contoh Uji Kayu Karet a. Stabilitas Dimensi
Jenis Kulit Kayu
6% 1 2.7 2.6 3.85 4.05
2 2.85 2.75 3.64
3 2.7 2.6 3.85
Lampiran 4. Nilai Retensi Contoh Uji Kayu Karet a. Stabilitas Dimensi
Jenis Kulit Kayu
2% 1 2.55 2.45 3.89 5.13 5.24
3 2.4 2.3 4.35 9.186
Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Retensi Kayu
Sumber Keragaman Derajat Bebas
Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 95% tn
= Tidak berpengaruh nyata
Hasil Uji Lanjut Duncan
Jenis Kulit Kayu Rata-rata Notasi
Mahoni 1,19 A
Pinus 2,67 B
Eucaliptus 2,79 B
Konsentrasi Rata-rata Notasi
0 % 0 A
2 % 1 B
4% 1,91 C
6% 2,73 D
Lampiran 6. Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet Jenis
Kulit Kayu
4% 1 0.29 6.91 95.80
Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam ASE
Sumber Keragaman Derajat Bebas
Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 95%
tn
= Tidak berpengaruh nyata
Hasil Uji Lanjut Duncan
Konsentrasi Rata-rata Notasi
0 % 11,06 A
2 % 16,82 AB
4% 20,72 BC
6% 23,15 BC
Lampiran 8. Nilai Penurunan Berat Contoh Uji Kayu Karet Terhadap Jamur Schizophyllum commune Fr.
Jenis Kulit Kayu
3 2.8 2.6 7.143
Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam Penurunan Berat
Sumber Keragaman Derajat Bebas
Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 95%
tn
= Tidak berpengaruh nyata
Hasil Uji Lanjut Duncan
Jenis Kulit Kayu Rata-rata Notasi
Pinus 1,20 A
Eucalyptus 1,68 B
Mahoni 2,14 C
Konsentrasi Rata-rata Notasi
6 % 0,056 A
4 % 0,54 B
2 % 1,54 C
0 % 2,89 D