• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi

Secara taksonomi, Fusarium digolongkan ke dalam: Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Ascomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Tuberculariaceae Genus : Fusarium

Spesies : Fusarium solani (Moretti, 2009).

Jamur yang termasuk ke dalam famili Tuberculariaceae ini diketahui menghasilkan konidia dalam bentuk tubercules, yang terdiri dari kumpulan konidiofor bercabang, sporodochia (Gambar 1). Dalam genus Fusarium makrokonidia ditularkan oleh sporodochia. Selanjutnya, agar dapat diidentifikasi sebagai Fusarium sp., makrokonidia ini harus panjang, ramping, bagian perut

melengkung, berbentuk seperti bulan sabit, bersekat, dan memiliki sebuah sel kaki basal (yaitu, sel basal dari sekat spora yang terletak pada sisi dorsal didekat titik menempelnya konidiofor). Makrokonidia muncul dari phialospores, bisa dikatakan diproduksi oleh phialide, yang merupakan lubang kecil di ujing konidiofor. Makrokonidia muncul satu persatu dan awalnya melekat pada konidiofor. Mereka diproduksi pada keadaan lembab, dalam tetesan-tetesan kecil, baik dikultur ataupun di alam. Makrokonidia tidak bertahan lama di dalam tanah (Smith, 2007).

Makrokonidia dari F. solani cenderung berbentuk silindris di bagian tengah, dinding sel nampak sejajar dan terhitung berat serta kuat. Makrokonidia jarang berbentuk melengkung, beberapa malah hampir lurus (Gambar 2). Mereka terbentuk dari phialides yang panjang, memproduksi sporodochia dan terkadang sangat banyak terbentuk di biakan, bentuknya menyatu dan meluar diatas permukaan. Spora-spora ini lebih kearah tumpul daripada runcing diujungnya, meskipun pangkalnya cukup jelas (Gambar 1). Makrokonidia sering mengandung pigmen biru, hijau atau kekuningan yang tidak bisa larut, yang terlihat sangat melekat pada bagian dalam dinding konidia (Smith, 2007).

Siklus hidup Fusarium secara umum adalah sebagai berikut: organisme ini

tumbuh sebagai koloni hifa yang haploid, kecuali untuk dikaryotik (masing-masing sel mengandung dua inti induk haploid) dan diploid sebelum

tahap meiosis dan saat memproduksi sel haploid, spora diproduksi secara seksual (askospora). Askospora diproduksi dalam delapan kelompok kantung (askus) yang terkandung dalam struktur berbentuk labu (perithecium). Spesies yang Homotalik mampu melakukan pembuahan sendiri, memproduksi klon askospora (apomixis); sedangkan spesies heterotolik adalah steril (tidak dapat melakukan pembuahan sendiri). Tiga bentuk utama spora aseksual yang diproduksi dari proses mitosis, tergantung pada spesies. Spora aseksual kecil (mikrokonidia) diproduksi di miselium dalam struktur yang sederhana (konidiofor). Panjang, berbentuk seperti sampan, struktur spora bersekat (makrokonidia) diproduksi di agregasi konidiofor yang berbentuk seperti bantalan yang disebut sporodochia dan/atau konidiofor di miselium aerial. Spora resisten berdinding tebal (klamidiospora) diproduksi bersamaan dengan hifa atau makrokonidia (Ma et al., 2013).

Gejala Serangan

Gejala utama dari infeksi Fusarium adalah warna yang menguning atau layu pada daun, terutama daun yang berada dekat dengan tanah. Gejala lain termasuk busuk akar, jaringan pembuluh yang berubah warna kecoklatan atau ungu dan bercak pada daun. Gejala lain dari jamur ini adalah busuk kering yang mudah hancur. Warna asli dari jamur akan kemerahan, putih, kuning atau coklat kotor. Hal yang paling buruk dari penyakit Fusarium jika gejala sudah muncul, tanaman bisa dipastikan akan mati. Sekali tanaman telah terinfeksi, tanaman hampir selalu mati walaupun telah diaplikasikan bahan kimia. Tetapi identifikasi

tetap perlu dilakukan untuk mengetahui cara pencegahan jamur ini menyebar ke tanaman yang lain (Mclaughlin, 2001).

Infeksi jamur Fusarium dimulai dari akar sekunder yang halus, kemudian meluas ke akar primer yang lebih besar melalui pembuluh xilem sebelum memasuki rimpang. Infeksi pada akar primer dan rimpang oleh patogen belum terlihat secara langsung. Jaringan xilem terdiri dari serangkaian pembuluh individual dengan ujung dinding berlubang di mana eksudat akar mengalir. Gerakan spora diblokir sementara oleh aliran eksudat, jadi spora menempel di bagian luar kemudian berkecambah dan hifa tumbuh melalui perforasi ke bagian dalam pembuluh dimana spora baru diproduksi (Daly & Walduck, 2006).

Faktor Yang Mempengaruhi

Suhu berpengaruh besar terhadap perkembangan jamur Fusarium. Suhu yang hangat akan menyebabkan ledakan penyakit. Ketika suhu berada dibawah 4.4o C pertumbuhan jamur akan tertekan, suhu yang lebih panas 10o akan mendukung pertumbuhan jamur. Semakin panas suhu, semakin besar kesempatan Fusarium akan berkembang dan menyerang lebih banyak jenis tanaman (Mclaughlin, 2001).

Populasi tanaman yang tinggi juga meningkatkan tekanan pada tanaman dan membantu infeksi. Budidaya yang tidak benar, dan jenis-jenis herbisida juga diketahui menyebabkan luka pada akar-akar muda dan memperburuk kerusakan layu Fusarium. Patogen disebarkan di lapangan melalui pergerakan tanah yang telah terkontaminasi oleh angin, air irigasi, dan peralatan. Fusarium dapat bertahan untuk waktu yang panjang di dalam tanah dan sisa tanaman terinfeksi, sebagai saprofit ataupun klamidiospora. Spora dari jamur dapat terbawa melekat

pada mesin pertanian, sepatu dan baju pekerja sebaik didalam tanah puing-puing tanaman terinfeksi dalam irigasi dan air banjir. Karena itu pertanian yang bersih

sangat penting dalam memperlambat penyebaran layu Fusarium (Kochman, 2007).

Pengendalian

Sebagaimana pencegahan dengan penyakit yang lain, langkah awal yang perlu dilakukan untuk pengamanan adalah memastikan benih atau bahan tanam yang digunakan bebas dari penyakit dan didapatkan pemasok yang terpercaya. Setelah infeksi, tidak banyak hal yang bisa dilakukan, tetapi sangat penting untuk memindahkan tanaman yang telah sakit secepat mungkin untuk meminimalisir penyebaran fungi. Tanaman tidak boleh dibiarkan layu akibat kekurangan air, rendahnya kelembapan tanaman merupakan salah satu penyebab pasti dari

Fusarium (Mclaughlin, 2001).

Pengendalian serangan penyakit di area yang sempit dapat dilakukan dengan cara mencabut tanaman yang terinfeksi beserta tanaman sehat sejauh 1-2 meter disekitarnya kemudian bakar didalam lubang tanah. Sedangkan untuk serangan dengan area yang lebih luas adalah dengan membunuh semua tanaman yang ada di area tersebut, lebih baik dengan herbisida lalu biarkan mati ditempat. Ketika seluruh tanaman telah mati dan hancur, budidayakan tanaman alternatif seperti serelia dan rumput-rumputan untuk mencegah erosi. Seluruh peralatan yang digunakan harus dibersihkan dengan desinfektan dan dibilas sampai benar-benar bersih. Limbah sisa pencucian harus diproses lebih lanjut agar tidak menjadi sumber inokulum dan mencemari lingkungan (Kochman, 2007).

Kitinase merupakan ketertarikan yang besar dalam bidang bioteknologi. Pertama, enzim-enzim ini mampu mengubah biomasa yang mengandung kitin menjadi komponen yang berguna (depolimerase). Kedua, kitinase bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan jamur patogen dan hama tanaman. Ketiga, penghambat kitinase berpotensi menghambat pertumbuhan dari patogen dan hama yang mengandung kitin dan membutuhkan kitin dalam perkembangan normalnya (Brurberg et al. , 2000).

Penekanan bakteri kitinolitik terhadap jamur patogen adalah dengan melisis hifa jamur sebagai substrat untuk pertumbuhannya. Selain itu, bakteri juga dapat bersimbiosis dengan akar tanaman dan menghasilkan kitinase yang berperan sebagai pertahanan diri bagi tanaman dalam melawan patogen. Aplikasi bakteri kitinolitik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lada terutama tinggi tanaman (Harni & Amaria, 2012).

Kemampuan antagonis dari bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan jamur akar putih ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan jamur akar putih di sekitar koloni bakteri kitinolitik. Kemampuan isolat bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan jamur akar putih disebabkan aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan oleh isolat tersebut yang mampu mendegradasi kitin yang terkandung di dalam dinding sel jamur (Muharni & Widjajanti, 2011).

Berdasarkan penelitian Khaeruni et al. (2010) dari 25 isolat bakteri rizosfer yang diuji, semuanya mampu menghambat perkembangan cendawan

patogen Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii dan

Phytophthora capsici dan memiliki daya hambat lebih dari 30%. Kemampuan

tersebut memiliki sifat antagonis yang kuat terhadap berbagai jenis cendawan patogen tumbuhan. Kemampuan antagonis tersebut diduga erat kaitannya dengan kemampuan isolat-isolat tersebut memproduksi enzim ekstraseluler seperti kitinase, protease dan selulase.

Kamil et al. (2007) membuktikan bahwa dari 400 isolat bakteri kitinolitik yang diuji, dua puluh isolat menunjukkan aktivitas kitinase. Selanjutnya, isolat-isolat yang menunjukkan aktivitas kitinase tertinggi dibandingkan dengan isolat-isolat yang lainnya dan diidentifikasi sebagai Bacillus licheniformis, Stenotrophomonas

maltophilia, Bacillus licheniformis dan Bacillus thuringiensis, B. thuringiensis

terbukti aktif terhadap serangga Lepidoptera.

Hariprasad et al. (2011) menyatakan bahwa kitinolitik rhizobakteri isolat

Bacillus subtilis yang dipilih memiliki potensi tidak hanya untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman, tetapi juga untuk melindungi bibit tomat dari infeksi

F. oxysporum melalui kitinase memproduksi kemampuannya. Suplementasi kitin /

CFCW (crude fungal cell wall) meningkatkan kemampuan B. subtilis untuk mengurangi penyakit layu Fusarium dan juga meningkatkan populasi mereka di rizosfer.

Uji antagonisme bakteri kitinolitik BK15 terhadap Aspergillus niger banyak memperlihatkan hifa jamur yang lisis dibandingkan dengan isolat bakteri kitinolitik lainnya. Kerusakan hifa berupa perubahan bentuk dari hifa jamur patogen yang membentuk spiral dan melengkung tidak beraturan dan mengalami pemendekan. Selain itu, ada juga hifa yang mengalami pembengkakan dinding sel. Enzim kitinase yang dihasilkan dapat menghidrolisis ikatan ß-1,4 antar subunit Nasetilglukosamin (NAcGlc) pada polimer kitin. Aktivitas kitinase yang

tinggi selama mekanisme antagonisme efektif menghambat pertumbuhan jamur

A. niger. Aktivitas antagonisme bakteri kitinolitik dengan mekanisme enzimatik

dapat menghambat pertumbuhan hifa A. niger dengan cara merusak dinding selnya sehingga hifa A. niger membengkak, membengkok, mengeriting, mengecil, dan melisis (Ayu et al., 2011).

Aktivitas antagonis dari enam isolat bakteri kitinolitik memiliki penghambatan yang hampir sama, menyebabkan hifa Curvularia sp. mengalami pertumbuhan hifa yang abnormal diantaranya hifa lisis, hifa patah, hifa bengkok, hifa melilit, hifa menggulung, dan hifa kerdil. Hasil dari pengamatan struktur hifa abnormal Curvularia sp. menunjukkan bahwa isolat Bacillus sp. BK13 dan

Enterobacter sp. BK15 lebih banyak menyebabkan pertumbuhan hifa abnormal

seperti lisis, patah, kerdil, menggulung, dan melilit. Sementara isolat bakteri kitinolitik lainnya lebih sedikit menyebabkan keadaan hifa abnormal, yaitu berupa hifa menggulung, hifa kerdil, dan hifa melilit (Hanif et al., 2011).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait