• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaharu

Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu yang sangat berharga. Dalam SNI 01-5009.1-1999 (BSN 1999), gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon dalam berbagai bentuk dan warna yang khas dan memiliki kandungan damar wangi, sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi secara alami maupun buatan pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu.

Di tingkat internasional, harga gubal gaharu kualitas double super yang ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram (GSA 2005). Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon-pohon dari genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wilkstroemia, dan Gyrinops, family Thymeleacea. GenusAquilaria dan Gyrinopssejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Blanchette 2006; CITES 2004; Sumarna 2005a; Suhartono dan Mardiastuti 2002; Barden et al. 2000). Departemen Kehutanan telah menetapkan kuota ekspor gaharu sebesar 130 ton/tahun dengan perincian 30 ton/tahun untuk gaharu dari bagian barat Indonesia (genus Aquilaria) dan 100 ton/tahun untuk gaharu dari Indonesia timur (genus

Aquilaria dan Gyrinops) (Direktorat Jenderal PHKA 2007), karena adanya kekhawatiran punahnya spesies penghasilnya di Indonesia.

Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu gaharu yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu. Di Indonesia, perdagangan gaharu pertama kali tercatat sejak abad ke-5 masehi, dimana China merupakan pembeli utama produk ini (Suhartono dan Mardiastuti 2002).

Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau bentuk tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk dalam bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia. Warna bagian kayu bervariasi dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap warna produk, semakin tinggi kandungan resin dan kualitasnya. Sedangkan

produk berbentuk serbuk biasanya berwarna coklat terang hingga coklat (BSN 1999; Suhartono dan Mardiastuti 2002).

Pemerintah Indonesia membedakan kualitas gaharu ke dalam tiga belas kelas mutu yang dikelompokkan menjadi tiga sortimen (BSN 1999). Namun, dalam pasar lokal dan mungkin juga dalam perdagangan internasional, produk ini dibagi menjadi enam hingga delapan kelas kualitas tergantung daerahnya. Klasifikasi dibuat berdasarkan kandungan resin, meskipun tidak terdapat standar formal kandungan resin untuk setiap kelas (Suhartono dan Mardiatuti 2002).

Tabel 1 Klasifikasi kualitas gaharu

Tanda mutu Kelas kualitas Nama kualitas gaharu

1. Sortimen gubal gaharu U I II Mutu Utama Mutu pertama Mutu kedua Mutu super Mutu AB Sabah super 2. Sortimen kemedangan I II II IV V VI VII Mutu pertama Mutu kedua Mutu ketiga Mutu keempat Mutu kelima Mutu keenam Mutu ketujuh Tanggung A/tanggung kemedangan 1 Sabah 1 Tanggung AB Tanggung C Kemedangan 1 Kemedangan 2 Kemedangan 3 3. Sortimen abu gaharu

U I II Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua Sumber: BSN (1999) Aquilariaspp.

Pohon-pohon penghasil gaharu termasuk dalam family Thymeleacea. Family ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, dan Gilgiodaphniodeae. Salah satu genus dalam famili Thymeleacea yang menghasilkan gubal gaharu kualitas terbaik dengan permintaan pasar yang cukup tinggi adalah Aquilaria. Aquilaria termasuk jenis cepat tumbuh yang dapat memulai pertumbuhan generatifnya pada umur awal empat tahun (Anonim 2002). Jenis-jenis ini tersebar di Asia Selatan dan Asia tenggara, dari kaki bukit

Pegunungan Himalaya hingga di hutan hujan di Papua New Gunea, dan dapat tumbuh mulai dari ketinggian beberapa meter hingga 1.000 m dpl dengan pertumbuhan terbaik di sekitar 500 m dpl. Aquilariadapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, bahkan pada tanah marjinal.

Tabel 2 Jenis-jenisAquilariayang menghasilkan gaharu

Negara/daerah JenisAquilaria

Asia Selatan Indonesia Indochina -Aquilaria agalocha

Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. cummingiana, A. filarial, A. hirta, A. microcarpa

Aquilaria crassna Aquilaria grandiflora Aquiaria chinensis

Sumber: Anonim (2002); Wiriadinata dan Sidiyasa dalam Suhartono dan Mardiastuti (2002)

Sumarna (2005b) menyebutkan Indonesia memiliki kekayaan 27 species penghasil gaharu dari 8 genus dan 3 famili, yang tersebar di di hutan dataran rendah dan tinggi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian. Habitat tanaman ini biasanya tersebar di wilayah hutan primer dan sekunder 0 – 700 m dpl, dengan curah hujan 1.500-6.500 mm/tahun, suhu 22 – 34 °C, Rh : 70 – 80 %.

PohonAquilariamerupakan pohon yang hijau selama hidupnya (evergreen), tumbuh dengan tinggi tanaman mencapai 15 - 40 m dengan diameter 0,5 – 2,5 m (Hayne 1987). Kayu yang sehat (kayu tanpa resin) berwarna putih cerah dan lunak; sedangkan kayu yang mengandung resin berwarna gelap, keras dan berat. Daunnya berbentuk elips atau lanceolate, berukuran lebar 3-3,5 cm dan panjang 6-8 cm, serta memiliki 12-16 pasang tulang daun. Bunganya hermaproditik dengan warna kuning kehijauan atau putih, panjang mencapai 5 cm. Buah dari pohon ini berwarna hijau berbentuk kapsul telur dengan panjang 4 cm dan lebar 2,5 cm;exocarpdan berambut halus; terdapat dua benih per buah (Adelina 2004).

Aquilaria crassna

Aquilaria crassna memiliki klasifikasi dan nama ilmiah sebagai berikut (The IUCN Red List of Treatened Species 2007):

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Myrtales

Famili : Thymeleacea

Genus :Aquilaria

Species :Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte

Penghasil gaharu ini dapat mencapai tinggi 15 – 20 m dan diameter 40 – 50 cm, dengan tajuk yang kecil dan batang yang lurus. Jenis ini dapat ditemukan di berbagai tipe hutan, hutan primer ataupun hutan sekunder, pada daerah dengan ketinggian 300 – 800 m dpl dan curah hujan 1.200 – 2.000 mm/ tahun. Tumbuhan ini tumbuh pada berbagai tipe tanah, tapi cenderung lebih baik pada tanah berbatu dengan lapisan tanahferraliticyang dangkal (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).

A. crassna mulai berbunga pada usia 6-8 tahun, antara bulan Maret dan April, dan berbuah antara bulan Mei – Juli. Jenis ini mengalami penyerbukan dengan bantuan serangga. Dengan sekitar 4.500 benih per kg dan tingkat perkecambahan mencapai 80-90%, maka seharusnya tidak terdapat masalah dalam pembudidayaan jenis ini. Pohon penghasil gaharu ini merupakan jenis yang membutuhkan naungan pada saat awal pertumbuhan tapi memerlukan cahaya matahari untuk pertumbuhan selanjutnya (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).

Aquilaria microcarpa

Aquilaria microcarpa merupakan tanaman dalam family Thymelaeaceae yang ditemukan di Indonesia dan Singapura. Seperti halnya spesies dalam genus

Aquilaria yang lain, pemanfaatan dan perdagangan produk dari jenis ini dibatasi karena termasuk dalam status konservasi vulnerable dan tercantum dalam Appendix II CITES. Jenis penghasil gaharu ini tersebar di Semenanjung Malaysia, Sumatra (Sijunjung, Palembang, dan Lampung), Bangka, Belitung, dan hampir di seluruh pulau Kalimantan. A. microcarpatumbuh pada hutan dataran rendah hingga daerah dengan ketinggian 200 m dpl (CITES 2004).

Klasifikasi dan nama ilmiah A. microcarpa adalah sebagai berikut (GRIN 2008):

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Class : Magnoliopsida

Ordo : Thymelaeales

Famili : Thymeleacea

Genus :Aquilaria

Species :Aquilaria microcarpaBaill

Kandungan Kimiawi Gaharu

Gubal gaharu sebenarnya adalah resin yang tidak dieksudasikan, melainkan terdeposit dalam jaringan kayu pada pohon. Deposit resin ini mengakibatkan kayu yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak padat berwarna hitam serta wangi. Resin ini termasuk golongan sesquiterpena yang mudah menguap (Ishiharaet al. 1991).

Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharyya 1962).

Penelitian Nakanishi berhasil mengkarakterisasi jinkohol (2β-hydroxy

-(+)-prezizane) dari gaharu asal Indonesia melalui ekstraksi benzene. Tim ini juga menemukan dua sesquiterpena baru dari Aquilaria malaccensis asal Indonesia, yaitu jinkoh eremol dan jinkohol II yang disebut sebagai tipe B untuk membedakannya dengan tipe A dari A. agallocha, serta mengisolasi alpha-agarofuran dan (-)-10-epi-gamma-eudesmol, oxo-agarospirol sebagai konstituen utama pada gaharu tipe B (Burfield 2005a).

Dalam Burfield (2005a) disebutkan bahwa Yoneda telah berhasil mengidentifikasi sesquiterpena utama yang terdapat pada gaharu tipe A (padaA. agallocha) dan tipe B (padaA. malaccensis). Tipe A ditemukan mengandung β -agarofuran 0,6%, nor-ketoagarofuran 0,6%, agarospirol 4,7%, jinkoh-eremol

Sedangkan pada tipe B, teridentifikasi senyawa-senyawaα-agarofuran(-)-10-

epi-γ-eudesmol 6,2%, agarospirol 7,2%, jinkohol 5,2%, jinko-eremol 3,7%, kusunol

3,4%,jinkoholII 5,6%, dan oxo-agarospirol3,1%.

Gambar 1 Beberapa struktur kimia komponen gaharu.

Yagura et al (2003) menemukan turunan kromone baru, yaitu 5-hydroxy

-6-methoxy-2-(2-phenylethyl) chromone, 6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl)

chromone, 8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8- tetrahydro chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang diisolasi dari ekstrak MeOH kayu buangan Aquilaria sinensis, disamping tujuh komponen gaharu lainnya yang telah dikenal.

Budidaya dan Pembentukan Gaharu

Sampai saat ini, gaharu masih dihasilkan dari populasi di hutan alam. Permintaan gaharu yang semakin tinggi telah menyebabkan eksploitasi yang berlebihan dan akhirnya memicu langkanya sumber daya penghasil gaharu di alam. Tercantumnya dua genus utama penghasil gaharu dalam Appendix II CITES (CITES 2004) menyebabkan ditetapkannya kuota bagi ekspor produk ini. Kuota ditetapkan Departemen Kehutanan pada tahun 2007 sebesar 130 ton/tahun (Direktorat Jenderal PHKA 2007).

Penelitian Suhartono dan Newton (2001) menyebutkan terdapat dua teknik pemungutan gaharu di alam, yaitu tebang langsung dan mengerik/mengikis bagian batang yang terinfeksi tanpa menebang. Observasi yang dilakukan menunjukkan frekuensi Aquilaria spp. yang ditebang di Kalimantan Timur lebih tinggi dibandingkan di Kalimantan Barat dan Sumatra timur (Riau), dimana di Kalimantan timur empat pohon ditebang per hari.

Pemburu-pemburu gaharu menentukan suatu pohon mengandung akumulasi resin hanya berdasarkan pengalaman. Seringkali pohon yang telah ditebang ditinggalkan terbengkalai begitu saja karena ternyata sama sekali tidak mengandung apa yang dicari. Sampai saat ini tidak ada suatu ciri morfologi tertentu yang dengan sangat pasti menunjukan suatu pohon mengandung gaharu dalam kuantitas dan kualitas tertentu.

Beberapa penelitian budidaya dan produksi gaharu buatan telah dimulai sejak lama. Pemerintahan Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah mewajibkan setiap eksportir gaharu membudidayakan pohon gaharu di lahan seluas minimal dua hektar. Di Indonesia tercatat terdapat 28 perusahaan di bidang gaharu ini (GSA 2005).

Budidaya tanaman penghasil gaharu telah banyak dilakukan, baik oleh perorangan, perusahaan swasta maupun lembaga penelitian dan pengembangan. Propagasi tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara generatif (benih) maupun vegetatif (anakan alam, stumpatau cabutan, stek pucuk), dan dapat juga dikembangkan dalam kultur vegetatif (Sumarna 2005b). Budidaya ideal adalah pada kawasan dengan intensitas cahaya masuk sekitar 60 %, seperti pada hutan campuran, bekas tebangan, HTI daur panjang, Hutan Rakyat, atau dalam pola diversifikasi dengan kebun karet rakyat, kelapa sawit, dan lain-lain.

Konservasi ex-situsumber genetik A. malaccensis danA. microcarpa telah dilakukan pada tiga lokasi masing-masing di Pekanbaru (50 m dpl), Bogor (200 m dpl) dan Tondano (600 m dpl) dengan menanam 1.000 bibit yang berasal dari klon-klon teridentifikasi hasil mikropropagasi. Hasil percobaan seleksi 80 pohon dengan menggunakan inokulum tunggal F menunjukkan bahwa 33% pohon A. malaccensis(8 dari 24 pohon) dan 24% pohon A. microcarpa(13 dari 54 pohon) berpotensi menghasilkan gaharu (Umboh 2006).

Menurut Sumarna (2005a), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur lima tahun atau pada saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah). Suatu penelitian lembaga nonprofit, The Rainforest Project Foundation, mempelajari pembentukan resin padaAquilaria dan Gyrinopsserta menemukan metode untuk menghasilkan resin pada tanaman gaharu budidaya. Teknik yang dilakukan adalah dengan

melukai pohon dengan cara-cara tertentu dan memberi perlakuan untuk memicu respon pertahanan alami pohon. Penggunaan teknik ini akan mendukung dihasilkannya resin secara berkelanjutan dari pohon budidaya (Blanchette 2006).

Baik pada habitat alaminya di hutan tropis maupun di hutan tanaman/ budidaya, tidak semua pohon mengandung gaharu dan mekanisme pembentukan alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan menguning, batang dan kulit mengering atau patah, tidak menjamin kandungan yang dimiliki pohon tersebut secara pasti. Di habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa dengan diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Giano diacu dalam Bardenet al. 2000). Disebutkan juga bahwa pohon dengan dbh di atas 20 cm yang mengandung gaharu diperkirakan menghasilkan sekitar 1 kg gaharu per pohon.

Sadgopal (Barden et al. 2000), memperkirakan hasil gaharu yang terbaik diperoleh pada pohon berumur 50 tahun atau lebih. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh The Rain Forest Project (TRP) di Vietnam menunjukkan pembentukan gaharu dapat terjadi pada pohon budidaya berumur 3 tahun, yang telah dikonfirmasi berdasarkan analisis kimia (Bardenet al. 2000).

Mekanisme pembentukan gaharu masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab tuntas. Interaksi ekologis antara pohon inang, pelukaan dan/atau jamur dalam pembentukan gaharu masih belum dipahami. Faktor-faktor lain seperti umur pohon, perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan variasi genetik juga berperan penting dalam pembentukan gaharu. Tiga hipotesis disebutkan sebagai penyebab terbentuknya gaharu, yaitu hasil dari patologis, pelukaan yang diikuti patologis, dan proses nonpatologis. Namun begitu, penelitian yang dilakukan masih belum memberi cukup bukti untuk mendukung hipotesis tersebut (Ng et al diacu dalam Bardenet al. 2000).

Patogenesis pada tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan patogen yang kompatibel, yang menurut Agrios (1997) keberhasilan proses infeksi oleh suatu patogen sehingga dapat menginduksi gaharu di pengaruhi oleh:

1. Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu.

2. Patogen yang virulen, artinya organisme patogen yang potensial menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu.

3. Lingkungan yang mendukung.

4. Peranan manusia memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang. Beberapa ahli lain berpendapat pelukaan dan perlakuan mekanis pada pohon merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti aktivitas mikroba (Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000; Pojanagaroon dan Kaewrak 2006), sementara yang lain berpendapat asosiasi mikroorganisme yang menstimulasi pohon merespon dengan senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharyya 1962; Burfield 2005a; Sumarna 2005b).

Tabel 3 Cendawan yang berasosiasi dengan pohon gaharu

Peneliti yang mengisolasi Jenis cendawan

Bose (1939)

Battcaharrya (1952)

Guangdong Institut of Botany (1976)

Jalaluddin (1977) Subanseneeet al.(1985)

Parmanet al.(1996); Santoso (1996); Rahayuet al.(1998) Hawksworthet al.(1976); Gibson (1977) Tamuliet al.(1999) Tamuliet al.(2000) Cendawan imperfekti Epicoccum granulatum Melanotus flavolinus

Cytosphaera mangiferae, Penicillium, Aspergillus, Fusarium

Cercosporella, Chaetomium, Cladosporium, Curvularua, Diplodia, Pestalotia, popularia, Phialogeniculata, Pithomyces, Rhizopus, Spiculostillella, Trichoderma

Diplodiasp., Phytiumsp., Fusarium solani, F. lateritium, F. bulbigenum, Populariasp., Rhinocladiellasp., Rhizoctoniasp., Acremonium, Libertella, Scytalidium, Thielaviopsis, Trichoderma

Philophora parasitica

Fusariumsp.,Penicilliumsp.,Epicoccumsp.

Fusarium oxysporum, Chaetum globosum Disarikan dari Isnaini (2004) dan Burfield (2005b)

Pojanagaroon dan Kaewrak (2006) menstimulasi pembentukan gaharu pada

A. crassnadengan perlakuan berbagai metode mekanis, dan menunjukan semakin lama waktu proses akan menyebabkan warna pada daerah infeksi menjadi semakin gelap. Semakin besar objek yang digunakan untuk melukai pohon, semakin luas daerah yang mengalami perubahan warna. Pembentukan perubahan warna di daerah pelukaan terjadi tiga kali lebih cepat di musim hujan dibandingkan di musim kering.

Zat Ekstraktif Kayu

Metabolit sekunder dalam pohon meliputi berbagai senyawa, seperti flavanoid, terpena, fenol, alkaloid, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, gum, suberin, asam resin, dan karotenoid. Komponen ini bukan merupakan bagian struktural kayu seperti polisakarida atau lignin. Kandungan metabolit sekunder sangat bervariasi antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim ke musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstraktif yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet. Konsentrasi metabolit ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, dan antar musim (Forestry Commission GIFNFC 2007).

Produksi dan akumulasi berbagai senyawa organik merupakan mekanisme utama pertahanan tanaman terhadap herbivora, serangan mikroba penyakit, dan hama. Senyawa-senyawa tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder tanaman. Di samping berperan sebagai senyawa pertahanan tanaman, metabolit sekunder atau zat ekstraktif ini juga merupakan sinyal kimiawi untuk menarik binatang dalam membantu penyerbukan dan penyebaran benih. Misalnya, antosianin dan monoterpena jika berada di daun berperan sebagai insektisida dan antimikrobial, namun pada bunga berperan sebagai atraktan serangga untuk membantu penyerbukan (Forestry Commission GIFNFC 2007).

Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstraktif. Zat ekstraktif didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit kayu dengan pelarut polar dan non polar (Hills 1987). Zat ekstraktif yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memiliki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna pada kayu.

Zat ekstraktif berpengaruh dalam ketahanan alami pada kayu (Findlay 1978). Beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun, seperti alkaloid yang dapat menyebabkan iritasi dan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Zat ekstraktif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada

berbagai habitat (Hills 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa diantara fungsi zat ekstraktif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme.

Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme. Metabolit sekunder tanaman telah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu, misalnya saja untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin, kapsaicin), pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen (morfin, tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin) (Forestry Commission GIFNFC 2007).

Achmadi (1989) menggelompokkan zat ekstraktif menjadi dua yaitu fraksi lipofilik dan fraksi hidrofilik. Fraksi lipofilik adalah lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi, sedangkan yang termasuk fraksi hidrofilik adalah senyawa fenolik (tanin, lignan dan stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin, dan garam anorganik.

Sjostrom (1995) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu komponen alifatik, terpena dan terpenoid, serta senyawa fenolik. Komponen-komponen alifatik merupakan kelompok lemak dan lilin. Termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), dan suberin. Kelompok alkana bersifat lipofilik dan mantap. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun daun lebar. Ester dan alkohol lain biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin.

Terpena dalam kelompok kedua merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Rumus umum terpena adalah (C5H8)n. Menurut jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8). Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus

fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil atau ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Sesquiterpenoid merupakan kandungan senyawa yang teridentifikasi pada gaharu. Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika.

Fenolik dan Senyawa Pertahanan Tanaman

Kelompok ketiga dalam penggolongan ekstraktif kayu oleh Sjostrom (1995) adalah senyawa fenolik. Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dapat dibuat menjadi lima kelas, yaitu:

1. Stilbena (turunan-turunan dari 1,2-difeniletilena), yang mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya adalah pinosilvin.

2. Lignan, yaitu pengabungan oksidatif dua unit fenilpropana (C6C3), contohnya konidendrin, pinoresinol, hidroksimatai-resinol, dan asam plikatat.

3. Tanin terhidrolisis: produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa merupakan produk utama

4. Flavanoid, memiliki kerangka karbon trisiklik C6C3C6, misalnya saja krisin dan taksifolin (dihidrokuersetin).

5. Tanin terkondensasi, merupakan polimer-polimer flavanoid, contohnya adalah katekin.

Forestry Commission GIFNFC (2007) menyebutkan bahwa fenolik adalah senyawa organik yang dicirikan oleh keberadaan grup hidroksil (-OH) yang terikat pada cincin benzena atau struktur cincin aromatik komplek lainnya. Marinovaet al. (2005) menyebutkan fenolik sebagai senyawa metabolit sekunder yang jumlahnya melimpah dalam tanaman. Fenolik mencakup kelompok dengan kandungan bioaktif yang sangat besar (lebih dari 8.000 senyawa), mulai dari molekul fenol sederhana hingga struktur polimerik dengan berat molekul di atas 30.000. Berdasarkan jumlah subunit fenol, fenolik diklasifikasikan ke dalam dua

kelompok dasar, fenol sederhana dan polifenol. Fenol sederhana meliputi kelompok asam fenolat atau fenol dengan grup karboksil. Sedangkan polifenol mengandung sedikitnya dua cincin fenol.

Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai senyawa anti jamur. Eusiderin, sejenis neo lignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafiiet al.

1985) dan angolensin yang diekstrak dari kayuPterocarpus indicusbersifat racun terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces polutris (Pilotti et al. 1995). Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen bioaktif yaitu 8-asetoksielemol, 8-hidroksielemol dan hinociic acid yang diisolasi dari daun kayu

Juniperus chineensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur, dan dari kayu Cunninghamia lanceolata berhasil diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh dan Sumimoto 1992). Forestry Commission GIFNFC (2007) menyatakan bahwa lignan yang merupakan produk penggabungan oksidatif dari polifenol dengan ikatanβ-β pada sisi rantai, menunjukkan aktivitas biologis sebagai penghalang pertumbuhan jamur, racun ikan, danantifeedanserangga.

Meskipun fenolik terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolik ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Fenolik seperti tanin terkondensasi dengan berat molekul tinggi atau substansi-terikat dinding sel, secara in vitro menunjukan sifat anti jamur terhadap beberapa penyakit tertentu (Sjostrom 1995). Namun, ekstrak kasar metanol pohon norway spruce (yang diharapkan mengandung setidaknya stilbena, flavanoid, dan konjugasi fenol sederhana) memperlihatkan sedikit sekali sifat anti jamur dalam percobaan in vitro. Kemungkinan situasi in vitro berbeda, karena pada kondisi in

Dokumen terkait