• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Tanah Pasir Pantai

Indonesia sebagai negara kepulauan akan memberikan konsekuensi tersedianya lahan pantai yang potensial untuk kepentingan usaha budidaya tanaman. Namun demikian kebanyakan kondisi tanah di pantai merupakan tanah kritis sehingga memerlukan teknologi khusus jika dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya tanaman. Suryanto (1992)

mengungkapkan bahwa tanah dapat dikatakan kritis jika salah satu atau lebih anasirnya menyebabkan fungsi tanah untuk pertanian menjadi hilang. Adapun faktor penentu kekritisan tanah tersebut dapat dirinci menjadi faktor endogen yang meliputi sifat bahan induk, sifat tanah, dan topografi; serta faktor eksogen meliputi iklim yang berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan tanah.

Kekritisan tanah di pantai umumnya ditandai oleh rendahnya tingkat kesuburan tanah, dan tanah cenderung didominansi oleh hamparan pasir (Kertonegoro, 2001). Tanah pasir pantai berasal dari abu vulkanik, bertektur kasar, mudah diolah dan daya menahan air relatif rendah (Darmawijaya, 1990). Analisis sifat fisika dan kimia tanah yang telah dilakukan oleh DPU Propinsi DIY pada tahun 2000 terhadap tanah pasir kawasan pantai selatan Propinsi DIY menunjukkan bahwa butir tanah didominansi oleh fraksi pasir (>95%) sedangkan fraksi debu dan lempungnya sangat rendah yakni masing-masing lebih kurang 3%. Kandungan bahan organik juga sangat rendah (< 1%) sehingga berakibat pada sifat menyangga ion yang rendah. Kandungan hara tanah pasir pantai terinci sebagai berikut : kandungan N-total (0.05-0.08%), P-total (100-150 ppm), K (0.09-0.2 cmol/kg), Mg (0.2-0.6 cmol/kg). Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir semua kandungan hara makro tersidik di tanah pasir pantai dikatagorikan rendah. Menurut Brady (1984) kisaran kandungan hara yang normal adalah sebagai berikut : N (0.02-0.5%), P (0.01-0.2%), K (0.17-3.3%), dan Mg (0.12-1.5%). Namun demikian walaupun hamparan tanah tersebut di tepi pantai nilai DHL (daya hantar listrik) dapat dikualifikasikan sangat rendah (0.07-0.22 mmhos) sehingga tidak menimbulkan efek cekaman garam pada tanaman. Demikian juga kondisi pH tanah dilaporkan pada kondisi netral (pH (H2O) berkisar 6.34-7.34). Lebih lanjut Kertonegoro (2001) menyatakan bahwa sebagai akibat rendah atau nihilnya bahan organik menyebabkan butir-butir tanah tidak berikatan satu sama lain dan selalu dalam keadaan berbutir tunggal sehingga tanah mudah melewatkan/meresapkan air. Tanah tersebut tidak melekat pada benda lain, tidak lentur bila basah, dan dalam keadaan kering konsistensinya menjadi lepas-lepas.

Daya mengikat air relatif rendah yang sering dijumpai di tanah pasir akan menyebabkan persoalan cekaman kekeringan pada tanaman yang dibudidayakan di tanah tersebut. Tardieu (1996) mengungkapkan bahwa tanaman akan menderita stres air oleh dua penyebab yakni : (1) kekurangan pasokan air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan sebagai akibat laju transpirasi yang melebihi laju absorpsi oleh akar tanaman.

Salah satu contoh hamparan tanah pasir pantai yang mulai dikelola untuk usaha pertanian di antaranya adalah wilayah pantai selatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tanah pasir tersebut terhampar sepanjang lebih kurang 60 km dengan lebar berkisar dari 1 hingga 1.5 km atau setara dengan 13% dari luas wilayah Propinsi DIY, dan 30%-nya telah dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya tanaman (Kertonegoro, 2001). Berdasarkan pengamatan di lapang, tanah pasir pantai yang layak digunakan untuk usaha budidaya tanaman adalah tanah pasir yang terletak di jarak > 200 meter dari garis pantai. Kisaran jarak 0-200 meter dari garis pantai digunakan untuk pertanaman yang berfungsi sebagai pematah angin (wind breaker). Manajemen yang efektif mengatasi persoalan cekaman kekeringan dan keterbatasan hara tanah sangat diperlukan terkait dengan pemanfaatan tanah pasir pantai tersebut untuk kepentingan budidaya tanaman. Usaha yang dapat dilakukan adalah : (1) mencari varietas-varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan, (2) menggunakan potensi sumberdaya alam lokal yang bermanfaat dalam budidaya tanaman pada kondisi air terbatas, antara lain potensi biologi berupa cendawan mikoriza arbuskula indigenus, (3) memperbaiki kondisi tanah yang bertujuan untuk meningkatkan daya menyimpan air, mengurangi laju infiltrasi, meningkatkan daya saling ikat butir-butir tanah, meningkatkan KTK tanah, serta meningkatkan kandungan unsur hara tanah, dan (4) menerapkan sistem pengairan yang tepat dan menyediakan sarana di antaranya berupa embung tand on air, pipa-pipa saluran air dan prasarana jalan.

Kehidupan tanaman sangat tergantung pada keberadaan dan fungsi dari air. Air merupakan komponen utama sel tanaman. Monneveux dan Belhassen (1996) mengungkapkan bahwa kandungan air dalam jaringan dan organ tanaman berkisar antara 60-95% dari berat segarnya. Oleh karenanya tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan berakibat buruk pada pertumbuhan dan perkembangannya. Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki (1997) menyatakan bahwa tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh perubahan kondisi biokimia dan fisiologi tanaman.

Tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat bervariasi tergantung pada intensitas dan periode waktu (lama) tanaman mengalami cekaman (Passioura, 1996). Lebih lanjut dinyatakan oleh Passioura (1996) bahwa tanaman akan memberikan tanggap perubahan kondisi stomata dan perubahan protein jika tanaman mengalami cekaman kekeringan pada periode waktu menit. Ind uksi gen, dehidrasi protein dan perubahan kandungan ABA akan terjadi jika tanaman mengalami cekaman pada periode waktu beberapa jam sampai harian. Tanaman akan memberikan tanggap perubahan tajuk, penuaan daun, perubahan perkembangan akar, perubahan pada vernalisasi, saat berbunga, serta pengisian biji jika tanaman mengalami cekaman kekeringan pada periode waktu mingguan sampai bulanan.

Monneveux dan Belhassen (1996) menyebutkan bahwa mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan terkait dengan pengaturan transpirasi. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa penghambatan laju transpirasi tanaman terkait dengan perubahan morfologi daun, di antaranya : (1) ukuran dan lebar daun, (2) warna daun yang berhubungan dengan keberadaan klorofil dan kandungan pigmen lain seperti antosianin dan karotenoid yang pada gilirannya akan berpengaruh pada refleksi sinar oleh daun, (3) penggulungan daun yang berhubungan dengan penurunan turgor daun, (4) pembentukan organ khusus di daun seperti terbentuknya rambut (bulu) daun, dan (5) pengguguran daun. Schwabe dan Lionakis (1996) menambahkan bahwa perubahan sudut

daun, penggulungan daun, dan kandungan air daun berhubungan dengan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Levitt (1980) mengungkapkan bahwa tanaman dapat dibedakan menjadi dua tipe terkait dengan pengaturan transpirasi, yakni : (1) penurunan transpirasi terjadi karena kecepatan penutupan stomata (umumnya terjadi pada kelompok tanaman yang mampu hidup pada kondisi air terbatas), (2) penurunan transpirasi dengan memanfaatkan pengendali osmotik.

Cekaman kekeringan pada tanaman dengan periode waktu beberapa jam akan menyebabkan perubahan kandungan protein dan memacu sintesis ABA (Passioura, 1996). Selain hal tersebut cekaman kekeringan juga berpengaruh pada perubahan konsentrasi prolina bebas seperti dilaporkan oleh Maestri et al. (1995) dan Cristine et al. (1996).

Maestri et al. (1995) mengungkapkan bahwa prolina merupakan senyawa pengendali osmotik, terbukti bahwa tanaman pada kondisi tercekam kekeringan prolina akan terakumulasi di daun dewasa dan konsentrasinya ada korelasi dengan potensial osmotik pada saat tekanan turgor bernilai nol. Dikuatkan oleh pendapat Cristine et al. (1996) bahwa terjadi peningkatan konsentrasi asam amino jika tanaman mengalami cekaman kekeringan dan asam amino prolina dilaporkan paling fluktuatif dengan adanya perubahan potensial air. Diungkapkan bahwa kandungan prolina pada tanaman alfalfa akan meningkat tajam pada saat potensial air daun berkisar antara –1.0 sampai – 2.0 MPa (Cristine et al., 1996).

Konsentrasi ABA di dalam jaringan xilem meningkat karena penurunan potensial air tanah (Davies dan Zhang, 1991), dan penurunan potensial air daun (Tardieu et al., 1996). Lebih lanjut Tardieu et al. (1996) menyatakan bahwa penurunan potensial air daun dan peningkatan ABA di daun menunjukkan hubungan linier dengan transpirasi. Ditegaskan juga oleh Pattanagul dan Madore (1999) bahwa kandungan relatif daun menurun dari 80% pada kondisi cukup air menjadi 60% pada kondisi tanaman mengalami cekaman kekeringan.

Zeevart et al. (1991) menyatakan bahwa ABA disintesis oleh akar dan daun yang mengalami dehidrasi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Selanjutnya ABA yang disintesis di akar akan segera ditranfer ke daun hanya dalam waktu beberapa menit (Gowing et al., 1993) dan daun merupakan sumber utama ABA (Popova et al. , 2000).

Abscisic acid (ABA) dilaporkan terkait dengan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan melalui keterlibatannya dalam pengaturan stomata. Harris dan Outlaw (1991) menyatakan bahwa akan terjadi akumulasi ABA di sel penjaga secara cepat ketika daun mengalami cekaman kekeringan. Lebih lanjut Tardieu et al. (1996) mengungkapkan bahwa penurunan potensial air daun selalu diikuti peningkatan konsentrasi ABA.

Terdapat hubungan yang erat antara ABA dengan perubahan konsentrasi protein dan kandungan prolina bebas pada saat tanaman mengalami cekaman kekeringan. Dilaporkan oleh Passioura (1996) perubahan protein terjadi ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan. Akumulasi ABA di sel penjaga oleh karena cekaman kekeringan akan memacu ekspresi gen yang mengatur sintesis dan aktivitas protein (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinokazi, 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa aktivitas protein tersebut berkaitan dengan sintesis senyawa pengatur osmotik di antaranya adalah prolina, betain dan gula. Dengan demikian akumulasi ABA merupakan salah satu karakter fisiologi tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan.

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Mikoriza secara botani merupakan simbiosis mutualistik antara cendawan asal tanah dengan akar tanaman tingkat tinggi (Smith dan Read, 1997, Atlas dan Bartha, 1993). Istilah mikoriza yang berasal dari dua kata Yunani (Grekk) yaitu mykes

(cendawan) dan rhiza (akar tanaman) dikenalkan pertama kali oleh Frank pada tahun 1885 (Sieverding, 1991). Diungkapkan juga bahwa mikoriza terdiri dari dua tipe utama yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Cendawan yang tergolong ke dalam ektomikoriza

dicirikan oleh pertumbuhannya secara interseluler dan membentuk hartig net. Endomikoriza dicirikan oleh cendawan yang tumbuh interseluler maupun intraseluler dalam sel kortek dan membentuk struktur khusus berupa vesikula, arbuskula dan hifa.

Keberadaan mikoriza sangat bermanfaat di antaranya berpengaruh pada penyediaan hara fosfor (Smith dan Read, 1997) dan dapat pula terlibat pada mekanisme pemunculan toleransi tanaman terhadap cekaman lingkungan. Seperti ditegaskan oleh Kurle dan Pfleger (1994) yang menyatakan bahwa mikoriza -VA dapat membantu pertumbuhan tanaman melalui peningkatan pengambilan hara dan toleransi tanaman terhadap cekaman. Gupta dan Krisnamurthy (1996) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa tanaman kacang tanah yang ditumb uhkan pada kondisi salin mampu meningkatkan serapan hara dan pertumbuhan yang lebih baik jika diberi perlakuan CMA dibanding tanpa CMA. Bahkan ada tanaman tertentu yang guna menyelesaikan daur hidupnya bergantung pada cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Habte dan Byappanahalli (1994) mengungkapkan bahwa Manihot esculanta Crantz tidak sensitif terhadap defisiensi P, ternyata ada hubungannya dengan asosiasinya dengan CMA. Lebih lanjut diungkapkan jika dilakukan fumigasi terhadap media tumbuh menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan diikuti juga penurunan kandungan P di dalam jaringan tanaman singkong tersebut.

Ruis-Losano et al. (2000) melaporkan bahwa mikoriza arbuskula mampu meningkatkan laju fotosintesis Lactuca sativa L. baik pada kondisi cukup air maupun kurang air. Lebih lanjut Allsopp dan Stock (1992) mengemukakan pendapat bahwa dalam kondisi lingkungan yang terbatas nutrisinya, pertumbuhan awal tanaman masih lebih baik jika diinokulasi mikoriza-VA daripada tanpa mikoriza-VA. Ditegaskan oleh George et al. (1992) bahwa hifa mikoriza dapat menyokong serapan air oleh tanaman inang. Kenyataan tersebut didukung pula oleh Al-Karaki (l998) yang menyatakan bahwa mikoriza arbuskula dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman baik dalam kondisi kecukupan air maupun kondisi tercekam kekeringan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa efisiensi penggunaan air yang lebih tinggi oleh tanaman bermikoriza daripada tanaman tanpa mikoriza berkaitan dengan peningkatan serapan air oleh akar tanaman dan

hifa mikoriza. Diungkap juga oleh Tsang dan Maun (1999) bahwa salah satu faktor yang memegang peranan penting pada kehidupan tanaman di bukit-bukit pasir adalah asosiasinya dengan CMA. Gambaran tersebut tentu saja mendukung upaya aplikasi mikoriza arbuskula di tanah pasir pantai yang relatif kekurangan air dan terbatas dalam penyediaan hara bagi tanaman.

Peningkatan serapan air tersebut diduga merupakan efek tidak langsung dari mikoriza yakni pengaruhnya terhadap perbaikan sifat fisik tanah. Dugaan tersebut disokong pleh pendapat Sieverding (1991) dan Schreiner et al. (1997) yang menyatakan bahwa mikoriza-VA mampu memperbaiki agregat tanah. Thomas et al. (1993) menyatakan bahwa keberadaan mikoriza-VA pada akar tanaman akan mempengaruhi kondisi agregasi tanah yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan tanah menahan air, diperoleh bukti bahwa akar tanaman yang terkontaminasi mikoriza-VA mampu meningkatkan penyerapan air menjadi tiga kali lipat.

Peran mikoriza tersebut tentu akan sangat bermanfaat pada upaya konservasi tanah pasir yang dominan di kawasan pantai. Seperti ditegaskan oleh Kramadibrata dan Setiadi (1999) yang mengungkapkan bahwa keberadaan cendawan mikoriza arbuskular sangat diperlukan dalam pemunculan kestabilan ekosistem berkaitan dengan upaya konservasi. Peran mikoriza pada perbaikan sifat fisik dan kimia tanah dibuktikan juga oleh Hadisuparto et al. (1998) bahwa aplikasi mikoriza mampu memperbaiki sifat fisik tanah melalui perubahan porositas tanah, permeabilitas serta stabilitas agregat tanah; sedangkan perbaikan sifat kimia tanah ditandai oleh peningkatan kapasitas tukar kation yang diikuti peningkatan serapan P serta meningkatnya serapan hara lain seperti N, K, Ca, Mg, dan Na.

Tanaman Bawang Merah

Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) diduga berasal dari Asia Tengah dan mempunyai banyak kegunaan di antaranya sebagai penyedap masakan dan

pengobatan. Permadi dan Meer (1994) menyatakan bahwa tiap 100 g umbi bawang merah mengandung 88 g air, 1.5 g protein, 0.3 g lemak, 9 g karbohidrat, 0.7 g serat, 36 mg Ca, 40 mg P, 0.8 mg Fe, 5 IU vitamin A, 0.03 mg vitamin B1 dan 2 mg vitamin C. Dijelaskan lebih lanjut bahwa senyawa allicin yang dikandung bawang merah dapat membentuk ikatan kimia dengan thiamine (vitamin B1) yang disebut allithiamin, dan dalam bentuk ikatan tersebut menyebabkan vitamin B1 menjadi lebih efektif.

Tanaman bawang merah termasuk tanaman dwi musim yang berumbi lapis, tumbuh tegak dan tingginya dapat mencapai 50 cm. Perakaran berupa akar rambut yang berdiameter 1-2 mm dengan panjang 10-25 cm. Daun berbentuk bulat kecil memanjang dan berlubang seperti pipa. Batang pokok sangat pendek, datar dan terletak pada bagian dasar tanaman berbentuk piringan (Permadi dan Meer, 1994).

Di Indonesia bawang merah mempunyai banyak nama daerah di antaranya brambang (Jawa), bhabangmera (Madura),lasuna mahamu (Minahasa), bawaroriha (Ternate), kalpeo meh (Timor), dan di Bali disebut jasun mirah. Lebih lanjut Permadi dan Meer (1994) menyatakan bahwa bawang merah termasuk tanaman semusim yang tumbuh tegak dengan tinggi antara 15-50 cm. Daun berbentuk bulat kecil memanjang dan berlubang seperti pipa. Bagian ujung daun merunc ing dan bagian pangkalnya melebar dan membengkak dengan warna daun hijau muda.

Sunarjono et al. (1985) mengungkapkan bahwa produktivitas bawang merah sangat dipengaruhi oleh varietas dan asal daerah bibit tersebut. Hasil penelitian Sunarjono

et al. (1985) menunjukkan bahwa di semua daerah sentra pengembangan bawang merah yang berbeda yakni Kabupaten Brebes (mewakili daerah dataran rendah), dan Cipanas (mewakili daerah dataran tinggi) menunjukkan bahwa bibit yang berasal dari dataran tinggi memberikan hasil lebih baik.

Putrasamedja dan Suwandi (1996) menyatakan bahwa beberapa varietas yang dibudidayakan di dataran rendah berumur relatif pendek, bervariasi antara 55-70 hari tergantung pada varietas dan musim tanamnya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa perbedaan

umur di lapang untuk siap panen merupakan manifestasi dari tanggapan tanaman tersebut terhadap pengaruh lingkungan, di antaranya yang paling berpengaruh adalah suhu, tingkat evaporasi, lama penyinaran, radiasi matahari dan curah hujan yang berbeda antara dataran rendah dan dataran tinggi.

Pusat Promosi dan Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura (1998) melaporkan bahwa rata-rata hasil bawang merah di Indonesia tahun 1997 mencapai 8.15 ton/ha dengan luas panen 86 800 ha. Diungkapkan oleh Permadi dan Meer (1994) bahwa pada kondisi lingkungan tumbuh yang optimal hasil bawang merah dapat mencapai 18 ton/ha. Budidaya bawang merah akan mendapatkan hasil yang baik jika ditanam saat musim kemarau dibanding musim penghujan.

Laporan Djauhari et al. (1985) mengungkap bahwa untuk mendapatkan produk bawang merah yang maksimal diperlukan penyiraman setiap hari sebagai konsekuensi penanaman di musim kemarau. Landon (1984) memberikan gambaran bahwa kebutuhan air untuk satu masa pertumbuhan bawang merah berkisar antara 350-550 mm dan menyerap air sebesar 25% dari air yang tersedia. Sufyati (1999) menyatakan bahwa berdasarkan pada indeks pengumbian, varietas Thailand, Filipina dan Medan dapat ditanam pada kadar air tanah kondisi 85% air tersedia, bahkan varietas Thailand masih dapat membentuk umbi pada kadar air tanah kondisi 70% air tersedia. Sementara varietas Brebes mampu membentuk umbi pada kadar air tanah kondisi 100% air tersedia (kapasitas lapang). Realitas tersebut memberi gambaran bahwa pengungkapan mekanisme adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan dan asosiasinya dengan cendawan mikoriza arbuskula yang menunjang efisiensi penggunaan air menjadi sangat penting.

Alur Penelitian

Penelitian merupakan rangkaian beberapa percobaan yang terinci sebagai berikut :

Percobaan tahap pertama adalah `Studi pengembangan cendawan mikoriza arbuskula indigenus asal tanah pasir pantai` terdiri dari dua percobaan, yakni : (1) Studi jenis cendawan mikoriza arbuskula indigenus asal tanah pasir pantai, dan (2) Kajian kepadatan propagul infektif inokulum mikoriza arbuskula indigenus asal tanah pasir pantai menggunakan metode `Most Probable Number (MPN)`. Kawasan pantai yang dimaksud pada percobaan tersebut adalah Kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Percobaan tahap kedua adalah `Seleksi beberapa varietas bawang merah berdasarkan toleransi terhadap cekaman kekeringan` terdiri dari dua percobaan, yakni : (1) Kajian nilai ambang (threshold) kadar air tanah yang menyebabkan cekaman kekeringan pada bawang merah, dan (2) Seleksi beberapa varietas bawang merah berdasarkan toleransi terhadap cekaman kekeringan. Percobaan tahap ketiga adalah ` Fisiologi adaptasi bawang merah terhadap cekaman kekeringan dan hubungannya dengan mikoriza arbuskula`

Tatalaksana percobaan dijelaskan secara lengkap pada masing-masing tahapan percobaan. Alur penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar masing-masing tahapan percobaan disajikan pada diagram Gambar 1.

PERCOBAAN TAHAP PERTAMA PERCOBAAN TAHAP KEDUA `Studi pengembangan cendawan mikoriza ` Seleksi beberapa varietas bawang merah rbuskula indigenus asal tanah pasir berdasarkan toleransi terhadap pantai` cekaman kekeringan Hasil yang diharapkan : Hasil yang diharapkan : 1. Informasi jenis cendawan mikoriza 1. Informasi batas ambang (threshold) arbuskula indigenus asal tanah pasir kadar air tanah penyebab cekaman pantai kekeringan pada bawang merah 2. Informasi kepadatan propagul infektif 2. Informasi bawang merah toleran dan mikoriza arbuskula indigenus asal tanah peka terhadap cekaman kekeringan pasir pantai

PERCOBAAN TAHAP KETIGA

dan hubungannya dengan mikoriza arbuskula` Hasil yang diharapkan :

1. Konfirmasi percobaan tahap pertama dan kedua

2. Infromasi perbedaan karakter fisiologi adaptasi varietas bawang merah toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan

3. Informasi peranan mikoriza arbuskula hubungannya dengan kemampuan Adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan

Hasil akhir yang diharapkan :

1. Informasi varietas bawang merah yang berpotensi toleran terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai

2. Informasi peranan mikoriza arbuskula hubungannya dengan kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai

Gambar 1. Alur penelitian `Peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman

kekeringan di tanah pasir pantai`

STUDI PENGEMBANGAN CENDAWAN MIKORIZA

ARBUSKULA INDIGENUS ASAL

TANAH PASIR PANTAI

ABSTRAK

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) terbukti memperbaiki kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan melalui keterlibatannya dalam peningkatan serapan hara dan air. Cekaman kekeringan dan keterbatasan hara merupakan kendala pengembangan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. CMA indigenus asal tanah pasir pantai dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. Percobaan bertujuan untuk mempelajari jenis cendawan mikoriza arbuskula dan menguji kepadatan propagul infektif menggunakan metode `Most Probable Number

(MPN)`. Hasil percobaan menunjukkan bahwa : (1) CMA indigenus asal tanah pasir pantai didominansi oleh Glomus Sp., (2) Dijumpai ciri khusus sporulasi CMA indigenus di dalam akar inang yang diduga merupakan fenomena CMA bertahan hidup di tanah pasir pantai, (3) Pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai, jumlah propagul infektif CMA di

tanah pasir pantai semakin menurun oleh sebab kedekatan jarak dengan garis pantai dan meningkatnya intensitas tanaman budidaya, (4) Jumlah propagul infektif CMA pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai berturut-turut sebesar 582.50 unit/50g tanah (pada jarak 0-200 m), 1446.24 unit/50g tanah (pada jarak 200-400 m) dan 473.91unit/50g tanah (pada jarak 400-600 m).

ABSTRACT

The ability of crops adaptation on environment stress is increased by the arbuscular mycorrhizas fungi (AMF) that it control tend to increase the nutrient and water up take. Drought stress and nutrient deficit are most commonly problems of crops cultivated on coastal sandy soil. The indigenous AMF on coastal sandy soil have succeeded for crops cultivated. The objective of this research is to investigate the kinds of AMF and it also the AMF invective propagul denseness by Most Probable Number (MPN). The results showed that : (1) The indigenous AMF in coastal sandy soil is dominated by Glomus Sp., (2) The spesial sporulation of AMF in root is investigated, such as it was fenomenal that supported to life in coastal sandy soil, (3) On 0-600 m distance of areas from coastal line, the AMF invective propagules number in coastal sandy soil was reduced by distance of coastal line and crop intensities increasing, (4) The AMF invective propagule denseness on 0-600 m distance areas from coastal line that its showed 582.50 units/50g soil (on 0-200 m), 1446.24 units/50g soil (on 200-400 m), and 473.91 units/50g soil (on 400-600 m).

PENDAHULUAN

Informasi potensi suatu wilayah baik yang menyangkut potensi fisik, kimiawi maupun biologi dapat membantu keberhasilan pengembangan pertanian di wilayah tersebut. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan potensi biologi alamiah yang dapat digunakan untuk meningkatkan keberhasilan pemberdayaan lahan pertanian, termasuk di antaranya tanah pasir pantai. Pemanfaatan CMA guna meningkatkan keberhasilan budidaya tanaman telah banyak dilakukan, tetapi informasi potensi CMA indigenus yang spesifik di tanah pasir pantai belum banyak diungkap.

Dokumen terkait