• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mikroba Mulut

Mikroba mulut adalah ragam mikroorganisme yang ada dan terdapat di dalam mulut. Mikroba-mikroba yang terdapat di mulut tersebut bisa bermanfaat ataupun bisa menimbulkan penyakit/masalah. Penyakit pada mulut berhubungan erat dengan kebersihan mulut. Saat ini, banyak cara yang dilakukan orang untuk menjaga kesehatan mulutnya. Salah satunya adalah dengan membersihkan gigi dan mulut. Produk-produk komersil banyak terdapat di pasaran yang ditujukan untuk membersihkan gigi dan mulut. Penyakit mulut yang disebabkan oleh mikroba yang berkembangbiak di dalam mulut, antara lain plak dan karang gigi (calculus), peradangan gusi (gingivitis), gigi berlubang (cariesdentis), peradangan amandel dan tenggorokan, radang mulut (stomatitis), dan bau mulut (halitosis).

Mulut merupakan tempat yang ideal untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme karena mulut memiliki kelembaban serta memiliki asupan makanan yang teratur. Mikroba-mikroba yang terdapat di dalam mulut tersebut antara lain Candida albicans, Streptococcus viridans, S. aureus, S. mutans, Lactobacillus, Solobacterium moorei. S. mutans dan Lactobacillus merupakan kuman yang kariogenik karena mampu dengan segera membentuk asam dari karbohidrat yang difermentasi. S. mutans merupakan bakteri patogen pada mulut karena menjadi penyebab utama terbentuknya plak, gingivitis, dan karies gigi (Lee et al., 1992). Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi (Supardi dan Sukamto, 1999). S. moorei merupakan salah satu bakteri penyebab bau mulut.

S. aureus merupakan bakteri positif Gram. Bakteri Staphylococcus mudah tumbuh pada berbagai media, bermetabolisme aktif dengan memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang beragam mulai dari pigmen berwarna putih sampai kuning tua. S. aureus untuk koloni yang berwarna kuning serta S. albus untuk koloni yang berwarna putih (Todar, 2011). Pada media MSA (Manitol Salt Agar) koloni S. aureus berwarna kuning karena terjadi fermentasi manitol menjadi asam sehingga warna media yang semula berwarna merah berubah menjadi kuning. Sifat-sifat dari bakteri ini antara lain bersifat aerob

fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, berdiameter sekitar 0,8-1,0 µm. Bakteri S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam. Bakteri ini juga bisa terdapat pada saluran pernafasan atas. Bakteri ini jarang menyebabkan penyakit pada manusia. Akan tetapi, bakteri ini bisa menjadi faktor penyebab terjadinya suatu infeksi penyakit pada inang yang sedang dalam kondisi kekebalan tubuh menurun.

Gambar mikroskopik bakteri S. aureus. terpapar pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Bakteri S. aureus

(Sumber : http://www.lib.uiowa.edu/hardin/md/cdc/staph/photomicro2.html)

Streptococcus merupakan bakteri yang memiliki bentuk bulat dan termasuk ke dalam bakteri positif Gram. Bakteri ini termasuk ke dalam filum Firmicutes dan juga termasuk kelompok bakteri asam laktat. Bakteri ini tumbuh berantai atau berpasangan. Oleh karena itu diberi nama streptos (yang berasal dari bahasa Yunani: επ ο ), yang berarti mudah bengkok atau memutar, seperti sebuah rantai. Streptococcus tidak memiliki enzim katalase sehingga tidak dapat mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2. Streptococcus banyak yang bersifat anaerob fakultatif. Bakteri katalase negatif tidak memiliki enzim katalase yang menguraikan H2O2 sehingga H2O2 yang diberikan tidak dapat dipecah oleh bakteri dan berakibat tidak menghasilkan oksigen.

Bakteri ini dapat menyebabkan radang tenggorokan. Streptococcus spesies tertentu bertanggung jawab atas banyak kasus meningitis, pneumonia oleh bakteri,

endokarditis, erisipelas, dan necrotizing fasciitis (karena memakan daging yang tercemar bakteri Streptococcus). Namun demikian, banyak spesies Streptococcus yang bersifat non-patogenik. Streptococcus juga merupakan bagian dari mikroflora normal yang bersifat komensal dari mulut, kulit, usus, dan saluran pernapasan atas manusia.

Gambar mikroskopik bakteri Streptococcus terpapar pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Bakteri Streptococcus sp.

(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Streptococci.jpg)

Bacillus adalah bakteri positif Gram yang berbentuk batang. Bakteri ini merupakan anggota dari divisi Firmicutes. Bacillus merupakan bakteri yang dapat bersifat obligat aerob atau anaerob fakultatif. Bakteri ini menghasilkan enzim katalase yang mengubah H2O2 menjadi oksigen dan air. Sel-sel bakteri menghasilkan endospora oval yang berfungsi untuk bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang kurang baik, sehingga dapat tetap aktif untuk waktu yang lama. Dinding sel Bacillus adalah struktur di luar sel yang membentuk penghalang antara bakteri dan lingkungan, dan pada saat yang sama bertujuan untuk mempertahankan bentuknya serta menahan tekanan yang dihasilkan oleh turgor sel (Wikipedia, 2011). Dinding sel Bacillus terdiri dari peptidoglikan yang mengandung asam meso-diaminopimelic (DAP) serta mengandung banyak asam teichoic yang terikat pada residu asam muramic (Todar, 2011).

Gambar mikroskopik bakteri Bacillus terpapar pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Bakteri Bacillus sp.

(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Bacillus _subtilis_Gram.jpg)

Kayu Siwak

Penggunaan alat-alat kebersihan mulut telah dimulai semenjak berabad- abad yang lalu. Manusia terdahulu menggunakan alat-alat kebersihan yang beragam seiring dengan perkembangan budaya dan teknologi. Beranekaragam peralatan sederhana dipergunakan untuk membersihkan gigi dan mulut mereka dari sisa-sisa makanan, mulai dari tusuk gigi, batang kayu, ranting pohon, kain, bulu burung, tulang hewan hingga duri landak. Di antara peralatan tradisional yang mereka gunakan dalam membersihkan mulut dan gigi adalah kayu siwak atau chewing stick. Kayu siwak telah lama digunakan sebagai alat untuk membersihkan mulut. Penggunaan kayu siwak sebagai alat untuk pembersih mulut menjadi suatu perubahan dari tradisional ke modern dan siwak merupakan alat pembersih mulut terbaik hingga saat ini. (El-Mostehy et al., 1998).

Penggunaan siwak adalah sebuah budaya pra Islam yang berkaitan dengan kegiatan bangsa Arab dahulu untuk mendapatkan gigi yang putih dan mengkilat. Penggunaan siwak juga untuk kegiatan yang bersifat ritual. Budaya ini kemudian diterapkan oleh masyarakat selama kegiatan keimanan Nabi Muhammad. Orang Babilonia sejak 7000 tahun yang lalu telah menggunakan siwak sebagai alat pembersih mulut. Siwak juga digunakan di zaman kerajaan Yunani dan Romawi, orang-orang Yahudi, Jepang, Mesir, dan masyarakat pada zaman kerajaan Islam. Banyak nama untuk siwak, seperti misalnya di Timur Tengah disebut dengan miswak, siwak atau arak, orang Jepang menyebutnya Koyoji, di Tanzania disebut

miswak, dan di Pakistan dan India disebut dengan datan atau miswak. Penggunaan kayu kunyah(chewing stick) berasal dari tanaman yang berbeda-beda pada setiap negeri. Sumber utama yang sering digunakan di Timur Tengah adalah pohon Arak (Salvadora persica), dan Afrika Barat yang digunakan adalah pohon limun (Citrus aurantifolia) dan pohon jeruk (Citrus sinesis). Akar tanaman Senna (Cassiva vinea) digunakan oleh orang Amerika berkulit hitam, Laburnum Afrika (Cassia sieberianba) digunakan di Sierre Leone serta Neem (Azadirachta indica) digunakan secara meluas di benua India (Almas, 2002).

Meskipun siwak sebelumnya telah digunakan dalam berbagai macam budaya di seluruh dunia, namun pengaruh penyebaran agama Islam dan penerapannya untuk membersihkan gigi lah yang paling berpengaruh. Istilah siwak sendiri pada kenyatannya telah umum dipakai selama masa kenabian Nabi Muhammad SAW yang memulai misinya sekitar 543 M. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa siwak adalah penerapan pembersihan gigi dan dicintai Allah. Beliau menambahkan, “Bila kamu membersihkan mulutmu berarti kamu menghormati Allah, dan saya diperintahkan Allah untuk bersiwak karena Allah telah mewahyukan kepada saya.” Kepercayaan Nabi memandang kesehatan mulut yang baik amatlah besar, sehingga beliau senantiasa menganjurkan pada salah seorang isterinya untuk selalu menyiapkan siwak untuknya hingga akhir hayatnya (Khoory, 1983).

Siwak terus digunakan hampir di seluruh bagian Timur Tengah, Pakistan, Nepal, India, Afrika dan Malaysia, khususnya di daerah pedalaman. Sebagian besar mereka menggunakannya karena faktor religi, budaya dan sosial. Umat Islam di Timur Tengah dan sekitarnya menggunakan siwak minimal 5 kali sehari disamping juga mereka menggunakan sikat gigi biasa. Erwin-Lewis menyatakan bahwa pengguna siwak memiliki relatifitas yang rendah dijangkiti kerusakan dan penyakit gigi meskipun mereka memakan bahan makanan yang kaya akan karbohidrat. (Khoory, 1983).

Klasifikasi Tanaman Siwak (Salvadora persica)

Gambar 4. Tanaman Siwak

(Sumber : http://rifafreedom.wordpress.com/2008/09/15/pohon-siwak)

Taksonomi tanaman siwak (Salvadora persica) menurut Tjitrosoepomo (1998) adalah sebagai berikut :

Divisio : Embryophyta Sub Divisio : Spermatophyta

Class : Dicotyledons

Sub Class : Eudicotiledons

Ordo : Brassicales

Family : Salvadoraceae

Genus : Salvadora

Spesies : Salvadora persica

Morfologi dan Habitat Tanaman Siwak (Salvadora persica)

Siwak atau Miswak, merupakan bagian dari batang, akar atau ranting tumbuhan Salvadora persica yang kebanyakan tumbuh di daerah Timur Tengah, Asia dan Afrika. Siwak berbentuk batang yang diambil dari tanaman arak (Salvadora persica) yang berdiameter mulai dari 0,1 cm sampai 5 cm. Pohon arak adalah pohon yang kecil seperti belukar dengan batang yang bercabang-cabang, berdiameter lebih dari satu kaki. Jika kulitnya dikelupas, kulitnya berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih. Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas (Al-Khateeb et al., 1991).

Gambar 5. Batang kayu Siwak

(Sumber : http://ndaruto.files.wordpress.com/2008/03/siwak1.jpg)

Manfaat dan Kandungan Aktif

Dahulu siwak banyak digunakan sebagai alat untuk membersihkan mulut. Saat ini pun masih ada masyarakat yang menggunakan siwak sebagai alat untuk membersihkan mulut. Siwak dapat digunakan untuk tujuan terapi. Penerapan terapi dari siwak dapat berupa pasta gigi, obat kumur, dan larutan irigasi endodontik.

Zat antimikrobial adalah zat yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme (Boyd dan Marr, 1980). Al-Lafi dan Ababneh (1995) telah melakukan pengujian terhadap aktifitas antibakterial dari kayu siwak untuk menghambat beberapa bakteri mulut yang bersifat aerob dan anaerob. Hasil penelitian dari Gazi et al. (1987) menunjukkan bahwa ekstrak kasar kayu siwak yang dijadikan cairan kumur dan dikaji sifat-sifat antiplaknya beserta efeknya terhadap bakteri penyusun plak dapat menyebabkan penurunan drastis bakteri yang berbentuk batang dan bersifat negatif Gram. Selanjutnya Almas (2002) melakukan penelitian terhadap efektifitas ekstrak siwak 50% dibandingkan dengan CHX (Chlorhexidine Gluconate) 0,2% pada dentin manusia secara SEM (Scanning Electrony Microscopy) menunjukkan bahwa ekstrak siwak 50% memiliki hasil yang sama dengan CHX 0,2% dalam perlindungan dentin. Akan tetapi, ekstrak siwak 50% lebih dapat menghilangkan smear layer pada dentin dibandingkan CHX 0,2%.

Penelitian tentang analisis kandungan batang kayu siwak kering (Salvadora persica) dengan ekstraksi menggunakan etanol 80% kemudian

dilanjutkan dengan eter lalu diuji kandungannya melalui prosedur kimia ECP (Exhaustive Chemical Procedure) menunjukkan bahwa siwak mengandung zat-zat kimia, seperti trimetilamin, alkaloida yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin C, serta sejumlah kecil tannin, saponin, flavanoida dan sterol (El-Mostehy et al., 1995). Ekstrak siwak juga menunjukkan adanya sifat-sifat antimikrobial, terutama antibakterial yang sangat efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri dan antifungal (Al-Lafi dan Ababneh, 1995; Darout, 2000).

Darout (2000) melaporkan bahwa kandungan kimiawi ekstrak kayu siwak sangat ampuh menghilangkan plak dan mengurangi virulensi bakteri periodontopatogenik. Kandungan anionik alami dalam siwak dipercaya sebagai antimikrobial yang efektif untuk menghambat dan membunuh mikroorganisme. Sebagai contoh, nitrat yang dapat mempengaruhi pengangkutan aktif porline pada Eschericia coli serta terbukti ampuh dalam menghambat fosforilasi oksidatif dan pengambilan oksigen Pseudomonas aureginosa dan S. aureus.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 – April 2010. Penggilingan kayu dilaksanakan di Laboratorium Kimia Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Ekstraksi bubuk kayu siwak dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Penelitian in vitro dilaksanakan di Laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Media dan Reagen. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaldu/agar Brain Heart Infusion (BHI B/A). Beberapa reagen digunakan untuk pewarnaan Gram, diantaranya larutan kristal violet, larutan ioidin, dan larutan safranin.

Bubuk Kayu Siwak. Kayu siwak diperoleh dari salah satu daerah di Arab Saudi dan Libya. Kayu siwak diperoleh dengan cara membeli melalui perantara. Kayu siwak yang diperoleh berbentuk potongan akar atau batang. Kayu siwak yang diperoleh dipotong-potong menjadi bagian yang kecil dan dihancurkan untuk mendapatkan bubuk kayu siwak seperti yang dilakukan oleh AbdElRahman et al. (2002). Kayu siwak yang ada dibersihkan terlebih dahulu dan dipotong-potong menjadi bagian yang kecil lalu di jemur atau di oven sehingga menjadi kering sehingga memperoleh bubuk kayu siwak. Setelah itu, digiling agar menjadi serbuk kayu siwak yang siap digunakan untuk proses ekstraksi. Ekstraksi kayu siwak dilakukan dengan menggunakan etanol 96%. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencampurkan 50 g bubuk kayu siwak dengan 250 ml larutan pengekstrak dalam keadaan sucihama di dalam botol kering berpenutup yang juga sucihama. Botol disimpan selama sembilan hari pada suhu kamar (25-27 oC). Selama penyimpanan botol digoyang-goyang menggunakan penggoyang (shaker) dengan kecepatan 400 rpm. Larutan diganti setiap 24 jam dan supernatant yang ada

disimpan dalam botol terpisah pada suhu 4-6 oC. Volume masing-masing ekstraksi dikurangi dengan cara penguapan pada suhu 35-38 oC dan pelarut yang tertinggal dibiarkan menguap oleh pengeringan selama 2-4 hari pada suhu kamar (25-27 oC). Hasil ekstrak akhir berupa larutan sebanyak 5-10 ml. Larutan terakhir disimpan di tempat kering pada suhu 4 oC hingga digunakan saat pengujian.

Ketika digunakan untuk pengujian, masing-masing ekstrak kasar ditambah 0,5% Tween 80 untuk dijadikan dua larutan siap pakai dengan kandungan masing- masing 300 mg/ml dan 200 mg/ml. Larutan yang digunakan untuk pengujian adalah yang memiliki kandungan sebesar 300 mg/ml. Larutan-larutan ini disentrifugasi 15800 g selama 20 menit pada suhu 10 oC. Supernatan disucihamakan menggunakan kertas penyaring 0,2 µm. Masing-masing larutan diencerkan dengan pola pengenceran serial. Sebanyak 1 ml larutan yang diuji dimasukkan ke dalam 10 ml BHIB pada pengenceran pertama. Untuk pengenceran kedua, diambil 1/2 ml untuk dimasukkan ke dalam 10 ml BHIB. Demikian selanjutnya hingga terjadi sembilan kali pengenceran secara seri.

Larutan Kumur yang Diuji. Beberapa larutan kumur komersil diperoleh dari tempat penjualan. Setelah dicatat secara rinci informasi yang tertera di atas label, label dilepaskan dan larutan kumur tersebut diberi identitas baru. Larutan kumur yang diperiksa diencerkan secara serial dari pengenceran 1:10, 1:20, 1:40 sampai 1:2560 (v/v) menggunakan media tumbuh yang digunakan. Antibiotika streptomisin digunakan sebagai kontrol positif. Sedangkan media tumbuh yang tidak diimbuhi larutan kumur dan ekstrak kayu siwak digunakan sebagai kontrol negatif (placebo).

Mikroba yang Diuji. Bakteri uji diperoleh dari hasil kumur-kumur yang dilakukan oleh lima orang sukarelawan yang berumur 22-23 tahun dengan memakai larutan NaCl 0,9%. Pengambilan larutan hasil kumur dilakukan pada pagi hari sebelum melakukan aktifitas gosok gigi. Hasil kumur dimasukkan ke dalam plastik yang selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin (coolbox). Sebanyak satu öse dari setiap plastik yang berisi cairan kumur diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang terdapat larutan NaCl sucihama. Tabung reaksi diputar dengan menggunakan pemutar mixer vortex dengan tujuan agar mikroba tercampur merata. Sebanyak satu mililiter cairan kumur dari tabung

reaksi diisolasi ke atas permukaan media Agar Darah (diimbuhi darah domba 5- 10%) untuk bakteri. Masing-masing cairan kumur dari tabung reaksi tersebut diisolasi pada media Agar Darah yang berbeda. Seluruh media diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24-27 jam. Identifikasi bakteri yang tumbuh dilakukan setelah masa inkubasi dicapai.

Rancangan Penelitian

Rancangan pengujian untuk melihat efek antimikroba dari ekstrak kayu siwak dan larutan kumur mengikuti Sutter et al. (1979), AbdElRahman et al. (2002), Koselac et al. (2005), Pires et al. (2007), dan Al-Bayati dan Sulaiman (2008) yang dimodifikasi. Larutan suspensi dibuat dengan cara memindahkan sejumlah inokulum bakteri ke dalam media BHIB. Kekeruhan suspensi bakteri disetarakan dengan kekeruhan larutan McFarland #1 yang baru dibuat.

Larutan ekstrak kayu siwak, larutan kumur komersil yang terdiri dari betadine (disingkat BET) dan total care (disingkat TC), larutan yang digunakan sebagai kontrol positif dan negatif diencerkan dengan cara menambahkan satu milliliter larutan yang diperiksa ke dalam 10 ml kaldu BHI dan agar BHI yang siap padat untuk media pertumbuhan bakteri. Penambahan ini membuat pengenceran 1:10 (v/v). Demikian selanjutnya dilakukan sehingga didapatkan campuran media tumbuh dan larutan yang diperiksa dengan pengenceran 1:20 sampai 1:2560 (v/v).

Sebanyak 10 µl larutan inokulum bakteri, dari masing-masing spesies yang diperiksa, dipindahkan masing-masing ke dalam tabung reaksi dan cawan berisi media tumbuh BHI untuk bakteri seperti yang sudah disiapkan di atas. Setelah agar di cawan memadat, seluruh media yang telah diinokulasi bakteri diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24-72 jam sesuai dengan pertumbuhan mikroba yang ditanam. Pengujian ini dilakukan secara duplo.

Setelah masa inkubasi dicapai, maka dilakukan penghitungan koloni secara visual pada media agar padat. Sedangkan untuk melihat pertumbuhan di media kaldu, dilakukan pengamatan dengan Spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 630-650 nm. Penentuan kadar minimum penghambatan (minimum inhibition concentration, MIC) untuk bakteri didefinisikan sebagai

kadar terendah dari larutan yang diperiksa yang tidak membolehkan tumbuh satu koloni pun pada media agar padat, dan kekeruhan lebih rendah dari absorbans 0,05 pada panjang gelombang (650 nm) (Cai dan Wu, 1996). Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan obat baku antibakteri dan bahan baku utama larutan kumur.

Analisis Statistika

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (analisis of varian, ANOVA). Keragaman total dapat diuraikan dengan analisis sidik ragam menjadi komponen-komponen yang mengukur berbagai sumber keragaman. Diasumsikan bahwa contoh acak yang dipilih berasal dari populasi yang normal dengan ragam yang sama, kecuali bila contoh yang dipilih cukup besar, asumsi tentang distribusi normal tidak diperlukan lagi (Wibisono, 2005). Pada pengujian dengan menggunakan analisis ini, akan mudah diketahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak dari beberapa nilai rata-rata contoh yang diselidiki, sehingga diperoleh suatu kesimpulan menerima hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatifnya. Untuk uji lanjutan digunakan uji Duncan. Uji Duncan didasarkan pada sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar, tergantung pada jarak di antara pangkat-pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan. Dapat digunakan untuk menguji perbedaan diantara semua pasangan perlakuan yang mungkin tanpa memperhatikan jumlah perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakteridari probandus berhasil diperoleh setelah air kumur-kumur mereka dibiakkan ke atas media Agar Darah. Koloni-koloni mikroorganisme tersebut kemudian ditanam pada media umum yaitu BHIA untuk memperbanyak bakteri. Selanjutnya dilakukan penanaman kembali pada Agar Darah untuk melihat jenis hemolisis yang terjadi. Koloni bakteri yang ada diwarnai dengan pewarnaan Gram dan dari hasil pewarnaan ini diperoleh bahwa koloni-koloni yang didapat merupakan koloni bakteri Positif Gram.

Selanjutnya dilakukan uji katalase menggunakan H2O2 3% untuk mengetahui apakah bakteri-bakteri yang diperoleh menghasilkan enzim katalase atau tidak. Enzim katalase yang menguraikan H2O2 sehingga H2O2 yang diberikan dapat dipecah oleh bakteri dan menghasilkan oksigen. Bakteri yang memiliki enzim katalase adalah S. aureus, sedangkan yang tidak memiliki diantaranya Streptococcus, Leuconostoc, Lactobacillus, dan Clostridium. Bakteri katalase positif dapat menghasilkan enzim katalase dan dapat mengubah H2O2 menjadi oksigen.

Koloni bakteri yang tumbuh pada media BHIA dan memiliki sifat katalase positif ditanam pada media Baird Parker Agar (BPA) yang mengandung lithium chloride dan tellurite untuk menumbuhkan mikroba yang bersifat koagulase positif. S. aureus mempunyai koloni spesifik berwarna hitam akibat endapan hasil tellurite dan media disekitarnya menjadi jernih. Endapan tersebut berwarna hitam dikarenakan Staphylococcus mereduksi tellurite menjadi telluride dan di sekitar warna hitam dikelilingi oleh zona yang jernih (Biokar-diagnostics, 2010).

Bila bakteri sudah murni maka dapat dilakukan uji biokimia selanjutnya untuk menentukan genus dan spesies dari masing-masing bakteri (Cowan, 1974). Uji biokimia yang dilakukan antara lain uji fermentasi mannitol dan glukosa. Uji ini ditujukan untuk menentukan bakteri yang mampu memfermentasikan manitol maupun glukosa. Pada uji gula-gula hanya terjadi perubahan warna pada media glukosa yang berubah menjadi warna kuning, artinya bakteri ini membentuk asam dan gas dari fermentasi glukosa. Untuk memeriksa hasil fermentasi manitol pada

uji yang telah dilakukan, koloni bakteri ditanam juga pada media MSA (Manitol Salt Agar).

Dari seluruh rangkaian uji tersebut di atas, maka didapatkan hasil bahwa bakteri yang diisolasi dari air kumur probandus adalah S. aureus, Bacillus sp, dan Streptococcus sp. Bakteri-bakteri tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri positif Gram. Bakteri positif Gram mempunyai membran plasma tunggal yang dikelilingi dinding sel tebal berupa peptidoglikan. Ada beberapa hal yang menyebabkan bakteri-bakteri tersebut di atas ada pada hasil kumur-kumur. Hal- hal tersebut antara lain bakteri tersebut merupakan mikroflora normal pada mulut manusia seperti S. aureus. Bakteri S.aureus juga merupakan patogen yang umum pada manusia. Hal lain yang menjadi penyebab keberadaan bakteri-bakteri tersebut adalah masuknya makanan atau air minum yang kurang bersih ke dalam rongga mulut. Di dalam makanan atau minuman yang kurang bersih tersebut bisa terdapat bakteri-bakteri tersebut.

Gambar 6 Kurva regresi linier bakteri

Dari kurva regresi linier terlihat bahwa pada ketiga bakteri tersebut yakni S. aureus, Bacillus, dan Streptococcus mengalami peningkatan jumlah bakteri sebanding dengan nilai OD (Optical Density) yang semakin besar.

Hasil reaksi hambatan dari ekstrak kayu siwak dan larutan kumur komersil terhadap suspense campuran ketiga bakteri tercantum dalam Tabel 1 dan Gambar 1 di bawah ini.

Tabel 1 Pengaruh ekstrak kayu Siwak dan larutan kumur komersil terhadap pertumbuhan campuran bakteri

Pengenceran (1/x) Larutan Uji (log)

Siwak BET TC 10 2,54425z 2,42199 b -0,72403 q 20 2,16201y 2,25135 c 0,44475 p 40 1,97088x 2,16603 d 1,02915 o 80 1,87532w 2,12337 e 1,32134 n 160 1,82754v 2,10204 f 1,46744 m 320 1,80364 u 2,09138 f 1,54049 l 640 1,79169 u 2,08605 f 1,57702 k 1280 1,78572 u 2,08338 f 1,59528 k 2560 1,78274 u 2,08205 f 1,60441 k

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama, menandakan adanya perbedaan nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

Gambar 7 Pengaruh ekstrak kayu Siwak dan larutan kumur komersil terhadap

Dokumen terkait