• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Lanskap

Menurut Simond (1983), proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis yang menentukan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut. Suatu lanskap memerlukan perencaan yang matang agar tertata dengan baik. Rencana awal yang dibuat akan menjadi dasar dalam pengembangan selanjutnya.

Perencanaan lanskap merupakan suatu penyesuaian antara lanskap dan program yang akan dikembangkan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan pemandangan lanskap sehingga mencapai penggunaan terbaik. Proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling menunjang (Gold, 1980).

Nurisyah dan Pramukanto (2009) mengatakan bahwa perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan (Land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya. Kegiatan merencana suatu lanskap adalah suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia/masyarakat kearah suatu bentuk lanskap atau bentang alam yang nyata dan berkelanjutan.

Sungai

Badan Sungai

Menurut Nurisjah (2004), sungai adalah tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan pada suatu alur yang panjang diatas permukaan bumi, dan merupakan salah satu badan air lotik yang utama. Yaitu :

1. Badan air dengan air yang mengalir (sistem lotik) 2. Badan air dengan air yang tidak mengalir (sistem lentik)

Menurut Nurisjah (2004), dalam perjalanan air dari mata airnya di bagian hulu yang umumnya terletak di daerah pegunungan menuju ke hilir yang terletak di daerah yang lebih rendah atau dataran, aliran sungai secara lambat laun akan bersatu dengan beberapa sungai lain hingga pada akhirnya badan sungai menjadi besar. Sungai yang memiliki daerah aliran yang panjang dan volume air terbesar disebut sungai utama dan cabang-cabangnya disebut anak sungai. Sungai yang membentuk beberapa buah cabang sebelum berakhir di sebuah wadah kumpulan air (danau atau laut) disebut sebagai cabang sungai.

Gambar 2. Orde Sungai (Forman dan Gordon, 1986)

Sungai-sungai yang mengalir disuatu daerah pegunungan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu pada bagian hulu dimana air mengalir diantara celah-celah pegunungan yang disebut sungai arus deras. Sungai ini merupakan sungai yang kedua tebingnya merupakan bagian dari lereng-lereng gunung yang berdampingan dan sungai yang di luar pegunungan ini selanjutnya dibagi lagi menjadi sungai yang mengalir di lembah dan sungai di daerah kipas pengendapan. Pada bagian sungai arus deras di daerah pegunungan akan terbentuk jurang-jurang. Air yang

mengalir dari sungai arus deras umumnya mengandung sedimen dengan konsentrasi yang tinggi. Sebagian dari sedimen ini, dalam perjalanannya, akan diendapkan disepanjang bagian sungai diluar daerah pegunungan.

Sungai dan lembahnya ibarat organisme hidup yang selalu berubah dari waktu ke waktu, mulai dari masa muda, dewasa, dan masa tua (Gambar 3). Siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul di atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikis tanah tersebut membentuk parit, kemudian parit-parit bertemu sesamanya membentuk sungai. Selain itu, sungai bisa juga terbentuk dari danau yang perlahan menghilang sebagai sungai dangkal dan terkikis membentuk sisi yang curam atau lembah berbentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang pohon. Semakin tua sungai lembahnya akan semakin dalam dan anak-anak sungainya akan semakin panjang (Morris, 1980).

Gambar 3. Perubahan Penampang yang Menunjukan Umur Sungai (Morris, 1980)

Sungai dapat dinyatakan juga merupakan suatu saluran drainase yang terbentuk secara alami dan berfungsi sebagai saluran drainase. Air yang mengalir di dalam sungai, selama keberadaan sungai dan secara terus menerus, akan mengikis tanah bagian dasarnya yang selanjutnya akan membentuk lembah- lembah sungai. Volume sedimen yang besar yang dihasilkan dari reruntuhan tebing sungai di daerah pegunungan dengan kemiringan yang curam akan memiliki atau menghasilkan aliran yang cukup besar. Tetapi setelah aliran mencapai dataran maka gaya aliran akan sangat menurun dan beban yang terdapat dalam arus sungai ini akan secara berangsur diendapkan. Karena itu dapat dilihat

Sungai masih bayi. Sempit dan curam

Sungai muda. Anak sungainya bertambah

Sungai tua. Daerah alirannya semakin melebar dan berkelok

Sungai sudah tua sekali

ukuran butiran sedimen yang diendapkan di bagian hulu sungai umumnya lebih besar dan bersudut dibandingkan dengan yang terdapat dibagian hilirnya (Nurisjah, 2004).

Menurut Maryono (2008), dalam proses morfologi pembentukan sungai, sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi dan hidrologi daerah setempat, serta dalam perkembangannya akan mencapai kondisi keseimbangan dinamiknya. Kondisi geografi banyak menentukan letak dan bentuk alur sungai memanjang dan melintang. Ekologi menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor retensi sungai. Sedangkan hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran air di sungai. Ketiga faktor tersebut saling terkait dan secara integral membentuk sungai yang alami. Sungai yang alami akan dapat mendukung kehidupan biota yang tinggal di sungai tersebut karena merupakan habitat aslinya. Intervensi manusia dalam merubah alur sungai (pelurusan pada sungai yang meander dan/atau membelokan sungai yang lurus) akan berakibat terhadap keberlangsungan sungai itu sendiri.

Sempadan Sungai

Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (PP No. 35 tahun 1991). Sempadan sungai sering juga disebut dengan bantaran sungai walaupun terdapat perbedaan. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir (flood plain). Bantaran sungai bisa juga disebut bantaran banjir sedangkan sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran ekologis dan lebar keamanan yang diperlukan kaitannya dengan letak sungai (misal areal permukiman-non permukiman). Sempadan sungai merupakan daerah ekologis dan hidraulis sungai yang penting. Sempadan sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan (alur) sungai karena secara hidraulis dan ekologis merupakan satu kesatuan. Secara hidraulis sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang berfungsi memberi kemungkinan luapan air banjir ke samping kanan kiri sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi, energi air dapat diredam di

sepanjang sungai, erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat dikurangi secara simultan (Maryono, 2005).

Gambar 4. Sempadan Sungai Cara Ekologi, Hidraulik dan Morphologi (Maryono, 2005)

Bantaran sungai adalah areal sempadan kiri-kanan sungai yang terkena/terbanjiri luapan air sungai, baik dalam periode waktu yang pendek maupun periode waktu yang cukup panjang, yang merupakan daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem akuatik dengan ekosistem daratan (Anonim, 2005). Sebagai ekoton, daerah bantaran sungai memiliki peranan penting antara lain adalah:

1. Menyediakan habitat yang unik bagi biota a. Keanekaragaman hayati yang tinggi

• Hutan aluvial

• Satwaliar (burung, mamalia, reptilia, ikan, dll b. Produktivitas biologi tinggi

• Hutan lahan basah

• Perikanan

• Burung

2. Mengatur “interpath dynamics”

a. Suplai bahan organik ke ekosistem lain

b. Penyimpan hara untuk aliran permukaan lahan pertanian c. Mempengaruhi pergerakan serta migrasi burung dan mamalia 3. Indikator dari perubahan hydroklimat (sensitif terhadap external control) 4. Mempunyai kualitas visual yang kuat

a. Menciptakan warna, variasi dan citra yang berbeda b. Menyediakan Wilderness experience

c. Menciptakan prospek dan refuge image 

Sungai dan sempadannya merupakan habitat yang sangat kaya akan flora fauna sekaligus sebagai barometer kondisi ekologi daerah tersebut. Sungai dan sempadan yang masih alamiah dapat berfungsi sebagai aerasi alamiah yang akan meningkatkan atau menjaga kandungan oksigen air sungai. Komponen ekologi sempadan sungai adalah vegetasi pada bantaran sungai. Selain itu, sempadan yang produktif adalah sempadan yang mampu menyediakan vegetasi untuk obat- obatan, pangan dan papan.

Vegetasi Sempadan Sungai

Vegetasi pada sempadan sungai memiliki aneka fungsi ekologi yang akan hilang jika vegetasi ini hilang. Fungsi ekologi vegetasi sempadan sungai misalnya menjaga kualitas air sungai, habitat bagi hidupan liar, menjaga suhu air, mengendalikan pertumbuhan organisme fotosintetik akuatik dan menstabilkan tebing sungai. Produktivitas perikanan di sungai-sungai akan menurun jika vegetasi ini tidak dapat dipertahankan. Reservat tidak akan berfungsi jika vegetasi riparian tidak dipertahankan kehadirannya di rawa banjir (“floodplain”). Kualitas air sungai yang layak diminum tidak akan dapat diperoleh tanpa kehadiran vegetasi tersebut. Vegetasi sempadan sungai juga memiliki fungsi ekonomi misalnya menjadi sumber bahan obat-obatan, pangan dan papan. Berbagai upaya untuk mempertahankan fungsi ekologi dan ekonomi serta sosial sungai akan sulit dijaga jika vegetasi sempadan sungai tidak dilestarikan (Siahaan, 2004).

Bantaran sungai yang merupakan rawa banjir (“floodplain”) ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang telah beradaptasi untuk hidup di tempat yang seringkali

tergenang air sungai terutama saat hujan turun. Vegetasi yang tumbuh di tepian sungai tersebut dinamakan vegetasi riparian (Siahaan, 2004).

Vegetasi riparian adalah vegetasi yang tumbuh di tepian sungai. Vegetasi ini memiliki banyak fungsi antara lain menjaga kualitas air sungai, habitat hidupan liar, menjaga longsor dan mengatur pertumbuhan flora akuatik baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Air yang masuk ke sungai yang berasal dari pertanian dan pemukiman penuh dengan bahan-bahan pencemar misalnya pestisida, pupuk dan minyak. Pencemar tersebut sebelum memasuki sungai akan diserap oleh vegetasi riparian dan diubah menjadi bahan-bahan yang tidak berbahaya. Hal tersebut membantu meningkatkan kualitas air sungai. Kualitas air sungai akan meningkat jika vegetasi riparian juga meningkat. Dalam hal ini, vegetasi riparian berperan dalam purifikasi alamiah air sungai (Siahaan, 2004).

Vegetasi riparian juga mengendalikan erosi tebing sungai. Akar tumbuhan yang hidup di tepian sungai mencengkeram tanah di tepian sungai. Vegetasi riparian juga mengendalikan air permukaan. Mekanisme tersebut dapat mencegah longsoran tebing sungai yang sangat sering terjadi saat turun hujan. Vegetasi riparian mampu menyerap padatan terlarut yang dibawa air permukaan. Deforestasi di bagian atas sungai telah menyebabkan erosi tanah. Butiran tanah dibawa oleh air permukaan menuju sungai. Akar-akar vegetasi riparian dapat mengikat padatan terlarut tersebut sehingga air sungai tampak jernih. Partikel tanah yang tertangkap oleh vegetasi riparian mencegah terjadinya sedimentasi di sungai. Hal ini sangat menguntungkan hewan-hewan seperti ikan yang menyukai dasar sungai tidak berlumpur (Siahaan, 2004).

Vegetasi riparian sangat bermanfaat dalam mengatur suhu air dan mengendalikan masuknya cahaya matahari ke sungai. Cahaya yang masuk akan meingkatkan suhu permukaan air sungai. Hal ini sangat membahayakan kehidupan akuatik yang telah beradaptasi dengan suhu rendah. Jika suhu air sungai meningkat maka hanya beberapa hewan saja yang dapat hidup. Peningkatan suhu air akan mengurangi keanekaragaman jenis biota akuatik (Siahaan, 2004).

Pendugaan Kondisi Ekologis Sungai

Sinuositas sungai cenderung bergerak berkelok melewati bantaran banjir, dengan pola huruf S. Kelokan yang melewati bantaran banjir tersebut meninggalkan bekas dimana alur sungai terbentuk. Perbandingan sinousitas sungai dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas alami dari suatu sungai. Menurut Allen (1970) dalam Anisa (2009), bentuk sungai secara garis besar dibagi kedalam tiga jenis berdasarkan perbandingan sinousitasnya (Sinousity ratio), yaitu : lurus, sinous dan meander. Bentuk alur sungai dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Bentuk Alur Sungai (Miall, 1997)

Sinousity ratio diperoleh dengan menghitung perbandingan antara panjang alur suungai dari satu titik ke titik tertentu dengan panjang garis lurus yang menghubungkan kedua titk tersebut. Nilai Sinuosity Ratio ≈ 1 menunjukan bahwa alur sungai tersebut lurus. Nilai Sinuosity Ratio antara 1-1.5 menunjukan bahwa bentuk alur sungai tersebut sinuous. Serta nilai Sinuosity Ratio > 1.5 menunjukan bahwa bentuk alur sungai tersebut meander. Ilustrasi mengenai perhitungan Sinousity ratio dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Perhitungan Sinuosity Ratio

Pendugaan Erosi dan Longsor Tebing Sungai

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian dari tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan ayau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air atau angin. Erosi tebing sungai terjadi sebagai akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air yang kuat pada kelokan sungai. Erosi tebing akan lebih hebat terjadi jika vegetasi penutup tebing telah habis atau jika dilakukan pengolahan tanah terlalu dekat tebing (Arsyad, 2000).

Longsor (landslide) adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Pada longsor pengangkutan tanah itu terjadi sekaligus. Longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan tersebut yang terdiri dari liat atau mengandung kadar liat tinggi yang setelah jenuh air barlaku sebagai peluncur (Arsyad, 2000).

Tujuan utama dari pendugaan erosi adalah untuk meramalkan besar erosi yang telah, sedang dan/atau akan terjadi pada suatu lahan dengan atau tanpa pengelolaan tertentu dan memilih praktek penggunaan lahan dalam arti luas yang mempunyai produktifitas tinggi dan berkelanjutan. Selain itu, sempadan yang longsor akan mengurangi ketersedian kawasan alami yang berakibat terhadap penurunan kualitas lingkungan alami.

KONDISI UMUM KOTA BOGOR

Letak Geografis Kota Bogor

Kota Bogor terletak di antara koordinat 106o43’30” BT - 106o51’00” BT dan 6o30’30” LS - 6o41’00” LS dengan jarak dari ibu kota kurang lebih 60 km. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 11.850 Ha dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh di bawah permukaan dataran, yaitu : Ci (Sungai) Liwung, Ci Sadane, Ci Pakancilan, Ci Depit, Ci Parigi dan Ci Balok. Batas-batas wilayah kota meliputi :

Sebelah Utara : Kecamatan Kemang, Bojong Gede dan Sukaraja, Sebelah Timur : Kecamatan Sukaraja dan Ciawi

Sebelah Selatan : Kecamatan Cijeruk dan Caringin, Sebelah Barat : Kecamatan Darmaga dan Ciomas.

Sejarah Kota Bogor

Kota Bogor merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang telah berdiri pada abad XV (tahun 1579) sebelum masuknya VOC. Dahulu merupakan pusat Kerajaan Padjajaran, namun setelah penyerangan pasukan Banten kota ini menjadi hancur lebur dan hampir hilang ditelan sejarah selama satu abad. Pada saat VOC menguasai Banten dan sekitarnya, wilayah Bogor berada di dalam pengawasan VOC. Dalam rangka membangun wilayah kekuasaannya Pemerintah Belanda melakukan ekspedisi dan dari hasil ekspedisi tersebut ternyata tidak ditemukan reruntuhan bekas Ibukota Pajajaran (Scipio-1687) kecuali di daerah Cikeas, Citereup, Kedung Halang dan Parung Angsana.

Selanjutanya Parung Angsana diberi nama Kampung Baru dan dari sinilah cikal bakal Bogor dibangun (Tanuwijaya 1689-1705). Di kampung baru inilah didirikan tempat peristirahatan yang sekarang dikenal dengan Istana Bogor oleh G. J. Baron Van Imhoff (1740) dan tahun 1745 Bogor ditetapkan sebagai Kota Buitenzorg. Selanjutnya di sekitar tempat peristirahatan tersebut dibangunlah Pasar Bogor (1808) dan Kebun Raya (1817). Tahun 1904 Buitenzorg resmi menjadi pusat kedudukan dan kediaman Gubernur Jenderal dengan wilayah seluas 1.205 Ha, terdiri dari 2 kecamatan dan 7 desa.

Keadaan Fisik Kota Bogor Topografi

Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 190 sampai dengan 350 m di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 % (datar) seluas 1.763,94 Ha, 2-15 % (landai) seluas 8.091,27 Ha, 15-25 % (agak curam) seluas 1.109,89 Ha, 25-40 % (curam) seluas 764,96 Ha dan > 40 % (sangat curam) seluas 119,94 Ha. Kemiringan lereng berdasarkan wilayah kecamatan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan

Kecamatan

Kemiringan Lereng (Ha)

Jumlah (Ha) 0-2 % 2-15 % 15-25 % 25-40 % > 40 %

Datar Landai Agak

Curam Curam Sangat Curam Bogor Utara 137,85 1.565,65 - 68,00 0,50 1.772,00 Bogor Timur 182,30 722,70 56,00 44,00 10,00 1.015,00 Bogor Selatan 169,10 1.418,40 1.053,89 350,37 89,24 3.081,00 Bogor Tengah 125,44 560,47 - 117,54 9,55 813,00 Bogor Barat 618,40 2.502,14 - 153,81 10,65 3.285,00 Tanah Sareal 503,85 1.321,91 - 31,24 - 1.884,00 Jumlah (Ha) 1.763,94 8.091,27 1.109,89 764,96 119,94 11.850,00 Sumber : Masterplan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor (2007)

Geologi dan Tanah

Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan Vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpbb) dan Gunung Salak (berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal). Struktur batuan yang ada di wilayah Bogor lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari daerah aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil, hasil dari pelapukan endapan, hal ini baik untuk vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis Aliran Andesit seluas 2.719,61 Ha, Kipas Alluvial seluas 3.249,96 Ha, Endapan 1.372,68 Ha, Taufan 3.395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan (Masterplan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor Tahun Anggaran 2007).

Hidrologi

Wilayah Kota Bogor dialiri oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, dengan tujuh anak sungai. Secara keseluruhan anak-anak sungai yang ada membentuk pola aliran parallel-subparalel sehingga mempercepat waktu mencapai debit puncak (time to peak) pada Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane sebagai sungai utamanya.

Pada umumnya aliran sungai tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Bogor serta sumber air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum. Selain beberapa aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Bogor, terdapat juga beberapa mata air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Kemunculan mata air tersebut umumnya terjadi karena pemotongan bentuk lahan atau topografi, sehingga secara otomatis aliran air tersebut terpotong. Kondisi tersebut bias dilihat diantaranya di tebing Jalan Tol Jagorawi, pinggiran Sungai Ciliwung di Kampung Lebak Kantin, Babakan Sirna dan Bantar Jati dengan besaran debit bervariasi (Masterplan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor Tahun Anggaran 2007).

Iklim dan Kenyamanan

Kota Bogor beriklim sejuk, menurut Koppen termasuk iklim Af (tropika basah). Jumlah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar dengan curah hujan minimum terjadi pada Bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi Bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 260 C, temperature tertinggi sekitar 30,40 C dengan kelembaban udara rata-rata kurang lebih 70%. Kecepatan angin rata-rata pertahun adalah 2 km/jam dengan arah Timur Laut (Pengamatan Taman dan Pembuatan Rancangan Penataan Taman se-Kota Bogor Tahun Anggaran 2005).

Keanekaraman Jenis Vegetasi

Kota Bogor memilki jenis pohon yang beraneka ragam. Pohon-pohon yang sering ditemui di Kota Bogor adalah Mahoni (Swietenia mahogany L.), Kenari (Canarium amboinense Hock.), Angsana (Pterocarpus indicus willd.), Daun Kupu-kupu (Bauhunia purpuarea L.), Flamboyan (Delonix regia Raf.), Kidamar

(Agathis alba Foxw.), Kirai Payung (Filicium depiciens) dan Bungur (Langerstroemia speciosa) (Badan Perencanaan Daerah, Kota Bogor Tahun 2004).

Kondisi Sosial Budaya Kota Bogor

Meskipun Kota Bogor merupakan kota tua, namun tidak demikian dengan masyarakatnya. Sebagian besar penduduk Kota Bogor adalah pendatang dan tinggal secara turun temurun di kota ini, disamping para pendatang yang belum terlalu lama tinggal di Kota Bogor. Para pendatang yang dimaksud datang dari berbagai daerah baik dari lingkungan wilayah Jawa Barat, khususnya dari hinterland Kota Bogor melalui proses perpindahan penduduk yang sangat panjang maupun daerah lainnya, sehingga masyarakat Kota Bogor menjadi masyarakat yang heterogen, namun mempunyai kekerabatan sosial yang masih tinggi. Hal ini karena masih banyak dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Sunda-Bogor, diantaranya semangat silih asah, silih asih dan silih asuh yang diakhiri dengan silih wangi. Artinya kebiasaan untuk saling mengkritisi secara terbuka (heuras genggoreng) namun tetap santun (niat yang baik, asih) adalah pola laku harian masyarakat Bogor dan budaya saling hormat dan menghargai pendapat orang lain serta mengayomi yang muda atupun papa (silih asuh) (Pengamatan Taman dan Pembuatan Rancangan Penataan Taman se-Kota Bogor Tahun Anggaran 2005).

Kependudukan Kota Bogor

Berdasarkan hasil pendataan penduduk akhir tahun 2008 menunjukan jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 942.204 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 476.476 jiwa dan perempuan sebanyak 465.728 jiwa dengan kenaikan sebesar 37.072 jiwa dibanding tahun sebelumnya atau naik sekitar 4,1 %. Kenaikan tersebut akibat faktor penarik Kota Bogor sendiri mengingat semakin banyaknya fasilitas sosial yang mudah diperoleh selain itu Kota Bogor merupakan kota penyangga ibukota negara, sehingga menarik para pendatang untuk tinggal dan menanamkan usahanya di Kota Bogor.

Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 205.123 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Bogor Timur sebanyak 94.329 jiwa. Sedangkan untuk tingkat kepadatan, Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan terpadat, yaitu 13.770,23 jiwa/km2. Hal ini disebabkan karena pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi banyak terdapat di Kecamatan Bogor Tengah. Jumlah penduduk, luas wilayah dan tingkat kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Kota Bogor Tahun 2008 Kecamatan Jumlah Penduduk Luas Wilayah (km2) Kepadatan Penduduk /km2 Laki-laki Perempuan Laki-laki +

Perempuan Bogor Selatan 91.850 87.644 179.494 30,81 5.825,84 Bogor Timur 47.185 47.144 94.329 10,15 9.293,50 Bogor Utara 83.485 82.760 166.245 17,72 9.381,77 Bogor Tengah 56.450 55.502 111.952 8,13 13.770,23 Bogor Barat 103.874 101.249 205.123 32,85 6.244,23 Tanah Sareal 93.632 91.429 185.061 18,84 9.822,77 Jumlah 476.476 465.728 942.204 118,5 7.951,09

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bogor (Kota Bogor dalam Angka 2009)

Penggunaan Lahan

Berdasarkan data persentase luasan penggunaan lahan tahun 2005, pola penggunaan lahan identik dengan struktur penggunaan lahan dimana wilayah Kota Bogor memiliki luas 11.850 Ha dan luas wilayah tersebut terdistribusi kedalam lahan perumahan seluas 1.172 Ha atau 9,89 % dan permukiman seluas 3.405 Ha atau 28,73 %, pada umumnya wilayah perumahan dan permukiman ini

Dokumen terkait