• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Perjanjian berasal dari kata dasar janji. Janji merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tetentu, atau akan melakukan perbuatan tertentu. Orang akan terikat oleh janjinya sendiri yakni janji yang diberikan oleh dirinya sendiri terhadap orang lain atau pihak lain dalam perjanjian. Janji itu bersifat mengikat dan janji itu menimbulkan hutang dan harus dipenuhi.

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Namun, pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana apabila seseorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua pihak atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu ataupun tidak untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, perjanjian merupakan suatu peristiwa konkret yang dapat diamati. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung kesepakatan/ persetujuan para pihak yang membuatnya baik secara lisan maupun dalam bentuk tertulis. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara para pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Sedangkan pengertian dari perikatan

xx

adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan. Perikatan merupakan suatu pengertian yang tidak konkret tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan merupakan akibat dari adanya suatu perjanjian yang menyebabkan orang-orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang telah disepakati. Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua kesepakatan yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu merupakan sesuatu hal yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. (Retno Prabandari, 2007:22-40)

Perjanjian dikatakan sah apa bila perjanjia tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan sebagai akibatnya, perjanjian tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang, haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sah perjanjian

xxi

diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :

1) Kesepakatan

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan. (Ahmadi Miru, 2008:14)

2) Kecakapan

Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah (walaupun usianya belum mencapai 21 tahun). (Ahmadi Miru, 2011:68)

3) Suatu Hal Tertentu

Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang tertentu. (Ahmadi Miru, 2011:68)

xxii 4) Suatu Sebab Yang halal

Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. (Ahmadi Miru, 2011:69)

Dua syarat pertama di atas disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif (Wita Sumarjono 2010:36). Jika unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) tidak terpenuhi maka kontrak tersebut dapat dibatalkan dan apa bila unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Dalam suatu perjanjian dikenal beberapa unsur-unsur, yaitu sebagai berikut :

a) Unsur Esensialia

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008:85)

b) Unsur Naturalia

Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. (Ahmadi Miru, 2008:31)

xxiii c) Unsur Aksidentalia

Unsur ini merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendaknya yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008:85)

1.5.2. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Artinya di sini ada dua pihak yang terlibat, yaitu:

1. Pekerja/buruh; dan 2. Pengusaha/pemberi kerja.

Dalam perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak harus memenuhi suatu syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebutkan bahwa ada 4 syarat dalam hal syahnya perjanjian diantaranya.

1. Kesepakatan antara kedua belah pihak 2. Kecakapan untuk melakukan perjanjian 3. Suatu hal tertentu

4. Klausa yang halal atau sebab yang halal

Ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan dan kecakapan dalam membuat suatu perjanjian disebut sebagai syarat subyektif, karena mengenal subyek para pihak dalam perjanjian. Sedangkan adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang

xxiv

halal dalam membuat perjanjian disebut syarat obyektif, karena mengenai perjanjian sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Sebagai suatu perjanjian maka para pihak yang melakukan perjanjian haruslah memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Namun dalam hal perjanjian kerja antara klub Pelita Bandung Raya dengan pelatih yang sering terjadi kendala-kendala.

Di samping itu, syarat-syarat lainnya yaitu perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.

Kalau tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka kedua syarat pertama di atas (syarat subyektif), maka perjanjian kerja tersebut dapat dimintakan pembatalan(vernietigbaar). Artinya, perjanjian tetap berlangsung selama para pihak atau pihak ketiga yang terkait dengan perjanjian belum memintakan pembatalan dan diputuskan batal. 4

Jika tidak memenuhi kedua syarat terakhir tersebut (syarat obyektif), maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigheid van rechtswege). Artinya, perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Materai tidak masuk syarat sah perjanjian kerja. Adanya meterai bukan merupakan syarat sahnya atau dasar-dasar perjanjian kerja. Artinya, perjanjian kerja sah secara hukum jika memenuhi empat syarat di atas. Fungsi meterai yaitu:

1. Untuk memperkuat perjanjian kerja bagi para pihak;

2. Agar menjadi alat bukti yang sah di pengadilan jika para pihak bersengketa di depan pengadilan.

Isi Perjanjian Kerja sebagai berikut :

1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 3. Jabatan atau jenis pekerjaan;

4. Tempat pekerjaan;

5. besarnya upah dan cara pembayarannya;

xxv

6. syarat-syarat kerja (memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak);

7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; 8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan 9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. 5

Perjanjian kerja mesti dibuat sekurang-kurangnya dua rangkap masing-masing untuk pekerja/buruh dan pengusaha.

Macam-macam perjanjian kerja

Berdasarkan waktunya, perjanjian kerja dibagi menjadi: 1. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT);

2. Pekerjaan waktu tidak tertentu (PKWTT).

Sedangkan berdasarkan bentuknya, perjanjian kerja dibagi menjadi: 1. Tertulis;

2. Lisan

Perbedaan antara PKWT dengan PKWTT?

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu;

2. Dibuat secara tertulis;

3. Dalam bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan bahasa Indonesia sebagai yang utama; 4. Tidak ada masa percobaan kerja (probation)

5Indrareni Gandadinata, 2007, Wanprestasi dan Penyelesaiannya Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada PT. Bank Internasional Indonesia Kantor Cabang Purwokerto. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 55-57.

xxvi

Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Biasanya orang awam menyebut orang yang bekerja berdasarkan PKWT dengan karyawan kontrak, sedangkan orang yang bekerja berdasarkan PKWTT dengan karyawan tetap.

1. Akibat hukum jika PKWT dibuat secara lisan:

Akibat hukumnya adalah perjanjian kerja tersebut menjadi PKWTT. Kalau dalam PKWT mensyaratkan adanya masa probation, apa akibat hukumnya? Perjanjian kerja tersebut batal demi hukum (nietig). Jika ada perbedaan penafsiran dari PKWT yang dibuat dalam Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, Yang dipakai dan yang berlaku adalah PKWT berbahasa Indonesia. Bagaimana jika ada PKWT yang hanya berbahasa asing atau tidak menggunakan huruf latin 2. Akibat hukumnya PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan

kerja yang dapat dikategorikan sebagai PKWT

a. Pekerjaan yang selesai sekali atau sementara sifatnya;

b. Penyelesaian pekerjaan paling lama tiga tahun;

c. Pekerjaan musiman;

d. Pekerjaan yang terkait dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Lama PKWT diadakan dalam Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu dapat diadakan paling lama dua tahun. Perpanjangannya BPKWT dapat diadakan hanya satu kali dan paling lama satu tahun. Untuk itu, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian berakhir, pengusaha telah memberitahukan maksud perpanjangan tersebut secara tertulis kepada pekerja/buruh. Dapat.

xxvii

Pembaharuan boleh dilakukan hanya satu kali dan paling lama dua tahun. Pembaharuan ini dapat diadakan setelah lebih dari 30 hari sejak berakhirnya PKWT . Misalnya, bagi PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu, apabila pekerjaan belum dapat diselesaikan maka dapat diadakan pembaharuan.

PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, maka PKWT berubah menjadi PKWTT apabila pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain. Sedangkan PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru tidak dapat diadakan pembaharuan.

1. Waktu paling lama untuk PKWT Waktu terlama PKWT:

= waktu pengadaan terlama + waktu perpanjangan terlama + waktu pembaharuan

= 2 tahun + 1 tahun + 2 tahun = 5 tahun

Akibat hukumnya jika tidak memenuhi ketentuan mengenai waktu tersebut, katakanlah waktu pembaruan PKWT tiga tahun?

Akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut menjadi PKWTT, lama masa probation selama 3 bulan pengusaha membayar upah pekerja/buruh di bawah upah minimum yang berlaku pada masa probation ini tidak boleh secara hukum.

a) Bilamanakah perjanjian kerja berakhir

1) Pekerja meninggal dunia;

xxviii

3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

b) Dasar Hukum Pengguna Tenaga Kerja Asing di Indonesia

Undang-Undang No. 13 / 2003 Tentang Ketenagakerjaan Bab IX Hubungan Kerja

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.

(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak;

b) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.

(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

xxix Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :

a) nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;

b) nama, jenis kelamin, umum dan alamat pekerja/buruh; c) jabatan atau jenis pekerjaan

d) tempat pekerjaan

e) besarnya upah dan cara pembayarannya;

f) syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh

g) mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h) tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i) tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas;

a) jangka waktu; atau

b) selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

xxx

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudahan terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2) Dalam hal diisyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang diisyaratkan batal demi hukum.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu

yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c) pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat

xxxi

(4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.

(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila : a) pekerja meninggal dunia;

b) berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

d) adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh

(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

xxxii Pasal 63

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan :

a) nama dan alamat pekerja/buruh; b) tanggal mulai bekerja;

c) jenis pekerjaan; dan d) besarnya upah. Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

d) tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

xxxiii

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerj/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

b) Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan

Dokumen terkait