• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan pelayanan obat tanpa resep (Anief, 2000). Apotek juga memiliki tugas dan fungsi yaitu sebagai tempat praktik pekerjaan kefarmasian oleh apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat, serta sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata. Pengelolaan apotek saat ini di bidang pelayanan kefarmasian meliputi:

1. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran, penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.

2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan, perbekalan kesehatan di bidang farmasi lainnya.

3. Informasi mengenai perbekalan kesehatan di bidang farmasi meliputi:

a. Pengelolaan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan,

bahaya, dan/atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya (Syamsuni, 2006).

2.2 Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Menkes RI, 2014). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 terkait pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat pelayanan kefarmasian seperti apotek, rumah sakit dll, seorang apoteker dapat :

a. Memiliki seorang Apoteker Pendamping untuk menggantikan tugas Apoteker Pengelola yang telah di lengkapi dengan SIPA.

b. Melakukan penggantian obat bermerk dagang dengan obat generik dimana zat aktif yang terkandung dalam kedua obat tersebut adalah sama dan meminta persetujuan kepada pasien/ dan dokter; dan

c. Melakukan penyerahan obat keras, obat psikotropika dan obat narkotika kepada pasien atas resep dokter berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan Kepmenkes Nomor: 1027/Menkes/SK/IX/2004 standar kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan pelayanan kefarmasian, diantaranya :

1. Dapat memberi serta menyediakan pelayanan yang baik

Apoteker berkedudukan sebagai pengelola apotek diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang profesional. Saat melakukan pelayanan kepada pasien, apoteker sebaiknya mampu untuk mengintegrasikan pelayanan yang diberikan pada sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Dengan hal tersebut, diharapkan dapat dihasilkan suatu sistem pelayanan kesehatan berkesinambungan.

2. Memiliki kemampuan dalam menentukan keputusan yang profesional sebagai apoteker, diharapkan untuk berkompeten dalam bidangnya dan terus mau untuk belajar sesuai profesinya, sehingga apoteker tersebut dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat sesuai dengan efikasi, efektivitas dan efisiensi terkait pengobatan maupun perbekalan kesehatan lain.

3. Dapat melakukan komunikasi yang baik

Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki apoteker adalah mampu untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pasien ataupun profesi kesehatan lainnya sehingga diharapkan pengobatan yang dilakukan tepat dan tujuan pengobatan dapat tercapai.

4. Mampu menjadi pemimpin

Apoteker diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau group. Apoteker harus mampu untuk mengambil suatu keputusan yang efektif dan tepat, dapat menyebarkan informasi tersebut dan dapat melakukan pengelolaan terhadap suatu hasil keputusan.

5. Apoteker diharapkan bisa dan memiliki kemampuan dalam mengatur dan mengelola sumber daya yang ada.

6. Belajar sepanjang masa

Pengobatan akan selalu berkembang seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan apoteker akan selalu belajar untuk mengikuti perkembangan tersebut, sehingga keilmuan yang dimiliki selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengobatan.

7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2.3 Persepsi

Persepsi adalah suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus-menerus dan dipengaruhi oleh sumber-sumber informasi yang baru dari lingkungan sekitarnya. Apabila informasi yang diperoleh semakin banyak, maka akan muncul berbagai jenis persepsi dari seorang tersebut (Mar’at, 1991).

Menurut Bimo (2014) dalam Niti (2013), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut dengan proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi.

Menurut Engel (1995) dalam Trimurthy (2008), persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi sensorisnya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.

Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Proses Persepsi

Proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur dalam memahami objek melalui penginderaan, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu tidak sama, maka dalam mempersepsikan suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain sehingga persepsi itu dapat dikatakan bersifat individual (Mar’at, 1991). Ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu:

a. Diri orang yang bersangkutan

Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interprestasi tentang suatu objek, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, bakat, minat, pengalaman masa lalu, dan cara berpikir tiap-tiap orang yang menginterpretasi objek (Siagian, 1995).

Keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi juga datang dari segi kejasmanian. Jika sistem fisiologisnya terganggu, hal tersebut akan berpengaruh pada hasil persepsi seseorang (Walgito, 2003).

b. Sasaran atau objek yang dipersepsi

Sasaran persepsi tersebut bisa berupa orang, benda, ataupun peristiwa. Jika suatu objek peristiwa akan dipersepsikan maka objek harus memiliki kekuatan untuk menimbulkan kesadaran, sehingga dapat dipersepsi oleh

individu (Siagian, 1995). Peristiwa yang kurang jelas akan berpengaruh dalam ketepatan persepsi. Jika objek berupa benda, ketepatan persepsi lebih terletak pada individu karena benda tidak ada usaha untuk mempengaruhi persepsi (Walgito, 2003).

c. Faktor situasi

Persepsi dilihat secara kontekstual yang dalam situasi mana persepsi itu timbul, perlu pula mendapat perhatian (Siagian, 1995). Situasi merupakan faktor yang turut berpesan dalam penumbuhan persepsi seseorang. Objek yang sama dengan situasi yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda (Walgito, 2003).

2.4 Konseling

a. Pengertian Konseling

Konseling adalah proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/

keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien (Menkes RI, 2014). Menurut Kepmenkes Nomor: 1027/ Menkes/SK/IX/2004 apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

b. Tujuan konseling

Tujuan dilaksanakannya konseling, yaitu : 1. Meningkatkan keberhasilan terapi

2. Memaksimalkan efek terapi

3. Meminimalkan resiko efek samping 4. Meningkatkan cost effectiveness

5. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi Tujuan khusus :

1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien 2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien

3. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan penyakitnya 4. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan

5. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem

6. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam hal terapi

7. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan

8. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien (Abdul, 2006).

Prinsip dasar konseling adalah menjalin hubungan atau korelasi antara pasien dengan apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela. Pendekatan apoteker dalam memberikan konseling kepada pasien mengalami perubahan dari “Medical Model” menjadi pendekatan “Helping Model”.

Tabel 2.1 Hal-hal yang perlu diperhatikan Apoteker (Abdul, 2006) Medical Model Helping Model 1. Pasien pasif

2. Kepercayaan didasarkan

karena profesi sebagai apoteker 3. Mengidentifikasi masalah dan

penetapan solusi oleh apoteker 4. Pasien bergantung pada

Apoteker

5. Hubungan seperti ayah-anak sehingga pasien bergantung pada apoteker

1. Pasien terlibat secara aktif 2. Kepercayaan didasarkan dari

hubungan yang terjalin antara apoteker dengan pasien 3. Menggali semua masalah dan

memilih cara pemecahan masalah 4. Pasien mengembangkan rasa percaya

dirinya untuk memecahkan masalahnya

5. Hubungan setara (seperti teman)

c. Aspek konseling yang harus disampaikan kepada pasien:

1. Deskripsi dan kekuatan obat

Apoteker harus memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk sedian dan cara pemakaiannya, nama dan zat aktif yang terkandung didalamnya serta kekuatan obat (mg/g).

2. Jadwal dan cara penggunaan

Penekanan dilakukan untuk obat dengan intruksi khusus seperti “ minum obat sebelum makan”,” jangan diminum bersama susu” dan lainnya sebagainya. Kepatuhan pasien tergantung pada pemahaman dan perilaku sosial ekonominya.

3. Mekanisme kerja obat

Apoteker harus mengetahui indikasi obat, penyakit/gejala yang sedang diobati sehingga apoteker dapat memilih mekanisme mana yang harus

dijelaskan, ini disebabkan karena banyak obat yang multi-indikasi.

Penjelasan harus sederhana dan ringkas agar mudah dipahami oleh pasien.

4. Dampak gaya hidup

Banyak regimen obat yang memaksa pasien untuk mengubah gaya hidup.

Apoteker harus dapat menanamkan kepercayaan pada pasien mengenai manfaat perubahan gaya hidup untuk meningkatkan kepatuhan pasien.

5. Penyimpanan

Pasien harus diberitahukan tentang cara penyimpanan obat terutama obat-obat yang harus disimpan pada temperatur kamar, adanya cahaya dan lain sebagainya. Tempat penyimpanan sebaiknya jauh dari jangkauan anak-anak.

6. Efek potensial yang tidak diinginkan

Apoteker sebaiknya menjelaskan mekanisme atau alasan terjadinya toksisitas secara sederhana. Penekanan penjelasan dilakukan terutama untuk obat yang menyebabkan perubahan warna urin, yang menyebabkan kekeringan mukosa mulut, dan lain sebagainya. Pasien juga diberitahukan tentang tanda gejala keracunan (Abdul, 2006).

d. Sasaran pasien yang diberikan konseling

Konseling dapat diberikan langsung kepada pasien atau melalui perantara yaitu keluarga pasien, pendamping pasien, perawat pasien atau yang bertanggungjawab dalam perawatan pasien. Pemberiaan konseling melalui perantara dilakukan jika pasien tidak dapat mengenali obat dan terapi seperti pasien pediatrik dan pasien geriatrik (Abdul, 2006).

1. Konseling Pasien Rawat Jalan

Pemberian konseling untuk pasien rawat jalan dapat diberikan pada saat pasien mengambil obat di apotik, puskesmas dan disarana kesehatan lain.

Pemilihan tempat konseling tergantung dari kebutuhan dan tingkat kerahasian/kerumitan akan hal-hal yang perlu dikonselingkan kepada pasien.

Konseling pasien rawat jalan diutamakan pada pasien yaitu:

a. Menjalanin terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka panjang.

(Diabetes, TBC, epilepsi, HIV/AIDS, dll)

b. Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan cara pemakaian yang khusus, misalnya: supossitoria, enema, inhaler, injeksi insulin, dll.

c. Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yang khusus, misalnya:

insulin dll.

d. Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit, misalnya:

pemakaian kortikosteroid dengan tappering down/off.

e. Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah, misalnya: geriatrik, pediatrik.

f. Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, phenytoin, dll) g. Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak

(polifarmasi).

2 . Konseling Pasien Rawat Inap

Konseling pada pasien rawat inap, diberikan pada saat pasien akan melanjutkan terapi dirumah. Pemberian konseling harus lengkap seperti pemberiaan konseling pada rawat jalan. Selain pemberiaan konseling pada saat

akan pulang, konseling pada pasien rawat ini juga diberikan pada kondisi sebagai berikut:

a. Pasien dengan tingkat kepatuhan dalam minum obat rendah

b. Adanya perubahan terapi yang berupa penambahan terapi, perubahan regimen terapi, maupun perubahan rute pemberian (Abdul, 2006).

e. Hambatan dalam konseling

Apoteker perlu menyadari bahwa konseling pasien adalah layanan apotek, tetapi ternyata masih banyak apoteker yang masih menemui kesulitan untuk terlibat dalam konseling pasien. Apoteker sepertinya menghadapi begitu banyak tantangan untuk menjadikan konseling pasien sebagai bagian dari aktivitas rutinnya dan untuk menerapkan layanan-layanan apotek. Tantangan utama yang harus dihadapi apoteker dalam memberikan layanan konseling pada pasien meliputi: tantangan yang melekat pada sistem, lingkungan tempat praktik apoteker, tantangan yang ditimbulkan oleh apoteker sendiri dan oleh pasien, serta tantangan yang muncul dari perubahan.

1. Tantangan sistem: kurangnya waktu dan staf pendukung, kurangnya biaya insentif, kurang atau tidak adanya ukuran kualitas dan proses, kurang atau tidak ada budaya perbaikan kualitas dan pertanggungjawaban atas hasil yang didapat pasien, kurang atau tidak ada perubahan kebijakan.

2. Lingkungan praktik: tidak ada privasi dalam melakukan konseling, apoteker tidak dapat ditemui, kurangnya suasana yang kondusif untuk konseling.

3. Tantangan pasien: persepsi pasien yang buruk terhadap apoteker, pasien tidak mengerti pentingnya konseling dan tersedianya konseling, kesulitan memahami, kurang atau tidak ada waktu dan pilihan pasien.

4. Tantangan apoteker: kurangnya pengetahuan tentang obat, kurang percaya diri, kurang atau tidak memiliki keterampilan konseling dan keterampilan antarpersonal, kesibukan dan manajemen waktu yang buruk, keterampilan bisnis, kurang atau tidak ada sumber daya, persepsi mengenai pentingnya pasien mendapat informasi.

5. Tantangan perubahan: reorientasi praktik secara global, perubahan internal dan eksternal yang diperlukan, perubahan struktur, perubahan prosedur, orientasi peran, perubahan budaya berorganisasi (Rantucci, 2009).

f. Tahapan Konseling

Sesi konseling harus berlangsung dengan cara yang logis. Pasien terbukti lebih mudah memahami dan mengingat informasi yang diberikan bila informasi tersebut dikelompokkan dalam tahapan-tahapan (Rantucci, 2009). Sesi konseling dapat dibagi menjadi 6 tahapan:

1. Diskusi pembukaan

Pembukaan konseling yang baik antara apoteker dan pasien dapat menciptakan hubungan baik, sehingga pasien akan merasa percaya untuk memberikan informasi kepada apoteker. Apoteker harus memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum memulai konseling. Selain itu, apoteker harus menjelaskan kepada pasien tentang tujuan konseling serta memberitahukan pasien berapa lama sesi konseling itu akan berlangsung.

2. Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi masalah tentang masalah yang potensial terjadi saat pengobatan.

3. Diskusi untuk mencegah dan memecahkan masalah, sebaiknya pasien dilibatkan untuk mempelajari keadaan yang menimbulkan masalah potensial dalam pengobatan, sehingga masalah dapat diminimalisasi.

4. Memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh yang bertujuan juga untuk mengoreksi kesalahan penerimaan informasi.

5. Menutup diskusi, sebelum ditutup sebaiknya apoteker bertanya kepada pasien hal-hal yang masih ingin ditanyakan, mengulang pertanyaan dan mempertegasnya

6. Follow up diskusi bertujuan untuk memantau keberhasilan terapi, sehingga diperlukan dokumentasi kegiatan konseling agar perkembangan pasien dapat dipantau (Abdul, 2006).

BAB III

Dokumen terkait