• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK TERHADAP KONSELING DAN PELAKSANAANNYA DI BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK TERHADAP KONSELING DAN PELAKSANAANNYA DI BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN SKRIPSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK TERHADAP KONSELING DAN PELAKSANAANNYA DI

BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

OLEH:

AGNES MELVA LEONORE NIM 141524009

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK TERHADAP KONSELING DAN PELAKSANAANNYA DI

BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGNES MELVA LEONORE NIM 141524009

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK TERHADAP KONSELING DAN PELAKSANAANNYA DI

BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN OLEH:

AGNES MELVA LEONORE NIM 141524009

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 22 Agustus 2016

Medan, September 2016 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Masfria, M.S., Apt.

NIP 195707231986012001 Pembimbing I,

Dr. Wiryanto, M.S., Apt.

NIP 195110251980021001

Panitia Penguji,

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt.

NIP 195111021977102001

Pembimbing II,

Khairunnisa, S.Si. M.Pharm., Ph.D., Apt.

NIP 197802152008122001

Dr. Wiryanto, M.S., Apt.

NIP 195110251980021001

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, S.Si., M.Si., Apt.

NIP 197506102005012003

Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt.

NIP 197803142005011002

(4)

KATA PENGATAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Bapa Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas karuniaNya penulis diberi kekuatan dan kesehatan hingga sampai saat ini sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul

“Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap Konseling dan Pelaksanaannya di Beberapa Apotek di kota Medan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Dr.

Wiryanto, M.S., Apt., dan Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, S.Si., M.Si., Apt., dan Bapak Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Ibu Prof. Dr. Rosidah M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik selama perkuliahan.

(5)

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, Ayahanda Drs. Matdin Sianturi dan Ibunda Dewi Rita Tampubolon S.Pd., yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi berserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Kakak ku tercinta Vivi Yanita Elizabeth, S.Farm, Apt., Nenny Chrismerry, Amd., Rotua Artha Uli, Amd., atas limpahan kasih sayang, semangat dan doa yang tak ternilai dengan apapun serta abang ku Frans Herbert Christopel, S.Pd., adik ku Poppy Rosaline, Amd., dan seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat Chinty Indria, Henny Lestari, Venny Sitompul, Ervina Septa, Agnesty Trisna, serta teman-teman Ekstensi Farmasi USU angkatan 2014 yang selalu mendoakan dan memberikan semangat.

Penulis menyadari atas keterbatasan dan kemampuan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kebaikan mereka dibalas oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.

Medan, Agustus 2016 Penulis

Agnes Melva Leonore NIM 141524009

(6)

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Agnes Melva Leonore

Nomor Induk Mahasiswa : 141524009

Program Studi : S-1 Farmasi Ekstensi

Judul Skripsi : Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap Konseling dan Pelaksanaannya di Beberapa Apotek di kota Medan

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain, dan bukan plagiat karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena didalam skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.

Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.

Medan, Agustus 2016 Yang membuat pernyataan,

Agnes Melva Leonore NIM 141524009

(7)

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK TERHADAP KONSELING DAN PELAKSANAANNYA DI BEBERAPA APOTEK DI

KOTA MEDAN ABSTRAK

Konseling merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian di apotek yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Persepsi merupakan suatu pemahaman apoteker terhadap konseling. Persepsi yang baik akan mendorong apoteker untuk melaksanakan konseling. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling dan pelaksanaannya di beberapa apotek di kota Medan.

Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada 62 Apoteker Penanggungjawab Apotek dari bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2016.

Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek dianalisis secara deskriptif menggunakan skala likert, kemudian ditampilkan dalam jumlah dan persentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 62 Apoteker Penanggungjawab Apotek yang terlibat dalam penelitian ini sebesar 94% memiliki persepsi baik dan persepsi cukup sebesar 6%. Paling banyak responden yang tidak menyelenggarakan konseling yaitu 74,19%, dan yang telah menyelenggarakan konseling kepada pasien sebesar 25,81%. Responden yang telah menyelenggarakan konseling, diantaranya yang melaksanakan konseling kepada semua pasien sebesar 56,25%, menyediakan waktu khusus dan terjadwal untuk konseling sebesar 81,25%, melaksanakan konseling lebih dari 5-10 menit sebesar 62,50%, menyediakan ruang khusus untuk konseling sebesar 25%, melakukan pendokumentasian ketika melakukan konseling sebesar 25%, menyampaikan cara pakai obat sebesar 100%, menggunakan alat bantu dalam melaksanakan konseling sebesar 25%, dan yang melaksanakan konseling dengan menggunakan sumber informasi obat 93,75%. Dapat disimpulkan tingkat persepsi tergolong baik dan pelaksanaan konseling masih belum dilaksanakan oleh seluruh Apoteker Penanggungjawab Apotek.

Kata kunci: Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek, pelaksanan konseling, apotek kota Medan

(8)

PERCEPTION OF PHARMACIES RESPONSIBLE PHARMACIST COUNSELING AND ITS IMPLEMENTATION IN SOME OF

PHARMACIES IN MEDAN ABSTRACT

Counseling is part of the pharmacy service in pharmacy which aims to improve the quality of life of patients. Perception is an understanding of the pharmacist to counseling. Good perception will encourage pharmacists to undertake counseling. The purpose of this study to determine the perception of Responsible Pharmacist Pharmacy to counseling and implementation in some pharmacies in the city of Medan.

Data collected through questionnaires to 62 Responsible Pharmacist Pharmacy from February to March 2016. The perception of Responsible Pharmacist Pharmacy analyzed descriptively using a Likert scale, then displayed in numbers and percentages.

The results showed that of the 62 Responsible Pharmacist Pharmacy involved in this study 94% had a good perception and perception is quite at 6%.

Most respondents did not organize counseling that is 74.19%, and which has organized counseling to patients at 25.81%. Respondents who has organized counseling, including conducting counseling to all patients 56.25%, providing a special time and scheduled for counseling by 81.25%, carry out counseling more than 5-10 minutes for 62.50%, provides a dedicated space for counseling by 25%, do documentation when counseled by 25%, delivering a way to use the drug by 100%, using the tools in conducting counseling by 25%, and conducting counseling using the drug information sources 93.75%. It can be concluded relatively good levels of perception and implementation of counseling still not been implemented by all the Responsible Pharmacist Pharmacy.

Keywords: Perception Responsible Pharmacist Pharmacy, conduct counseling, pharmacy Medan

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

KATA PENGATAR iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Kerangka Pikir 3

1.3 Perumusan Masalah 3

1.4 Hipotesis 4

1.5 Tujuan Penelitian 4

(10)

1.6 Manfaat Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek 5

2.2 Apoteker 6

2.3 Persepsi 8

2.4 Konseling 10

BAB III METODE PENELITIAN 18

3.1 Jenis Penelitian 18

3.2 Jenis Data Penelitian 18

3.3 Populasi dan Sampel Data Penelitian 18

3.3.1 Populasi 18

3.3.2 Sampel 18

3.4 Waktu dan Tempat Penelitian 19

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas 19

3.5.1 Validitas 19

3.5.2 Reliabilitas 21

3.6 Teknik Pengumpulan Data 22

3.7 Cara Pengukuran Variabel 22

(11)

3.8 Analisa Data 24

3.9 Definisi Operasional 24

3.10 Prosedur Penelitian 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26

4.1 Gambaran Umum Apotek di kota Medan 26

4.2 Karakteristik Apotek 26

4.3 Karakteristik Responden Penelitian 28

4.4 Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek di Beberapa Apotek di kota Medan terhadap Konseling

Berdasarkan Responden 32

4.5 Pelaksanaan Konseling di beberapa Apotek di kota

Medan……… 34

4.5.1 Kriteria pasien yang diberikan konseling di beberapa apotek di kota Medan 38 4.5.2 Penyediaan waktu khusus dan terjadwal untuk

melakukan konseling di beberapa apotek

di kota Medan 39

4.5.3 Lama waktu pemberiaan konseling di beberapa

apotek di kota Medan 41

4.5.4 Penyediaan ruang khusus untuk konseling di beberapa apotek di kota Medan 42 4.5.5 Apoteker yang melakukan pendokumentasian dalam

pelaksanaan konseling 44

4.5.6 Informasi yang dikonselingkan Apoteker

Penanggungjawab Apotek kepada pasien di beberapa apotek di kota Medan 45

(12)

4.5.7 Apoteker yang menggunakan alat bantu dalam

melaksanakan konseling 46

4.5.8 Sumber informasi obat yang digunakan apoteker ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 49

5.1 Kesimpulan 49

5.2 Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 53

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Hal-hal yang perlu diperhatikan Apoteker ... 11

3.1 Hasil uji validitas kuesioner ... 20

3.2 Hasil uji reliabilitas kuesioner ... 21

4.1 Karakteristik Apotek ... 26

4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan usia di apotek di kota Medan ... 28

4.3 Karakteristik responden berdasarkan usia dan pengalaman sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek ... 29

4.4 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan frekuensi kehadiran di apotek ... 29

4.5 Karakteristik responden berdasarkan frekuensi kehadiran di apotek dan pekerjaan selain sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek. ... 30

4.6 Karakteristik responden berdasarkan frekuensi kehadiran dan pengalaman sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek ... 31

4.7 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan tambahan dan lama apoteker tiap kali datang ke Apotek ... 32

4.8 Distribusi kriteria pasien yang diberi konseling di beberapa Apotek di kota Medan ... 38

4.9 Distribusi kriteria pasien khusus yang diberikan konseling oleh Apoteker Penanggungjawab Apotek ... 38

4.10 Distribusi penyediaan waktu khusus dan terjadwal untuk konseling di beberapa Apotek di kota Medan ... 40

(14)

4.11 Distribusi Apoteker Penanggungjawab Apotek yang menyediakan waktu untuk melakukan konseling kepada pasien tiap hari ... 40 4.12 Distribusi informasi yang dikonselingkan oleh Apoteker

Penanggung Jawab apotek kepada pasien tentang

pengobatannya ... 45 4.13 Distribusi penyediaan alat bantu dalam melaksanakan

konseling …. ... 46 4.14 Distribusi Apoteker Penanggungjawab Apotek yang menggunakan alat bantu untuk pelaksanaan konseling ... 46 4.15 Distribusi Apoteker Penanggungjawab Apotek yang

melakukan konseling dengan menggunakan sumber informasi dalam menjawab pertanyaan -pertanyaan pasien… 47 4.16 Distribusi sumber informasi yang digunakan oleh Apoteker

Penanggungjawab Apotek ketika konseling……… 47

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema kerangka pikir penelitian ... 3

2.1 Proses persepsi ... 10

4.1 Diagram persentase persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek di kota Medan terhadap konseling berdasarkan

responden ... 32 4.2 Diagram persentase Apoteker Penanggungjawab yang

telah dan belum menyelenggarakan konseling kepada pasien di beberapa apotek di kota Medan Apotek di kota Medan .... 35 4.3 Diagram persentase kendala yang dialami Apoteker

Penanggungjawab Apotek untuk menyelenggarakan konseling kepada pasien di apotek ... 36 4.4 Diagram persentase lama waktu pemberiaan untuk

konseling ... 41 4.5 Diagram persentase penyediaan ruang khusus untuk

konseling di beberapa apotek di kota Medan ... 43 4.6 Diagram persentase apoteker yang melakukan

pendokumentasian dalam pelaksanaan konseling ... 44

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Perhitungan jumlah populasi Apotek yang disurvei tiap

kecamatan ... 53

2. Surat Persetujuan Menjadi Responden Subjek Penelitian ... 54

3. Pernyataan kesediaan mengisi kuesioner ... 55

4. Kuesioner Penelitian ... 56

5. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ... 64

6. Persepsi Apoteker berdasarkan jawaban responden ... 66

7. Surat Permohonan Izin Penelitian/ Pengambilan Data dari Dekan Farmasi USU ... ... 68

8. Surat izin penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan ... 69

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian, serta banyaknya obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi dan tingginya harapan pasien terhadap pengobatan, maka peran apoteker menjadi sangat diperlukan dalam pelayanan kefarmasian. Penerapan pelayanan kefarmasian di apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien (Menkes RI, 2014).

Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari pengelolaan obat (drug oriented) ke pasien (patient oriented), yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Konsekuensi atas perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Apoteker juga harus mampu mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problems), masalah

(18)

farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio-pharmacoeconomy) (Menkes RI, 2014).

Menurut Febrianti (2008) pekerjaan kefarmasian di apotek saat ini masih belum dilaksanakan secara optimal, pada setiap jam buka apotek lebih sering tidak dijumpainya apoteker, melainkan tenaga teknis kefarmasian dan pemilik modal apotek. Ahaditomo (2004) juga berpendapat bahwa, apotek yang dipercaya sebagai tempat pelayanan kefarmasian, tetap saja hanya sekedar tempat penjualan obat sebagai komoditi, tidak juga bergeser ke orientasi pasien.

Menurut Thoha (2012) persepsi adalah proses kognitif yang dialami setiap orang, dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Penelitian yang dilakukan Rudianto J (2011) persepsi Apoteker terhadap konseling pasien dan pelaksanaannya di apotek-apotek kabupaten Kudus, menunjukkan 1,89% cukup mendukung, 45,28% mendukung dan 52,83% menyatakan sangat mendukung.

100% responden melaksanakan konseling kepada pasien, 58,49% melaksanakan konseling kepada semua pasien, 100% menginformasikan cara dan aturan pakai obat, 13,21% menyediakan ruang khusus untuk konseling, 16,98% menyediakan waktu khusus untuk konseling, 66,04% melaksanakan konseling kurang dari 10 menit, 96,23% harus memiliki kemampuan menyampaikan informasi, 50,94%

hambatan dalam melaksanakan konseling yaitu kurangnya minat pasien, 62,26%

mengatasi masalah konseling dengan penyediaan buku penunjang konseling.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling dan pelaksanaannya di beberapa Apotek di kota Medan.

(19)

1.2 Kerangka Pikir

Variabel pengamatan pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, untuk selanjutnya ditarik kesimpulannya.

Parameter pengamatan terdiri dari persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek yaitu persepsi baik, cukup, dan kurang serta iya dan tidak melaksanakan konseling. Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Variabel Pengamatan Parameter Pengamatan

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling di beberapa apotek kota Medan?

b. Bagaimana pelaksanaan konseling di beberapa apotek di kota Medan?

 Persepsi baik

 Persepsi cukup

 Persepsi kurang Apoteker Penanggungjawab

Apotek

 Iya

 Tidak Persepsi

Pelaksanaan konseling

(20)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling di beberapa apotek di kota Medan tergolong baik

b. Pelaksanaan konseling masih belum dilaksanakan oleh seluruh Apoteker Penanggungjawab Apotek di kota Medan.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling di beberapa apotek di kota Medan

b. Untuk mengetahui pelaksanaan konseling di beberapa apotek di kota Medan.

1.6 Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengalaman peneliti serta bahan untuk penerapan ilmu yang telah didapat selama kuliah.

b. Penelitian ini sangat bermanfaat sebagai bahan masukan terhadap Apoteker Penanggungjawab Apotek dalam menerapkan standar pelayanan terutama pelaksanaan konseling kepada pasien.

c. Penelitian ini sangat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk materi pelatihan dan pembinaan apoteker di apotek di kota Medan.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan pelayanan obat tanpa resep (Anief, 2000). Apotek juga memiliki tugas dan fungsi yaitu sebagai tempat praktik pekerjaan kefarmasian oleh apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat, serta sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata. Pengelolaan apotek saat ini di bidang pelayanan kefarmasian meliputi:

1. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran, penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.

2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan, perbekalan kesehatan di bidang farmasi lainnya.

3. Informasi mengenai perbekalan kesehatan di bidang farmasi meliputi:

a. Pengelolaan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan,

bahaya, dan/atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya (Syamsuni, 2006).

(22)

2.2 Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Menkes RI, 2014). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 terkait pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat pelayanan kefarmasian seperti apotek, rumah sakit dll, seorang apoteker dapat :

a. Memiliki seorang Apoteker Pendamping untuk menggantikan tugas Apoteker Pengelola yang telah di lengkapi dengan SIPA.

b. Melakukan penggantian obat bermerk dagang dengan obat generik dimana zat aktif yang terkandung dalam kedua obat tersebut adalah sama dan meminta persetujuan kepada pasien/ dan dokter; dan

c. Melakukan penyerahan obat keras, obat psikotropika dan obat narkotika kepada pasien atas resep dokter berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan Kepmenkes Nomor: 1027/Menkes/SK/IX/2004 standar kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan pelayanan kefarmasian, diantaranya :

1. Dapat memberi serta menyediakan pelayanan yang baik

Apoteker berkedudukan sebagai pengelola apotek diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang profesional. Saat melakukan pelayanan kepada pasien, apoteker sebaiknya mampu untuk mengintegrasikan pelayanan yang diberikan pada sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Dengan hal tersebut, diharapkan dapat dihasilkan suatu sistem pelayanan kesehatan berkesinambungan.

(23)

2. Memiliki kemampuan dalam menentukan keputusan yang profesional sebagai apoteker, diharapkan untuk berkompeten dalam bidangnya dan terus mau untuk belajar sesuai profesinya, sehingga apoteker tersebut dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat sesuai dengan efikasi, efektivitas dan efisiensi terkait pengobatan maupun perbekalan kesehatan lain.

3. Dapat melakukan komunikasi yang baik

Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki apoteker adalah mampu untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pasien ataupun profesi kesehatan lainnya sehingga diharapkan pengobatan yang dilakukan tepat dan tujuan pengobatan dapat tercapai.

4. Mampu menjadi pemimpin

Apoteker diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau group. Apoteker harus mampu untuk mengambil suatu keputusan yang efektif dan tepat, dapat menyebarkan informasi tersebut dan dapat melakukan pengelolaan terhadap suatu hasil keputusan.

5. Apoteker diharapkan bisa dan memiliki kemampuan dalam mengatur dan mengelola sumber daya yang ada.

6. Belajar sepanjang masa

Pengobatan akan selalu berkembang seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan apoteker akan selalu belajar untuk mengikuti perkembangan tersebut, sehingga keilmuan yang dimiliki selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengobatan.

(24)

7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2.3 Persepsi

Persepsi adalah suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus-menerus dan dipengaruhi oleh sumber-sumber informasi yang baru dari lingkungan sekitarnya. Apabila informasi yang diperoleh semakin banyak, maka akan muncul berbagai jenis persepsi dari seorang tersebut (Mar’at, 1991).

Menurut Bimo (2014) dalam Niti (2013), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut dengan proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi.

Menurut Engel (1995) dalam Trimurthy (2008), persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi sensorisnya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.

Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Proses Persepsi

(25)

Proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur dalam memahami objek melalui penginderaan, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu tidak sama, maka dalam mempersepsikan suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain sehingga persepsi itu dapat dikatakan bersifat individual (Mar’at, 1991). Ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu:

a. Diri orang yang bersangkutan

Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interprestasi tentang suatu objek, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, bakat, minat, pengalaman masa lalu, dan cara berpikir tiap-tiap orang yang menginterpretasi objek (Siagian, 1995).

Keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi juga datang dari segi kejasmanian. Jika sistem fisiologisnya terganggu, hal tersebut akan berpengaruh pada hasil persepsi seseorang (Walgito, 2003).

b. Sasaran atau objek yang dipersepsi

Sasaran persepsi tersebut bisa berupa orang, benda, ataupun peristiwa. Jika suatu objek peristiwa akan dipersepsikan maka objek harus memiliki kekuatan untuk menimbulkan kesadaran, sehingga dapat dipersepsi oleh

(26)

individu (Siagian, 1995). Peristiwa yang kurang jelas akan berpengaruh dalam ketepatan persepsi. Jika objek berupa benda, ketepatan persepsi lebih terletak pada individu karena benda tidak ada usaha untuk mempengaruhi persepsi (Walgito, 2003).

c. Faktor situasi

Persepsi dilihat secara kontekstual yang dalam situasi mana persepsi itu timbul, perlu pula mendapat perhatian (Siagian, 1995). Situasi merupakan faktor yang turut berpesan dalam penumbuhan persepsi seseorang. Objek yang sama dengan situasi yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda (Walgito, 2003).

2.4 Konseling

a. Pengertian Konseling

Konseling adalah proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/

keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien (Menkes RI, 2014). Menurut Kepmenkes Nomor: 1027/ Menkes/SK/IX/2004 apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

(27)

b. Tujuan konseling

Tujuan dilaksanakannya konseling, yaitu : 1. Meningkatkan keberhasilan terapi

2. Memaksimalkan efek terapi

3. Meminimalkan resiko efek samping 4. Meningkatkan cost effectiveness

5. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi Tujuan khusus :

1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien 2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien

3. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan penyakitnya 4. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan

5. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem

6. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam hal terapi

7. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan

8. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien (Abdul, 2006).

Prinsip dasar konseling adalah menjalin hubungan atau korelasi antara pasien dengan apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela. Pendekatan apoteker dalam memberikan konseling kepada pasien mengalami perubahan dari “Medical Model” menjadi pendekatan “Helping Model”.

(28)

Tabel 2.1 Hal-hal yang perlu diperhatikan Apoteker (Abdul, 2006) Medical Model Helping Model 1. Pasien pasif

2. Kepercayaan didasarkan

karena profesi sebagai apoteker 3. Mengidentifikasi masalah dan

penetapan solusi oleh apoteker 4. Pasien bergantung pada

Apoteker

5. Hubungan seperti ayah-anak sehingga pasien bergantung pada apoteker

1. Pasien terlibat secara aktif 2. Kepercayaan didasarkan dari

hubungan yang terjalin antara apoteker dengan pasien 3. Menggali semua masalah dan

memilih cara pemecahan masalah 4. Pasien mengembangkan rasa percaya

dirinya untuk memecahkan masalahnya

5. Hubungan setara (seperti teman)

c. Aspek konseling yang harus disampaikan kepada pasien:

1. Deskripsi dan kekuatan obat

Apoteker harus memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk sedian dan cara pemakaiannya, nama dan zat aktif yang terkandung didalamnya serta kekuatan obat (mg/g).

2. Jadwal dan cara penggunaan

Penekanan dilakukan untuk obat dengan intruksi khusus seperti “ minum obat sebelum makan”,” jangan diminum bersama susu” dan lainnya sebagainya. Kepatuhan pasien tergantung pada pemahaman dan perilaku sosial ekonominya.

3. Mekanisme kerja obat

Apoteker harus mengetahui indikasi obat, penyakit/gejala yang sedang diobati sehingga apoteker dapat memilih mekanisme mana yang harus

(29)

dijelaskan, ini disebabkan karena banyak obat yang multi-indikasi.

Penjelasan harus sederhana dan ringkas agar mudah dipahami oleh pasien.

4. Dampak gaya hidup

Banyak regimen obat yang memaksa pasien untuk mengubah gaya hidup.

Apoteker harus dapat menanamkan kepercayaan pada pasien mengenai manfaat perubahan gaya hidup untuk meningkatkan kepatuhan pasien.

5. Penyimpanan

Pasien harus diberitahukan tentang cara penyimpanan obat terutama obat- obat yang harus disimpan pada temperatur kamar, adanya cahaya dan lain sebagainya. Tempat penyimpanan sebaiknya jauh dari jangkauan anak- anak.

6. Efek potensial yang tidak diinginkan

Apoteker sebaiknya menjelaskan mekanisme atau alasan terjadinya toksisitas secara sederhana. Penekanan penjelasan dilakukan terutama untuk obat yang menyebabkan perubahan warna urin, yang menyebabkan kekeringan mukosa mulut, dan lain sebagainya. Pasien juga diberitahukan tentang tanda gejala keracunan (Abdul, 2006).

d. Sasaran pasien yang diberikan konseling

Konseling dapat diberikan langsung kepada pasien atau melalui perantara yaitu keluarga pasien, pendamping pasien, perawat pasien atau yang bertanggungjawab dalam perawatan pasien. Pemberiaan konseling melalui perantara dilakukan jika pasien tidak dapat mengenali obat dan terapi seperti pasien pediatrik dan pasien geriatrik (Abdul, 2006).

(30)

1. Konseling Pasien Rawat Jalan

Pemberian konseling untuk pasien rawat jalan dapat diberikan pada saat pasien mengambil obat di apotik, puskesmas dan disarana kesehatan lain.

Pemilihan tempat konseling tergantung dari kebutuhan dan tingkat kerahasian/kerumitan akan hal-hal yang perlu dikonselingkan kepada pasien.

Konseling pasien rawat jalan diutamakan pada pasien yaitu:

a. Menjalanin terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka panjang.

(Diabetes, TBC, epilepsi, HIV/AIDS, dll)

b. Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan cara pemakaian yang khusus, misalnya: supossitoria, enema, inhaler, injeksi insulin, dll.

c. Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yang khusus, misalnya:

insulin dll.

d. Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit, misalnya:

pemakaian kortikosteroid dengan tappering down/off.

e. Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah, misalnya: geriatrik, pediatrik.

f. Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, phenytoin, dll) g. Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak

(polifarmasi).

2 . Konseling Pasien Rawat Inap

Konseling pada pasien rawat inap, diberikan pada saat pasien akan melanjutkan terapi dirumah. Pemberian konseling harus lengkap seperti pemberiaan konseling pada rawat jalan. Selain pemberiaan konseling pada saat

(31)

akan pulang, konseling pada pasien rawat ini juga diberikan pada kondisi sebagai berikut:

a. Pasien dengan tingkat kepatuhan dalam minum obat rendah

b. Adanya perubahan terapi yang berupa penambahan terapi, perubahan regimen terapi, maupun perubahan rute pemberian (Abdul, 2006).

e. Hambatan dalam konseling

Apoteker perlu menyadari bahwa konseling pasien adalah layanan apotek, tetapi ternyata masih banyak apoteker yang masih menemui kesulitan untuk terlibat dalam konseling pasien. Apoteker sepertinya menghadapi begitu banyak tantangan untuk menjadikan konseling pasien sebagai bagian dari aktivitas rutinnya dan untuk menerapkan layanan-layanan apotek. Tantangan utama yang harus dihadapi apoteker dalam memberikan layanan konseling pada pasien meliputi: tantangan yang melekat pada sistem, lingkungan tempat praktik apoteker, tantangan yang ditimbulkan oleh apoteker sendiri dan oleh pasien, serta tantangan yang muncul dari perubahan.

1. Tantangan sistem: kurangnya waktu dan staf pendukung, kurangnya biaya insentif, kurang atau tidak adanya ukuran kualitas dan proses, kurang atau tidak ada budaya perbaikan kualitas dan pertanggungjawaban atas hasil yang didapat pasien, kurang atau tidak ada perubahan kebijakan.

2. Lingkungan praktik: tidak ada privasi dalam melakukan konseling, apoteker tidak dapat ditemui, kurangnya suasana yang kondusif untuk konseling.

(32)

3. Tantangan pasien: persepsi pasien yang buruk terhadap apoteker, pasien tidak mengerti pentingnya konseling dan tersedianya konseling, kesulitan memahami, kurang atau tidak ada waktu dan pilihan pasien.

4. Tantangan apoteker: kurangnya pengetahuan tentang obat, kurang percaya diri, kurang atau tidak memiliki keterampilan konseling dan keterampilan antarpersonal, kesibukan dan manajemen waktu yang buruk, keterampilan bisnis, kurang atau tidak ada sumber daya, persepsi mengenai pentingnya pasien mendapat informasi.

5. Tantangan perubahan: reorientasi praktik secara global, perubahan internal dan eksternal yang diperlukan, perubahan struktur, perubahan prosedur, orientasi peran, perubahan budaya berorganisasi (Rantucci, 2009).

f. Tahapan Konseling

Sesi konseling harus berlangsung dengan cara yang logis. Pasien terbukti lebih mudah memahami dan mengingat informasi yang diberikan bila informasi tersebut dikelompokkan dalam tahapan-tahapan (Rantucci, 2009). Sesi konseling dapat dibagi menjadi 6 tahapan:

1. Diskusi pembukaan

Pembukaan konseling yang baik antara apoteker dan pasien dapat menciptakan hubungan baik, sehingga pasien akan merasa percaya untuk memberikan informasi kepada apoteker. Apoteker harus memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum memulai konseling. Selain itu, apoteker harus menjelaskan kepada pasien tentang tujuan konseling serta memberitahukan pasien berapa lama sesi konseling itu akan berlangsung.

(33)

2. Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi masalah tentang masalah yang potensial terjadi saat pengobatan.

3. Diskusi untuk mencegah dan memecahkan masalah, sebaiknya pasien dilibatkan untuk mempelajari keadaan yang menimbulkan masalah potensial dalam pengobatan, sehingga masalah dapat diminimalisasi.

4. Memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh yang bertujuan juga untuk mengoreksi kesalahan penerimaan informasi.

5. Menutup diskusi, sebelum ditutup sebaiknya apoteker bertanya kepada pasien hal-hal yang masih ingin ditanyakan, mengulang pertanyaan dan mempertegasnya

6. Follow up diskusi bertujuan untuk memantau keberhasilan terapi, sehingga diperlukan dokumentasi kegiatan konseling agar perkembangan pasien dapat dipantau (Abdul, 2006).

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan metode deskriptif, dilakukan melalui survei cross-sectional dimana pengumpulan data dan pengukuran variabel-variabel dilakukan satu kali pada waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Jenis Data Penelitian

Jenis data penelitian adalah data primer melalui pengisian angket (kuesioner) oleh Apoteker Penanggungjawab Apotek (Riduwan, 2009).

3.3 Populasi dan Sampel Data Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah seluruh Apoteker Penanggungjawab Apotek di kota Medan. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 617 Apotek di 21 kecamatan di kota Medan.

3.3.2 Sampel

Jumlah sampel sebagai sumber data penelitian dihitung dengan menggunakan metode Raosolft Sample Test Calculator (Raosolft, 2016) dengan margin kesalahan 10%, tingkat kepercayaan 90% dan respon distribusi 50%, maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 62 Apoteker Penanggungjawab Apotek.

Sampel diambil secara Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya

(35)

(Notoatmodjo, 2010). Selanjutnya sampel diambil secara proporsional untuk mewakili pengambilan sampel di setiap kecamatan di kota Medan, dengan jumlah keseluruhan yaitu 21 kecamatan. Pengambilan sampel dilakukan peneliti dengan mendatangi apotek-apotek yang berada di setiap kecamatan. Ternyata ada beberapa apoteker apabila tidak berada di tempat, peneliti melakukan komunikasi melalui telephone, meminta kesediaan apoteker tersebut untuk bertemu langsung di apotek atau di tempat yang telah ditentukan, untuk kesediaan meluangkan waktu mengisi kuesioner.

Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria insklusi:

a. Apoteker Penanggungjawab Apotek yang berada di kota Medan b. Apoteker Penanggungjawab Apotek yang bersedia mengisi kuesioner Kriteria ekslusi:

a. Apoteker yang tidak berstatus Apoteker Penanggungjawab Apotek

b. Apoteker Penanggungjawab Apotek yang tidak bersedia mengisi kuesioner.

3.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan Maret 2016 bertempat di beberapa apotek di kota Medan.

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas 3.5.1 Validitas

Menurut (Singarimbun, 1989) validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur dalam mengukur apa yang ingin diukur. Suatu alat pengukur dapat dikatakan valid apabila alat ukur tersebut telah digunakan untuk mengukur apa

(36)

yang seharusnya diukur. Validitas isi (content validity) adalah yang berkaitan dengan isi yang akan diuji atau diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang telah disusun tersebut mampu mengukur apa yang hendak diukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antara skors (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skors total kuesioner tersebut (Notoatmodjo, 2010).

Uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel untuk tingkat signifikansi 5 persen dari degree of freedom (df)= n-2, dalam hal ini n adalah jumlah sample. Jika r hitung > r tabel maka pertanyaan atau indikator tersebut dinyatakan valid, begitu juga sebaliknya bila r hitung < r tabel maka pertanyaan atau indikator tersebut dinyatakan tidak valid (Ghozali, 2005).

Hasil uji validitas kuesioner terhadap 20 responden dengan 10 pertanyaan disajikan Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil uji validitas kuesioner

Pertanyaan Nilai Korelasi Nilai r-tabel

α = 5% Status

1 0,602

0,4438 Valid

2 0,657

3 0,543

4 0,740

5 0,833

6 0,673

7 0,550

8 0,499

9 0,833

10 0,461

Berdasarkan Tabel 3.1 menunjukkan bahwa nilai korelasi r hitung masing- masing item pertanyaan lebih besar dari nilai r tabel yaitu 0,4438. Maka dapat disimpulkan bahwa ke-10 item pertanyaan adalah valid sebagai alat ukur.

(37)

2.5.2 Reliabilitas

Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Teknik yang dipakai untuk menguji kuesioner penelitian adalah teknik alpha Cronbach yaitu dengan menguji instrumen kepada sekelompok responden pada satu kali pengukuran, juga pada taraf 95% (Rinza, 2009).

Alpha Cronbach merupakan koefisien internal yang paling sering digunakan untuk analisis reliabilitas. Makin tinggi alpha Cronbach, makin baik (konsisten) alat ukur (Murti, 2011). Kriteria yang dapat digunakan adalah sebagai berikut ini (Ghozali, 2005).

a. Jika nilai alpha Cronbach > 0,60 maka pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut adalah “reliabel”.

b. Jika nilai alpha Cronbach < 0,60 maka pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut adalah “tidak reliabel”.

Hasil uji reliabilitas Cronbach’s Alpha terhadap 20 responden dengan 10 pertanyaan disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Hasil uji reliabilitas kuesioner

Crobanch’s alpha N of Items Status

0,893 10 Reliabel

Berdasarkan Tabel 3.2 menunjukkan bahwa nilai uji alpha cronbach’s yang didapat sebesar 0,893. Nilai ini lebih tinggi dari kriteria reliabel 0,60. Maka dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan memiliki reliabilitas yang baik atau memiliki konsistensi yang baik sebagai alat ukur.

(38)

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data digunakan yaitu dengan pemberian kuesioner kepada responden pada apotek yang masih buka dan bersedia mengisi kuesioner.

Kuesioner yang akan diisi oleh responden, terlebih dulu mendapat persetujuan dan ditandatangani oleh responden tersebut. Sebelum mengisi kuesioner, responden diberi penjelasan tentang cara pengisiannya. Jika responden mengalami kesulitan untuk memahami atau menjawab kuesioner maka peneliti akan memberikan penjelasan yang dapat dipahami oleh responden.

3.7 Cara Pengukuran Variabel

Lembar kuesioner yang terdiri dari 4 bagian yaitu : a. Bagian pertama mengenai data Apotek

b. Bagian kedua mengenai data Apoteker yang bekerja pada apotek

c. Bagian ketiga mengenai persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling di apotek

d. Bagian keempat mengenai pelaksanaan konseling Penilaian kuesioner dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Penilaian kuesioner bagian pertama dan kedua menggambarkan demografi apotek dan demografi apoteker yang disajikan dalam jumlah dan persentase 2. Penilaian untuk pertanyaan kuesioner bagian ketiga mengenai persepsi

Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling di apotek dinilai dengan menggunakan skala likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban.

Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi sekelompok orang mengenai fenomena sosial (Sugiyono, 2012). Lima

(39)

tingkatan jawaban yang telah disediakan memiliki tingkat gradasi sangat positif sampai sangat negatif (Sugiyono, 2012).

Bobot nilai skala likert untuk 10 pertanyaan persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek adalah:

a. Jawaban sangat tidak setuju diberi bobot : 1 b. Jawaban tidak setuju diberi bobot : 2

c. Jawaban tidak berpendapat diberi bobot : 3 d. Jawaban setuju diberi bobot : 4

e. Jawaban sangat setuju diberi bobot : 5

Untuk mengkategorikan variabel persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek terhadap konseling yang terdiri dari 10 pertanyaan digunakan rumus Sudjana (2002). Pada variabel persepsi jumlah nilai tertinggi yang diperoleh yaitu 50 dan nilai terendah adalah 10. Berdasarkan rumus statistik menurut Sudjana (2002) sebagai berikut:

P= Rentang kelas/ Banyak kelas

Dimana P merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 40 (selisih nilai tertinggi dan nilai terendah) dan banyak kelas yaitu 3 (persepsi baik, cukup, dan kurang), maka didapatkan panjang kelas sebesar 13,33 dibulatkan menjadi 13.

𝑃𝑃 =50 − 10

3 =40

3 = 13,33

Dengan menggunakan P=13 dan 10 sebagai batas interval pertama (nilai terendah), maka persepsi apoteker dikatagorikan atas interval sebagai berikut:

a. Persepsi kurang, apabila jumlah skor yang diperoleh responden 10-23 b. Persepsi cukup, apabila jumlah skor yang diperoleh responden 24-37

(40)

c. Persepsi baik, apabila jumlah skor yang diperoleh responden 37-50 3. Penilaian untuk pertanyaan kuesioner bagian keempat mengenai pelaksanaan

konseling yang dilakukan oleh Apoteker Penanggungjawab Apotek diolah dalam persentase dari tiap pertanyaan.

3.8 Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan statistik deskriptif yaitu bertujuan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2010) kemudian data yang diperoleh diolah dengan Microsoft Excel, disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

3.9 Definisi Operasional

a. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium (Slameto, 2010).

b. Pelaksanaan konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusi antara orang yang membutuhkan (klien) dan orang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah (Abdul, 2006).

(41)

3.10 Prosedur Penelitian

a. Menyiapkan lembar kuesioner yang akan diisi Apoteker Penanggungjawab Apotek.

b. Melakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner yang akan diisi oleh Apoteker Penanggungjawab Apotek

c. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk melakukan penelitian di beberapa apotek dimana apoteker sebagai penanggungjawab apotek di kota Medan

d. Meminta izin Dinas Kesehatan kota Medan melakukan penelitian di beberapa Apotek dimana apoteker sebagai penanggungjawab apotek di kota Medan

e. Membagikan kuesioner penelitian kepada beberapa Apoteker Penanggungjawab Apotek di kota Medan

f. Mengumpulkan data hasil pengisian kuesioner

g. Mengolah data kuesioner dengan menggunakan program Microsoft Excel

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Apotek di kota Medan

Menurut data dari Dinas Kesehatan kota Medan, jumlah apotek di kota Medan sebanyak 617 apotek yang tersebar di 21 kecamatan.

4.2 Karakteristik Apotek

Karakteristik apotek pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dalam penelitian ini, apotek yang sudah berdiri 5-10 tahun dan kurang dari 5 tahun dengan persentase masing-masing 43,55% dan 40,32%.

Tabel 4.1 Karakteristik Apotek

No. Pertanyaan Jumlah

(n=62)

Persentase (%)

1.

Lama apotek sudah berdiri A. <5 tahun

B. 5-10 tahun C. > 10 tahun

25 27 10

40,32%

43,55%

16,13%

2.

Pemilik sarana Apotek A. Perorangan : Apoteker B. Perorangan : Non Apoteker C. Kerjasama PSA dan APA D. Badan Usaha Milik Negara

(BUMN)

8 44

9 1

12,90%

70,97%

14,52%

1,61%

3.

Lama jam buka apotek dalam sehari A. < 12 jam

B. 12-23 jam C. 24 jam

10 49 3

16,13%

79,03%

4,84%

(43)

4.

Rata- rata omset penjualan apotek perhari

A. < Rp 1.000.000

B. Rp 1.000.000-Rp 3.000.000 C. > Rp 3.000.000- Rp 5.000.000 D. > Rp 5.000.000

20 26 12 4

32,26%

41,94%

19,35%

6,45%

5.

Rata- rata jumlah resep dalam sehari A. < 10 resep

B. 10-30 resep C. > 30 resep

45 17 0

75,58%

27,42%

0 %

Berdasarkan kepemilikan sebagian besar apotek milik Non-Apoteker dengan persentase sebesar 70,97%, dan diikuti kerjasama PSA dan APA sebesar 14,52%.

Berdasarkan lama jam buka apotek dalam sehari paling banyak apotek buka 12-23 jam dan kurang dari 12 jam dengan persentase masing-masing 79,03%

dan 16,13% .

Berdasarkan omset penjualan apotek perhari, rata-rata omset apotek Rp 1.000.000-Rp.3.000.000 dan kurang dari Rp 1.000.000 dengan persentase

masing-masing 41,94% dan 32,26%.

Dari jumlah resep yang masuk ke apotek, kebanyakan resep masuk perhari adalah kurang dari 10 resep dengan persentase 75,58% dan 27,42% melayani resep sebanyak 10-30 resep. Pada penelitian yang dilakukan (Purwarti.,dkk, 2004) gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi di apotek DKI Jakarta tahun 2003, rerata jumlah lembar resep per hari adalah 50,5 lembar. Dengan

(44)

70,5% apotek melayani dibawah 40 lembar resep per hari, 20,6% melayani 40–60 lembar dan 8,8% melayani diatas 60 lembar per hari.

1.3 Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden penelitian dipisahkan menjadi beberapa karakteristik meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan tambahan, pengalaman sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek, pekerjaan selain menjadi Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA), frekuensi kehadiran di apotek, dan lama apoteker tiap kali datang ke apotek. Dengan itu dilakukan gambaran demografi responden, karena pembangunan persepsi cenderung dipengaruhi oleh jenis kelamin seseorang, usia dan pengalaman yang didapat selama bekerja sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek, yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan seseorang terhadap cara berpikir, berpendapat, dan bersikap.

Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan usia di apotek di kota Medan

Jenis Kelamin

Usia (tahun)

≤30 >30-35 >35-40 >40 Laki-laki 0 (0%) 3(4,83%) 2(3,22%) 10(16,12%) Perempuan 10 (16,12%) 14 (22,5%) 10(16,12%) 13(20,96%)

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA) yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 APA, dan perempuan sebanyak 47 APA. Hal ini menunjukkan, bahwa sebagian besar APA dalam penelitian ini adalah perempuan. Karakteristik responden berdasarkan usia yang paling banyak untuk APA laki-laki dengan berusia berkisar lebih dari 40 tahun

(45)

yaitu 10 APA dan untuk perempuan usia berkisar lebih dari 30-35 tahun sebanyak 14 APA.

Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan usia dan pengalaman sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek

Usia

Pengalaman sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek (tahun)

≤ 1 tahun >1-5 tahun >5-10 tahun >10 tahun

≤30 tahun 0 (0%) 10(16,12%) 0(0%) 0 (0%)

>30-35 tahun 0(0%) 10(16,12%) 6(9,68%) 1(1,61%)

>35-40 tahun 1(1,61%) 2 (3,22%) 7(11,29%) 2(3,22%)

>40 tahun 1(1,61%) 3 (4,83%) 4(6,45%) 15(24,19%)

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat, sebanyak 10 APA dengan usia kurang dari atau sama dengan 30 tahun dan lebih dari 30-35 tahun masing-masing memiliki pengalaman kerja lebih dari 1-5 tahun. Sedangkan APA dengan berusia lebih dari 40 tahun memiliki pengalaman kerja paling banyak lebih dari 10 tahun yaitu 15 APA. Pada penelitian yang dilakukan peneliti dapat diartikan bahwa APA yang menjadi responden memiliki pengalaman kerja paling banyak lebih dari 10 tahun kerja.

Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan frekuensi kehadiran di apotek

Jenis Kelamin

Frekuensi Kehadiran di apotek

Sebulan sekali

Lebih sekali sebulan

Lebih sekali seminggu

Tiap hari pada jam tertentu

Tiap hari sepanjang

buka apotek Laki-laki 4(6,45%) 5(8,06%) 5(8,06%) 0(0%) 1(1,61%) Perempuan 9(14,51%) 19(30,64%) 6 (9,67%) 9(14,52%) 4(6,45%)

(46)

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat paling banyak APA berjenis kelamin perempuan dengan frekuensi kehadiran di apotek lebih sekali sebulan yaitu 19 APA dan diikuti dengan frekuensi kehadiran di apotek tiap hari pada jam tertentu yaitu 9 APA, sedangkan APA yang berjenis kelamin laki-laki memiliki frekuensi kehadiran di apotek lebih sekali sebulan dan lebih sekali seminggu dengan masing-masing yaitu 5 APA. Pada penelitian ini dapat diartikan bahwa APA paling banyak hadir lebih sekali sebulan.

Tabel 4.5 Karakteristik responden penelitian berdasarkan frekuensi kehadiran di apotek dan pekerjaan selain sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek

Frekuensi Kehadiran

Pekerjaan selain sebagai Apoteker PenanggungJawab Apotek

Tidak Ada

Wirasw asta

PNS Kemenkes

Regulasi

PNS Kemenkes Pelayanan

PNS Pendidikan

PNS Badan

POM

Lain-lain

Sebulan

sekali 0(0%) 0(0%) 4(6,45%) 1(1,61%) 3(4,83%) 4(6,45%) 1(1,61%)

Lebih sekali sebulan

0(0%) 1(1,61%) 4(6,45%) 7(11,29%) 5(8,06%) 7(11,29%) 0(0%)

Lebih sekali seminggu

0(0%) 0(0%) 2(3,22%) 1(1,61%) 3(4,83%) 5(8,06%) 0(0%)

Tiap hari pada jam tertentu

3(4,83%) 3(4,83%) 0(0%) 2(3,22%) 1(1,61%) 0(0%) 0(0%)

Tiap hari sepanjang buka apotek

4(6,45%) 1(1,61%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%)

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa APA yang memiliki pekerjaan selain sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek paling banyak dengan frekuensi kehadiran lebih sekali sebulan, memiliki pekerjaan sebagai PNS Kemenkes Pelayanan dan PNS Badan POM dengan masing-masing sebanyak 7 APA. Pada penelitian ini pekerjaan selain sebagai Apoteker Penanggungjawab

(47)

Apotek cenderung mempengaruhi frekuensi kehadiran APA di apotek. Terlihat pada APA yang tidak memiliki pekerjaan selain sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek memiliki frekuensi kehadiran tiap hari pada jam tertentu yaitu 3 APA dan diikuti tiap hari sepanjang buka apotek yaitu 4 APA. Hal ini dapat diartikan pada penelitian ini kebanyakan responden yang terlibat dalam penelitian memiliki pekerjaan selain menjadi Apoteker Penanggungjawab Apotek yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tabel 4.6 Karakteristik responden berdasarkan frekuensi kehadiran dan pengalaman sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek

Frekuensi Kehadiran

Pengalaman sebagai Apoteker Penangggungjawab Apotek (tahun)

≤ 1 tahun >1-5 tahun >5-10 tahun >10 tahun Sebulan sekali 1(1,61%) 3(4,83%) 6(9,68%) 3(4,83%)

Lebih sekali sebulan 0(0%) 9(14,51%) 7(11,29%) 8(12,90%)

Lebih sekali seminggu 1(1,61%) 2(3,22%) 1(1,61%) 7(11,29%)

Tiap hari pada jam

tertentu 0(0%) 6(9,68%) 3(4,83%) 0(0%) Tiap hari sepanjang

buka apotek 0(0%) 5(8,06%) 0(0%) 0(0%)

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dengan frekuensi kehadiran lebih sekali sebulan sebanyak 9 APA dengan pengalaman kerja lebih dari 1-5 tahun dan diikuti dengan 8 APA dengan pengalaman lebih dari 10 tahun.

Kehadiran apoteker di apotek akan mewujudkan terlaksanannya konseling pasien, ketelibatan apoteker langsung dalam memberi konseling akan memperbanyak pengalaman apoteker, sehingga akan mempengaruhi persepsi apoteker terhadap

(48)

konseling (Rudianto, J, 2011). Dalam penelitian ini, frekuensi kehadiran paling banyak lebih sekali sebulan dengan pengalaman lebih dari 1-5 tahun, sehingga dengan pengalaman tersebut akan membantu memperbanyak pengalaman dan membantu pembentukan persepsi yang baik terhadap pelaksanaan konseling.

Tabel 4.7 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan tambahan dan lama Apoteker tiap kali datang ke Apotek

Pendidikan Tambahan

Lama Apoteker tiap kali datang ke apotek

≤ 1 jam >1-3 jam >3-5 jam > 5 jam Magister 1 (1,61%) 8 (12,90%) 4 (6,45%) 0(0)%)

Doktor 0(0%) 1(1,61%) 0(0%) 0(0%)

Tidak ada 9 (14,51%) 22 (35,48%) 4 (6,45%) 13 (20,96%)

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa APA yang tidak memiliki pendidikan tambahan paling banyak lama tiap kali datang ke apotek lebih dari 1-3 jam yaitu 22 APA dan diikuti lebih dari 5 jam sebanyak 13 APA.

4.4 Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek di Beberapa Apotek di kota Medan terhadap Konseling Berdasarkan Responden

Gambar 4.1 Diagram persentase persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek di kota Medan terhadap konseling berdasarkan responden

94%

6%

0% 0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Baik Cukup Kurang

(49)

Dilihat dari gambar 4.1 menunjukkan bahwa mayoritas APA mempunyai tingkat persepsi baik yaitu 58 APA (94%) dan 4 APA (6%) memiliki persepsi cukup terhadap konseling. Ini menunjukkan bahwa mayoritas APA yang menjadi responden penelitian ini, mendukung pelaksanaan konseling di beberapa apotek di kota Medan. Persepsi yang baik menunjukkan bahwa APA mengetahui pentingnya konseling dilaksanakan. Persepsi APA mengenai pentingnya pelaksanaan konseling di apotek cenderung dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki APA. Menurut (Sarwono, 2011) semua apoteker (n=74) memiliki persepsi yang positif terhadap pentingnya pelaksanaan konseling di apotek, dengan pengalaman apoteker 96,47% responden memiliki pengalaman bekerja sebagai apoteker lebih dari satu tahun, dan 3,23% responden lainnya memiliki pengalaman bekerja kurang dari setahun, sedangkan pada penelitian yang dilakukan peneliti data demografi apoteker, 96,73% APA memiliki pengalaman bekerja lebih dari setahun dan 3,23% memiliki pengalaman bekerja kurang dari atau sama dengan setahun. Dengan pengalaman sebagai APA ini dapat membuat suatu pandangan mengenai pentingnya pelaksanaan konseling. Pengalaman merupakan faktor eksternal yang mampu mempengaruhi persepsi seseorang (Siagian, 1995).

Mayoritas APA yang mendukung terhadap pelaksanaan konseling akan memberikan manfaat terhadap pengobatan pasien. APA dapat memperoleh pengetahuan tentang manfaat konseling dari pembelajaran dan pengalaman selama melaksanakan konseling. Pengetahuan yang dimiliki individu akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya akan memberikan jawaban atas pandangan dan tingkah yang akan dilakukan terhadap

(50)

objek (Mar’at, 1991). Selain itu APA juga harus memiliki kemampuan dalam melaksanakan konseling. Persepsi juga dipengaruhi dari faktor individu yang mempersepsikan, antara lain faktor kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu (Sarwono, 1992). Jika APA kurang memahami pentingnya konseling dilaksanakan di apotek maka akan mempengaruhi persepsi APA terhadap konseling.

Meskipun mayoritas APA menunjukkan sikap yang mendukung terhadap konseling kepada pasien namun, berdasarkan dari gambar 3.2 dapat dilihat bahwa 74,19% APA belum menerapkan kegiatan konseling kepada pasien di apotek yang mereka kelola, dan hanya 25,81% APA yang telah menerapkan konseling kepada pasien oleh APA secara langsung di apotek. Persepsi yang baik ini menunjukkan bahwa APA mengetahui secara teori tentang konseling dan manfaat konseling namun pada penelitian yang dilakukan peneliti, antara persepsi dan pelaksanaan menjadi suatu hal yang kontradiktif, sehingga konseling tidak terlaksana dengan baik di apotek kota Medan. Ketidakterlaksananya konseling di apotek hal ini cenderung dipengaruhi oleh pekerjaan selain menjadi Apoteker Penanggungjawab Apotek yaitu mayoritas responden Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 78,98%, serta tidak di dukung oleh sistem imbalan sesuai ketentuan yang berlaku, apabila APA sudah melakukan konseling dengan baik.

4.5 Pelaksanaan Konseling di Beberapa Apotek di kota Medan

Konseling merupakan salah satu pelayanan farmasi klinik yang harus dilakukan oleh apoteker terutama di apotek. Pelayanan ini diselenggarakan untuk membantu pasien dalam mendukung keberhasilan suatu terapi, sehingga berhasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat

(51)

yang tepat, tetapi juga kepatuhan pasien untuk mengikuti terapi yang telah ditentukan (Abdul, 2006). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data yang menggambarkan persentase pelayanan konseling di apotek kota Medan.

Gambar 4.2 Diagram persentase Apoteker Penanggungjawab Apotek yang telah dan belum menyelenggarakan konseling kepada pasien di beberapa apotek di kota Medan (n=62)

Berdasarkan gambar 4.2 dari 62 APA dalam penelitian ini terlihat bahwa sebanyak 46 APA (74,19%) tidak menyelenggarakan konseling kepada pasien mengenai pengobatannya dan 16 APA (25,81%) telah menyelenggarakan konseling kepada pasien. Angka tersebut masih juga kurang baik jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adelina (2009) hanya 38,23% apotek di kota Medan yang memberikan pelayanan konseling, angka tersebut masih menunjukkan belum adanya perubahan pelayanan kefarmasian di apotek kota Medan yang semula hanya berfokus kepada obat menjadi pelayanan yang komprehensif yang berpusat pada pasien.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pelaksanaan konseling kepada pasien belum bisa dilaksanakan di beberapa apotek di kota Medan. Kendala-

25,81%

74,19%

Apoteker yang telah

menyelenggarakan konseling kepada pasien

Apoteker yang tidak

menyelenggarakan konseling kepada pasien

(52)

kendala yang dialami APA, sehingga belum dapat menyelenggarakan konseling di apotek dapat dilihat pada Gambar 4.3.

(*jawaban boleh lebih dari satu)

Gambar 4.3 Diagram persentase kendala yang dialami Apoteker Penanggungjawab Apotek untuk menyelenggarakan konseling kepada pasien di Apotek (n=46)

Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa, kendala yang dialami dari 46 APA yang tidak menyelenggarakan kegiatan konseling di apotek, mayoritas APA memiliki kendala dengan tidak ada waktu untuk menyelenggarakan konseling dengan persentase 67,39%. Pada data demografi apoteker, terlihat sebanyak 87,03% apoteker memiliki pekerjaan selain menjadi Apoteker Penanggungjawab Apotek, yaitu bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, dan BPJS kesehatan, dan 11,28% apoteker tidak memiliki pekerjaan selain sebagai penanggungjawab apotek. Hal ini menyebabkan waktu yang dimiliki oleh APA sangat terbatas sehingga frekuensi kehadiran sangat berkurang di apotek. Terlihat juga 14 APA, yang memiliki waktu untuk hadir tiap hari sepanjang buka apotek dan tiap hari pada jam tertentu dengan persentase masing-

67,39%

45,65%

4,35% 4,35% 4,35%

58,70%

8,70%

0,00%

10,00%

20,00%

30,00%

40,00%

50,00%

60,00%

70,00%

80,00%

Tidak ada waktu untuk melaksanakan

konseling

Pasien tidak berminat untuk

diberi konseling

Kurangnya pengetahuan terhadap obat dan penyakit

Kurang kemampuan

dalam melaksanakan

konseling

Kurang percaya diri

Imbalan tidak ada

lain-lain…..

Gambar

Gambar 2.1 Proses Persepsi
Tabel 2.1 Hal-hal yang perlu diperhatikan Apoteker (Abdul, 2006)  Medical Model         Helping Model  1
Tabel 3.1 Hasil uji validitas kuesioner
Tabel 3.2 Hasil uji reliabilitas kuesioner
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Upaya Mengurangi Gerakan Flapping Pada Anak Autis Melalui Permainan Puzzle.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Selain memiliki portofolio dana yang cukup besar di bank bjb , memberikan kontribusi terhadap perkembangan kredit konsumtif yang besar, dimana para pegawainya

P enyes uaia n periode pe ng ukuran adalah penyes uaian ya ng beras al dari informas i tamba han yang diperoleh s elama periode peng ukuran ( yang tidak melebihi

Kegiatan Pemeliharaan Saluran Irigasi Pekerjaan Pemeliharaan Saluran Irigasi Bendung Senden Desa Ngabeyan Kec.. MADUKA SEJAHTERA Direktur :

Ada 43 genotip ubi jalar berdaging jingga yang telah terseleksi dari penelitian pendahuluan untuk diuji komponen hasil umbi dan kandungan fisikokimianya di lahan

Ini disebabkan karena air laut ditempatkan pada ruang tertutup sehingga energi panas yang diserap tidak dapat keluar dan semakin lama semakin meningkat, ini juga

Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan lansia dalam mengikuti posyandu lansia di Posyandu lansia Jetis Desa Krajan Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.Skripsi STIKES

[r]