• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Perairan

Selat Malaka secara geografis membentang sepanjang 500 mil laut berada diantara sepanjang Malaya dan Pulau Sumatera. Lebar alur masuk di sebelah utara adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang merupakan wilayah tersempit yaitu sekitar 8 mil laut. Selat Malaka juga tersambung dengan selat Singapura yang mempunyai panjang selat 60 mil, dan sejak jaman dahulu Selat Malaka merupakan jalur transportasi yang dilayari kapal-kapal (Maulidy, 2011).

Selat Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 m dengan lebarnya 35 km, kemudian kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 m sebelum Continental Slope Laut Andaman. Di dasar selat ini arus pasang surut sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang bentuk puncak/ujungnya searah dengan arus pasut tersebut (Wyrtky, 1961). Tipe substrat yang berada di perairan ini terdiri dari pasir, pasir berlumpur, liat berpasir, dan liat (Nugraheni, 2011).

Perairan Selat Malaka dikenal cukup hangat dan iklim di sekitar Selat Malaka adalah iklim tropis yang dipengaruhi dua angin musim. Kondisi iklim dan suhu air akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan bagi nelayan sekitar Selat Malaka. Kandungan mineral dan potensi ikan sangat besar di perairan Selat Malaka (Saeri, 2013).

Ikan Selar (Selaroides leptolepis)

Ikan selar (Selaroides leptolepis) merupakan salah satu ikan yang banyak diminati masyarakat. Permintaan yang banyak dan harga yang cukup tinggi akan mendorong peningkatan penangkapan pada ikan ini (Febrianti, dkk., 2013).

Selar kuning, Selaroides leptolepis (Carangidae); hidup bergerombol di perairan lepas pantai, daerah-daerah pantai laut dalam, kadar garam tinggi, panjang ikan dapat mencapai 20 cm, umumnya 15 cm. Termasuk ikan pelagis kecil, pemakan plankton. Penangkapan dengan purse seine, payang, jaring insang, pukat beton, jala lompo (Genisa, 1999).

Ikan selar kuning memiliki bentuk tubuh yang jorong memanjang dan pipih tegak atau yang biasa disebut fusiform, pangkal ekor kecil (Gambar 2). Bentuk mulut ikan ini adalah subterminal. Mempunyai sisik-sisik kecil tipis jenis sikloid. Terdapat bintik hitam besar dibagian atas tutup insang. Sisi tubuh dan perut berwarna keperakan. Bagian punggung ikan berwarna biru dan terdapat garis kuning di bagian punggung. Rumus sirip ikan D. VIII. I. 25; A. II. I. 20; 26 (Nalurita, 2014).

Klasifikasi (www.fishbase.org, 2015): Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub-phylum : Vertebrata Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Family : Carangidae Genus : Selaroides

Species : Selaroides leptolepis Habitat dan Tingkah Laku Ikan Selar

Ikan selar termasuk ikan laut perenang cepat dan kuat. Penyebaran ikan ini adalah semua laut di daerah tropis dan semua lautan Indopasifik. Ikan ini banyak

tertangkap di perairan pantai serta hidup berkelompok (Djuhanda, 1981 diacu dalam Wijayanti, 2009).

Menurut Nontji (1993) ikan dari genus Caranx/selar teridentifikasi di perairan Indonesia sebanyak 30 jenis, yang tersebar mulai dari perairan Indonesia Barat sampai Indonesia Timur. Ikan selar lebih banyak jumlah dan jenisnya di perairan Indonesia Timur dibandingkan dengan perairan Indonesia Barat.

Daerah distribusi ikan selar meliputi Sumatera (Tarusan, Padang, Tiku, Pariaman, dan Sibolga), Nias, Pulau Weh, Singapura, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi (Makasar, Bulukumba dan Manado), dan Laut Banda (Weber dan Beaufort, 1913).

Daerah penyebaran ikan selar dapat dilihat pada Gambar 3 yaitu meliputi Pasifik bagian barat, tersebar hampir di seluruh Indonesia, Persian, Philippina, Jepang

bagian utara, Arafuru bagian selatan dan Australia. Ikan selar hidupnya di berada di kedalaman 1-25 m

Gambar 3. Peta Sebaran Ikan Selar (Sumber:

Kondisi Parameter Perairan

Secara teoritis laju pertumbuhan setiap organisme sangat dipengaruhi oleh umur dan kondisi lingkungannya (Syam, 2006). Kondisi lingkungan dan kesuburan perairan dapat mempengaruhi pola rekrutmen ikan (Sudrajat, 2006). Data pendukung yang berkaitan dengan pertumbuhan dan laju eksploitasi ikan selar adalah aspek lingkungan perairan (DO, kecerahan, pasang surut, pH, salinitas, dan suhu).

DO (Oksigen Terlarut)

Oksigen terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah udara melalui proses difusi dan dari proses fotosintetis fitoplankton. Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di laut dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan. Hal ini

disebabkan oksigen yang ada, dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan zat organik menjadi zat anorganik (Simanjuntak, 2010).

Kecerahan

Secchi disc adalah piring bulat yang rata dengan diameter 20-30 cm yang semuanya putih atau dua kuadran dicat hitam dan dua kuadran lagi putih. Dimasukkan ke dalam air dalam posisi horizontal sehingga tidak kelihatan. Kedalaman bila hal ini terjadi disebut kedalaman Secchi dan tergantung pada kekeruhan air. Secchi disc murah dan mudah dibuat dan telah lama digunakan oleh oseanografer sebagai alat pengukur kecerahan yang cepat (Supangat dan Susana, 2014).

Pasang Surut

Pasang surut air laut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit (terutama matahari dan bulan) terhadap masa air laut di dunia, elevasi muka air tertinggi (pasang) sangat penting di dalam menentukan berbagai aktifitas kegiatan manusia di daratan kawasan pesisir. Tinggi pasang-surut adalah amplitudo total dari variasi muka air laut antara air tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) (Adji, 2008).

pH

Menurut Ikuta, dkk. (2000) pada kondisi asam (pH 4) merupakan kondisi letal bagi ikan. Pada kondisi tersebut menyebabkan ikan melakukan proses pengaturan kesetimbangan asam dalam tubuhnya agar tubuh tetap pada kondisi pH yang normal. Keseimbangan yang dilakukan oleh ikan adalah dengan mengambil ion bikarbonat (HCO3) dari perairan oleh sel klorida yang ada pada sel insang sehingga ion hidrogen ternetralisir. Akibatnya pada proses tersebut maka tubuh

ikan menjadi kehilangan ion sodium (Na+) dan Clorida (Cl-) dan tekanan osmotik dari plasma tubuh juga menurun sehingga bila terjadi terus menerus dapat menyebabkan kematian pada ikan.

Salinitas dan O2

Salinitas adalah salah satu faktor utama yang menentukan distribusi spesies ikan di Laut. Gerakan air bersama dengan konsekuensi yang dihasilkan (fluktuasi salinitas) adalah faktor yang menentukan dalam distribusi spesies (Portier, dkk., 1989).

Parameter perairan yang erat kaitannya dengan salinitas yaitu oksigen. Masuknya air tawar dan air laut secara teratur kedalam estuaria bersama dengan pendangkalan, pengadukan, dan pencampuran air dingin biasanya akan mencukupi persediaan oksigen di dalam estuaria. Karena kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, maka jumlah oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut (Simanjuntak, 2011). Suhu

Suhu merupakan parameter yang sangat penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan laut (Rasyid, 2010).

Suhu permukaan laut di Selat Malaka adalah secara alaminya sejuk pada bulan Januari dan Februari (28°C) dan paling panas pada bulan April – Juli (31°C) (Yaacob, dkk., 2007). Suhu permukan laut (SPL) perairan selat Malaka pada pengamatan musim Timur tahun 2009, SPL berkisar 24oC-35oC dengan suhu dominan relatif stabil pada bulan Juni dan Juli, mengalami penurunan pada bulan Agustus sepanjang musim. Tahun kedua pengamatan musim Timur 2010, kisaran

SPL perairan Selat Malaka 25oC-35oC suhu cenderung relatif stabil di sepanjang musim. Musim Timur 2011 pengamatan tahun ketiga, perairan Selat Malaka mempunyai kisaran SPL 26oC - 35oC, dan ditahun kempat 24oC - 34oC. Dengan demikian dapat dilhat bahwa sepanjang musim timur disetiap tahunnya variabiltas suhu permukan laut perairan selat malaka tidak mengalami fluktuasi yang mencolok dan cenderung stabil (Azani, dkk., 2014).

Hubungan Panjang dan Bobot Ikan Selar

Hubungan panjang bobot dapat menyediakan informasi yang penting untuk salah satu spesies ikan dari suatu daerah. Meskipun informasi tentang hubungan panjang bobot untuk salah satu spesies ikan dapat menggunakan ikan dari daerah lain dalam pengkajian, akan tetapi hubungan panjang bobot ikan yang terbaik adalah informasi lokal dari suatu daerah (Gonzales, dkk., 2000).

Hubungan panjang bobot sangat penting dalam biologi perikanan, karena dapat memberikan informasi tentang kondisi stok (Pauly, 1984). Data biologi berupa hubungan panjang dan bobot melalui proses lebih lanjut akan menghasilkan keluaran terakhir berupa tingkat penangkapan optimum dan hasil tangkapan maksimum lestari (Sparre dan Venema, 1999).

Nilai b pada persamaan hubungan panjang berat menunjukkan tipe pertumbuhan ikan. Jika nila b = 3 maka pertumbuhan tergolong isometrik, yaitu perubahan-perubahan dalam pertumbuhan ikan yang terjadi terus menerus dan secara proporsional dalam tubuhnya. Dan jika nilai b ≠ 3 maka pertumbuhan disebut allometrik yaitu perubahan sebagian kecil beberapa bagian tubuh ikan dan hanya

bersifat sementara, misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad (Prihartini, 2006).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Febrianti, dkk. (2013)

diketahui bahwa persamaan hubungan panjang berat ikan selar adalah W = 0,1180 L2,19. Dari nilai b yang diperoleh yaitu 2,19 dan setelah

dilakukan uji t (α = 0,05) terhadap nilai b tersebut diketahui bahwa ikan selar memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat.

Faktor Kondisi Ikan Selar

Faktor kondisi berguna dalam mengevaluasi nilai penting berbagai area tempat pemijahan ikan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor kondisi memperlihatkan sebagai suatu instrumen yang efisien dan menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun (Ribeiro, dkk., 2004).

Perhitungan faktor kondisi terdiri atas dua persamaan, yaitu persamaan faktor kondisi (FK) untuk pertumbuhan isometrik (b = 3) dan persamaan faktor kondisi (FK) untuk pertumbuhan allometrik (b ≠ 3).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Febrianti, dkk. (2013) terhadap ikan selar di Laut Natuna diketahui bahwa faktor kondisi ikan selar dengan nilai tertinggi 1,045 dan terendah 0,961.

Parameter Pertumbuhan Ikan Selar

Salah satu elemen dalam parameter pertumbuhan adalah umur teoritis (t0). Parameter ini diperoleh dari rumus empiris yang diturunkan Pauly (1984) yang menghubungkan antara logaritma t0 dengan logaritma berbagai parameter pertumbuhan lainnya (L dan K). Demikian juga pendugaan mortalitas alamiah dilakukan dengan pendekatan rumus empiris Pauly (1984) yang menghubungkan antara logaritma mortalias alamiah dengan parameter pertumbuhan L dan K serta suhu rata-rata tahunan.

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre dan Venema, 1999).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Febrianti, dkk. (2013) ikan selar di Laut Natuna memiliki persamaan pertumbuhan yang terbentuk untuk ikan selar adalah Lt = 33 (1-e[-2,2(t+1,18)]). Panjang total maksimum ikan yang tertangkap adalah 31 cm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtot (infiniti) ikan selar yaitu 33 cm.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas terdiri atas mortalitas penangkapan dan mortalitas alami yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena penyakit, predasi dan umur (Sparre dan Venema, 1999). Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai mortalitas adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teroritis (L) dan laju pertumbuhan.

Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan mengalami over eksploitasi, diantaranya adalah sumberdaya perikanan laut. Secara agregat nasional pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada tahun 1997 baru mencapai 58,5% dari potensi lestarinya, akan tetapi pada beberapa wilayah di Indonesia

sudah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing) (Dinas Perikanan dan Kelautan Serdang Bedagai, 2007 diacu dalam Butarbutar,

2008).

Laju mortalitas total diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang. Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Damayanti, 2010). Sedangkan laju eksploitasi (E) menurut Pauly (1984) merupakan bagian dari populasi ikan yang ditangkap selama periode waktu tertentu (1 tahun), sehingga laju eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor penangkapan. Laju eksploitasi (E) diperoleh dari rumus E = F/Z dengan asumsi bahwa nilai optimum F dari stok ikan yang dieksploitasi (F opt) adalah sebanding dengan mortalitas alaminya (M), maka eksploitasi optimum yang diharapkan adalah sama dengan 0,5.

Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Febrianti, dkk. (2013) di laut Natuna memiliki nilai laju mortalitas total (Z) ikan selar 10,71 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) 2,37 per tahun dan laju mortalitas penangkapan 8,34 per tahun sehingga diperoleh laju eksploitasi 0,78. Nilai laju eksploitasi ini telah melebihi nilai eksploitasi optimum 0,5.

Dokumen terkait