• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sirih Hutan

Tumbuhan sirih hutan (Piper aduncum, Piperaceae) berasal dari Amerika dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1860. Tumbuhan ini berbentuk semak- semak atau pohon kecil dan tumbuh di daerah tropis. Di daerah-daerah tertentu, sirih hutan tumbuh dengan baik pada ketinggian 90-1000 m dpl. Nama daerah sirih hutan di antaranya seuseureuhan dan gedebong (Sunda) (Heyne 1987).

Gambar 1 Buah sirih hutan

Sirih hutan kaya akan senyawa metabolit sekunder, yang termasuk dalam golongan alkaloid, fenilpropanoid, monoterpena, seskuiterpena, steroid, tanin, flavonoid, kuinon, flavanon, flavon, kromena, dan benzenoid (Parmar et al. 1997; Taylor 2006; Braga et al. 2007).

Daun sirih hutan dilaporkan mengandung 7 senyawa golongan fenilpropanoid [1,2,3-trimetoksi-5-(2-propenil)-benzena, 2,6-dimetoksi-4-(2- propenil)-fenol, 2-asetoksi-1,3-dimetoksi-5-(2-propenil)-benzena, 5-metoksi-6-(2- propenil)-1,3-benzodioksol, dilapiol, miristisin, dan safrol], 7 senyawa benzenoid [asam 3,5-bis-(3-metil-2-butenil)-4-metoksi-benzoat, asam 3-(3’,7’-dimetil-2’,6’- oktadienil)-4-metoksi-benzoat, asam 4-hidroksi-3-(3,7-dimetil-2,6-oktadienil)- benzoat, asam 4-hidroksi-3-(3-metil-1-okso-2-butenil)-5-(3-metil-2-butenil)- benzoat, metil 4-hidroksi-3-(2’-hidroperoksi-3’-metil-3’-butenil)-benzoat, metil 4- hidroksi-3-(3’-metil-2’-butenil)-benzoat, dan metil 4-hidroksi-3-(2’-hidroksi-3’- metil-3’-butenil)-benzoat], 4 senyawa kromena [asam 2,2-dimetil-2H-1-kromena- 6-karboksilat, metil 8-hidroksi-2,2-dimetil-2H-1-kromena-6-karboksilat, metil 2,2-dimetil-8-(3’-metil-2’-butenil)-2H-1-kromena-6-karboksilat, dan metil 2,2-

dimetil-2H-1-kromena-6-karboksilat, 1 senyawa dihidrokalkon [2’,6’-dihidroksi- 4’-metoksidihidrokalkon], 1 senyawa flavanon [pinosembrin], 1 senyawa steroid [β-sitosterol], dan 1 senyawa terpenoid [nerolidol] (Parmar et al. 1998; Baldoqui et al. 1999; Flores et al. 2009; Lago et al. 2009). Sementara itu, Torres-Santos et al. (1999) mengisolasi senyawa 2’,6’-dihidroksi-4’-metoksikalkon dari bunga sirih hutan.

Minyak atsiri daun dan batang sirih hutan mengandung senyawa golongan monoterpena masing-masing 45.2% dan 52.0%, serta golongan seskuiterpena masing-masing 66.9% dan 24.5% (Navickiene et al. 2006). Rali et al. (2007) melaporkan bahwa minyak atsiri daun sirih hutan mengandung dilapiol 43.3%, β- kariofilena 8.2%, piperiton 6.7%, α-humulena 5.1% dan senyawa lainnya masing- masing kurang dari 5%.

Tumbuhan sirih hutan memiliki berbagai aktivitas biologi, termasuk aktivitas terhadap serangga hama. Beberapa informasi dasar tentang aktivitas bagian tumbuhan tersebut telah diketahui. Bernard et al. (1995) melaporkan bahwa perlakuan dengan fraksi n-heksana, fraksi diklorometana, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol daun sirih hutan pada konsentrasi 100 ppm dapat mematikan larva nyamuk A. atropalpus berturut-turut sebesar 26%, 72%, 2%, dan 0%. Selain itu, perlakuan dilapiol pada konsentrasi 0.1 ppm dapat menyebabkan mortalitas larva nyamuk A. atropalpus sebesar 92%.

Dilapiol yang diisolasi dari daun sirih hutan juga dilaporkan mempunyai aktivitas insektisida terhadap kumbang Cerotoma tingomarianus. Pada aplikasi kontak dengan konsentrasi 1% dapat mengakibatkan mortalitas hampir 100%, sedangkan pada aplikasi topikal mengakibatkan mortalitas berkisar 5%-30% (Fazolin et al. 2005). Estrela et al. (2006) juga melaporkan bahwa dilapiol mempunyai aktivitas insektisida terhadap kumbang Sitophilus zeamais pada aplikasi kontak dengan LC50 2.87 µL/cm2, pada aplikasi fumigan dengan LC50

0.56 µL/g, dan pada aplikasi topikal dengan LD50 0.03 µL/g. Sementara itu, Silva

et al. (2009) membandingkan aktivitas ekstrak n-heksana, etil asetat, dan etanol daun sirih hutan terhadap caplak lembu Rhipicephalus microplus. Ekstrak etanol nyata lebih toksik daripada ekstrak etil asetat, tetapi ekstrak n-heksana yang paling aktif terhadap caplak tersebut dengan LC50 9.30 mg/mL dan menyebabkan

penurunan reproduksi sebesar 12.5%-54.2%. Selain itu, minyak atsiri yang diujikan dapat menyebabkan mortalitas larva 100% pada konsentrasi 0.1 mg/mL.

Penelitian buah sirih hutan masih terbatas pada sifat kimianya, Jamal et al. (2003) melaporkan bahwa minyak atsiri buah sirih hutan mengandung senyawa golongan monoterpena 8.58%, seskuiterpena 14.79%, dan fenilpropanoid 56.28%, dan komponen lainnya sebesar 20.35%. Sementara itu, Navickiene et al. (2006) melaporkan bahwa minyak atsiri buah sirih hutan mengandung senyawa golongan monoterpena 85.1% dan seskuiterpena 10.6%.

Crocidolomia pavonana

Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) yang sebelumnya dikenal sebagai C. binotalis Zeller merupakan salah satu hama penting yang menyerang tanaman sayuran famili Brassicaceae, seperti kubis, kubis bunga, kubis cina, mostar, lobak, dan sawi liar. Hama ini tersebar di Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan di Samudera Pasifik. Di Pulau Jawa serangga ini ditemukan baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (Kalshoven 1981).

Perkembangan C. pavonana bertipe holometabola (metamorfosis sempurna) yang melewati empat fase, yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Telur C. pavonana diletakkan secara berkelompok yang tersusun seperti atap genting pada permukaan bawah daun. Setiap kelompok rata-rata terdiri atas 10 sampai 300 butir telur. Telur-telur tersebut berwarna hijau muda atau kekuningan dan berubah warna menjadi kemerahan pada saat akan menetas. Lama stadium telur rata-rata 4-5 hari pada suhu 25-28 °C (Prijono & Hassan 1992).

Setelah melewati fase telur, larva keluar dari telur. Fase larva selama perkembangannya melewati empat instar. Tubuh larva instar I berwarna hijau, dengan lama stadium 2-3 hari. Larva instar II berwarna hijau kekuningan dan pada bagian kepala terdapat garis melintang berwarna kuning, dengan lama stadium 2-3 hari. Larva instar III berwarna hijau dengan lama stadium rata-rata 1-2 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih memanjang pada bagian dorsal dan pada bagian sisi tubuhnya, dengan lama stadium rata-rata 3-6 hari. Bagian dorsal tubuh larva instar ini akan berubah warna menjadi kecokelatan yang menandakan larva sudah tidak makan lagi untuk memasuki fase pupa. Lama

perkembangan larva secara keseluruhan 8-14 hari pada suhu 25-28 °C dengan kelembapan relatif 60-70% (Prijono & Hassan 1992).

Fase pupa berlangsung dengan cara membentuk benang sutera untuk merekatkan butiran-butiran tanah yang menyelubungi tubuhnya. Pupa normal yang terbentuk pada awalnya berwarna kuning kecokelatan kemudian berubah warna menjadi cokelat tua, dengan lama stadium 11-13 hari. Setelah itu terbentuk imago yang bersifat nokturnal. Imago memiliki toraks berwarna gelap dan abdomen berwarna merah kecokelatan. Imago jantan mudah dikenal dengan adanya sisik berwarna gelap/hitam pada tepi interior sayap depan. Rentang sayap imago betina sekitar 25 mm sedangkan imago jantan sekitar 24 mm. Ukuran tubuh imago jantan lebih panjang (sekitar 11.4 mm) daripada yang betina (sekitar 9.6 mm). Imago betina yang diberi makan larutan madu 10% menghasilkan telur 35-459 butir dan dapat hidup selama 1-2 minggu. Siklus hidup imago betina sekitar 23-28 hari, sedangkan imago jantan sekitar 24-29 hari (Prijono & Hassan 1992).

Pengendalian hama C. pavonana umumnya dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetik. Namun, penggunaan insektisida sintetik dalam menekan populasi hama dengan cepat dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan melestarikan musuh alami (parasitoid) seperti Eriborus argenteopilosus dan Palexorista inconspicuoides (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Namun, cara-cara tersebut belum dapat menekan populasi hama secara efektif. Insektisida botani merupakan salah satu alternatif pengendalian yang cukup aman sesuai konsep pengendalian hama terpadu.

Larva C. pavonana sering digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian senyawa aktif insektisida. Syahputra et al. (2004) menggunakan larva ini untuk menguji aktivitas ekstrak kulit batang tumbuhan famili Clusiaceae, Lecythidaceae, Meliaceae, dan Sapindaceae. Prijono (2005) menggunakan larva ini untuk membandingkan secara kuantitatif aktivitas penghambat perkembangan serangga dari ekstrak empat jenis tumbuhan, yaitu Aglaia odorata, A. odoratissima, Dysoxylum acutangulum, dan A. mollissimum. Prijono et al. (2006) menggunakan larva ini untuk mengetahui aktivitas insektisida ekstrak 43 jenis tanaman dari

famili Annonaceae, Asteraceae, Meliaceae, Piperaceae, dan Rutaceae. Pada penelitian ini larva C. pavonana digunakan untuk mengetahui potensi buah sirih sirih hutan sebagai sumber insektisida botani.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM IPB, Pusat Laboratorium Forensik Mabes POLRI Jakarta, dan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilaksanakan dari Desember 2010 sampai dengan Juli 2011.

Bahan Tanaman Uji

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah sirih hutan yang diperoleh dari areal kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga, kemudian dilakukan determinasi di Herbarium Bogoriense, Bogor. Hasil penentuan sampel tumbuhan sirih hutan ditunjukkan pada Lampiran 1. Buah sirih hutan dibersihkan dan dipotong kecil-kecil (± 3 cm), kemudian dikeringudarakan tanpa terkena cahaya matahari langsung. Setelah kering, buah tersebut dihaluskan dengan menggunakan mesin penghancur hingga diperoleh serbuk, kemudian diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm.

Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar II Crocidolomia pavonana yang diperoleh dari perbanyakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Pemeliharaan serangga dilakukan mengikuti prosedur yang digunakan oleh Prijono & Hassan (1992).

Uji Proksimat

Uji proksimat yang dilakukan mengacu pada AOAC (1984). Pengujian ini meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference), yang dilakukan di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM IPB.

Penyiapan Ekstrak Kasar

Ekstraksi dilakukan dengan metode yang dimodifikasi dari Silva et al. (2009). Ekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut berdasarkan perbedaan kepolaran, yaitu n-heksana, etil asetat, dan metanol secara bertahap. Pada tahap pertama, 1 kg serbuk diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut n- heksana (1:10 w/v). Hasil rendaman disaring untuk memisahkan filtrat dan residunya. Filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan penguap putar sehingga didapat ekstrak pekat n-heksana. Perendaman diulang sampai filtratnya tidak berwarna. Residunya diangin-anginkan di kamar asam (fume hood) agar terbebas dari n-heksana. Residu kering direndam kembali dengan menggunakan pelarut etil asetat sampai filtratnya tidak berwarna. Hasil rendaman disaring dan filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan penguap putar sehingga didapat ekstrak pekat etil asetat. Residunya diangin-anginkan di kamar asam (fume hood) agar terbebas dari etil asetat. Residu kering direndam kembali dengan menggunakan pelarut metanol sampai filtratnya tidak berwarna. Hasil rendaman disaring dan filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan penguap putar sehingga didapat ekstrak pekat metanol. Hasil ketiga ekstrak pekat tersebut dapat langsung digunakan atau disimpan dalam lemari es (≤ 4 °C) hingga saat digunakan. Diagram alir ekstraksi buah sirih hutan ditunjukkan pada Lampiran 2.

Uji Fitokimia

Uji fitokimia yang dilakukan mengacu pada Harborne (1987). Pengujian dilakukan pada serbuk dan ekstrak buah sirih hutan. Kelompok senyawa yang ingin diketahui dalam analisis kualitatif ialah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, hidrokuinon, triterpenoid, dan steroid.

Pada pengujian alkaloid digunakan pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner. Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dilarutkan dalam 2 mL kloroform, dibasakan dengan 5 tetes NH4OH, ditambahi 10 tetes H2SO4 2 M lalu

dikocok dengan menggunakan vorteks. Lapisan asam yang terbentuk diteteskan (3 tetes) pada pelat tetes menggunakan pipet. Keberadaan alkaloid ditunjukkan

dengan terbentuknya endapan merah jingga dengan pereaksi Dragendorf, endapan putih dengan pereaksi Meyer, dan endapan cokelat dengan pereaksi Wagner.

Uji flavonoid dilakukan dengan menambahkan 3 mL air panas pada sampel, kemudian dididihkan selama 5 menit. Sebanyak 3 tetes larutan diteteskan pada pelat tetes menggunakan pipet, selanjutnya ditambahi serbuk Mg, 1 mL HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol kemudian dikocok menggunakan vorteks. Terbentuknya warna merah/kuning/jingga menunjukkan adanya flavonoid.

Uji saponin dilakukan dengan menambahkan 3 mL air panas pada sampel, selanjutnya dipanaskan selama 5 menit dan dikocok 10 detik menggunakan vorteks, kemudian dibiarkan selama 10 menit. Terbentuknya busa yang stabil menunjukkan adanya senyawa saponin. Prosedur uji tanin hampir sama dengan uji saponin. Sampel dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit, selanjutnya larutan yang terbentuk ditambahi beberapa tetes larutan FeCl3 1%. Terbentuknya larutan

berwarna biru tua atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin.

Uji hidrokuinon dilakukan dengan menambahkan 3 mL air panas pada sampel, kemudian dididihkan selama 5 menit. Sebanyak 3 tetes larutan diteteskan pada pelat tetes menggunakan pipet, selanjutnya ditambahi 1 mL NaOH. Terbentuknya endapan warna merah menunjukkan adanya hidrokuinon.

Penentuan adanya senyawa triterpenoid dan steroid dilakukan dengan menambahkan 2 mL eter pada sampel. Lapisan eter yang terbentuk diteteskan pada pelat tetes kemudian ditambahi 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Adanya triterpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu, sedangkan adanya steroid ditandai terbentuknya warna hijau atau biru.

Uji Aktivitas Insektisida

Pengujian aktivitas insektisida dilakukan dengan metode residu pada daun (Prijono et al. 2001). Pengujian dilakukan pada ekstrak dan fraksi-fraksi buah sirih hutan. Pengujian melalui dua tahap, yaitu uji pendahuluan dan uji lanjutan.

Uji Pendahuluan

Ekstrak kasar diuji pada konsentrasi 0.1% dan 0.5%, sedangkan fraksi-fraksi diuji pada konsentrasi 0.05% dan 0.1% untuk fraksi 1 dan 2, dan fraksi lainnya

pada konsentrasi 0.08% dan 0.15%. Pengujian dilakukan dengan tiga ulangan, dan pada setiap ulangan digunakan 15 ekor larva instar II C. pavonana. Ekstrak n- heksana, ekstrak etil asetat, dan fraksi-fraksi dilarutkan dalam pelarut aseton, sedangkan ekstrak metanol dilarutkan dalam pelarut metanol. Semua larutan sampel kemudian dioleskan pada kedua sisi permukaan potongan daun brokoli (diameter 3 cm) sebanyak 25 µL per sisi dengan menggunakan mikrosemprit (microsyringe). Daun kontrol pada ekstrak kasar diolesi dengan pelarut aseton dan metanol, sedangkan fraksi-fraksi dengan pelarut aseton. Setelah pelarutnya menguap, dua potong daun perlakuan diletakkan dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang telah dialasi tisu, kemudian 15 ekor larva instar II C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut. Pemberian makan daun perlakuan dilakukan selama 48 jam, kemudian larva diberi makan daun segar tanpa perlakuan. Larva yang bertahan hidup dipelihara sampai instar IV, sementara jumlah larva yang mati dicatat setiap hari. Perkembangan larva yang bertahan hidup diikuti setiap hari dan dihitung lama perkembangannya hingga mencapai instar IV.

Uji Lanjutan

Ekstrak dan fraksi teraktif diuji lebih lanjut pada enam taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara >0% dan <100% yang ditentukan berdasarkan hasil uji pendahuluan. Formulasi insektisida komersial Agrimec 18 EC (b.a. abamektin 18.4 g/l) juga diuji sebagai kontrol positif. Setiap perlakuan dan kontrol pada uji lanjutan terdiri atas enam ulangan, pada setiap ulangan digunakan 15 ekor larva instar II C. pavonana. Cara pengujian dan pengamatan sama seperti pada uji pendahuluan. Larva yang mati dicatat setiap hari dan larva yang bertahan hidup diikuti perkembangannya setiap hari seperti pada pengujian awal.

Data mortalitas kumulatif diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987). Data lama perkembangan larva dari instar II ke instar IV diolah dengan sidik ragam, yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.

Pencarian Eluen Terbaik

Pencarian eluen terbaik dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). KLT yang digunakan adalah pelat aluminium dengan adsorben Silica Gel 60 F254 dari Merck. KLT diaktifkan terlebih dahulu pada suhu 105 °C selama

30 menit. Ekstrak pekat ditotolkan pada KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah kering KLT tersebut langsung dielusi dalam ruang elusi yang telah dijenuhkan dengan uap eluen pengembang. Eluen yang digunakan dalam pemisahan awal adalah metanol, etanol, aseton, diklorometana, kloroform, etil asetat, dan n-heksana. Eluen dengan pemisahan terbaik kemudian dikombinasikan satu dengan yang lainnya dengan berbagai perbandingan. Bila eluen telah mencapai batas yang ditentukan, pelat diangkat dan dikeringudarakan. Noda hasil elusi diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm.

Fraksinasi Ekstrak Teraktif dan Identifikasi Fraksi Teraktif

Ekstrak yang paling aktif terhadap larva instar II C. pavonana difraksinasi menggunakan kromatografi kolom dengan metode step gradient. Fase diam yang digunakan adalah Silica Gel 60 (0.063-0.200 mm) dari Merck, sedangkan fase gerak menggunakan eluen terbaik hasil KLT. Setiap eluat ditampung dalam tabung reaksi dengan volume masing-masing sebanyak 5 mL dan dipantau dengan KLT untuk menentukan jumlah fraksi yang terbentuk. Fraksi hasil pemisahan tersebut masing-masing diuji aktivitasnya terhadap larva C. pavonana.

Fraksi yang paling aktif selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) Agilent GC-MSD 5975s dan spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR) Perkin Elmer seri SpectrumOne. Diagram alir fraksinasi ekstrak teraktif dan identifikasi fraksi teraktif ditunjukkan pada Lampiran 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan. Analisis proksimat yang dilakukan pada buah sirih hutan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference). Hasil analisis proksimat buah sirih hutan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis proksimat buah sirih hutan

Peubah Kandungan (%) Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat 11.32 6.38 11.42 4.98 65.90

Sampel yang akan dianalisis sering mengandung air sehingga diperlukan penetapan kadar air untuk mengetahui jumlah bahan (bobot kering) yang terdapat dalam ekstrak. Kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap daya simpannya, karena erat kaitannya dengan aktivitas mikrobiologi yang terjadi selama bahan tersebut disimpan. Kadar air yang tinggi menyebabkan mikroba lebih mudah mengalami pertumbuhan. Selain rentan terhadap kerusakan oleh mikroba dan jamur, kadar air yang tinggi juga berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan. Sampel yang baik disimpan dalam jangka panjang adalah sampel yang memiliki kadar air kurang dari 10%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung dalam buah sirih hutan adalah 11.32%. Dengan demikian buah sirih hutan ini memiliki kadar air lebih besar dari 10%, artinya buah sirih hutan ini diramalkan akan memiliki waktu simpan yang relatif singkat dan mudah rusak oleh mikroba. Menurut Hernani & Nurdjanah (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan

adalah waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembapan udara di sekitarnya, kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas permukaan bahan. Pertumbuhan mikroba pada buah sirih hutan dapat dihambat dengan cara menyimpan serbuk kering buah sirih hutan dalam wadah dan tempat yang kering serta tidak lembap, atau dengan mengeringkan kembali sehingga kadar airnya dapat berkurang.

Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada suatu bahan yang tidak terbakar selama pengabuan. Mineral sebagai senyawa anorganik akan tertinggal dalam bentuk abu yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Kandungan mineral yang cukup besar diperlukan untuk keseimbangan osmosis dalam mempertahankan sistem biologinya (Bidwel 1974). Kadar abu buah sirih hutan yang diperoleh adalah 6.38%. Nilai tersebut cukup besar karena buah sirih hutan kaya akan mineral. Kandungan mineral pada buah sirih hutan di antaranya nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur, boron, tembaga, mangan, dan seng (Hartemink 2001).

Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein dibentuk oleh asam-asam amino yang mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen (beberapa asam amino juga mengandung fosfor, besi, dan yodium) melalui ikatan peptida (Tejasari 2003). Kadar protein pada buah sirih hutan yang diperoleh adalah 11.42%.

Lemak merupakan bagian jaringan tubuh yang dapat digunakan sebagai sumber energi setelah dicerna. Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Helper et al. 1988). Kadar lemak yang didapatkan dari buah sirih hutan adalah 4.98%. Lemak dalam tubuh umumnya disimpan sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut (Almatsier 2006).

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi kehidupan manusia dan hewan. Karbohidrat dalam ilmu gizi dibagi dalam dua golongan, yaitu karbohidrat sederhana (monosakarida, disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida dan serat) (Almatsier 2006). Kadar karbohidrat dapat ditentukan dengan perhitungan by difference yaitu hasil

pengurangan 100% dengan kadar air, abu, protein, dan lemak, sehingga kadar karbohidrat bergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat dipengaruhi oleh faktor kandungan zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat pada buah sirih hutan adalah 65.90%. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan kandungan gizi yang lainnya.

Hasil Ekstraksi Buah Sirih Hutan

Ekstraksi merupakan proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari suatu campuran dengan bantuan pelarut. Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Pemilihan pelarut berdasarkan prinsip kelarutan like dissolves like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa yang polar, sedangkan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Suatu senyawa akan menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda pula.

Sampel buah sirih hutan diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu praktis, efektif, aman, dan ekonomis dalam penggunaannya serta menghindari rusaknya senyawa aktif pada sampel yang tidak tahan panas. Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut organik, kemudian ekstrak cair dibebaskan dari pelarutnya dengan menggunakan rotavapor.

Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dalam ekstraksi bertahap berturut- turut n-heksana, etil asetat, dan metanol. Penggunaan berbagai jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda dilakukan untuk mendapatkan ekstrak dengan hasil yang optimal dari senyawa yang belum diketahui jenisnya. Pelarut n- heksana merupakan pelarut yang bersifat nonpolar yang diharapkan dapat mengekstrak atau mengambil senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, pelarut etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semipolar yang diharapkan mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat semipolar, sedangkan pelarut metanol merupakan pelarut yang bersifat polar yang diharapkan dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat polar.

Berdasarkan hasil ekstraksi buah sirih hutan, rendemen yang diperoleh dari ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol masing-masing sebesar 6.93% dengan

10 kali ekstraksi, 2.07% dengan 9 kali ekstraksi, dan 5.81% dengan 1 kali ekstraksi (Tabel 2). Ekstrak n-heksana yang diperoleh berupa minyak yang berwarna kuning kehitaman, sedangkan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol dalam bentuk pasta dengan warna masing-masing hijau pekat dan cokelat pekat.

Tabel 2 Rendemen ekstrak buah sirih hutan dengan ekstraksi bertahap

Dokumen terkait