• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Mangrove

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.Untuk menghindari kekeliruan perlu dipertegas bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu yakni dari marga Rhizophora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini.Karena di hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada maka istilah hutan mangrove lebih popular digunakan untuk pada tipe hutan ini.Segala tumbuhan dalam hutan ini saling berinteraksi dengan lingkungannya baik yang bersifat biotik maupun abiotik. Seluruh sistem yang bergantung ini membentuk apa yang dikenal sebagai ekosistem mangrove (Nontji, 1987 diacu oleh Kordi K, 2011).

Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut, terutama perikanan pantai sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan salah satu alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut. Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi (Kawaroe, dkk., 2001).

Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan. Secara umum merupakan sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya berbagai flora

dan fauna. Mulai dari perkembangan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan dan hewan-hewan laut kecil lainnya. Pada gilirannya akan menjadi makanan hewan yang lebih besar dan akhirnya menjadi mangsa predator besar termasuk pemanfaatan oleh manusia(Talib, 2008).

Mengingat hutan bakau terletak di daerah intertidal, maka sebagian areal lantai hutan ada yang selamanya tergenang air, sebagian lain tergenang penuh hanya pada waktu air pasang, sedangkan pada waktu air surut meninggalkan genangan air di beberapa tempat berbentuk seperti ‘kolam air’, sisanya berupa tanah berlumpur dan ada yang bertanah keras. Mengingat di tempat tersebut terdapat sumber unsur hara terlarut yang diduga berbentuk sebagai ikatan fosfat, nitrogen organik dan karbon terlarut. Substansi nutrien tersebut berasal dari daun-daun yang gugur dan mengalami perengkahan alami (Wibisono, 2005).

Kegiatan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan hutan mangrove secara ideal diupayakan terintegrasi dengan kepentingan ekologis, pembangunan, dan hak masyarakat sekitar. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove sehingga dapat meningkatkan tanggung jawab dan peran serta dalam perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya secara lestari. Salah satu peranan mangrove dalam usaha perikanan tambak adalah sebagai pemasok bahan organik, selain sebagai tempat penyedia bibit. Serasah mangrove yang jatuh diuraikan oleh mikroorganisme kemudian masuk ke rantai makanan, sehingga dapat menyediakan nutrien bagi organisme yang hidup di perairan sekitarnya (Siarudin dan Rachman, 2008).

Keberadaan hutan mangrove sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai sumber nutrien bagi berbagai organisme laut. Perubahan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari alam maupun dari aktivitas manusia seperti adanya peningkatan penebangan hutan Mangrove yang dapat menimbulkan penurunan nilai kuantitatif hutan mangrove melampaui batas normal yang tidak dapat ditoleransi oleh organisme hidup dalam ekosistemnya (Noer, 2009).

Zonasi Mangrove

Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh

Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan

Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35 - 40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza (Talib, 2008).

Menurut Bengen (2001) diacu oleh Iman (2014), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia :

a. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Gambar 2. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)

Kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga didalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien daripada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau

asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai. Faktor-faktor lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuh-tumbuhan mangrove muda serta predasi terseleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan berpengaruh terhadap penzonaan (Talib, 2008).

Taksonomi dan Morfologi Rhizophora stylosa

Menurut Noor, dkk (2006) taksonomi R. stylosa adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora

Spesies : Rhizophora stylosa Griff.

Rhizophora stylosa dapat tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10 m. Permukaan batang berwarna abu-abu kehitaman, bercelah halus. Daun permukaan atas halus mengkilap, ujung meruncing, dengan duri, bentuk lonjong dengan lebar bagian tengah, ukuran panjang 8-12 cm, permukaan bawah tulang daun berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata. Karangan bunga: terletak di ketiakdaun, bercabang 2-3 kali, masing-masing cabang 4-16 bunga tunggal, kelopak 4, berwarna kuning gading, mahkota 4, berwarna keputihan, benag sari 8, tangkai putik jelas (stilus), panjang 0,4-0,6 cm. Buah: mirip dengan bentuk jambu air, warna coklat, ukuran 1,5-2 cm, hipokotil berdiameter 2-2,5 cm, permukaan halus, panjang dapat mencapai 30 cm. Akar: tunjang. Habitat: tanah basa, sedikit

berlumpur, berpasir. Penyebaran di Indonesia didapati mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua (Sudarmadji, 2004). Morfologi R. stylosa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. (a) Pohon R. stylosa (b) Daun dan Bunga R. stylosa (c) Buah R. stylosa

(Noor, dkk., 2006).

Serasah Mangrove

Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan hewan pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan-bahan hasil pelapukan mangrove berasal dari organ pohon mangrove yaitu daun, bunga, cabang, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai hutan yang disebut serasah. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut (Naibaho dkk., 2015).

Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah dan menyediakan makanan bagi konsumen serta mempunyai kontribusi penting bagi rantai makanan di wilayah pesisir melalui daun yang mati dan gugur, guguran daun diartikan sebagai penurunan bobot yang disebabkan oleh beberapa

c b

parameter fisika-kimia yang disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, embun/kelembaban, dan ketersediaan nutrient. Ada beberapa jenis dari serasah mangrove. Lebih dari setengah jumlah serasah terdiri dari daun dan biasanya daun yang telah tua (berwarna kuning) (Sa’ban dkk., 2013).

Serasah vegetasi mangrove yang telah terurai melalui proses dekomposisi, sebagian akan diserap oleh mangrove itu sendiri dan sebagian lainnya menjadi tambahan masukan bahan organik bagi ekosistem mangrove di sekitarnya. Manfaat akumulasi bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan mangrove antara lain memperkaya hara pada ekosistem mangrove, sebagai daerah asuhan dan pembesaran (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan perlindungan bagi aneka biota perairan. Selain itu, akumulasi bahan organik juga mampu mereduksi potensi subsidensi permukaan lahan hutan mangrove. Bahan organik yang tersedia di kawasan tersebut berasal dari bagian-bagian pohon, terutama yang berupa daun (Wibisana, 2004 diacu oleh Andrianto dkk., 2015).

Serasah tumbuhan tidak homogen, tetapi tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan. Dari waktu ke waktu jatuhan serasah pun tidak seragam. Bahkan di hutan yang selalu basah pun, puncaknya sering kali terjadi pada periode terbasah dari tahun itu. Sebaliknya, pohon-pohon tropika meranggas akan merontokkan daun pada musim kering (Kartawinata, dkk., 1991).

Produksi dan Dekomposisi Serasah

Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove

dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Apabila serasah di hutan mangrove ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa lainnya, akan diperoleh informasi penting dalam produksi, dekomposisi, dan siklus nutrisi ekosistem hutan mangrove (Zamroni dan Rohyani, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serasah dan laju dekomposisi serasah adalah jenis tumbuhan, umur tumbuhan, iklim dan karakteristik lingkungan. Banyaknya jenis mangrove dalam komunitas, akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit. Demikian pula laju dekomposisi serasah sebagai bahan organik tergantung pada jumlah dan jenis serasah, serta kondisi lingkungan (Indriani, 2008).

Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi, dan hewan tanah lainnya) atau sering juga disebut mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang bersal dari hewan maupun tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo dkk., 1991 diacu oleh Gultom, 2009).

Salah satu proses yang terjadi pada ekosistem Mangrove yang memberikan kontribusi paling besar terhadap kesuburan perairan adalah proses dekomposisi atau penghancuran serasah mangrove. Penghancuran serasah merupakan bagian dari tahap proses dekomposisi, yang dapat menghasilkan bahan organik yang penting dalam rantai makanan, memberikan kesuburan dan produktivitas perairan disekitarnya (Galaxy, dkk., 2014).

Perubahan secara fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah disebut sebagai proses dekomposisi (pembusukan atau pelapukan) atau kadang-kadang disebut mineralisasi. Hasil proses dekomposisi sangat membantu tersedianya zat-zat organik tanah yang merupakan hara bagi tanaman. Apabila residu tanaman dan hewan dimasukkan ke dalam tanah atau dikumpulkan sebagai kompos, di bawah kondisi yang lembab dan serasi yang menguntungkan atau baik, maka bahan-bahan tersebut akan diserang oleh sejumlah besar mikroorganisme yang beragam, antara lain bakteri, cendawan, protozoa, cacing dan larva serangga (Mulyani dkk., 1991 diacu oleh Dewi, 2009).

Hutan Mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat tinggi, tetapi hanya kurang lebih 10% dari produksinya dapat langsung dimakan oleh herbivora, sisanya masuk ke dalam ekosistem dalam bentuk detritus. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagian detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun. Mangrove yang gugur sepanjang tahun, dan melalui aktivitas mikroba dekomposer dan hewan hewan pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel partikel halus (Mahmudi, dkk.,2008 diacu oleh Galaxy, dkk., 2014).

Telah diketahui pula bahwa dalam proses dekomposisi dihasilkan pula berbagai zat kimia yang mempunyai efek positif sebagai zat perangsang pertumbuhan, dan yang mempunyai efek negatif sebagai penghambat pertumbuhan. Zat kimia ini disebut hormon lingkungan. Dengan demikian, banyak produk dekomposisi, berfungsi bukan hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai pengatur kimiawi (Resosoedarmo, dkk., 1988).

Pada penelitian Nugraha (2010) menyatakan bahwa tingginya laju guguran daun mangrove jenis Rhizopora sp. menjelaskan berkorelasi dengan keberadaan mangrove jenis ini sebagai merupakan mangrove yang paling banyakditemui. Guguran daun Rhizopora sp. yang banyak juga kemungkinan disebabkan juga oleh bentukdan besar daun maupun buahnya. Daun dan buah yang besar pada Rhizopora membuat laju serasahnya menjadi sangat cepat. Guguran daun yang banyak menyebabkan banyaknya unsur hara di lokasi tersebut, sehingga membuat lokasi tempat Rhizopora itu tumbuh dengan subur.

Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan R. stylosa

Ekosistem mangrove di wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan wilayah tersebut. Faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan mangrove adalah sebagai berikut :

1. Suhu

Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan.Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 100C (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Barus, 2004).

2. Salinitas

Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis makrobentos yang membantu dalam proses dekomposisi serasah R. stylosa. Adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas, yang akan mengakibatkan kematian beberapa jenis makrobentos tersebut. Kehidupan beberapa makrobentos tergantung pada rendahnya salinitas. Aktivitas makroorganisme yang tahan terhadap salinitas yang tinggi dan mikroorganisme membantu dalam proses pendekomposisian bahan organik dalam tanah. Kadar salinitas jenis tegakan Rhizophora spp berkisaran antara 32 pp-36 ppt, pada saat keadaan air laut tidak pasang/surut (Arief, 2003).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Gultom, 2009).

3. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH tanah dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6 - 6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (Arief, 2003).

4. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah parameter kualitas air yang merupakan unsur kunci untuk menentukan keseimbangan dan kemantapan kehidupan dalam air.

Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh adanya senyawa organik yang berlebihan. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh parameter lain : suhu, salinitas, bahan organik dan kecerahan. Peningkatan suhu, salinitas, dan bahan organik terlarut menurunkan konsentrasi oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut di perairan dapat juga dijadikan indikator pencemaran. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menggunakan bahan organik di perairan (Wibisana, 2004).

Unsur Hara yang Terkandung dalam Serasah Daun R. stylosa

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove menurut Thaher (2013), terdiri dari hara anorganik dan organik.Anorganik : P, K, Ca, Mg, Na. Organik : fitoplankton, bakteri, alga. Sedangkan kandungan unsur hara yang terdapat di dalam daun-daun berbagai jenis mangrove terdiri atas karbon, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium.

Tabel 1. Kandungan hara yang terkandung didalam serasah mangrove

No. Jenis

Daun Karbon Nitrogen Fosfor Kalium Kalsium Magnesium 1. Rhizophora 50.83 0.83 0.025 0.35 0.75 0.86

2. Ceriops 49.78 0.38 0.006 0.42 0.74 1.07

3. Avicennia 47.93 0.35 0.086 0.81 0.30 0.49 4. Sonneratia 1.42 0.12 1.30 0.98 0.27 0.45

Karbon (C)

Lautan mengandung karbon lima puluh kali lebih banyak daripada karbon di atmosfer. Perpindahan karbon dari atmosfer ke laut terjadi terjadi melalui proses difusi. Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik melalui proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer

melalui proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk hidup (Efendi, 2003).

Nitrogen

Unsur N di dalam tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik sisa-sisa tanaman maupun binatang. Pemupukan (terutama urea dan ammonium nitrat) dan air hujan. Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan terhadap tanaman tergantung pada laju proses dekomposisi (Hanafiah, 2003).

Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan atmosfer bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil. Meskipun ditemukan dalam jumlah yang yang melimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4 dan NO3 (Efendi, 2003).

Fosfor (P)

Menurut Efendi (2003), bahwa unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut. Fosfor membentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat larut dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik. Fosfor yang terdapat dalam air laut umumnya berasal dari dekomposisi organisme yang sudah mati.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam yang khas pada daerah pantai tropik dan mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai seperti penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut.

Mangrove diketahui berperan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai, tegakan mangrove juga dapat melindungi pemukiman, bangunan, lahan pertanian dari angin kencang dan intrusi air laut.Menurut Davies dan Claridge (1993) diacu oleh Noor, dkk (2006) akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan subtrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus. Lingkungan mangrove dapat menyediakan perlindungan dan sumber makanan berupa bahan-bahan organik bagi organisme di kawasan pesisir.

Produksi serasah hutan mangrove di Indonesia diduga sekitar 40,40 sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora sp. produksi serasah bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Hutan mangrove melalui

produktifitas serasah di Indonesia sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun (Sa’ban, dkk., 2013).

Serasah vegetasi mangrove yang telah terurai melalui proses dekomposisi, sebagian akan diserap oleh mangrove itu sendiri dan sebagian lainnya menjadi tambahan masukan bahan organik bagi ekosistem mangrove di sekitarnya. Manfaat akumulasi bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan mangrove antara lain memperkaya hara pada ekosistem mangrove, sebagai daerah asuhan dan pembesaran (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan perlindungan bagi aneka biota perairan. Selain itu, akumulasi bahan organik juga mampu mereduksi potensi subsidensi permukaan lahan hutan mangrove. Bahan organik yang tersedia di kawasan tersebut berasal dari bagian-bagian pohon, terutama yang berupa daun (Andrianto,dkk., 2015).

Menyadari pentingnya peran ekosistem hutan mangrove khususnya bagi flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove maka perlu dilakukan penelitian tentang produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove yang terletak di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara guna untuk mengetahui seberapa besar bahan organik dan unsur hara yang terdapat pada kawasan mangrove tersebut.

Perumusan Masalah

Lahan hutan mangrove yang berada di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tergolong alami. Hal ini yang didasarkan dalam

pertimbangan bahwa data produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove

Rhizophora mucronata merupakan serasah yang paling dominan terdapat di daerah tersebut. Sedikitnya informasi tentang produksi dan laju dekomposisi serasah ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak perduli akan manfaat serasah daun mangrove Rhizophora stylosa yang berhubungan dengan kandungan unsur hara di pesisir. Hal inilah yang mendasari diperlukan adanya kajian mengenai produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa besar produksi serasah daun mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ?

2. Bagaimana laju dekomposisi serasah daun mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui besar produksi serasah daun R. stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengukur laju dekomposisi serasah daun R. stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk menentukan tingkat kesuburan suatu perairan di kawasan ekosistem pesisir.

2. Digunakan sebagai informasi awal untuk mempelajari siklus akumulasi unsur hara pada ekosistem pesisir.

Kerangka Pemikiran

Ekosistem mangrove merupakan daerah penyedia unsur hara tebesar di Pulau Sembilan. Ekosistem mangrove memegang peranan penting sebagai daerah penangkapan dan pertambakan ikan ataupun krustase. Serasah mangrove berupa daun akan terdekomposisi oleh dekomposer menjadi partikel-partikel detritus yang menghasilkan unsur hara dan bahan organik yang digunakan sebagai sumber nutrisi bagi vegetasi mangrove. Skema kerangka pemikiran dapat dilihat pada

Dokumen terkait