• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Endometrium

2.1.1. Anatomi

Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri. Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm (Junquera, 2007). Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik. Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan dengan korpus oleh ismus (Michael H. Ros, 2007). Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan panjang serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1. (Frank W. Ling, 2002).

Gambar 2.1 Sisi anterior uterus (Dikutip dari Glass office gynecology, 2000)

`

Gambar 2.2 Pembagian sisi uterus ( Dikutip dari John Hopkins Manual of Obstetry and Gynecology, 2008)

2.1.2 Histologi

Dari segi histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 ( Junquiera, 2007):

2. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar.

3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel – sel epitel pelapisnya merupakan gabungan selapis sel – sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutana berasal dari kolagen tipe III.

Gambar 2.3 Uterus dan Jaringan Adnexa (Dikutip dari Histologi A Text and Atlas 4th edition, 2008)

Gambar 2.4 Lapisan dinding uterus (Dikutip dari SOGC, 2008)

Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona (Gambar 2.3), (1) Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang paling dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia reproduksi. Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar nanitnya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium, sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah ovulasi mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga perubahan predesidual di stroma. (Claude Gompel, 2000)

Gambar 2.5 Histologi endometrium (Dikutip dari Junquiera, 2007) 2.2 Endometriosis

2.2.1 Definisi

Endometriosis adalah kelainan ginekologis yang ditandai dengan adanya pertumbuhan lapisan endometrium secara ektopik yang ditemukan diluar uterus (Redwine, 2006). Secara lebih spesifik lagi dijelaskan sebagai suatu keadaan dengan jaringan yang mengandung unsur – unsur stroma dan unsur granular endometrium khas terdapat secara abnormal pada berbagai tempat di dalam rongga panggul atau daerah lain pada tubuh ( Dorland, 2006 ).

2.2.2 Epidemiologi

Endometriosis merupakan salah satu penyakit organ reproduksi yang paling sering terjadi. Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia remaja dan usia reproduksi dari segala etnis dan kelompok masyarakat (Heriansyah, 2011). Penyakit ini terjadi pada 5 – 10 % pada wanita usia reproduksi. (Nicholas Leyland, MD, Toronto ON, 2010). Epidemiologi endometriosis yang

sesungguhnya telah disalahartikan oleh observasi awal yang sering kali menyesatkan dan telah terjadi selama beberapa dekade. Adanya observasi awal yang salah tersebut diperburuk dengan tingginya kesalahan diagnosis visual pada saat dilakukan operasi (Redwine, 2006).

Menurut Jacoeb dalam buku Berek and Novak’s and gynecology, angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan secara pasti karena belum ada studi epidemiologik, namun, dari data temuan di rumah sakit, angka kejadiannya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Pada pasangan infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh endometriosis, sedangkan pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai 80% (Evers, 1997). Di bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UI RSCM selama tahun 1990 tercatat 15,7% kasus endometriosis di Poliklinik Imunoendokrinologi (Baziad, 1993).

2.2.3 Klasifikasi

Penentuan klasifikasi dan stadium endometriosis sangat penting dilakukan untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Stadium endometriosis tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas (Winkel, 2010). Hal ini dikarenakan endometriosis dapat dijumpai pada pasien yang asimptomatik. Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.

Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada endometriosis, dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai – nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV). Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi,yaitu:

1. Peritoneal endometriosis

Lesi di peritoneum memiliki banyak vaskularisasi, sehingga menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehinggga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah menjadi lesi berwarna hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih yang memiliki sedikit vaskularisasi dan akan ditemukan debris glandular. 2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)

Pada endoemtriosis yang terjadi di ovarium, dapat timbul kista yang berwarna coklat dan sering terjadi perlengketan dengan organ – organ lain, kemudian membentuk konglomerasi. Kista endometrium dapat berukuran >3cm dan multilokus, juga dapat tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista.

3. Deep Nodular Endometriosis

Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan

endometriosisakan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara klinis yang berhubungan dengan endometriosis nodular dalam. Ada banyak klasifikasi stadium yang digunakan untuk mengelompokkan endometriosisdari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan adalah sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi (Tabel 2.1). Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut adalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium:

- Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal) - Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang) - Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat) - Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

Tabel 2.1 American Society for Reproductive Medicine revised classification of endometriosis. (Property of the American Society for Reproductive Medicine, 1996.)

Gambar 2.6 Pembagian stadium endometriosis (Dikutip dari Obstertics and Gynecology, 2007)

2.2.4. Etiopatogenesis

Mekanisme terjadinya endometriosis belum dapat diketahui secara pasti. Namun beberpa teori telah dikemukakan dan dipercaya sebagai mekanisme dasar endometriosis. Beberapa teori tersebut antara lain:

A. Menstruasi retrograde

Teori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan bahwa endometriosis terjadi karena darah menstruasi mengalir balik melalui tuba ke dalam rongga pelvis (retrograde). Darah yang berbalik ke rongga peritoneum diketahui mampu berimplantasi pada permukaan peritoneum dan merangsang metaplasia peritoneum yang kemudian akan merangsang angiogenesis. Hal ini

dibuktikan dengan lesi endometriosis sering dijumpai pada daerah yang meningkat vaskularisasinya. Dewasa ini, teori ini tidak lagi menjadi teori utama, karena teori ini tidak dapat menjelaskan keadaan endometriosis di luar pelvis (Januar, 2003). Teori yang menguatkan bahwa teori Sampson tidak dapat laigi diterima adalah telah ditemukan bahwa partikel endometrium memasuki rongga peritoneal mereka akan diserang dan dihancurkan proses imunnologi yang masih belum dapat diteliti. Selain itu, teori menstruasi retrograde tidak dapat menjelaskan mekanisme terjadinya endometriosis di organ-organ lain, sehingga endometriosis dipercaya memiliki beberapa patogenesis lain.

B. Teori imunologik dan genetik

Gangguan pada imunitas terjadi pada wanita yang menderita endometriosis (Hill, 1988). Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem pengumpulan dan pembuangan zat-zat sisa saat menstruasi oleh makrofag dan fungsi sel NK yang menurun pada endometriosis. Beberapa penelitian menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam serum peritoneal penderita endometriosis. Kadar C

3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di dalam serum pada endometriosis yang lebih berat. C

3 merupakan komplemen yang memegang kunci penting yang berawalnya kaskade proses imunologis tubuh. Komplemen ini dipakai oleh antibodi untuk proses penghancuran dinding sel sehingga merusak sel ( Jacoeb, 1990). Kadar C

3 yang tinggi di dalam serum menunjukkan komplemen tersebut tidak dikonsumsi dalam proses imunologi dan proses sitolisis tidak berlangsung.

C. Teori metaplasia

Teori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang menyatakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis, sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Teori ini didukung oleh penelitian-penelitian yang dapat menerangkan terjadinya pertumbuhan endometriosis di toraks, umbilikus dan vulva.

D. Teori emboli limfatik dan vascular

Teori ini dapat menjelaskan mekanisme terjadinya endometriosis di daerah luar pelvis. Daerah retroperitoneal memiliki banyak sirkulasi limfatik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada 29 % wanita yang menderita endometriosis ditemukan nodul limfa pada pelvis. Hal ini dapat menjadi salah satu dasar teori akan endometriosis yang terjadi di luar pelvis, contohnya di paru (Williams, 2008).

2.2.5. Lokasi anatomis

Endometriosis dapat tumbuh dimana saja di dalam pelvis dan pada permukaan peritoneum ekstrapelvis lainnya. Ovarium, peritoneum pelvis, cul-de-sac anterior dan posterior, dan ligamen uterosakral merupakan area yang paling sering terlibat pada kasus endometriosis (Gambar 2.6). Selain beberapa area tersebut, septum retktovaginal, ureter, kandung kemih, perikardium, bekas luka bedah, dan pleura juga dapat menjadi lokasi endometriosis. Sebuah studi mengungkapkan bahwa endometriosis telah ditemukan pada seluruh organ, kecuali pada limpa (Markham, 1998). Beberapa lokasi anatomis endometriosis adalah:

A. Endometriosis uteri interna ( Adenomiosis uteri)

Adenomiosis dikarakteristik dengan ditemukannya jaringan endometriosis tumbuh ke lapisan otot yang lebih dalam di uterus (miometrium). Adenomiosis terdiri dari adeno ( kelenjar), mio (otot) dan osis (suatu kondisi) yang secara jelas didefinisikan sebagai adanya atau tumbuhnya kelenjar (endometrium) di lapisan otot (miometrium). Pada keadaan normal, terdapat lapisan pembatas antara antara endometrium dan miometrium yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan endometrium.

Sekalipun belum ada patogenesis pasti dari adenomiosis, namun para peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya lapisan otot pembatas pada wanita yang menderita adenomiosis dan juga dipicu oleh meningkatnya tekanan intra uterin antara kedua sisi. Ditemukannya konsentrasi estrogen yang cukup tinggi dan adanya sistem imun yang

terganggu pada penderita adenomiosis juga dianggap menjadi mekanisme penting dalam terjadinya adenomiosis. Rahim yang membesar dan lunak merupakan gejala klasik dari adenomiosis.

Tidak seperti endometriosis, beberapa peneliti percaya bahwa adenomiosis dapat terjadi setelah kehamilan dan melahirkan, wanita berusia empat puluhan dan lima puluhan yang telah melahirkan paling tidak satu anak lebih mungkin untuk mengembangkan adenomiosis. Faktor genetik dan hormon dipercaya menjadi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya adenomiosis. Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang sering ditemukan pada wanita multipara usia 40 – 50 tahun.

Gambar 2.7 Adenomiosis (Dikutip dari Clinical Gynecologyc Oncology, 2007) B. Endometriosis ovarium

Diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Pada endometriosis yang terjadi di ovarium dapat terbentuk kista, namun kista yang terbentuk disini bukan merupakkan kista sesungguhnya. Kista yang normal berisi cairan dari lapisan sebuah

struktur, sedangkan dinding dari kista endometriosis terdiri dari jaringan fibrosa, jaringan inflamasi, dan endometrium tidak menghasilkan cairan. C. Endometriosis tuba

Saluran yang paling banyak mengalami endometriosis adalah saluran tuba tertutup. Gejala yang paling sering didapatkan dari kasus ini adalah infertilitas. Pada wanita yang mengalami endometriosis di tuba akan lebih rentan mengalami kehamilan ektopik.

D. Endometriosis retroservikalis

Pada rechtal toucher sering ditemukan adanya benjolan yang nyeri pada cavum douglas, benjolan – benjolan ini melekat dengan uterus dan rektum, akibatnya terjadi dismenore, dispareuni, nyeri saat defekasi, serta nyeri pelvis.

E. Endometriosis ekstragenital

Setiap anggota tubuh yang dikeluhkan mengalami nyeri setiap kali haid perlu dicurigai mengalami endometriosis.

Gambar 2.8 Lokasi tersering terjadinya endometriosis (Dikutip dari Williams’ Gynecology, 2008)

2.2.6 Faktor resiko

Resiko tinggi terjadinya endometriosis ditemukan pada :

A. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis.

B. Wanita usia produktif ( 15 – 44 tahun).

C. Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang D. Usia menars yang lebih awal dari normal

E. Lama waktu menstruasi

F. Adanya orgasme ketika menstruasi G. Terpapar toksin dari lingkungan

Faktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan gangguan haid , kebiasaan merokok, kebiasaan hidup, dan genetik. Faktor genetik berperan 6 – 9 kali lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderita.

Tabel 2.2 Faktor resiko endometriosis

2.2.7. Gejala klinis

Gejala klinis pada endometriosis akan memuncak pada keadaan premenstruasi, dan mereda setelah menstruasi selesai. Nyeri panggul adalah gejala yang paling umum terjadi, gejala lain adalah dispareunia, dismenore, nyeri pada kandung kemih dan nyeri punggung bawah.

Menurut survei yang dilakukan terhadap pasien perempuan di Inggris dan Amerika Serikat yang dirujuk ke universitas berbasis pusat endometriosis, ditemukan bahwa 70 – 71 % pasien mengalami gejala nyeri pelvis, 71 - 76 % dengan dismenore, 44 % dengan dispareunia, dan 15 - 20 % dengan infertilitas ( Kuohung, 2002).

A. Nyeri saat menstruasi ( Dismenore)

Gejala ini seringkali menjadi gejala awal dari timbulnya endometriosis. Pasien yang mengalami dymenorrhea dan tidak memiliki respon terhadap kontrasepsi oral ataupun dengan pemberian anti-infalamasi non-streroid diduga kuat menderita endometriosis. Gejala yang sering terjadi pada wanita yang menderita endometriosis adalah timbulnya nyeri yang luar biasa pada saat menstruasi sejak umur sangat muda, sejak dari usia menarche atau bahkan sebelumnya. Bagaimanapun, nyeri pada menstruasi tidak dapat selalu dihubungkan dengan endometriosis karena gejala ini merupakan gejala nonspesifik juga dapat terjadi pada keadaan fisiologis saat mentrasi. Bertambahnya derajat keparahan nyeri dan lama waktu dismenore sebanding dengan perjalanan stadium endometriosis.

B. Sakit saat berhubungan seksual ( Dispareuni)

Ligamentum uterosakral, ligamentum broad, dan the poach of Douglas merupakan beberapa area tersering ditemukannya endometriosis. Timbulnya endometriosis pada beberapa area tersebut dapat menyebabkan gejala yang spesifik dan menetap. Beberapa area yang terlibat tersebut terletak berdekatan dengan kedua ujung vagina dan rektum, karena itu, setiap stimulasi fisik pada area tersebut akan dapat menimbukan nyeri.

C. Nyeri pelvis

Sering ditemukan pada pasien endometriosis pada beberapa kasus nyeri pada pasien tidak hanya dikaitkan dengan periode menstrusi atau aktifitas seksual, tetapi seringkali nyeri yang dirasakan merupakan nyeri yang kronik dan rasa tidak nyaman pada bagian bawah pelvis disertai nyeri yang terus-menerus. Nyeri pada pelvis dihubungkan dengan adanya adhesi dan ditemukannya jaringan parut pada pelvis. Penyebab yang pasti pada nyeri masih belum jelas, namun, adaanya substansi sitokin dan prostaglandin yang dihasilkan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal merupakan salah satu penyebab (Giudice, 2010).

D. Nyeri punggung bawah

Endometriosis yang terjadi pada ligamen oterosakral dapat menghasilkan nyeri yang menjalar hingga ke punggung bagian belakang. Nyeri dari uterus juga dapat menjalar ke area tersebut.

E. Infertilitas

Terdapat hubungan antara endometriosis dan infertilitas. Ditemukan fakta bahwa satu dari tiga wanita infertil didiagnosis menderita endometriosis. Data retrospektif menunjukkan bahwa 30 – 50 % wanita dengan endometriosis akan menjadi infertil (Alvero, 2007). Adanya adhesi, kerusakan ovarium dan tuba, juga distorsi yang ditimbulkan sebagai efek dari bertambah parahnya perjalanan endometriosis juga menjadi faktor lain yang menyebabkan infertilitas. Selain kerusakan yang terjadi pada organ terkait, dihasilkannnya beberapa substansi oleh endometrium yang tumbuh secara ektopik seperti prostaglandin dan sitokin juga dipercaya menjadi salah satu faktor infertilitas lainnya.

F. Nyeri pada kandung kemih dan Dysuria

Lesi superfisial pada kandung kemih biasanya asimtomatik. Lesi dapat menyerang otot dan menimbulkan nyeri saat berkemih, dan dysuria. Meskipun keluhan ini tidak selalu muncul pada penderita endometriosis, namun keluhan nyeri pada kandung kemih, dysuria, dan urgensi pada wanita tetap menjadi gejala

pada wantia yang terkena endometriosis, terutama jika keluhan ini disertai hasil kultur urin yang negatif.

G. Nyeri saat defekasi

Nyeri defekasi merupakan gejala yang paling jarang muncul dibandingkan dengaan gejala lain pada endometriosis dan biasanya hal ini mencerminkan adanya keterlibatan rektosigmoid dengan implan endometriotik (Azzena, 1998). Gejala ini dapat terjadi secara kronik, siklik, dan sering berhubungan dengan konstipasi, diare, atauapun hematokezia ( Remorgida, 2007).

2.2.8 Diagnosis

Prosedur yang paling akurat untuk diagnosis endometriosis adalah laparoskopi, metode bedah invasif. Diagnosis definitif didasarkan pada visualisasi dari lesi karakteristik dan pada konfirmasi histologis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa CA-125, glikoprotein asal epitel ditemukan pada sel normal, memiliki konsentrasi serum tinggi pada pasien dengan endometriosis, terutama ketika dievaluasi selama menstruasi flow1- 3. Biomarker lain yang menarik untuk penelitian ini adalah larut CD-23, sebuah protein yang diekspresikan pada permukaan membran sel, biasanya diidentifikasi sebagai reseptor IgE afinitas rendah pada sel B, eosinofil, monosit, sel dendritik, epitel sel Langerhans dan trombosit. Beberapa langkah dalam menegakkan diagnosis endometriosis antara lain :

A. Anamnesis

Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvis kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal

serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot.

B. Pemeriksaan Fisik Umum

Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom.

C. Pemeriksaan fisik ginekologik

Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada kelainan. Lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1% penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan endometriosis pada penderita nyeri pelvik.

D. Diagnosis Laparoskopi

Pemeriksaan ini merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina, kavum douglas, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvis yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih.

Diagnosis endometriosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan pemastian histopatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvis kronik. Endometriosis yang didapat dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan histopatologi ( Jacoeb TZ, 2009).

Gambar 2.9 Endometriosis pada pemeriksaan laparoskopi (Dikutip dari Williams, 2008)

2.2.9 Komplikasi

Komplikasi dari endometriosis sering berhubungan dengan adanya fibrosis dan jaringan parut yang tidak hanya berefek pada organ yang terkena, namun juga dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ureter (Lobo, 2007). Ruptur dari endemetrioma dan juga dihasilkannya zat berwarna coklat yang sangat iritan juga dapat menyebabkan peritonitis. Meskipun jarang, lesi endometrium dapat berubah menjadi malignan dan paling sering terjadi pada kasus endometriosis yang berlokasi di ovarium.

2.2.10. Prognosis

Pada kasus endometriosis, salah satu yang terpenting adalah penderita harus diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya secara tepat. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan belum tentu dapat menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan kesembuhan total, sekalipun resiko kambuh sangat rendah resikonya ( 3 %). Resiko kekambuhan lebih rendah dengan diberikannya terapi sulih hormon

estrogen. Setelah dilakukan operasi konservatif, tingkat kekambuhan yang dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang terjadi rata - rata melebihi 10% dalam tiga tahun dan 35 % dalam lima tahun.

Endometriosis Data – data yang diinginkan - Usia - Lokasi jaringan - Gejala klinis - Usia menarche - Riwayat menstruasi

Dokumen terkait