• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Sapi

Sapi merupakan hewan peliharaan yang dimanfaatkan sebagai sapi pekerja, sapi perah, serta sapi potong. Sistematika sapi adalah sebagai berikut, Kingdom:

Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mammalia, Ordo: Artiodactyla, Famili:

Bovidae, Genus: Bos. Sapi yang dikenal oleh masyarakat luas merupakan sapi hasil domestikasi dari spesies hewan liar. Domestikasi merupakan penjinakan spesies liar yang populasinya dikontrol oleh manusia agar spesies tersebut dapat berfungsi sesuai kebutuhan manusia. Domestikasi hewan ternak timbul pada akhir

Panaskan dengan SDS dan merkaptoetanol

27

jaman Paleolithicum (jaman batu lama) dan awal jaman neolithicum (jaman batu baru). Sapi mulai didomestikasi sekitar 8.000-9.000 tahun yang lalu, yaitu di India, Timur Tengah, dan Sahara-Afrika (Maylinda, 2010; Panjono, 2012).

Sapi domestik merupakan keturunan dari Bos primigenius (aurochs) dan Bos sundaicus/ Bos javanicus (banteng). Bos primigenius memiliki 3 subspesies yaitu Bos primigenius primigenius menurunkan sapi Taurus (Bos primigenius taurus), Bos primigenius namadicus menurukan sapi Zebu (Bos primigenius indicus), Bos primigenius mauretenicus menurunkan sapi Afrika. Bos javanicus memiliki beberapa subspesies yang salah satunya adalah Bos javanicus javanicus yang menurunkan sapi Bali (Panjono, 2012).

Sapi Taurus merupakan sapi Eropa dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut, moncong, kuku dan tanduk yang berwarna putih (kecuali sapi dengan rambut yang berwarna hitam), profil muka datar dengan ukuran daun telinga yang kecil dibandingkan dengan sapi Zebu dan tanduk yang panjang (meskipun ada sapi yang tidak bertanduk). Sapi taurus tidak memiliki punuk dan memiliki gelambir yang cenderung kecil dibandingkan dengan sapi Zebu (Panjono, 2012).

Sapi Zebu adalah kelompok sapi India dengan ciri khasnya yaitu adanya punuk atau kelasa. Memiliki tanduk, kuku, dan moncong yang berwarna hitam.

Tanduk sapi Zebu betina lebih anjang dari sapi jantan, meskipun tidak sepanjang sapi Taurus. Sapi Zebu memiliki profil muka yang cembung dengan daun telinga yang lebar. Gelambir pada sapi zebu lebar dan kelenjar keringatnya banyak sehingga sapi ini lebih tahan terhadap lingkungan yang panas dan lembap (Panjono, 2012).

Jenis sapi yang ada di dunia sekitar 815 bangsa. Terbentuknya bangsa sapi ini

disebabkan adanya perkawinan silang antara sapi Taurus, Zebu, Afrika dan Bali (Banteng) . Terdapat lima jenis sapi utama di Indonesia yaitu, sapi Bali, sapi Ongole, sapi Madura, sapi Grati dan sapi Kelantan (Smith & Soesanto, 1988;

Maylinda, 2010; Panjono, 2012).

29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 sampai dengan Maret 2018. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Balai Embrio Ternak (BET), Bogor dan pemeriksaan sampel dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner, Ciwaringin, Bogor Tengah, Jawa Barat serta di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian untuk ELISA yaitu syringe, cooling box, tabung, mikrotube, label, freezer, kit BVD, mikroplat, mikropipet, ELISA reader, masker dan sarung tangan. Bahan yang diperlukan dalam penelitian yaitu serum sapi, kit ELISA BVD imunoglobulin (IDEXX) yaitu washing solution, conjugate solution, stoping solution dan larutan tetrametyl benzine (TMB) substrat, aluminium foil, larutan kontrol positif dan negatif BVD.

Alat yang digunakan untuk SDS-PAGE yaitu centrifuge, refrigerator, timbangan digital, alat pencetak gel, mikropipet, sisir (comb), tabung eppendorf, , rak tabung, mistar plastik, penjepit dan tempat untuk pewarnaan/pencucian yang berupa baki-baki plastic, shaker.

Bahan yan digunakan untuk SDS-PAGE yaitu 7,5% resolving gel terdiri dari: (7,28 mL dH2O ditambahkan 3,75 mL larutan 1,5 M Tris-HCl pH 8,8; 150 µL larutan SDS 10%; 3,75 mL larutan akrilamid 30%; 75 µL larutan APS 10%;

7,5 µL TEMED), dan 4% stacking gel terdiri dari: (9 mL dH2O ditambahkan 3,78 mL larutan 0,5 M Tris-HCL pH 6,8; 150 µL larutan SDS 10%; 1,98 mL larutan akrilamid 30%; 75 µL larutan APS 10%; 15 µL TEMED), buffer pemisah (Electrode Running Buffer/ ERB) yang terdiri dari: (Tris HCl 9 gram; glisin 43,2 gram; SDS 10% dan dH2O sebanyak 600 mL), larutan pewarna (0,05%

Coomassie blue, 45% metanol, 10% asam asetat, 45% dH2O dan destain (50%

dH2O, 10% asam asetat, 40% metanol).

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengumpulan sampel

Sampel darah diambil dari sapi Friesian Holstein, Peranakan Ongole, Limosin, Simental, Angus, Brangus, Brahman, dan Wagyu yang belum divaksin.

Pemilihan hewan dilakukan secara purposif yaitu dengan memilih sapi yang terduga terinfeksi BVDV dengan memiliki seluruh atau sebagian kriteria berikut yaitu kondisi badan kurus, menderita diare, leleran hidung, memiliki riwayat pernah positif antibodi terhadap BVDV.

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan metode Cameron and Baldock (1998), yaitu metode untuk menentukan besaran sampel dalam rangka mendeteksi penyakit di daerah bebas. Metode “detect disease” tersebut dengan mengasumsikan besaran prevalensi penyakit sebesar 5%, dengan tingkat kepercayaan uji sebesar 95%. Sehingga dari total populasi sapi yang ada di BET sebanyak 600 ekor, maka yang dapat diambil sebagai sampel untuk dilakukan pengujian sebanyak 43 ekor.

31

3.3.2 Preparasi Sampel

Darah sapi diambil sebanyak 5 ml dari vena jugularis menggunakan syringe.

Darah tersebut kemudian dimasukan ke dalam tabung dan disimpan di cooling box untuk menjaga kesegaran sampel selama transportasi menuju laboratorium.

Kemudian, darah tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit hingga terpisahnya antara natan dengan supernatan (serum). Supernatan tersebut kemudian di isolasi ke mikrotube yang telah diberi label sesuai dengan kode hewan uji dan ditulis tanggal pengambilannya, kemudian sampel dianalisis.

3.3.3 Prosedur ELISA Secara Tidak Langsung

Serum sapi yang telah didapatkan dari hasil preparasi sampel, kemudian diperiksa dengan ELISA. Langkah awal yang dilakukan yaitu Alat dan bahan yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu. Kit BVD yang telah tersedia kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 18-26 °C. Sample diluent tang sebelumnya telah disiapkan, dimasukan ke dalam sumur mikroplat sebanyak 100µl pada tiap sumuran. Sumur A1 dan B1 kemudian dimasukan 25 µl larutan kontrol positif, dan pada sumur C1 dan D1 dimasukan 25 µl larutan kontrol negatif, serta pada sumur E1 hingga seterusnya (sesuai pola yang dibuat) dimasukkan serum sebanyak 25 µl. Kontrol positif dan negatif sudah tersedia di dalam kit BVDV.

Larutan yang terdapat di mikroplat kemudian dihomogenkan dan dilanjutkan dengan menginkubasi larutan pada suhu 18-26°C, yaitu selama 90 menit.

Setalah itu, cairan di dalam sumuran dibuang kemudian mikroplat dicuci dengan menambahkan washing solution sebanyak 300 µl pada tiap sumuran. Pencucian

ini dilakukan sebanyak 5 kali. Mikroplat kemudian dikeringkan yaitu dengan cara membuang larutan yang ada di dalam mikroplat tersebut dan menelungkupkan serta menghentakan mikroplat di atas kain atau tisu yang berdaya serap tinggi hingga sumur benar-benar kosong.

Sebanyak 100 µl conjugat solution kemudian dimasukan ke dalam tiap sumur yang sebelumnya sudah dikosongkan, setelah itu diinkubasi pada suhu 18-26 °C selama 30 menit. Selanjutnya, dilakukan pencucian sesuai dengan prosedur yang sudah dijelaskan. Setelah dilakukan pencucian, dimasukan Tetramethyl Benzidine ke dalam tiap sumur pada mikroplat yaitu sebanyak 100 µl. Kemudian mikroplat ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi pada suhu ruang 18-26°C selama 10 menit di ruang gelap. Selanjutnya, ditambahkan 100 µl stop solution pada tiap sumuran dan setelah itu dilakukan pembacaan larutan sampel menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Hasil dari pemeriksaan menggunakan ELISA adalah seropositif dan seronegatif BVDV

3.3.4 Prosedur SDS-PAGE

Seropositif dan seronegatif hasil ELISA diperiksa menggunakan SDS-PAGE.

Ada beberapa tahap untuk melakukan prosedur ini. Tahap pertama yang dilakukan adalah pembuatan resolving gel yaitu dengan mencampurkan acrylamid 30%

sebanyak 3,75 mL, Tris HCl pH 8,8 sebanyak 3,75 mL, SDS 10% sebanyak 150 µL, Akuades 7,28 mL, TEMED 7,5 µL, APS 10% sebanyak 75 µL. Bahan tersebut kemudian dihomogenkan dan dimasukan ke dalam glass plate. Bagian lapisan atas running gel ditambahkan dengan akuades hingga batas glass plate.

Akuades tersebut kemudian dibuang dengan cara diserap menggunakan kertas saring ketika resolving gel telah mengeras.

33

Langkah selanjutnya yaitu penambahan stacking gel yang terdiri atas 9 mL aquadest, Tris HCL pH 6,8 sebanyak 3,78 mL, Acrylamid 30% sebanyak 1,98 mL, SDS 0,5% sebanyak 150 µL, TEMED sebanyak 15 µL, APS 10% sebanyak 75 µL. Stacking gel dimasukan ke dalam glass plate, kemudian dimasukkan sisir ke dalam agar tersebut, dan didiamkan hingga agar mengeras.

Setelah dilakukan tahapan-tahapn tersebut, maka selanjutnya adalah mempersiapkan sampel yang akan dimasukan ke dalam sumuran gel. Sebelum sampel dimasukkan ke dalam akrilamid, serum diencerkan 100x menggunkan aquades. Serum yang sudah diencerkan kemudian dicampurkan dengan laemmli buffer yitu masing-masing sebanyak 15 µl (dengan perbandingan 1:1). Larutan sampel tersebut kemudian dipanaskan selama 5 menit ada suhu 95℃.

Tahap selanjunya adalah proses elektroforesis, yaitu dengan cara memasukan glass plate ke dalam chamber model biometra. Selanjutnya elektroforesis buffer dimasukkan ke dalam chamber hingga gel terendam. Sampel dan marker kemudian dimasukan ke dalam sumuran gel. Setelah sampel dan marker dimasukan ke dalam gel, maka power supply dinyalakan selama lebih kurang 1 jam dengan tegangan 155 Volt. Tahap terakhir yaitu melepasan gel dari glass plate dan memasukannya ke dalam cawan petri yang telah berisi zat pewarna coomassi blue.

3.4 Analisis Hasil

Hasil pemeriksaan serum sapi menggunakan ELISA akan dianalisis secara deskriptif dengan cara membaca hasil sampel value relates to positive value (S/P) dari ELISA reader yang menunjukkan serpositif dan seronegatif. Rumus perhitungan s/p sebagai berikut:

(S/P) = Nilai sampel yang diuji optical density (OD) – nilai rataan control negatif Nilai rataan kontrol positif – nilai rataan kontrol negatif Berikut ini merupakan keterangan hasil interpretasi (s/p) untuk sampel serum, plasma dan individual milk:

S/P < 0.20 = negatif 0.20 ≤ S/P < 0.30 = terindikasi S/P ≥ 0.30 = positif

Seropositif dan seronegatif BVDV yang diketahui dari pemeriksaan serum menggunakan ELISA, kemudian diperiksa menggunkan SDS-PAGE. Data hasil pemeriksaan SDS-PAGE akan dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan masing-masing seropositif dan seronegatif BVDV. Penentuan berat molekul protein imunoglobulin dilakukan dengan cara mengukur pita-pita protein yang terlihat pada gel poliakrilamid menggunakan penggaris, kemudian dilakukan penghitungan nilai regresi dan berat molekul protein dengan bantuan software excel 2013.

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deteksi Imunoglobulin Menggunakan ELISA

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel darah sapi yang berasal dari Balai Embrio Ternak (BET), Bogor. Uji Enzyme Linked-Immubosorbent Assay (ELISA) terhadap Bovine Viral Diarrhea Virus (BVDV) dapat diketahui dengan menganalisis imunoglobulin dalam darah hewan.

Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa sampel serum sapi sebanyak 25 µl untuk dianalisis menggunakan kit ELISA dari IDEXX BVDV Total Antibodi (Ab). Sensitivitas ELISA yang tinggi dan waktu mendeteksi yang cepat dari uji netralisasi (gold standard) pada uji serologis, menjadi alasan digunakannya teknik ELISA.

Tabel 1. Persentase hasil uji ELISA terhadap antibodi BVDV

No Jenis Sapi Positif Negatif Jumlah Sapi menunjukkan seropositif BVDV dan 22 sampel menunjukkan seronegatif BVDV

(Tabel 1). Serum seropositif BVDV memiliki nilai sampel value relates to positive value (S/P) ≥ 0.30, sedangkan seronegatif BVDV memiliki nilai S/P < 0.20 yang ditunjukkan pada lampiran 1. Nilai S/P dapat diketahui dengan membaca hasil yang ditampilakn oleh ELISA reader. Konsentrasi imunoglobulin terhadap BVDV atau nilai optical density (OD) menentukan tinggi rendahnya nilai S/P. Semakin tingginya nilai OD pada sampel serum, maka nilai S/P akan semakin tinggi.

Kasus BVD pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 di Sulawesi dan Kalimantan, kemudian penyakit ini menyebar ke pulau Sulawesi dan pulau lainnya di Indonesia (Ditjennak, 2014). Setiap daerah memiliki strain virus yang berbeda (Poettri et al., 2014) dan virus dengan subtipe berbeda akan menghasilkan respon imunoglobulin yang berbeda (Handayani, 2008), dengan demikian pengamatan karakterisasi imunoglobulin dapat memberikan informasi mengenai virus BVD yang menginfeksi sapi.

Seiring berjalannya waktu, virus yang masuk ke Indonesia dapat mengalami perubahan karakteristik protein serta kemampuan dalam menginfeksi inang (Suwarno, 2014 & Reddy et al., 1995). Keadaan tersebut mengakibatkan imunoglobulin spesifik yang menetralisasi virus juga akan berubah, sehingga pemeriksaan karakterisasi imunoglobulin sangat penting dilakukan. Menurut Saepulloh (2015), BVDV diperkirakan berasal dari strain vaksin yang diberikan pada sapi yang diimpor ke Indonesia. Sebelum masuk ke Indonesia, sapi mengalami vaksinasi.

Pemeriksaan awal terhadap sapi impor yang masuk ke Indonesia dilakukan secara visual, palpasi, auskultasi, dan belum diuji secara laboratorik. Pengujian secara laboratorik dilakukan ketika sapi menunjukkan gejala klinis, sedangkan

37

sapi yang terinfeksi virus BVD nonsitopatik tidak memperlihatkan gejala klinis (Prastyowati, 2015). Dengan demikian sapi yang terinfeksi virus BVD nonsitopatik ditempatkan bersamaan dengan sapi sehat, sehingga menjadi sumber penular virus bagi sapi sehat lainnya. Hal tersebut menjadi penyebab virus BVD masuk dan menyebar di peternakan sapi atau di pusat perbibitan di Indonesia.

Oleh karena itu, pemeriksaan serologik secara rutin terhadap ternak sapi tersebut mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit BVDV.

4.2 Profil Protein SDS-PAGE

Terdapat beberapa protein yang ada di dalam serum yaitu protein albumin, globulin dan protrombin (Pearce, 2009) dan imunoglobulin merupakan bagian dari protein globulin yang terdapat di dalam tubuh akibat respon terhadap antigen yang menyerang tubuh. Penelitian yang dilakukan Suryohastari (2016) memberikan informasi bahwa analisis protein SDS-PAGE dari sampel darah dapat dikerjakan melalui serum. Dengan demikian serum dijadikan sebagai bahan pemeriksaan terhadap sapi yang terinfeksi BVDV agar dapat diketahui perbedaan profil protein imnuglobulin pada seropositif dan seronegatif BVDV.

Serum yang dianalisis dengan SDS-PAGE mewakili seropositif dan seronegatif BVDV pada masing-masing jenis sapi. Apabila serum sapi hanya terdapat seropostif atau seronegatif BVDV saja pada satu jenis sapi, maka serum yang dianalisis menggunakan SDS-PAGE hanya seropositif BVDV atau hanya seronegatif BVDV pada satu jenis sapi.

Analisis SDS-PAGE dilakukan menggunakan alat dan formula poliakrilamid serta marker dari BIO-RAD. Berat molekul protein serum dalam penelitian ini diketahui dengan menghitung persamaan regresi linier yang

berdasarkan nilai mobilitas relatif marker. Persamaan regresi linier yang diperoleh yaitu y = -1,4688x + 2,3622 dengan R² = 0,9649 yang menunjukkan bahwa tingkat perkiraan ketelitian berat molekulnya tinggi. Nilai R² yang mendekati 1,0 maka persamaan regresi nilai yang diperoleh semakin bagus. Hal tersebut menunjukkan bahwa persamaan tersebut mendekati kepastian nilai berat molekul dari protein yang dianalisis. Nilai Regresi linear yang diperoleh, kemudian digunakan untuk menghitung berat molekul sampel seropositif dan seronegatif BVDV.

Gambar 9. Nilai Log BM pita marker broad range prestained SDS-PAGE standar

Serum sapi seropositif dan seronegatif BVDV dianalisis menggunakan SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein imunoglobulin dan berat molekul protein antigen virus BVD. Marker yang digunakan terdiri dari delapan pita penunjuk berat molekul protein, yaitu 6,9 kDa, 21 kDa, 29 kDa, 35,8 kDa,

39

Tabel 2. Berat molekul sampel seropositif dan seronegatif BVDV

Lane Sampel Jarak Pergerakan

(cm) BM (kDa)

Hasil SDS-PAGE pada seropositif dan seronegatif pada beberapa jenis sapi yang berbeda, menunjukkan pada Wagyu BVDV+ terdapat 4 pita protein (BM 70,193 kDa, 55,350 kDa 53,077 kDa, dan 11,981 kDa), Brangus BVDV- , Simental BVDV+, Limosin BVDV+ terdapat 1 pita protein (BM 70,1939 kDa), Peranakan Ongol BVDV+ terdapat 1 pita protein (BM 69,7051 kDa), Frisian Holstein BVDV+ terdapat 5 pita protein (BM 151,397 kDa, 86,564 kDa, 55,350 kDa, 45,197 kDa, 12,407 kDa), Angus BVDV- menunjukkan 2 pita protein (BM 70,193 kDa, 53,077 kDa), Angus BVDV+ menunjukkan 2 pita protein (BM 69,705 kDa, 53,077 kDa), dan Peranakan Ongol BVDV- menunjukkan 2 pita

protein (BM 66,377 kDa dan 53,077 kDa) (Tabel 2). Perbedaan pada jumlah pita protein tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan bangsa sapi (Dewanto, 2017;

Utomo, 2017).

Gambar 10. Hasil SDS-PAGE sampel seropositif dan seronegatif ELISA terhadap BVDV

Keterangan:

(1) Wagyu BVDV+ (6) Angus BVDV

-(2) Brangus BVDV- (7) Angus BVDV+

(3) Simental BVDV+ (8) Peranakan Ongol BVDV

-(4) Limosin BVDV+ (9) Peranakan Ongol BVDV+

(5) Frisian Holstein BVDV+ (M) Marker

Berdasarkan hasil pemeriksaan SDS-PAGE pada seropositif dan seronegatif dengan beberapa jenis sapi yang berbeda, tampak pita protein yang dimiliki oleh setiap sampel (Gambar 10). Pita tersebut diduga merupakan pita protein albumin, karena memiliki berat molekul yang mendekati dengan berat molekul 56,2 kDa pada marker (Gambar 10). pita protein dengan berat molekul 10,46−68,7 kDa termasuk ke dalam fraksi protein albumin pada sapi (Utomo, 2011). Albumin merupakan protein yang ada di dalam darah dengan jumlah 3−5 gram dalam setiap 100 ml darah. Protein ini memiliki beberapa fungsi yaitu

41

bertanggung jawab atas tekanan osmotik yang mempertahankan volume darah, dan menyediakan protein untuk jaringan.

Pita protein imunoglobulin terhadap BVDV tidak tampak pada seronegatif Brangus BVDV-, Angus BVDV-, dan Peranakan Ongol BVDV- (Gambar 10). Hal ini menujukkan bahwa sapi tersebut tidak terinfeksi BVDV, karena Imunoglobulin dibentuk oleh tubuh setelah terjadinya kontak dengan antigen atau terinfeksi antigen (Bratawidjaja & Iris, 2012). Tanpa ada kontak antara BVDV dengan tubuh sapi, maka imunoglobulin tidak akan terbentuk.

Pita protein imunoglobulin terlihat pada Friesian Holstein BVDV+ (lane ke−5) dengan berat molekul sebesar 151,397 kDa yang merupakan Imunoglobulin Gamma (IgG). Berat molekul pita protein IgG sebesar 150−170 kDa (Sofro, 1994). Imunoglobulin gamma merupakan komponen utama imunoglobulin dalam serum, dengan kadar sekitar 13 mg/mL. Total IgG sebanyak 75% dari semua imunoglobulin yang ada di dalam serum (Bratawidjaja & Iris, 2012).

Pita protein IgG hanya tampak pada sampel Friesian Holstein BVDV+. Pita ini tidak tampak pada beberapa seropositif Wagyu BVDV+, Simental BVDV+, Limosin BVDV+, Angus BVDV+, dan Peranakan Ongol BVDV+ (Gambar 10). Hal tersebut mungkin disebabkan oleh sudah lewatnya waktu paruh IgG ketika serum tersebut diperiksa dan antigen sudah mulai dieleminasi oleh IgG, sehingga kadar IgG dalam seropositif terebut lebih sedikit daripada Friesian Holstein BVDV+. Waktu paruh IgG dalam serum yaitu 7−21 hari (Lestari & Siti, 2018). Pita protein IgG yang tidak terlihat pada seropositif juga dapat disebabkan perbedaan bangsa sapi, karena bangsa sapi yang berbeda akan menghasilkan kadar globulin yang berbeda (Otamaru et al.,2015; Irfan et al.,2014; Ndlovu, 2008).

Sapi yang telah terpapar BVDV selama 3 minggu akan memproduksi Imunoglobulin Gamma (IgG) (Brown et al., 1979). Imunoglobulin gamma merupakan respon tubuh terhadap BVDV yang memiliki sifat opsonin, yaitu dapat memusnahkan BVDV. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningrum (2010) bahwa infeksi virus menginduksi respon kebal humoral yang ditunjukkan dengan pembentukan imunoglobulin IgG dan IgM.

Tabel 3. Nilai Optical Density seropositif BVDV

No Lane Jenis Sapi OD

Pembentukan IgG pada seropositif yang terlihat dalam bentuk pita protein merupakan cerminan dari nilai optical density BVDV+ (Tabel 3). Terlihat atau tidaknya pita protein IgG, tergantung dari tinggi dan rendahnya nilai OD pada serum seropositif. Sampel serum Friesian Holstein BVDV+ merupakan seropositif BVDV dengan nilai optical density (OD) sebesar 1,906, sehingga ketika dilakukan pemeriksaan SDS-PAGE, ditemukan pita protein IgG. Berbeda dengan sampel serum Friesian Holstein BVDV+, beberapa seropositif lainnya yaitu Wagyu BVDV+ (OD = 1,140), Simental BVDV+ (OD = 0,989), Limosin BVDV+ (OD = 1,681), Angus BVDV+ (OD = 1,238), Peranakan Ongol BVDV+ (OD = 0,997), tidak memperlihatkan pita protein IgG ketika diperiksa menggunakan SDS-PAGE.

Pita protein IgG yang tidak terlihat pada Wagyu BVDV+, Simental

43

BVDV+, Limosin BVDV+, Angus BVDV+, dan Peranakan Ongol BVDV+, kemungkinan disebabkan oleh nilai OD pada sampel tersebut yang lebih rendah dibandingkan dengan niai OD pada sampel serum Friesian Holstein BVDV+. Semakin tinggi OD Imunoglobulin, maka semakin jelas pita yang terbentuk.

Sebagaimana dijelaskan oleh Utomo (2016) bahwa ketebalan pita protein disebabkan adanya perbedaan konsentrasi atau kadar protein dalam serum.

Intensitas ketebalan pita akan lebih tebal jika konsentrasi proteinnya tinggi.

Pita protein IgG (151,397 kDa) yang tidak terlihat pada beberapa sampel seropositif kecuali Friesian Holstein BVDV+, kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan jenis sapi. Sebagaimana dijelaskan oleh Irfan (2014) bahwa perbedaan bangsa sapi berpengaruh nyata terhadap perbedaan konsentrasi protein total, albumin, dan globulin. Perbedaan konsentrasi globulin pada serum tersebut bisa jadi penyebab tidak telihatnya pita protein Imunoglobulin pada sampel serum Wagyu BVDV+, Simental BVDV+, Limosin BVDV+, Angus BVDV+, dan Peranankan Ongol BVDV+.

Hasil SDS-PAGE (Gambar 10) menunjukkan bahwa terdapat pita protein dengan berat molekul 55,350 kDa pada seropositif BVDV seperti yang ditunjukkan pada lane 1 (Wagyu BVDV+) dan lane 5 (Friesian Holstein BVDV+).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purchio et al. (1984), memperlihatkan keberadaan tiga pita mayor protein spesifik BVDV sebesar 115 kDa, 80 kDa, dan 55 kDa. Dengan demikian, pita protein 55,350 kDa dapat diduga sebagai protein antigen BVDV, karena virus dapat ditemukan di dalam serum. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Wuryastuti et al. (2016) yang menginformasikan keberadaan antigen BVDV dalam darah sapi yang terinfeksi BVDV.

Pita protein 55,350 kDa diduga sebagai pita protein mayor antigen BVDV karena dapat terlihat pada hasil SDS-PAGE. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purchio et al. (1984) bahwa pita protein antigen BVDV dengan berat molekul 55 kDa merupakan pita mayor. Sinale et al. (2015) menjelaskan bahwa pita mayor merupakan pita yang memiliki konsentrasi lebih tinggi dibanding pita protein minor, sehingga pita protein ini dapat terlihat dengan jelas pada hasil SDS-PAGE.

Pita protein dengan berat molekul 55,350 kDa yang tampak pada sampel seropositif BVDV dapat disebabkan oleh jumlah virus yang menginfeksi sapi, hal ini berkaitan dengan tingginya konsentrasi immunoglobulin. Inang yang diinfeksi oleh virus dengan dosis yang tinggi, maka jumlah IgG yang dibentuk akan lebih tinggi dari jumlah IgG yang dibentuk dari inang yang diinfekisi oleh virus dengan dosis yang rendah (Purwaningrum, 2010). Penelitian ini sejalan dengan pernyataan tersebut, bahwa konsentrasi Ig pada sampel Friesian Holstein BVDV+ (OD= 1,906) lebih tinggi dibandingkan dengan sampel Wagyu BVDV+, Simental BVDV+, Limosin BVDV+, Angus BVDV+, dan Peranakan Ongol BVDV+ dengan OD masing masing 1,140; 0,989; 1,681; 1,238; 0,997. Hal tersebut mungkin menjadi penyebab pada sampel Friesian Holstein BVDV+ terdeteksi pita protein BVDV-.

Berbeda dengan sampel Friesian Holstein BVDV+ yang memperlihatkan pita protein yang diduga merupakan antigen BVDV karena nilai OD imunoglobulin pada sampel tersebut lebih tinggi dibanding dengan seropositif lainnya. Sampel Wagyu BVDV+ yang memiliki OD imunoglobulin lebih rendah dari sampel Limosin BVDV+ dan Angus BVDV+, memperlihatkan pita protein

Dokumen terkait